• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN

YANG TIDAK DISAHKAN OLEH PEGAWAI

PENCATAT PERKAWINAN

I MADE SURYA KARTIKA NIM. 1103005207

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN

YANG TIDAK DISAHKAN OLEH

PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I Made Surya Kartika

NIM : 1103005207

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 28 Maret 2016

Pembimbing I

Pembimbing II

(4)

iv

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 3 JUNI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor: 1056/UN14.1.11.1/PP.05.02/2016

Tanggal 13 April 2016

Ketua : Ida Bagus Putra Atmadja, SH.,MH. Sekretaris : I Nyoman Darmadha, SH.,MH.

Anggota : 1. Dr. I Ketut Westra, SH.,MH.

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat-Nyalah penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Judul yang dipilih dalam penulisan skripsi ini adalah “Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”.

Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas

6. Bapak Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH., Dosen Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktu untuk dorongan, semangat, bimbingan dan saran hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Bapak I Nyoman Darmadha, SH.,MH., Dosen Pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

(6)

vi

9. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah banyak memberi ilmu pengetahuan dalam perkuliahan, sehingga dapat menjadi bekal dalam penyusunan skripsi ini.

10. Bapak dan Ibu staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah membantu dalam proses administrasi.

11. Bapak dan Ibu tercinta, serta saudara tercinta yang dengan sabar selalu mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12. Bapak I Gede Raka Sukarta, SH., Notaris di Kabupaten Badung, Ibu Ni Luh Lely Sriadi SI.SOS., MSI., Kepala Seksi Pengawasan dan Penyuluhan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar dan seluruh Nara Sumber yang telah membantu memberikan informasi dalam penulisan skripsi ini. 13. Teman – teman: Yoga, Arik, Agus, Tole, Ricky, Gandi, Ananta, Sukarno,

Yogik, dan seluruh teman-teman angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah banyak membantu penulis baik semasa mengikuti perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan skripsi ini.

Sebagai akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. Dalam penulisan skripsi ini tentu ada kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang hukum serta berguna bagi masyarakat.

(7)

vii DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANTIA PENGUJI SEKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.5.1 Tujuan umum ... 8

1.5.2 Tujuan khusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

1.6.1 Manfaat teoritis ... 9

1.6.2 Manfaat praktis ... 9

1.7 Landasan Teoritis ... 9

(8)

viii

1.7.2 Asas lex specialist derogat legi generali . ... 11

1.7.3 Asas konsensualisme ... 13

1.7.4 Asas kebebasan berkontrak . ... 13

1.8 Metode Penelitian ... 14

1.8.1 Jenis penelitian ... 14

1.8.2 Jenis pendekatan ... 15

1.8.3 Sumber bahan hukum ... 15

1.8.4 Data penunjang . ... 16

1.8.5 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 17

1.8.6 Teknik analisis bahan hukum ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan . ... 19

2.1.1 Pengertian perkawinan . ... 19

2.1.2 Asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan . ... 21

2.1.3 Syarat sahnya perkawinan ... 23

2.2 Perjanjian perkawinan ... 25

2.2.1 Pengertian perjanjian perkawinan ... 25

2.2.2 Tujuan perjanjian perkawinan ... 26

2.2.3 Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan ... 28

(9)

ix

BAB III KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PERKAWINAN TANPA ADANYA PENGESAHAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

3.1 Syarat Sahnya Perjanjian pada Umumnya . ... 33 3.2 Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan ... 38 3.3 Keabsahan Perjanjian Pekawinan tanpa Adanya

Pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan ... 49 3.4 Keterikatan Pihak-Pihak Terkait

Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan ... 57

BAB IV AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN PERKAWINAN TANPA PENGESAHAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN SUAMI-ISTERI

4.1 Kedudukan Hukum Harta Benda Bersama

Suami-Isteri ... 62 4.2 Ketiadaan Pemisahan Harta Benda Bersama dalam

(10)

x BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 80 5.2 Saran ... 81

(11)

xi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/ atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini penyusun buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 28 Maret 2016

