BAB II
PERJANJIAN KREDIT
A. Ketentuan Umum Mengenai Perjanjian dalam KUH Perdata
1. Dasar hukum dan Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Sehubungan dengan uraian tersebut, pasal 1233 KUHPerdata mengatur bahwa
tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan atau perjanjian ataupun
karena Undang-Undang. Itulah sebabnya ada perikatan yang lahir dari persetujuan
atau perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang. Begitu juga
akibatnya, lahirnya seseorang atau pihak sebagai kreditur (si berpiutang), dan/
atau sebagai debitur (si berutang), bisa karena mereka melakukan atau
mengadakan perjanjian untuk melakukan hak atau kewajiban itu, dan bisa juga
hak dan kewajiban itu dilahirkan atas dasar ketentuan Undang-Undang dari
perbuatan atau peristiwa yang mereka lakukan.16
Mengenai Bentuk suatu perjanjian tidak ada ketentuan yang mengikat
karena itu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal dibuat
secara tertulis, perjanjian mempunyai makna sebagai alat bukti bila pihak-pihak
dalam perjanjian itu mengalami perselisihan. Untuk perjanjian tertentu,
undang-undang menentukan bentuk tersendiri sehingga bila bentuk itu diingkari maka
perjanjian tersebut tidak sah.Dengan demikian bentuk tertulis suatu perjanjian
16Ketut Oka Setiawan “hukum perikatan” ,
tidak saja sebagai alat pembuktian, tetapi juga untuk memenuhi syarat adanya
peristiwa perjanjian itu.17
2. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena menyangkut
orang-orang yang mengadakan perjajian, sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif, karena menyangkut objek dari peristiwa yang dijanjikan
itu. 18
1. Kesepakatan
Kesepakatan diperlukan dalam mengadakan perjanjian, ini berarti bahwa
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak, artinya
masing-masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat
dalam mewujudkan kehendak.
Menurut Subekti, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian mempunyai
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.
Mengenai pernyataan ini dapat dilakukan secara tegas dan secara diam-diam.
Menurut Badrulzaman, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan
17Ibid
halaman 43
18Mariam Darus Badrulzaman, “Hukum Perikatan dalam KUH Perdata buku ketiga”,
kehendak yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pihak yang menawarkan
dinamakan tawaran (offerte), sedangkan pihak yang menerima tawaran dinamakan
akseptasi (acceptatie).
Mengingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela), maka
KUH Perdata menyebutkan ada 3 (tiga) sebab kesepakatan tidak diberikan secara
sukarela yaitu karena adanya paksaan, kekhilafan (dwaling), dan penipuan
(bedrog). Hal ini diatur dalam pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan :
“ Tiada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena kekhilafan atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Penipuan (bedrog), dinyatakan dalam pasal 1328 KUH Perdata :
“Merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, apabila tipu
muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga
terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika
tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi
harus dibuktikan.”
2. Kecakapan
Orang-orang atau pihak-pihak dalam membuat suatu perjanjian haruslah
cakap menurut hukum, hal ini ditegaskan dalam pasal 1329 KUH Perdata berikut.
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh
undang-undang dikatakan tak cakap.”Undang-Undang yang dimaksud menyatakan tidak
cakap itu adalah pasal 1330 KUH Perdata, yakni orang-orang yang belum dewasa,
hal-hal telah ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Mengenai orang-orang yang belum dewasa, kriterianya ditentukan oleh
pasal 330 KUH Perdata, yaitu “ belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin”.
Apabila orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di
bawah pengampuan melakukan perbuatan hukum (termasuk membuat perjanjian),
menurut hukum mereka haruslah diwakili oleh orang tua atau walinya. Untuk
mereka yang disebutkan dalam pasal 433 KUH Perdata maka yang mewakili
adalah pengampunya atau kuratornya. Status mereka tidak cakap maka haruslah
dimintakan kepada pengadilan atau dengan perkataan lain, tidaklah dengan
sendirinya keadaan yang disebutkan itu terpenuhi mereka menjadi kehilangan
kecakapan, kecuali dimintakan ke pengadilan sebelumnya permintaan mana
dikabulkan .
