• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian dan Perjanjian Elektronik (e-contract) A. Hukum Perjanjian di Indonesia

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS (Halaman 29-44)

Perjanjian merupakan salah satu bagian dari perikatan, yang dimana sebuah perikatan adalah sebuah hubungan hukum yang terjadi antara dua belah pihak yang mempunyai hak dan kewajiban. Berdasarkan dari Buku Ketiga : Perikatan KUHPerdata, Pasal 1233 mengatakan bahwa perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang. Maka suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.37 Perjanjian terdapat dua bentuk, yaitu perjanjian yang dibuat secara lisan dan perjanjian yang dibuat secara tertulis.

36 M. Arsyad Sanusi II, Op.cit. hlm, 24.

Menurut Subekti, perjanjian merupakan bentuk konkrit dari perikatan sedangkan perikatan merupakan bentuk abstrak dari perjanjian, sehingga hal ini dapat diartikan adanya hubungan hukum antara dua pihak yang yang isinya adalah hak dan kewajiban, yang mana hak untuk menuntut sesuatu dan sebaliknya suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.38 Perjanjian mempunyai 2 arti, yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Perjanjian dalam arti sempit diartikan sebagai sebuah hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan hukum kekayaan saja sesuai dengan Buku III KUHPerdata. Sedangkan perjanjian dalam arti luas diartikan bahwa sebuah perjanjian dapat menimbulkan sebab akibat hukum sesuai dengan kesepakatan yang telah dikehendaki oleh para pihak.

a. Dasar Hukum Perjanjian

Hukum perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam Bab II Buku Ketiga. Dalam Bab II Buku Ketiga KUHPerdata terdapat beberapa bagian adalah Bagian 1 Ketentuan umum, Bagian 2 Syarat-syarat terjadinya suatu persetujuan yang sah, Bagian 3 Akibat persetujuan, dan Bagian 4 Penafsiran persetujuan.

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata mengatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam Pasal itu dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah sebuah perbuatan yang dilakukan sekurang-kurangnya 2 orang mengikatkan dirinya sehinga melahirkan sebuah perikatan diantara pihak yang besangkutan.

38 Hartana, Hukum Perjanjian (Dalam Prespektif Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara), Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Vol.2 No. 2, hlm 149

Menurut R. Setiawan “Perjanjian adakah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”39. Dari pengertian tersebut diketahui dalam perjanjian terdapat minimal 2 orang yang saling mengikatkan dirinya untuk melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan menurut R. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahsa “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.40

Perjanjian pada dasarnya dapat terjadi dikarenakan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak atau lebih. Adanya kesepatan itu mengikat pihak-pihak yang bersangkutan sehingga menimbulkan adanya hak kewajiban dari para pihak. Pihak dalam sebuah perjanjian adalah pihak yang menyepakati atau mengadakan perjanjian itu sendiri. Pasal 1315 KUHPerdata mengatakan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama diri sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Maka hal tersebut sudah menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan di perjanjian tersebut.

Terdapat pengecualian dimana dapat mengikatkan dirinya sebagai pihak ketiga dalam memenuhi perjanjian tersebut. Hal ini diatur pada Pasal 1317 KUHPerdata yaitu “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta

39 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 2007, hlm. 49

ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukan kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Dalam perjanjian itu juga memberi syarat antara stipulator dan promisor bahwa mereka tidak boleh menarik kembali apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya.41

Lahirnya sebuah perjanjian terjadi pada saat telah tercapainya sebuah kesepakatan antara kedua belah pihak, namun dapat bermasalah bila pihak yang bersangkutan pada wilayah hukum yang beda. Teori dasar adanya kesekepakatan yaitu teori penerimaan dan penawaran, hal ini disebabkan karena dalam suatu kesepakatan dapat terjadi bila suatu penawaran tersebut diterima oleh pihak lainnya. Terdapat beberapa teori-teori yang menjelaskan mengenai saat lahirnya suatu perjanjian, yaitu :42

• Teori Pernyataan (Uitings Theorie)

Menurut teori ini sebuah kesepakatan telah lahir pada saat penawaran tersebut telah ditulis pada surat jawaban penerimaan.

Kelemahan dari teori ini yaitu tidak adanya kepastian kapan pihak yang menerima tawaran menuliskan surat jawaban penerimaan tersebut.

• Teori Pengiriman (Verzendings Theorie)

Menurut teori pengiriman ini pada saat dikirimnya surat jawaban penerimaan adalah lahirnya sebuah perjanjian. Hal yang dapat

41 I Ketut Oka Setiawan I, Op.Cit. hlm 71.

42 Ibid.

dijadikan pembuktian adalah cap pos pada saat pengiriman jawaban penerimaan tersebut. Kelemahan dari teori ini yaitu dapat ditariknya kembali penawaran yang ditawarkan karena pemberi penawaran tidak mengetahui kapan penerima akan mengirimkan jawaban penerimaan.