(12)

xii ABSTRAK

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”. Frasa “batas-batas-batas-batas hukum agama dan kesusilaan” tersebut tidak jelas artinya dalam artian bahwa sejauh mana ruang lingkup atas batasan-batasan tersebut tidak diberikan penjelasan yang definitif. Berangkat dari persoalan diatas akan melahirkan persoalan baru dimana perjanjian perkawinan yang bagaimana yang dapat dikatakan melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, kemudian, apabila telah sesuai dengan batasan-batasan tersebut namun perjanjian perkawinan yang bersangkutan tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, bagaimanakah kekuatan hukumnya. Permasalahan: bagaimana kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan?; dan bagaimanakah akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri?. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri.

Penelitian ini termasuk penelitain hukum normatif yaitu penelitian hukum berdasarkan bahan kepustakaan.

Kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan adalah tidak mengikat bagi para pihak (suami-isteri) maupun bagi pihak ketiga karena tidak terpenuhinya syarat formalitas yaitu pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan. Akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri adalah tidak terjadi pemisahan harta kekayaan suami-isteri yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, jadi harta yang diperoleh sejak dan selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Saran: pemerintah hendaknya melakukan revisi terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan para pihak yang membuat perjanjian perkawinan (suami-isteri) hendaknya melanjutkan peroses dengan mendaftarkan perjanjian perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan.

(13)

xiii ABSTRACT

STRENGTH OF MARRIAGE LEGAL AGREEMENT NOT AUTHORIZED BY THE REGISTRAR EMPLOYEES OF MARRIAGE

Article 29 paragraph 2 of Law No. 1 of 1974 on Marriage states "The agreement can not be passed when violating the limits of the law, religion and morality". The phrase "the limits of the law and decency" is not clear meaning in the sense that the extent of the scope of the restrictions are not given a definitive explanation. Departing from the above issues will give birth to new problems where the marriage covenant that is how that can be said to violate the boundaries of the law, religion and morality, then, if it complies with those limits, but the marriage covenant are concerned is not authorized by the employee registrar of marriage, how strength law. Problem: how the binding force of the marriage covenant which is not authorized by the marriage registrar employee ?; and how the legal consequences of the marriage covenant that is not authorized by the marriage registrar employees of wealth of a married ?. This study aimed to know and understand the power of a covenant marriage that is not authorized by the marriage registrar clerks and legal consequences of the marriage covenant that is not authorized by the marriage registrar employees of wealth husband and wife.

This research belongs to notmative law research which is a law research based on literature source.

The binding force of the marriage covenant that is not authorized by the marriage registrar employee is not binding for the parties (husband and wife) as well as for third parties for non-fulfillment of the formal requirements, namely the ratification by the employees of the marriage registrar. Legal consequences of the marriage covenant that is not authorized by the marriage registrar employees of wealth husband and wife is no separation of the assets acquired spouses during the marriage took place, so the treasures acquired since and during the marriage lasted into joint property. Suggestions: government should revise the Article 29 of Law No. 1 of 1974 concerning marriage and the parties that made the marriage covenant (husband and wife) should continue peroses by registering the marriage covenant marriage registrar to employees.

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk

mempertahankan genarasi atau keturunannya. Tentunya dalam hal ini cara yang

paling tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan.

Nilai penting perkawinan bagi manusia adalah, pergaulan antara laki-laki dan

perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk

sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan saling

mengasihi antara suami dan isteri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi

kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha

Esa.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan (selanjutnya disingkat UU Perkawinan Tahun 1974), perkawinan

didefinisikan sebagai “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam

undang-undang ini sudah jelas dijelaskan bahwa tujuan dari perkawinan tersebut adalah

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami isteri perlu saling

membantu melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

(15)

2

Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila telah terpenuhinya dua

kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Kebutuhan

jasmaniah yang dimaksudkan disni seperti sandang, pangan, papan, kesehatan,

dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan rohaniah seperti seorang

anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.1

Dengan perkembangan zaman, cara pandang manusia terhadap

perkawinan itu sendiri telah semakin kritis. Sebelum diundangkannya

Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, sangat sedikit para calon pasangan suami-isteri

yang mengenal bahkan mengaplikasikan lembaga perjanjian perkawinan dalam

ikatan perkawinan mereka. Namun dalam era kekinian, justru yang terjadi

sebaliknya.