Ketidak cakapan bisa juga terjadi karena undang-undang menetapkan
larangan membuat perjanjian tertentu, seperti disebutkan dalam pasal 1467 KUH
Perdata, yang menyatakan larangan jual beli dengan suami istri , pasal 1601 i
KUH Perdata menetapkan larangan membuat perjanjian perburuhan antara suami
istri, dan Pasal 1678 KUH Perdata mengenai larangan penghibahan antara suami
istri. Mengenai ketidakcakapan subjek hukum dalam melakukan perjanjian seperti
yang telah diuraikan sebelumnya dapat dibedakan menjadi :
a. Ketidakcakapan untuk bertindak (handeling onbekwaamheid), yaitu
orang-orang yang sama sekali tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum yang
b. Ketidakberwenangan untuk bertindak (handeling onbevoegheid), yaitu orang
yang tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum tertentu dengan sah.
Orang-orang ini seperti yang disebutkan dalam pasal 1467, 1601i, dan 1678 KUH
Perdata.19
3. Hal Tertentu
Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhu “hal tertentu”,
maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki objek (bepaaldonderwerp)
tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Objek perjanjian itu diatur
dalam pasal 1333 KUH Perdata menyatakan :
“ Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang
tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
4. Sebab (Causa) yang halal
Yurisprudensi menafsirkan causa sebagai isi atau maksud dari perjanjian.
Causa menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Karena hakim dapat
menguji, apakah tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan
(pasal 1335-1337 KUH Perdata).20
3.Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu :
19
Ketut Oka Setiawan, Op. Cit., hlm 61
20
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya
Perjanjian jual beli pasal 1457 KUH Perdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal
1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua
belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan
berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan
hak menerima barangnya.
b. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini
kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan, yaitu memberikan barang
yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun.
Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa
berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum yang
mengakibatkan terjadinya keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah
d. Perjanjian Konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjiann yang dianggap sah apabila telah
terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah
perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan.
Misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian
pinjam menggantin pasal 1754 KUHPerdata.
Perjanjian Formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk
tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris PPAT.
Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat
dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris
e. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan
ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab
XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam
undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor,
serta perjanjian kredit.21
Adapun jenis-jenis perjanjian menurut sumber Hukumnya terdiri atas
beberapabagian yaitu :
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
21
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan
peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
c. Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst;
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijke overeenkomst.22
Perjanjian menurut bentuknya
Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk
kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam
KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang
dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (pasal
1320 KUHPerdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.
Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Kontrak
tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan.
Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan
dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta
yang dibuat oleh notaris merupakan akta pejabat. Contohnya berita acara Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan
notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris.
Disamping itu dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu
22
perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan
dalam bentuk formulir .23
4. Akibat Hukum Perjanjian bagi Para Pihak
Akibat hukum perjanjian yang sah, yakni yang memenuhi syarat-syarat
pada pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi para
pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.24
Perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak
pembuatnya, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan
menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia
dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat
hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian yang
ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam
undang-undangPerjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak.
Perjanjiantersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau
dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu
harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun
demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai
unsursubjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam
23
Ibid halaman 29 24
hukum benda unsur subjektif berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si
pembuatnya. Namun dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, bukanlah dalam arti
unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud
dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan
perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu,
undang-undangpun tidak memberikan perumusannya, karena itu tidak ada
ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti katanya,
kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan
kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan
kiranyakepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai,
cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh
masing-masing pihak yang berjanji. Itikad baik dapat diartikan juga bahwa dalam
melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur
dalam situasi tertentu.
Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur,
mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan kontrak dengan itikad tidak baik.
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik perlu diperhatikan
jugakebiasaan.“ Hal ini ditentukan juga dalam pasal 1339 KUH Perdata
“Perjanjian-perjanjian itu tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.“Dengan
demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan undang-undang dan adat
juga ditunjuk sebagai sumber hukum disamping undang-undang, sehingga
kebiasaan itu turut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam
perjanjian.25
B. Kredit Pada Umumnya
1. Pengertian dan Dasar Hukum Kredit
Yang dimaksud dengan perkreditan adalah suatu penyediaan atau yang
dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam meminjam antara
pihak kreditur (bank, perusahaan, atau perorangan) dengan pihak debitur
(peminjam), yang mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dalam
jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur
(pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.
Dengan demikian yang menjadi elemen-elemen yuridis dari suatu kredit
adalah sebagai berikut :
a. Adanya kesepakatan antara debitur dengan kreditur, yang disebut dengan
perjanjian kredit
b. Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
c. Adanya kesanggupan atau janji untuk membayar hutang
d. Adanya pinjaman berupa pemberian sejumlah uang
e. Adanya perbedaan waktu antara pemberi kredit dengan pembayaran kredit.
