• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Adapun filosofis harus dibuatnya perjanjian kredit modal kerja adalah berfungsinya perjanjian kredit itu sebagai alat bukti, dan sebagaimana diketahui bahwa surat-surat perjanjian yang ditandatangani adalah merupakan suatu akta.61

Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak ditentukan bentuk dan perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktik perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contract) dan juga dapat dibuat di bawah tangan.62

Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata Pasal 1754 – 1769. Namun, dalam praktik perbankan yang modern,

Secara umum biasanya perjanjian kredit modal kerja ini berisi definisi- definisi, jumlah kredit (pinjaman), besarnya bunga dan denda, jangka waktu, angsuran dan cara pembayaran, agunan, wanprestasi, timbul dan berakhirnya hak dan kewajiban , serta hukum yang berlaku bagi perjanjin tersebut. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

61Kasmir, Op. Cit., hlm. 75 62Ibid., hlm 78

hubungan hukum dalam kredit bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam meminjam, melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya. Dalam bentuk yang campuran demikian maka selalu tampil adanya suatu jalinan di antara perjanjian yang terkait tersebut. Akan tetapi, dalam praktik perbankan pada dasarnya bentuk dan pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam yang ada dalam KUHPerdata tidaklah sepenuhnya identik dengan bentuk dan pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan, di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang gradual, bahkan dapat pula merupakan perbedaan yang pokok.63

Bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dan bank yang lainnya tidaklah sama. Hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum, hanya saja dalam praktik

Sesuai dengan asas yang utama dari suau perikatan atau perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUHPerdata, tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama.Dalam perkembangannya kebebasan berkontrak ini mendapat pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat memaksa, yang ditujukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembagunan nasional yang berdasarkan asas pemerataan.

63 Sigit Trianduri, Totok Budi Santoso, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta:

ada banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya berupa definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini (terutama dalam perjanjian kredit dengan pihak asing), jumlah dan batas waktu peminjaman, pembayaran kembali pinjamanapakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih cepat dari ketentuan yang ada, penetapan bunga pinjaman dan dendanya jika debitur lalai membayar bunga, dan dicantumkannya berbagai klausul.64

Pemberian kredit perbankan di Indonesia tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya, antara lain yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan peraturan intern masing-masing bank. Adapun mengenai perjanjian kreditnya, sebagai salah satu perjanjian, tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUHPerdata, Buku ketiga tentang perikatan. Oleh karena itu, sahnya perjanjian kredit modal kerja berlaku Perjanjian kredit sering kali mengakomodasi hal-hal seperti di atas sehingga semuanya dilakukan dan akhirnya terbentuklah perjanjian baku untuk perjanjian kredit tersebut. Rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan unsur-unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan dan terjadi suatu pemaksaan karena adanya ketidakseimbangan kekuatan para pihak, juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya menguntungkan sepihak, atau risiko yang hanya dibebankan kepada sepihak pula, serta pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.

dengan sendirinya ketentuan yang tercantuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Perjanjian kredit dibuat secara kontraktual berdasarkan pinjam- meminjam yang diatur dalam Buku tiga Bab 13 KUHPerdata. Oleh karena itu, ketentuan mengenai berakhirnya perikatan dalam Pasal 1381 KUHPerdata berlaku juga untuk perjanjian kredit. Dan Pasal 1319 KUHPerdata, menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat, hal ini berarti perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tidak dikenal didalam KUHPerdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam Buku tiga KUHPerdata, menurut Pasal 1381 KUHPerdata yang mengatur cara hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank, umumnya perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:65

1. Karena pembayaran

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran hutang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lain yang wajib dibayar lunas oleh debitur.

2. Novasi

Pembaharuan utang atau novasi disini adalah dibuatnya suatu perjanjian kredit yang baru untuk atau sebagai penggantian perjanjian kredit yang lama.

65 Syamsu Iskandar, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: In Media, 2013),

Sehingga dengan demikian yang hapus atau berakhir adalah perjanjian kredit yang lama.

3. Konpensasi (perjumpaan utang)

Konpensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan, menurut jenis yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut.