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon

suami-isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur

akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka. Dalam kaitan ini menurut

R.Subekti, “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda

suami-isteri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas dan pola

yang ditetapkan oleh Undang-Undang.”2 Perjanjian perkawinan sebenarnya

berguna untuk acuan jika suatu saat terjadi konflik yang berakhir dengan

perceraian, meski semua pasangan suami-istri tentu tidak mengharapkan terjadi

1

Titik Triwulan Tutik, 2008,Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Ed. I, Cet. I, Prenada Media Group, Jakarta, h.109.

2

(16)

3

perceraian. Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan

rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya.

Pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat bilamana:

1. Terdapat sejumlah kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak

yang lain;

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa pemasukan (inberg) yang cukup

besar;

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri, apabila salah satu jatuh pailit yang

lain tidak tersangkut;

4. Atas hutang mereka yang dibuat sebelum kawin, masing-masing akan

bertanggung jawab secara sendiri-sendiri.3

Terkait dengan uraian diatas, adapun urgensi perjanjian perkawinan dalam

kerangka hidup bermasyarakat saat ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya :

1. Proses individualistis. Proses individualistis adalah proses kemandirian untuk

membedakan harta yang didapat oleh suami-isteri secara masing-masing.

2. Proses kapitalistik. Proses kapitalistik adalah proses untuk mempertahankan

harta suami-isteri dari kepailitan atau untung rugi.

3. Proses aktualisasi. Proses aktualisasi adalah proses untuk mengemukakan

keinginan dari pribadi masing-masing suami isteri terhadap kelangsungan

mengenai harta yang dia peroleh.4

3

(17)

4

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat

KUHPerdata), perjanjian perkawinan diatur pada BAB VII, Pasal 139 sampai

dengan Pasal 154. Secara garis besar, perjanjian perkawinan berlaku mengikat

para pihak atau mempelai apabila terjadi perkawinan. Dengan mengadakan

perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan

menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undang sekitar

persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik

dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :

1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.

2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang

tak bergerak isteri.

3. Dibuat dengan akta notaris sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung

dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.

Secara spesifik, perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 ayat (1), ayat

(2), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan Tahun 1974 yang menyatakan :

(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak

ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas – batas

hukum, agama, dan kesusilaan.

(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(18)

5

(4)Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Apabila mencermati rumusan pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat

diketahui bahwa suatu perjanjian perkawinan dapat dikatakan telah sah bilamana

tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan serta telah disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan. Atas hal tersebut, maka menjadi persoalan

kemudian terkait prasyarat pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan

sebagaimana dimasud dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

Tahun 1974. Bukankah suatu perjanjian apapun bentuknya dapat dikatakan telah

sah bilamana telah memenuhi 4 (empat) unsur syarat sahnya suatu perjanjian,

sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata? Kemudian, persoalan berikutnya

adalah ketidakjelasan maksud rumusan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan Tahun

1974 khususnya dalam frasa “batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan”. Dalam

artian bahwa sejauh mana ruang lingkup atas batasan-batasan tersebut tidak

diberikan penjelasan yang definitif baik dalam bagian penjelasan Undang-Undang

Perkawinan Tahun 1974 ini maupun dalam peraturan perundang-undangan terkait.

Berangkat dari persoalan diatas akan melahirkan persoalan baru dimana

perjanjian perkawinan yang bagaimana yang dapat dikatakan tidak melanggar

batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, kemudian, apabila telah sesuai dengan

batasan-batasan tersebut namun perjanjian perkawinan yang bersangkutan tidak

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinanan, bagaimanakah legalitasnya? Tidak

(19)

6

disusun sebuah skripsi dangan judul “Kekuatan Hukum Perjanjian Perkawinan

yang Tidak Disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari perjanjian perkawinan yang tidak