Di samping itu, yang dimaksud dengan pembiayaan adalah suatu
penyediaan uang atau yang dipersamakan dengannya, yang didasari atas
25
perjanjian pembiayaan atau perjanjian lain antara pihak pemberi biaya (bank,
perusahaan, atau perorangan) dengan pihak debitur (penerima pembiayaan), yang
mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutang yang terbit dari pembiayaan
tersebut dalam jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada
pihak kreditur (pemberi pembiayaan) diberikan hak untuk mendapatkan bunga,
imbalan, pembagian hasil keuntungan, atau sewa selama masa pembiayaan
tersebut berlangsung.
Adapun yang menjadi unsur-unsur yuridis dari suatu pembiayaan tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Adanya kesepakatan antara pemberi biaya (kreditur) dengan penerima biaya
(debitur), yang disebut dengan perjanjian pembiayaan.
b. Adanya para pihak, setidak-tidaknya pihak pemberi dan penerima biaya.
c. Adanya kesanggupan atau janji untuk membayar hutang.
d. Ada pemberian pembiayaan berupa pemberian sejumlah uang.
e. Adanya perbedaan waktu antara pemberian pembiayaan dengan pembayaran
(fakultatif).
Yang menjadi dasar hukum dari suatu kredit adalah sebagai berikut :
a. Kontrak kredit
b. Undang-undang, terutama undang-undang Perbankan dan undang-undang
tentang Jaminan Hutang (termasuk undang-undang hak tanggungan)
c. Peraturan perundang-undangan lainnya
d. Yurisprudensi tentang perkreditan
Sedangkan yang menjadi dasar hukum bagi pembiayaan adalah sebagai
berikut :
1. Kontrak pembiayaan
2. Undang-undang, terutama Undang-Undang tentang Jaminan Hutang (termasuk
Undang-Undang Hak Tanggungan)
3. Peraturan perundang-undangan lainnya
4. Yurisprudensi tentang pembiayaan
5. Kebiasaan, terutama kebiasaan perbankan dan pembiayaan
Perkreditan maupun pembiayaan memiliki prinsip-prinsip tertentu. Adapun
yang merupakan prinsip-prinsip perkreditan dan pembiayaan adalah sebagai
berikut :
a. Prinsip Kepercayaan
b. Prinsip Kehati-hatian
c. Prinsip Sinkronisasi
d. Prinsip Kesamaan Valuta
e. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dengan Modal
f. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dengan Aset
g. Prinsip 5 C
h. Prinsip 5 P
i. Prinsip 3 R
Berikut penjelasan dari masing-masing prinsip perkreditan dan pembiayaan
a. Prinsip Kepercayaan
Karena kredit berarti kepercayaan, maka hal pemberian kredit (maupun
pembiayaan) haruslah ada kepercayaan dari kreditur bahwa dana tersebut akan
bermanfaat bagi debitur dan kepercayaan dari kreditur bahwa debitur dapat
mengembalikan dana tersebut.
b. Prinsip kehati-hatian
Agar kredit atau pembiayaan tidak menjadi macet , maka dalam memberikan
kredit dan pembiayaan, haruslah cukup kehati-hatian dari pihak kreditur dengan
menganalisis dan mempertimbangkan semua faktor yang relevan. Untuk itu perlu
dilakukan pengawasan terhadap suatu pemberian kredit.
c. Prinsip Sinkronisasi
Prinsip sinkronisasi (matching) merupakan prinsip yang mengharuskan adanya
sinkronisasi antara pinjaman/pembiayaan dengan assets/income dari debitur.
Misalnya, jangan diberikan kredit/pembiayaan jangka pendek untuk keperluan
investasi jangka panjang.
d. Prinsip Kesamaan Valuta
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sedapat-dapatnya adanya kesamaan
antara jenis valuta untuk kredit/pembiayaan dengan penggunaan dana tersebut ,
sehingga risiko fluktuasi mata uang dapat dihindari.
e. Prinsip Perbandingan antara pinjaman dengan modal
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah antara pinjaman dengan modal haruslah
dalam suatu rasio yang wajar.