• Teori Pengetahuan (Vernemimgs Theorie)

Menurut teori ini perjanjian lahir ketika jawaban dari penerimaan tersebut sudah diketahui oleh pihak yang menawarkan. Kelemahan dari teori ini walaupun penawar sudah menerima surat jawab tersebut tetapi jika penawar belum membuka ataupun membaca surat tersebut maka tidak dapat diketahui isinya.

• Teori Penerimaan (Ontvangs Theorie)

Menurut teori ini perjanjian lahir ketika surat jawaban tersebut telah diterima oleh penawar tidak perlu diketahui surat tersebut sudah dibuka atau belum oleh penawar.

b. Unsur-unsur Perjanjian

Dalam perjanjian terdapat unsur-unsur yang dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu di lihat dari pengertian perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata) dan di lihat dari syarat-syarat perjanjian.

Unsur dari pandangan pengertian perjanjian dilihat pada Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata mengatakan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”, dari pasal ini dapat diketahui

terdapat beberapa komponen unsur-unsur dari sebuah perjanjian. Sehingga unsur-unsur dari sudut pandang pengertian, yaitu : 43

(1) Ada para pihak, paling sedikit terdapat dua orang. Pihak setidaknya dua orang karena dalam perjanjian harus ada orang-orang atau badan hukum yang saling mengikatkan dirinya.

(2) Ada kesepakatan antara para pihak. Hal yang dimaksudkan adalah sebuah kesepakatan yang telah dibicarakan antara para pihak.

(3) Ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dalam perjanjian harus sesuai dengan kebutuhan dari para pihak.

(4) Ada prestasi yang wajib dilaksanakan. Prestasi adalah sebuah kewajiban dari masing-masing pihak untuk di penuhi yang muncul ketika para pihak sudah bersepakat.

(5) Ada bentuk tertentu. Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.

(6) Ada syarat tertentu. Syarat adalah unsur perjanjian yang bisa menentukan sah atau tidaknya perjanjian.

Unsur-unsur perjanjian yang dilihat dari sudut pandang syarat-syarat perjanjian yang dijelaskan oleh Iketut Oka Setiawan, yaitu :44

(1) Unsur Essensialia

Adanya perjanjian disebabkan mutlak dari unsur essensialia.

Seperti harga yang ditawarkan, barang yang diperjual-belikan, hal yang disepakati oleh penjual dan pembeli merupakan unsur

43 M. Zen Abdullah, Kajian Yuridis Terhadap Syarat Sah dan Unsur-Unsur dalam Suatu Perjanjian, Jurnal Lex Specialis Universitas Batanghari Jambi, hlm. 24

44 I Ketut Oka Setiawan I, Op.cit. hlm. 43-44

essensialia. Dapat dilihat juga di Pasal 1320 KUHPerdata yang menjelaskan mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian.

(2) Unsur Naturalia

Unsur ini bisa dikatakan sebagai unsur yang sudah lazim melekat dalam sebuah perjanjian. Unsur ini diatur dalam Undang-Undang namun dapat dihapuskan ataupun digantikan seperti halnya ketentuan yang bersifat mengatur atau menambah.

(3) Unsur Accidentalia

Unsur ini mirip dengan unsur naturalia yang bersifat penambahan, unsur ini merupakan unsur yang menjadi isi dari sebuah perjanjian, seperti hal-hal yang akan diperjanjikan atau yang akan di sepakati merupakan unsur accidentalia.

c. Asas-asas Perjanjian

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan suatu hal yang dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarkat hukum yang bersangkutan sebagai kebenaran asasi, sebab melalui asas hukum tersebut pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk kedalam hukum sehingga asas hukum menjadi sumber untuk menghidupi tata hukumnya.45 Terdapat beberapa asas dalam sebuah perjanjian, yaitu:

(1) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

45 Niru Anita Sinaga, Keselarasan Asas-Asas Hukum Perjanjian Untuk Mewujudkan

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Maka dapat diuraikan bahwa asas ini memberikan kebebasan untuk membuat sebuah perjanjian atau tidak, kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapapun, kebebasan untuk membuat isi dari perjanjian yang akan diperjanjikan, dan kebebasan untuk memilih bentuk dari suatu perjanjian.

