• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian dan dasar hukum perjanjian kredit

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau persetujuan yang dibuat oleh dua pihak

32

atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil.

Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada

dan berakhirnya perjanjiann jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil adalah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur.

Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan

menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu,

memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan

baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut perjanjian baku (standard

contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar.

Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi jika debitur menolak, maka ia tidak perlu menandatangani perjanjian kredit tersebut.

Perjanjian kredit perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, dan

penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok.

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak

dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.33

Tentang bagaimana hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit dapat dilihat dari 2 (dua) segi pandang sebagai berikut :

1. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis.

2. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.

Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian bernama dalam KUH Perdata yang disebut dengan perjanjian kredit. Karena itu, yang berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian, tentunya ditambah dengan klausul-klausul yang telah disepakati bersama dalam kontrak yang

bersangkutan. 34

2. Objek Yang Dapat Dijadikan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit

Jaminan pemberian utang oleh kreditur terhadap debitur telah diatur dengan Undang-Undang. Dalam hukum jaminan terdapat 2 (dua) asas umum mengenai jaminan , antara lain :

33

Hermansyah “Hukum Perbankan Nasional Indonesia” , Kencana Prenada Media Group, Jakarta : 2005, halaman 71.

34

 Dalam pasal 1131 KUH Perdata, yang menentukan bahwa segala harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan atau agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitur dengan para krediturnya.

 Dalam pasal 1132 KUH Perdata, menyebutkan bahwa apabila debitur

wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitur tanpa

kecuali, merupakan sumber bagi pelunasan utangnya.35

Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan pada pasal 1131 KUH Perdata, maka terhadap pemegang jaminan hutang yang khusus (yang bersifat

kebendaan), oleh hukum diberikan hak preferens. artinya, krediturnya diberikan

kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) pembayaran hutangnya yang diambil dari hasil penjualan benda jaminan hutang, sedangkan jika ada sisa dari penjualan benda jaminan hutang, baru dibagi-bagikan kepada kreditur yang lainnya. Dalam

jaminan umum berdasarkan atas pasal 1131 KUH Perdata, kedudukan preferens

dari kreditur tersebut tidak ada. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pihak kreditur cenderung untuk meminta jaminan hutang yang khusus dari pihak debitur agar pembayaran hutangnya menjadi aman. Jaminan khusus (yang bersifat kebendaan) tersebut misalnya berupa hipotik, fidusia, hak tanggungan, atau gadai.

Hak jaminan terdiri dari hak jaminan konvensional dan hak jaminan yang nonkonvensional . Hak jaminan konvensional terdiri dari :

35

H.U. Adil Samadani , “Dasar-dasar Hukum Bisnis”, Mitra Wacana Media, Jakarta : 2013, halaman 113.

1. Hipotik

2. Hak tanggungan

3. Gadai benda bergerak

4. Gadai tanah

5. Fidusia

6. Bank garansi

7. Persona garansi

8. Corporate garansi

Sedangkan yang merupakan jaminan yang nonkonvensional, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Cessie untuk menjamin hutang ( Assigmnent of receivable for security

purpose).

2. Pengalihan hak tagih asuransi (Assignment of Insurance Proceeds).

3. Kuasa menjual yang tidak dapat dicabut kembali.

4. Jaminan menutupi kekurangan biaya (cost defeciency).

5. Indemnity

6. Bid/Tender Bonds.

7. Penyisihan dana dalam escrow account.36

3. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat

36

keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai berikut :

Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH PerdataDisebut dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus

dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.

1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)

Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur-unsur sebagai berikut.

a) Paksaan (dwang, duress) b) Penipuan (bedrog, fraud) c) Kesilapan (dwaling, mistake)

Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

2. Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)

Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu : a) Orang-orang yang belum dewasa

b) Mereka yang berada dibawah pengampuan

c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang-Undang-Undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata

Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.

2. Obyek / Perihal tertentu

Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam pasal 1332 ddan1333 KUH Perdata. Pasal 1332

KUH Perdata menentukan bahwa“Hanya barang-barang yang dapat

diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”

Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”.

3. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal

Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:

1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata a) Objek / Perihal tertentu

b) Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan

2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata a) Adanya kesepakatan dan kehendak

b) Wenang berbuat

3. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata

a) Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik

b) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku c) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan

d) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum 4. Syarat sah yang khusus

a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu b) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu

c) Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu

d) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak tertentu37

4. Berakhirnya Sebuah Perjanjian Kredit

Mengenai hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPER, yaitu mengenai hapusnya perikatan. Namun pada prakteknya hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih banyak disebabkan :

1. Pembayaran, merupakan kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah diadakan;

37

sebagaimana yang termuat pada http://rechthan.blogspot.co.id/2015/10/4-syarat-sahnya-perjanjiankontrak.html

2. Subrogasi, diatur dalam Pasal 1400 KUHPER dimana disebutkan bahwa Subrogasi adalah penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang (kreditur).

3. Pembaruan utang (novasi) yaitu dibuatnya perjanjian kredit yang baru untuk atau sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan demikian yang hapus atau berakhir adalah perjanjian kredit yang lama. Dalam Pasal 1413 KUHPerdata disebutkan ada 3 (tiga) cara untuk terjadinya novasi yaitu :

a. Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti kreditur lama dengan kreditur baru;

b. Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti debitur lama dengan debitur baru;

c. Membuat perjanjian baru yang bertujuan untuk memperbaharui atau

merubah objek atau isi perjanjian. Pembaharuan objek perjanjian ini terjadi jika kewajiban tertentu dari debitur diganti dengan kewajiban lain.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi, menurut Pasal 1425 KUHPER adalahsuatu keadaan di mana pihak kreditur dan debitur memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang sehingga perjanjian kredit tersebut menjadi

hapus.38

38

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131182-T%2027321-D. Ketentuan mengenai Perjanjian Kredit Menurut Undang-Undang

Dokumen terkait