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah antara pinjaman dengan assets haruslah
dalam suatu rasio yang wajar.
g. Prinsip 5 C
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah haruslah diperhatikan faktor-faktor dari
debitur sebagai berikut :
a. Character (kepribadian)
b. Capacity (kemampuan)
c. Capital (modal)
d. Condition of economy (kondisi ekonomi)
e. Collateral (agunan)
h. Prinsip 5 P
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah memperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut :
a. Party : Para pihak haruslah dapat dipercaya.
b. Purpose : Tujuan penggunaan dana haruslah positif dan
ekonomis.
c. Payment : Kemampuan membayar dari debitur haruslah baik.
d. Profitability : Perolehan laba dari debitur haruslah baik.
e. Protection : Adanya perlindungan yang baik bagi
i. Prinsip 3 R
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah memperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut :
a. Returns : Hasil yang diperoleh debitur haruslah baik.
b. Repayment : Kemampuan membayar dari debitur
haruslah baik.
c. Risk Bearing Ability : Kemampuan menahan risiko dari debitur
haruslahbaik.26
2. Jenis-Jenis Kredit
Kredit yang diberikan bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat untuk
masyarakat terdiri dari berbagai jenis. secara umum jenis-jenis kredit dapat dilihat
dari berbagai segi antara lain :
a. Dilihat dari segi kegunaan
Jika ditinjau dari segi kegunaannya kredit dapat dibedakan menjadi :
- Kredit Investasi
Kredit investasi biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau
membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi. Contoh kredit
investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin yang
pemakaiannya untuk satu periode yang relatif lama.
26
- Kredit Modal Kerja
Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya.
Sebagai contoh kredit modal kerja yang diberikan untukmembeli bahan baku,
membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses
produksi perusahaan.
b. Dilihat dari segi Tujuan Kredit
Ditinjau dari segi tujuannya kredit dapat dibedakan atas tiga (3) bagian yaitu :
- Kredit Produktif
Kredit produktif adalah kredit yang digunakan untuk meningkatkan usaha
atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau
jasa. Sebagai contoh kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan
menghasilkan barang, kredit, pertanian akan menghasilkan produk pertanian atau
kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri lainnya.
- Kredit Konsumtif
Kredit konsumtif adalah kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara
pribadi. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan,
karena digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh
kredit perumahan, kredit mobil pribadi, kredit peralatan rumah tangga dan kredit
konsumtif lainnya.
- Kredit Perdagangan
Kredit perdagangan merupakan kredit yang digunakan untuk perdagangan,
biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari
suplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah
besar. Contoh kredit ini adalah kredit ekspor impor.
c. Dilihat dari segi jangka waktu
Apabila dilihat dari segi jangka waktu berlangsungnya kredit, maka kredit
dibagi menjadi tiga (3) bagian yaitu :
- Kredit jangka pendek
Kredit jangka pendek merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari
1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk modal kerja.
- Kredit jangka menengah
Kredit jangka menengah adalah kredit dengan jangka waktu kreditnya berkisar
antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun, biasanya untuk investasi.
- Kredit jangka panjang
Kredit jangka panjang adalah kredit yang masa pengembaliannya paling panjang.
Kredit jangka panjang, waktu pengembaliannya di atas 3 tahun atau 5 tahun.
Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet,
kelapa sawit, atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit
perumahan.
d. Dilihat dari segi jaminan
Dilihat dari segi jaminannya, kredit terdiri atas :
- Kredit dengan jaminan
Kredit dengan jaminan adalah kredit yang diberikan dengan suatu
atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai
jaminan yang diberikan calon debitur.
- Kredit tanpa jaminan Kredit tanpa jaminan merupakan kredit yang
diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan
dengan melihat prospek usaha dan karakter serta loyalitas atau nama baik calon
debitur selama ini.27
3. Korelasi Perjanjian dengan Pelaksanaan Kredit
Menurut Prof. Subekti, semua pemberian kredit pada hakekatnya
merupakan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 s/d
1769 KUH Perdata. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
terakhir ini mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama
pula (Pasal 1754 KUH Perdata). Dalam hal ini, Prof. Subekti melihat kredit
sebagai suatu hal yang umum. Sementara, perjanjian kredit yang diberikan oleh
bank memiliki karakteristik yang khusus, terutama berkaitan dengan konsep