Keberlakuan asas ini tidak sepenuhnya mutlak, terdapat beberapa ketentuan yang membatasinya, yaitu:46 Pasal 1320 ayat (1) adalah ketentuan mengenai perjanjian tidak dikatakan sah bila hanya disepakati salah satu pihak, pasal 1320 ayat (2) adalah ketentuan mengenai kecakapan dalam membuat perjanjian, pasal 1320 ayat (4) junto pasal 1337 adalah pembatasan mengenai hal-hal yang dilarang atau bertentangan dengan ketertiban umum, pasal 1332 pembatasan mengenai objek yang akan diperjanjikan, dan pasal 1335 pembatasan mengenai perjanjian yang tanpa sebab atau dikarenakan sebab yang terlarang maka tidak berkekuatan hukum.

(2) Asas konsensualisme

Untuk membuat sebuah perjanjian diperlukan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

Asas konsensualisme ini menekankan bahwa sebuah perjanjian lahir jika para pihak telah sepakat. Dalam Pasal 1320 ayat (1) juga memberikan sebuah ketentuan pada perjanjian sebagai salah satu syarat sahnya yaitu adanya kata sepakat antara kedua belah pihak.

46 Ibid

(3) Asas pacta sunt servanda

Asas pacta sunt servanda atau dapat disebut sebagai asas kekuatan mengikat. Asas ini telah dimuat dalam pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi merka yang membuatnya”. Dari pasal tersebut menjelaskan bahwa suatu perjanjian tersebut mengikat para pihaknya selayaknya Undang-Undang. Kewajiban yang dilakukan bukan hanya sebuah kewajiban moral namun juga kewajiban hukum yang mana kewajiban itu harus laksanakan.47

Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi “perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”, sehingga orang-orang yang terikat dan berkewajiban memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu hanya pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.

(4) Asas kepribadian

Asas kepribadian adalah asas yang mengatur bahwa perjanjian dilakukan oleh orang perseorangan. Hal ini diatur dalam Pasal 1315 junto pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi

“pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji selain dari pada untuk dirinya sendiri” dan pasal 1340 KUHPerdata berbunyi “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Dapat

47 Septarina Budiwati, Prinsip Pacta Sunt Servanda dan Daya Mengikatnya Dalam

disimpulkan dari kedua pasal itu suatu perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilkukan secara personal. Akan tetapi terdapat pengecualian yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata yaitu dapat membuat sebuah perjanjian yang digunakan untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata menjelaskan bahwa sebuah perjanjian dapat untuk kepentingan ahli warisnya dan orang yang memperoleh haknya.

(5) Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum pada perjanjian adalah kekuatan hukum yang mengikat para pihaknya. Kekuatan mengikat adalah telah dijelaskan dalam pasal 1338 ayat (1) yang mana hanya mengikat para pihak sebagai undang-undang.

(6) Asas kepatutan

Asas kepatutan dapat ditemui pada pasal 1339 KUHPerdata yaitu

“perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sidat perjanjianya diharuskan oleh kepatutan…”. Di pasal itu menjelaskan bahwa asas ini juga berkaitan dengan hal-hal yang akan dijadikan isi dari perjanjian tersebut.

(7) Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik dijelaskan pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”, bila diuraikan ikitad baik yang dimaksud dalam pasal 1338 ayat (3) yaitu dalam

sebuah perjanjian harus dengan tanpa kebohongan, tanpa tipu muslihat, atau tanpa hanya mementingkan kepentingan sendiri.

Dalam Bahasa Belanda iktikad baik disebut sebagai “te goeder trouw” yang diartikan sebagai kejujuran. Pengertian iktikad baik dapat diartikan menjadi dua dimensi, yaitu iktikad baik dalam dimensi subjektif yang mengacu kepada kejujuran, sedangkan iktikad baik dalam dimensi obyektif artikan sebagai kerasionalan, kepatutan dan keadilan.48 Fungsi dari adanya asas iktikad baik ini yaitu fungsi menambah (aanvullende werking van de geode trouw) dan fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking wan de goede trouw).

Fungsi menambah yaitu iktikad baik yang digunakan untuk menambah isi perjanjian dan ketentuan tertentu, sedangakan fungsi membatasi dan meniadakan yaitu syarat atau isi perjanjian tertentu atau ketentuan tertentu disingkirkan atau dikesampingkan jika perjanjian sudah berubah hingga pelaksanaannya dianggap tidak adil.

Asas iktikad baik ini terdapat pada saat perjanjian itu akan dibuat dan pada saat pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut, maka asas iktikad baik dapat terlihat dari para pihak karena asas iktikad baik dapat dilihat dari sifatnya yang subjektif ataupun objektif.49

48 Zakiyah, Hukum Perjanjian Teori dan Perkembanganya, Lentera Kreasindo,

d. Syarat Sah Perjanjian

Dapat dikatakan sebagai perjanjian yang memiliki kekuatan hukum mengikat sangat bergantung dengan sah atau tidaknya perjanjian tersebut.