Dasar konpensasi ini disebutkan dalam Pasal 1325 KUHPerdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan antara utang piutang, dengan mana utang-utang antara dua orang tersebut dihapuskan. Kondisi demikian ini dijalankan oleh bank dengan cara mengkonpensasikan barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

Prosedur pemberian kredit modal kerja merupakan tahapan-tahapan yang dilalui untuk memberikan kredit modal kerja. Prosedur pemberian kredit dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara umum sama, antara satu bank dengan bank lainnya memiliki prosedur yang tidak jauh berbeda. Dengan kata lain prosedur pemberian kredit antara satu bank dengan bank lain tidak terlalu kontras perbedaannya. Hal yang menjadi perbedaan mungkin terletak pada bagaimana tujuan bank tersebut serta persyaratan yang ditetapkan dengan petimbangan- pertimbangan masing-masing. Tujuan utama dari prosedur ini untuk mempermudah bank menilai kelayakan suatu permohonan kredit, sehingga dapat

dapat mencegah terjadinya kredit bermasalah. Prosedur pemberian kredit secara umum dapat dibedakan antara pinjaman oleh suatu badan hukum, kemudian dapat pula ditinjau dari segi tujuannyaapakah untuk konsumtif atau produktif.

Secara umum prosedur pemberian kredit oleh bank adalah sebagai berikut:66

1. Pengajuan berkas-berkas

Dalam hal ini pemohon kredit mengajukan permohonan kredit yang dituangkan dalam suatu proposal. Kemudian dilampiri dengan berkas-berkas lainnya yang dibutuhkan.

2. Penyelidikan berkas pinjaman

Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas yang diajukan sudah lengkap sesuai persyaratan dan sudah benar. Jika menurut pihak perbankan belum lengkap atau cukup maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya dan apabila sampai batas waktu tertentu nasabah tidak sanggup melengkapi kekurangan tersebut, maka sebaiknya permohonan kredit dibatalkan saja.

3. Wawancara pertama

Bank setelah menerima permohonan berikut persyaratan dan kelengkapan data pemohon, selanjutnya melakukan penelitian atau verifikasi terhadap pemenuhan syarat dan kebenaran datanya, salah satunya melalui wawancara langsung dengan calon debitur.

4. Survey ke lapangan

66 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT.Citra Aditya,

Kegiatan pemeriksaan ke lapangan dengan meninjau berbagai objek yang akan dijadikan usaha atau jaminan. Kemudian hasil survey dicocokkan dengan hasil wawancara pertama.

5. Wawancara kedua

Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika mungkin ada kekurangan- kekurangan pada saat telah dilakukan survey ke lapangan. Catatan yang ada pada permohonan pada saat wawancara pertama dicocokkan dengan pada saat survey apakah ada kesesuaian dan mengandung suatu kebenaran.

6. Analisa kredit

Setelah verifikasi data dengan melakukan wawancara dan survey ke lapangan, petugas bank menganalisa permohonan kredit calon debitur dengan menggunakan prinsip analisis.

7. Keputusan kredit

Setelah dianalisa maka akan ditentukan apakah kredit akan di berikan atau di tolak, jika kredit disetujui, bank akan menertibkan Surat Keputusan Kredit (SKK). Begitu pula apabila permohonan kredit ditolak, diberitahukan secara tertulis dengan alasan-alasan sebaik-baiknya.

8. Penandatanganan perjanjian kredit

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari keputusannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan maka terlebih dahulu calon debitur menandatangani akad kredit dan mengikat jaminan.

Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan.

10.Penyaluran atau penarikan dana

Penyaluran atau penarikan dana adalah pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai reaalisasi dari pemberian kredit dan dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit yaitu sekaligus atau secara bertahap.