utang. Pada perjanjian kredit dalam bentuk Rekening Koran, utang yang timbul
sebagai akibat perjanjian tersebut bukanlah nilai pagu kredit yang diberikan oleh
bank, melainkan jumlah yang benar-benar dipakai oleh debitur. Menurut
27
yurisprudensi Mahkamah Agung, dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi
karenanya hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian.28
Sumardi Mangunkusumo melihat bahwa obyek hukum dalam perjanjian
kredit adalah uang yang digolongkan sebagai benda yang dapat digunakan sampai
habis. Jadi, perjanjian kredit termasuk perjanjian peminjaman benda yang dapat
habis/diganti (verbruikleen). Perjanjian peminjaman merupakan perjanjian yang
riil (nyata) yang berarti bahwa perikatan baru dianggap terjadi apabila obyek
hukumnya (uang) dengan nyata telah diserahkan. Sementara, perjanjian
pemberian kredit merupakan perjanjian konsensual (consensuele overeenkomst)
yang berarti perikatannya sudah terjadi walaupun uang belum diserahkan. Dalam
hal ini, perjanjian pemberian kredit atau membuka kredit hanya merupakan
kesanggupan saja dan dapat digolongkan sebagai perjanjian bersyarat dengan
syarat tangguh atau penundaan (opschortende voorwaarde) sampai nantinya
debitur mengambil atau menerima uangnya.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, kredit diberi pengertian
sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian ini,
Undang-Undang jelas menegaskan bahwa pemberian kredit merupakan suatu
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam. Menurut Sjahdeini, pembentuk
Undang-Undang dalam hal ini melihat perjanjian kredit sebagai perjanjian
28
kontraktual antara bank dan nasabah debiturnya yang berbentuk
pinjam-meminjam.29
Dengan demikian, terhadap hubungan hukum para pihak dalam perjanjian
kredit, berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan dan khususnya Bab
XIII KUH Perdata mengenai pinjam-meminjam seperti yang telah diuraikan
sebelumnya.Walaupun umumnya perjanjian kredit dianggap sebagai perjanjian
bernama dan dikuasai oleh ketentuan-ketentuan khusus dalam Bab XIII Buku III
KUH Perdata, namun beberapa sarjana juga menganggap perjanjian kredit sebagai
perjanjian tidak bernama karena memiliki karakteristik yang tidak sama dengan
yang diatur oleh ketentuan-ketentuan Bab XIII tersebut. Dalam hal ini, perjanjian
kredit digolongkan sebagai perjanjian riil. Dikatakan riil karena perjanjian kredit
diikuti baru terjadi setelah dilakukan penyerahan uang, sedangkan dalam
prakteknya penyerahan uang belum tentu dilakukan pada saat penandatanganan
perjanjian kredit.
Dalam perjanjian kredit, kreditur tidak boleh meminta kembali apa yang
telah dipinjamkannya sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian
(Pasal 1759 KUH Perdata). Sebaliknya, debitur yang menerima pinjaman sesuatu
diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada
waktu yang ditentukan (Pasal 1763 KUH Perdata). Dalam hal ini, debitur diberi
kekuasaan untuk menghabiskan uang yang dipinjamkan sehingga berdasarkan
debitur diwajibkan untuk mengembalikannya.30
29
Sumardi Mangunkusumo, “Aspek-Aspek Hukum Perkreditan bagi Golongan Ekonomi Lemah”, dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1985) hlm. 73
30
Menurut Sjahdeini, kebebasan berkontrak yang menjadi prinsip umum
perjanjian hanya dapat tercapai apabila para pihak yang terlibat memiliki
bargaining power yang seimbang (gelijkwaardigheid van partijen). Hal ini
penting agar pelaksanaan perjanjian tersebut dapat memberikan hasil yang sesuai,
patut dan adil. Ketidakseimbangan kedudukan antara para pihak terjadi apabila
pihak yang lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah
sehingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan
kepadanya. Dalam perjanjian kredit, ketidakseimbangan kedudukan ini dapat
terlihat dari bentuk perjanjian kredit itu sendiri yang telah dipersiapkan
sedemikian rupa sehingga nasabah debitur hanya perlu membaca dan
menandatangani perjanjian tersebut. Lantaran perjanjian kredit bank umumnya
berupa perjanjian baku, pihak bank cenderung hanya memperhatikan
kepentingan-kepentingan bank saja dalam menentukan hak dan kewajiban pada pihak. Dalam
hal ini, bank kurang memperhatikan kepentingan nasabah debiturnya.31
Sjahdeini melihat pengertian perjanjian baku secara lebih luas. Perjanjian
baku merupakan perjanjian yang hampir semua syarat-syaratnya telah dibakukan
sehingga pihak lain tidak dapat lagi merundingkan atau meminta perubahan atas
klausula-klausula tersebut. Istilah bakunya bukan merujuk formulir perjanjiannya,
melainkan pada klausula-klausulanya. Berdasarkan pengertian tersebut, walaupun
perjanjian kredit tersebut dibuat oleh notaris, namun apabila masih mengadopsi
klausula-klausula yang disodorkan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lain
tidak memiliki peluang untuk melakukan perundingan, maka perjanjian notariil
tersebut juga dapat digolongkan sebagai perjanjian baku.
