• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN,

2.2 Perjanjian perkawinan

2.2.1 Pengertian perjanjian perkawinan.

Menurut R. Subekti, “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”.19 Menurut Libertus Jehani, “perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami- istri yang memuat tentang status kepemilikan harta dalam perkawinan mereka”.20 Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, “perjanjian perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka”.21

Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat antara suami dan isteri baik sebelum ataupun pada saat perkawinan mereka dilangsungkan dimana perjanjian jenis ini secara khusus mengatur mengenai status hukum harta benda bersama dalam perkawinan namun pengaturan demikian tidaklah bersifat rigid karena dasar hukum perjanjian jenis ini yakni UU Perkawinan Tahun 1974 memberikan keleluasaan para pihak untuk memperjanjikan apa saja kecuali taklik talak. Perlu diketahui pula bahwa perjanjian perkawinan dapat pula mengikat pihak ketiga

19

R. Subekti, 1996,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h. 9.

20

Libertus Jehani, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Isteri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta, h. 8.

21

Soetojo Prawirohamidjojo, 1986,Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, h. 57.

26

selain tentunya para pihak setelah perjanjian perkawinan yang bersangkutan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Ketentuan terhadap perjanjian perkawinan secara eksplisit diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Perkawinan Tahun 1974 sebagiamana yang telah disebutkan dalam sub bab latar belakang masalah di awal. Dalam ketentuan tersebut, secara garis besar mengatur tentang saat pembuatan, keabsahan, keberlakuan, dan perubahan suatu perjanjian perkawinan. Pada dasarnya, ruang lingkup substansi yang dapat diatur dalam suatu perjanjian perkawinan begitu luas. Hal ini tercermin dalam ketentuan penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam Pasal ini tidak termasuk taklik talak”. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan umumnya diterapkan hanya untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perihal harta bersama dalam perkawinan.

2.2.2 Tujuan perjanjian perkawinan.

UU Perkawinan Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun peraturan perunang-undangan terkait dengan perkawinan lainnuya, secara substansial tidak mengatur secara jelas mengenai tujuan perjanjian perkawinan. Berangkat dari hal ini, doktrin sebagai salah satu sumber hukum formil di Indonesia dapatlah digunakan sebagai acuan untuk memperjelas tujuan perjanjian perkawinan itu sendiri. Menurut Anna Zubari, dibuatnya perjanjian perkawinan memilik beberapa tujuan utama, yaitu :

27

a. Melindungi kepentingan salah satu pihak, misalnya apabila suami melakukan poligami, maka akan ada pengaturan untuk menjamin kehidupan semua isterinya dan harta bersama masing-masing perkawinan terpisah. Dengan perjanjian ini dapat memastikan harta bersama akan terlindungi tidak tercampur selam berlangsungnya perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat dipastikan bahwa pemisahan harta peninggalan para pihak, baik untuk perkawinan yang pertama, kedua, ketiga bahkan untuk perkawinan yang keempat. Masing-masing isteri akan tenang dan kehidupannya akan terjamin, akan jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli waris;

b. Membebaskan salah satu pihak dari kewajiban ikut membayar utang pihak lainnya. Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan Tahun 1974 jo. Pasal 121 KUHPerdata, harta bersama juga meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami-isteri, baik sebelum perkawinan, bahkan selama perkawinan. Bila salah satu pihak memiliki beban utang yang tinggi, maka pihak lainnya ikut berkewajiban melunasinya. Kemudian apabila dalam perkawinan tersebut, salah satu pihak memiliki beban utang yang signifikan, dan tidak mau bertanggung jawab atas hutangnya, maka perjanjian ini dapat membantu memastikan bahwa hal ini tidak terjadi;

c. Menjamin kepentingan usaha. Apabila memiliki usaha bisnis yang dijalankan (baik badan usaha maupun badan hukum), suami-isteri berhak menikmati keuntungan dari usaha bisnis yang dapat dianggap sebagai harta bersama

28

perkawinan bila terjadi perceraian. Kekayaan atas usaha bisninya harus dibagi, termasuk soal keuntungan harta atau bertambahnya harta kekayaan berdua yang timbul dari hasil harta kekayaannya masing-masing. Dengan perjanjian ini akan fleksibel mengatur bila terjadi perceraian atau perkawinan berakhir; d. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Disini dimaksudkan

bahwa eksistensi perjanjian perkawinan dapat memastikan tidak ada harta bawaan dan oleh masing-masing harta benda yang diperoleh suami-isteri sebagai hadiah atau warisan berpindah dan menjamin harta perolehan dari warisan atau hadiah keluarga tetap dalam kekuasaan pemiliknya;

e. Menjamin kondisi finansial para pihak setelah perkawinan putus atau berakhir. Sangat bermanfaat bagi pihak wanita yang tidak bekerja, dan saat vonis pengadilan menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang diajukannya yang memegang hak pengasuhan anak dan lebih memilih menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan anak berdasarkan pertimbangan putusan hakim, dalam perjanjian perkawinan bisa membicarakan soal ini dengan baik. Misalnya, dengan jalan pengajuan perjanjian perkawinan dan meminta ke hakim untuk memerintahkan mantan suami menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian ini.22

2.2.3 Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan.

22

Aditya Herlambang Putra, 2014, “Ada 5 Tujuan Perjanjian Perkawinan”, URL :

29

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Dalam rumusan pasal tersebut telah digariskan bahwa perjanjian perkawinan haruslah berbentuk perjanjian tertulis. Secara teoritis, perjanjian tertulis dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yakni akta dibawah tangan dan akta autentik. Akta dibawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangakan akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh/dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta perjabat.23Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 yang mengharuskan untuk dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis haruslah berjenis akta dibawah tangan atau akta autentik. Pilihan atas jenis-jenis akta tersebut dikembalikan kepada para pihak yang bersangkutan dimana mereka dibebaskan memilih salah satu jenis daripada akta-akta tersebut.

Dokumen terkait