BAB IV

PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA DI BANK MANDIRI

A.Tujuan Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial

Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di dunia bisnis, setiap orang tentu menghendaki segala sesuatu berjalan dengan baik tanpa masalah apa pun terlebih berupa sengketa. Akan tetapi, pada kenyataannya hidup ini tidak pernah luput dari masalah. Tidak heran jika dalam berbisnis tidak hanya masalah yang muncul, melainkan sengketa juga. Beberapa di antara masalah atau sengketa itu hadir tanpa dikehendaki atau tidak dapat dicegah oleh seseorang sebab bermula dari pihak lain. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan dirinya akan senantiasa luput dari sengketa. Sehubungan dengan kenyataan itu, setiap orang tampaknya perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah atau sengketa sehingga tetap dapat menjaga kepentingannya.

Bahkan pada saat-saat tertentu, seseorang perlu mempunyai kemampuan untuk melihat masalah atau sengketa sebagai sebuah peluang bisnis yang mesti dimanfaatkan, bukan sekadar masalah yang harus dihindari. Sebagai sebuah peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan, sudah selayaknya para pelaku bisnis mengenal seluk beluk penyelesaian sengketa bisnis.

Ibarat pisau yang dapat bermanfaat jika digunakan secara benar dan merugikan orang lain serta diri sendiri jika digunakan secara salah demikian pulalah penyelesaian sengketa. Dengan mengetahui beberapa segi penting

penyelesaian sengketa, para pelaku bisnis diharapkan akan memiliki dasar pertimbangan untuk menggunakan penyelesaian sengketa secara tepat. Kapan harus menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa dan kapan harus menghindarinya. Kalaupun sudah yakin perlu memanfaatkan penyelesaian sengketa, masih harus memilih cara penyelesaian sengketa yang paling tepat di antara cara-cara yang ada.

Tujuan disusunnya suatu bentuk kontrak komersial bukan untuk mempertajam perbedaan dan memaksakan kehendak, tetapi untuk menciptakan kerjasama didasarkan kesepakatan dengan mematuhi kaidah-kaidah etika bisnis dan kaidah-kaidah hukum kontrak yang berlaku. Tujuan dari Asas Proporsionalitas adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbangdalam menentukan hak dan kewajibannya. Oleh karenanya dalam rangka menyeimbangkan posisi para pihak, intervensi dari otoritas Negara (pemerintah) sangat kuat.67Tujuan penerapan kontrak secara umum ialah;68

1. Memberi Perlindungan. 2. Mencegah ketidakadilan. 3. Mencegah kerugian. 4. Sebagai alat bukti. 5. Mencegah penipuan

6. Menetapkan hak dan kewajiban.

7. Memuat rincian bisnis, supaya dapat mengatasi hambatan.

68https://alfanaikkelas.wordpress.com/2011/01/07/azas-proporsionalitas/ (diakses pada

8. Memudahkan penyelesaian sengketa. 9. Mengalokasikan risiko.

10.Mempermudah rencana transaksi bisnis. 11.Memberi kepastian hokum.

12.Sebagai aturan main.

Tujuan lain dari kontrak komersial adalah untuk mewujudkan hubungan kerjasama bisnis untuk memperoleh keuntungan bersama sebesar-besarnya (optimum profit) didasarkan pada prinsip-prinsip bisnis yang sehat. Kegunaan kontrak komersial, mengakomodasi kehendak para pihak dan mengesahkan kesepakatan sesuai asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak.

Kontrak komersial mempunyai banyak rambu-rambu yang harus diperhatikan, dan dapat bermanfaat dalam pencapaian tujuan dibuatnya kontrak tersebut. Risiko dalam kontrak dapat bersumber dari dua hal yang sering menjadi pemicu timbulnya sengketa, yaitu kekurang cermatan dalam berkontrak dan tidak adanya itikad baik dari salah satu pihak. Oleh sebab, itu dalam penyusunan kontrak perlu dicermati prinsip-prinsip yang terkait dengan penyusunan kontrak antara lain prinsip hukum kontrak nasional dan prinsip etika bisnis agar kontrak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Penyusunan kontrak harus didasarkan pada prinsip-prinsip pokok perjanjian sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menjadi prinsip hukum kontrak nasional.69

Dalam tahap pra kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk

(diakses pada tanggal 20 November 2015).

melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan itikad buruk ;70

1. Dalam pembentukan kontrak, asas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan atau mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair.

2. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya distribusi petukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati atau dibebankan pada para pihak.

3. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil.

4. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas menentukan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.

Penerapan asas proporsinalitas dalam pembentukan kontrak komersial dapat mencegah atau memperkecil kemungkinan dari terjadinya sengketa yang terjadi dikemudian hari baik dari salah satu pihak yang dapat menghambat kelancaran dari apa yang telah diperjanjikan atau isi dari kontrak tersebut.

B. Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Pembentukan Kontrak Komersial.

Kontrak pada dasarnya merupakan bagian penting dari suatu proses bisnis yang syarat dengan pertukaran kepentingan di antara para pelakunya. Merancang suatu kontrak pada hakikatnya menuangkan proses bisnis ke dalam format hukum. Mengandaikan hubungan yang sinergiskorelatif antara aspek bisnis dengan hukum (kontrak), ibarat lokomotif dan gerbongnya sebagai personifikasi aspek bisnis sedang bantalan rel di mana lokomotif dan gerbong itu berjalan menuju tujuannya sebagai personifikasi aspek hukumnya (kontrak). Oleh karena itu, keberhasilan bisnis antara lain juga akan ditentukan oleh struktur atau bangunan kontrak yang dirancang dan disusun oleh para pihak. Namun patut disayangkan para pelaku bisnis merumuskan proses bisnisnya dalam format kontrak yang asal-asalan, sehingga tidak memerhatikan proses, prosedur serta norma perancangan kontrak yang benar.

Aktivitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihankiranya, apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memerhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktivitas bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang dibangun bersama.Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak, apabila pertama-tama dan terutama kontrak tersebut dibuat secara sah karena hal ini

menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya. Menyikapi tuntutan dinamika tersebut di atas, pembuat undang-undang telah menyiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolak ukur bagi para pihak untuk menguji standar keabsahan kontrak yang mereka buat. Perangkat aturan hukum tersebut sebagaimana yang diatur dalam sistematika Buku III KUHPerdata yaitu :

1. Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 2. Syarat sahnya kontrak yang diatur di luar Pasal 1320 KUHPerdata.

Pasal 1320 KUHPerdata merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan kontrak yang dibuat para pihak. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.

Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 UHPerdata tersebut di atas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan dengan diri orang atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objektif tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif. Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat.

1. Kesepakatan

Pasal 1320 KUHPerdataangka 1 mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu cocok atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.Kontrak yang lahir dari kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan penerimaan), pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namun demikian, tidak menutup kemunginan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak. Kontrak yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh adanya unsur cacat kehendak tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan . Dalam BW terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu :

a. Kesesatan (vide Pasal 1322 KUHPerdata)

Terdapat kesesatan apabila terkait dengan ‘hakikat benda atau orang’ dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan. Dengan demikian, mengenai kesesatan terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan akan datang, karena kesalahan sendiri atau karena perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi risiko sendiri, tidak bisa dijadikan alasan pembatalan kontrak.

b. Paksaan (vide Pasal 1323 – 1327 KUHPerdata)

Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak (memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat melanggar hukum. Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu :

1. Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum (pembunuhan, penganiayaan).

2. Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar huum, tetapi ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.

c. Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 KUHPerdata)

Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan.

2. Kecakapan

Kecakapan yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat dua adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini :71

a. Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaandan b. Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan.

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur. Namun demikian, masih terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya mewarnai praktik lalu lintas hukum di masyarakat. Pada satu sisi sebagian titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330 KUHPerata jo.330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 jo.50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.72

Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum standar kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tidak menghadapi polemik seperti pada person, karena cukup dilihat pada kewenangannya . Artinya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya. Dengan demikian, untuk mengetahui syarat kecakapan pada badan hukum harus diukur dari aspek kewenangannya.73

3. Suatu hal tertentu

Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat 3, adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat

72Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,hlm. 184. 73Ibid., hlm.191.

ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum). Lebih lanjut mengenai hal atau objek tertentu ini dapat dirujuk dari substansi Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata, sebagai berikut :

a. Pasal 1332 KUHPerdata menegaskan;

Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.

b. Pasal 1333 KUHPerdata menegaskan;

Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal

Dokumen terkait