Walaupun demikian, keabsahan perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan
mengingat adanya kebutuhan masyarakat terhadap kondisi tersebut guna
menjalankan usahanya. Dunia bisnis tidak dapat berjalan tanpa perjanjian baku.
Ketidakseimbangan kedudukan antara bank dan nasabah debiturnya tidak selalu
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Hal ini disebabkan oleh peranan
bank itu sendiri yang tidak saja mengemban kepentingan masyarakat, melainkan
juga selaku bagian dari sistem moneter. Pertimbangannya, bank juga harus
menjaga kepentingan atau eksistensinya dalam melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang moneter. Sebagai contoh, kebijakan bank menolak
penarikan kredit yang telah disepakati demi pertimbangan likuiditas bank yang
sedang terancam sehingga bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian
nasabah debiturnya sebagai akibat dari penolakan kredit tersebut. Dalam hal ini,
tindakan yang dilakukan bank tidak dapat dianggap sebagai bertentangan dengan
ketertiban umum dan keadilan karena bank dalam hal ini justeru sedang
mempertahankan eksistensinya.32
C. Perjanjian Kredit Pada Umumya
1. Pengertian dan dasar hukum perjanjian kredit
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling
berjanji untuk melakukan suatu hal atau persetujuan yang dibuat oleh dua pihak
32
atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil.
Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada
dan berakhirnya perjanjiann jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil
adalah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh
bank kepada nasabah debitur.
Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan
menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu,
memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank
sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan
baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut perjanjian baku (standard
contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi
menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau
tawar-menawar.
Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang
ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian
kredit tersebut, tetapi jika debitur menolak, maka ia tidak perlu menandatangani
perjanjian kredit tersebut.
Perjanjian kredit perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh bank
sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit
penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut Ch. Gatot
Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok.
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak
dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.33
Tentang bagaimana hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit
dapat dilihat dari 2 (dua) segi pandang sebagai berikut :
1. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis.
2. Perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.
Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian
bernama dalam KUH Perdata yang disebut dengan perjanjian kredit. Karena itu,
yang berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian, tentunya ditambah
dengan klausul-klausul yang telah disepakati bersama dalam kontrak yang
bersangkutan. 34
2. Objek Yang Dapat Dijadikan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit
Jaminan pemberian utang oleh kreditur terhadap debitur telah diatur
dengan Undang-Undang. Dalam hukum jaminan terdapat 2 (dua) asas umum
mengenai jaminan , antara lain :
33
Hermansyah “Hukum Perbankan Nasional Indonesia” , Kencana Prenada Media Group, Jakarta : 2005, halaman 71.
34
Dalam pasal 1131 KUH Perdata, yang menentukan bahwa segala harta
kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak maupun benda tetap, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan atau
agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitur dengan para
krediturnya.
Dalam pasal 1132 KUH Perdata, menyebutkan bahwa apabila debitur
wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitur tanpa
kecuali, merupakan sumber bagi pelunasan utangnya.35
Berbeda dengan jaminan umum yang didasarkan pada pasal 1131 KUH
Perdata, maka terhadap pemegang jaminan hutang yang khusus (yang bersifat
kebendaan), oleh hukum diberikan hak preferens. artinya, krediturnya diberikan
kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) pembayaran hutangnya yang diambil
dari hasil penjualan benda jaminan hutang, sedangkan jika ada sisa dari penjualan
benda jaminan hutang, baru dibagi-bagikan kepada kreditur yang lainnya. Dalam
jaminan umum berdasarkan atas pasal 1131 KUH Perdata, kedudukan preferens
dari kreditur tersebut tidak ada. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pihak
kreditur cenderung untuk meminta jaminan hutang yang khusus dari pihak debitur
agar pembayaran hutangnya menjadi aman. Jaminan khusus (yang bersifat
kebendaan) tersebut misalnya berupa hipotik, fidusia, hak tanggungan, atau gadai.
Hak jaminan terdiri dari hak jaminan konvensional dan hak jaminan yang
nonkonvensional . Hak jaminan konvensional terdiri dari :
35
1. Hipotik
2. Hak tanggungan
3. Gadai benda bergerak
4. Gadai tanah
5. Fidusia
6. Bank garansi
7. Persona garansi
8. Corporate garansi
Sedangkan yang merupakan jaminan yang nonkonvensional, antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Cessie untuk menjamin hutang ( Assigmnent of receivable for security
purpose).