Syarat sah sebuah perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan bahwa:

“untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal”.

Menurut penjelasan dari I Ketut Oka Setiawan yang menyebutkan bahwa syarat sah sebuah perjanjian pada syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif dikarenakan menyangkut mengenai pihak yang bersangkutan, sedangkan pada syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif dikarenakan menyangkut mengenai objek yang akan diperjanjikan.50 Adanya perbedaan dari persyarat tersebut berkaitan dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) dari suatu perjanjian.51

Dari syarat-syarat yang telah disebutkan pada Pasal 1320, dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Kesepakatan

Sebuah kesepakatan adalah dasar dari adanya perjanjian yang dikehendaki dari kedua belah pihak. Menurut Badrulzaman definisi dari sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pihak yang menawarkan dinamakan tawaran

50 I Ketut Oka Setiawan I, Op.cit. hlm, 61

51 Retna Gumanti I, Op.cit, hlm. 4

(offerte), sedangkan pihak yang menerima tawaran dinamakan aksepsi (acceptatei).52

Menurut KUHPerdata pada Pasal1321 menyebutkan adanya 3 sebab yang membuat kesepakatan tidak dapat diberikan yaitu apabila adanya sebuah paksaan, adanya kekhilafan (dwaling), dan adanya penipuan (bedrog). Paksaan yang dimaksudkan dalam bunyi pasal tersebut merupakan paksaan secara psikis bukan secara fisik. Misalnya di ancam dengan cara ditakut-takuti. Kekhilafan atau dwaling dalam hal ini merupakan kesalahan dari orangnya atau pihak yang membuat isi dari perjanjian tersebut dapat disebut juga dengan error in persona atau dapat juga kekhilafan mengenai barang yang akan di perjanjikan (error on substantia). Yang terakhir penipuan (bedrog), hal ini sudah diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata, dijelaskan bahwa jika salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu yang disertai dengan tipu muslihat dengan maksud untuk membujuk pihak lainnya agar memberikan perizinannya.

2. Kecakapan

Pihak-pihak yang akan membuat sebuah perjanjian haruslah orang-orang yang telah cakap hukum sesuai dengan yang diatur dalam KUHPerdata. Pada Pasal 1329 KUHPerdata mengatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap”. Kemudian dilanjutkan pada Pasal 1330 KUHPerdata yang menjelaskan tentang yang

dimaksud tak cakap yaitu: pertama orang-orang yang belum dewasa;

kedua, orang yang dibawah pengampuan; dan ketiga, orang-orang perempuan dalam hal-hal ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Kedua pasal tersebut menjelaskan mengenai orang yang cakap hukum dan juga beberapa orang yang tidak tergolong orang yang cakap.

Pada pasal 1330 menyebutkan “orang-orang yang belum dewasa”

maksud dari kalimat tersebut sudah dituangkan pada Pasal 330 KUHPerdata. Dalam Pasal itu dijelaskan bahwa orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun.

Orang dikatan dewasa jika sudah berumur 21 tahun ataupun sebelum umur 21 tahun telah menikah. Akan tetapi terdapat ketentuan pada Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengenai kedewasaan ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dengan umur 18 tahun.53

Sehingga Mahkamah Agung memberikan keputusan melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang batas dewasa seseorang dibawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun bukan 21 tahun.54

3. Suatu hal tertentu

53 Retna Gumati I, Op.cit, hlm. 7

54 Ibid, hlm. 8

Syarat ketiga ini adalah syarat objektif sebuah perjanjian. Syarat ini diatur dalam Pasal 1333 yang menjelaskan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tertentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Berdasarkan penjelasan dalam bukunya I Ketut Oka Setiawan menjelaskan bahwa objek tertentu dapat berupa benda yang sekarang ada ataupun aka nada kecuali warisan.55 Suatu barang yang disebutkan dalam pasal tersebut tidak hanya pengertian sebagai barang karena dalam objek perjanjian tidak hanya sebuah barang namun dapat juga berupa jasa.

4. Sebab (causa) yang Halal

Dalam Bahasa Belanda ‘sebab’ disebut sebagai oorzaak dan dalam Bahasa Latin disebut causa. Menurut Badrulzaman, causa dalam hal ini bukan hubungan sebab akibat, sehingga pengertian causa dalam syarat perjanjian tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran causaliteit, bukan juga sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian.56 Pasal 1335 junto 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa dalam sebuah causa dinyatakan terlarang atau tidak diperbolehkan bila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS (Halaman 29-44)