2. Pengalihan hak tagih asuransi (Assignment of Insurance Proceeds).
3. Kuasa menjual yang tidak dapat dicabut kembali.
4. Jaminan menutupi kekurangan biaya (cost defeciency).
5. Indemnity
6. Bid/Tender Bonds.
7. Penyisihan dana dalam escrow account.36
3. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka
perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Terdapat 4 syarat
36
keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang merupakan
syarat pada umumnya, sebagai berikut :
Syarat sah yang subyekif berdasarkan pasal 1320 KUH PerdataDisebut
dengan syarat subyektif karena berkenaan dengan subyek perjanjian.
Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat subyektif ini
adalah bahwa kontrak tersebut dapat “dapat dibatalkan” atau “dimintakan
batal” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Apabila tindakan
pembatalan tersebut tidak dilakukan, maka kontrak tetap terjadi dan harus
dilaksanakan seperti suatu kontrak yang sah.
1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus, Agreement)
Dengan syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak
dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat
tentang apa yang diatur oleh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima
teori bahwa kesepakatan kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu
unsur-unsur sebagai berikut.
a) Paksaan (dwang, duress)
b) Penipuan (bedrog, fraud)
c) Kesilapan (dwaling, mistake)
Sebagaimana pada pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat
tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau
2. Kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan
kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak
tersebut. Sebagaimana pada pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang
menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian dapat kita temukan dalam pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang-Undang-Undang
ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan
masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat sah yang objektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
Disebut dengan syarat objektif karena berkenaan dengan obyek
perjanjian. Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya salah satu objektif
akibatnya adalah kontrak yang dibuat batal demi hukum. Jadi sejak kontrak
tersebut dibuat kontrak tersebut telah batal.
2. Obyek / Perihal tertentu
Dengan syarat perihal tertentu dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah
berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. Mengenai
KUH Perdata menentukan bahwa“Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Sedangkan pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa“Suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung”.
3. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud /
alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak
dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan /
ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu pasal 1335 KUH Perdata
juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat
karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Atau ada pula agar suatu kontrak dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah
memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Terdapat 4 persyaratan yuridis
agar suatu kontrak dianggap sah, sebagai berikut:
1. Syarat sah yang obyektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
a) Objek / Perihal tertentu
b) Kausa yang diperbolehkan / dihalalkan / dilegalkan
2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata
b) Wenang berbuat
3. Syarat sah yang umum di luar pasal 1320 KUH Perdata
a) Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik
b) Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c) Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d) Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
4. Syarat sah yang khusus
a) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu
b) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu
c) Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk kontrak-kontrak
tertentu
d) Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk kontrak-kontrak
tertentu37
4. Berakhirnya Sebuah Perjanjian Kredit
Mengenai hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit mengacu pada
ketentuan dalam Pasal 1381 KUHPER, yaitu mengenai hapusnya perikatan.
Namun pada prakteknya hapusnya atau berakhirnya perjanjian kredit lebih banyak
disebabkan :
1. Pembayaran, merupakan kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi
perjanjian yang telah diadakan;
37
2. Subrogasi, diatur dalam Pasal 1400 KUHPER dimana disebutkan bahwa
Subrogasi adalah penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang
pihak ketiga yang membayar kepada si berpiutang (kreditur).
3. Pembaruan utang (novasi) yaitu dibuatnya perjanjian kredit yang baru untuk
atau sebagai pengganti perjanjian kredit yang lama. Sehingga dengan
demikian yang hapus atau berakhir adalah perjanjian kredit yang lama. Dalam
Pasal 1413 KUHPerdata disebutkan ada 3 (tiga) cara untuk terjadinya novasi
yaitu :
a. Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti kreditur lama dengan
kreditur baru;
b. Membuat perjanjian baru yang bertujuan mengganti debitur lama dengan
debitur baru;
c. Membuat perjanjian baru yang bertujuan untuk memperbaharui atau
merubah objek atau isi perjanjian. Pembaharuan objek perjanjian ini terjadi
jika kewajiban tertentu dari debitur diganti dengan kewajiban lain.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi, menurut Pasal 1425 KUHPER adalahsuatu
keadaan di mana pihak kreditur dan debitur memperjumpakan atau
memperhitungkan utang piutang sehingga perjanjian kredit tersebut menjadi
hapus.38
38
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131182-T%2027321-D. Ketentuan mengenai Perjanjian Kredit Menurut Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998
Mengenai ketentuan dan persyaratan umum dalam pemberian kredit oleh
perbankan terdiri dari 9 (sembilan) persyaratan sebagai berikut:
1. Mempunyai feasibility study, yang dalam penyusunannya melibatkan
konsultan yangterkait.
2. Mempunyai dokumen administrasi dan izin-izin usaha, misalnya akta
perusahaan, NPWP, SIUP, dan TDP.
3. Maksimum jangka waktu kredit adalah 15 tahun dan masa tenggang waktu
(grace period) maksimum 4 tahun.
4. Agunan utama adalah usaha yang dibiayai. Debitur menyerahkan agunan
tambahan jika menurut penilaian bank diperlukan. Dalam hal ini akan
melibatkan pejabat penilai (appraiser) independen untuk menentukan nilai
agunan.39
5. Maksimum pembiayaan bank adalah 65% (enam puluh lima persen)dan self
financing adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
6. Penarikan atau pencairan kredit biasanya didasarkan atas dasar prestasiproyek.
Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan pengawas independen untuk
menentukan progres proyek.
7. Pencairan biasanya dipindahbukukan ke rekening giro.
8.Rencana angsuran ditetapkan atas dasar cash flow yang disusun berdasarkan
analisisdalam feasibility study
9. Pelunasan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
39
Di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Perbankan dijelaskan, bahwa UU
Perbankan memberikan ketentuan-ketentuan pokok terhadap bank yang
memberikankredit kepada para nasabahnya. Ketentuan-ketentuan pokok ini
merupakan pedomanperkreditan yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank
dalam pemberian kredit,yaitu:
1. Pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
2. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupannasabah
debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian seksamaterhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usahanasabah debitur.
3. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberiankredit.
4. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenaiprosedur
dan persyaratan kredit.
5. Larangan bank untuk memberikan kredit dengan persyaratan yang berbeda
kepada nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi.
6. Penyelesaian sengketa.
Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan pokok tersebut tidak hanya
memberikan pedoman atau landasan bagi bank sebagai kreditur untuk menerapkan
prinsip kehati-hatian, melainkan juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi para
nasabah debitur dalam memperoleh fasilitas kredit dari bank.40
Prinsip-prinsip Pemberian Kredit Bank
Pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya menurut UU
PokokPerbankan Indonesia Undang No. 7 Tahun 1992 dan
40
UndangNo. 10 Tahun 1998, berawal dari pelaksanaan pembangunan ekonomi
yangberasaskan kekeluargaan harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan
dankeseimbangan.Unsur-unsur pemerataan pembangunan ke arah peningkatan
tarafhidup. Secara tanggap perbankan dituntut untuk menjalankan fungsi dan
tanggungjawabnya kepada masyarakat. Atas hal-hal tersebut diatas, maka di
dalammemberikan kredit, bank dituntut dan wajib mempunyai keyakinan
ataskemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai
denganyang diperjanjikan (Pasal 8 UU Perbankan 1992).
Dalam menjalankan penyaluran dana maupun dalam kegiatan
usahalainnya maka bank harus bertindak dengan prinsip kehati-hatian.
Sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
memuatketentuan bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dapat
menetapkanperaturan Batasan Maksimum Pemberian Kredit/BPMK (legal
lending limit),yang dapat dilakukan oleh bank. Pelaksanaan ketentuan pembatasan
kredit iniwajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia.
Mengingatpelaksanaan pembatasan ini pun tidaklah dapat dilakukan segera
setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut
berlaku, karenanya adaketentuan peralihan, bahwa pelaksanaannya dapat
dilakukan secara bertahapselama lima tahun (Pasal 56 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentangPerbankan). Kebijakan ini bertujuan agar tidak menimbulkan
kesulitan yang beratbagiperbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud,
ketentuan batas maksimumyang sesuai dengan ketentuan yang diminta oleh Pasal
11 tersebut. PengertianBMPK, yaitu suatu persentase perbandingan batas
maksimum penyediaan danayang diperkenankan terhadap modal bank. Dalam
kerangka penyediaan dana inimaka ada beberapa yang dikecualikan diantaranya
yaitu: penanaman dana padaSBI dan surat hutang yang diterbitkan oleh
Pemerintah Indonesia bagianpenyediaan dana uang dijamin dengan agunan tunai
berupa giro, deposito,tabungan, setoran jaminan yang diblokir disertai dengan sur
at kuasa pencairan;penempatan sepanjang program penjaminan pemerintah masih
berlaku dan bantersebut memenuhi persyaratan program penjaminan.41
41