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan

suami-isteri?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam suatu penulisan ilmiah berdasarkan permasalahan tersebut diatas,

maka perlu ditentukan secara tegas mengenai batasan-batasan materi yang akan

dibahas sehingga memudahkan penyampaian isi pembahasan agar tidak

menyimpang dari pokok permasalahan dan apa yang menjadi permasalahan

tersebut dapat diuraikan secara tepat dan sistematis demi terjaminnya keutuhan

dan ketegasan serta mencegah kekaburan permasalahan. Adapun ruang lingkup

permasalahan yang akan dibahas dalam usulan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Terhadap permasalahan pertama akan diuraikan mengenai kekuatan

(20)

7

pencatat perkawinan yang meliputi : syarat sahnya perjanjian pada umumnya,

syarat sahnya perjanjian perkawinan, keabsahan perjanjian pekawinan tanpa

adanya pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan, dan keterikatan

pihak-pihak terkait terhadap perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai

pencatat perkawinan.

Terhadap permasalahan yang kedua akan diuraikan mengenai akibat

hukum dari perjanjian perkawinan tanpa adanya pengesahan oleh pegawai

pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-isteri yang meliputi :

kedudukan hukum harta benda suami-isteri dalam perkawinan, dan ketiadaan

pemisahan harta benda bersama dalam perkawinan.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Untuk menjamin orisinalitas penelitian dalam penulisan skripsi ini, maka

akan disajikan beberapa karya tulis sebelumnya yang mengangkat tema serupa

diantaranya:

a. Skripsi yang berjudul “Perjanjian Kawin ditinjau dari Aspek dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang-Undang-Undang

Hukum Perdata, dan Hukum Islam”, oleh Suci Rahmadani, NIM : 061010075

Tahun 2011. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru

dengan pokok permasalahan :

1. Bagaimanakah aspek perjanjian kawin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Hukum

(21)

8

2. Apakah alasan para pihak melakukan perjanjian kawin?

b. Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Perkawinanan Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Kabupaten

Klaten”, oleh Syahuddin Iskandar Muda, NIM : 20040610135, Tahun 2009.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dengan

pokok permasalahan :

1. Bagaimana bentuk dan isi perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan

suami-isteri di Kabupaten Klaten?

2. Apa saja syarat-syarat perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan yang

telah dibuat oleh pasangan suami-isteri?

3. Bagaimana cara pembatalan atau perubahan perjanjian perkawinan?

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai 2 (dua) tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan

khusus yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1.5.1Tujuan umum.

1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

2. Untuk mengetahui akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak di

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan

suami-isteri.

(22)

9

1. Untuk memahami kekuatan mengikat perjanjian perkawinan yang tidak

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

2. Untuk memahami akibat hukum atas perjanjian perkawinan yang tidak di

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan terhadap harta kekayaan

suami-isteri.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat teoritis.

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran sebagai penambah wawasan ataupun refrensi melalui

pemahaman terhadap konsep kekuatan hukum terhadap perjanjian perkawinan

yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

1.6.2 Manfaat praktis.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman

untuk menyelesaikan permasalahan sejenis baik bagi pemerintah, masyarakat,

mahasiswa atau siapapun yang bersinggungan dengan persoalan kekuatan hukum

perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis dalam penelitian sangat penting dalam hal untuk

(23)

10

konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara

sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.5

Adapun landasan teorits yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1.7.1 Asas kepastian hukum.

Medio tahun 1970an bertempat di Amerika Serikat, lahir suatu aliran

hukum kritis(Critical Legal Studies), dimana aliran ini merupakan kelanjutan dari

aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang

berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini

yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak aliran hukum

kritis adalah Roberto M. Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark

Tushnet, Kelman, David Trubeck, dan yang lainnya.

Dalam pandangan aliran ini, dirumuskan bahwa idealnya hukum itu; (1)

harus dirumuskan dalam rumusan yang tegas dan jelas demi kepastian hukum

melalui proses politik yang disebut demokrasi; (2) memiliki sifat formalisasi

(mengahasilkan hukum positif) dalam bentuk peraturan-peraturan resmi yang

ukurannya dipandang paling kuat; (3) harus dipandang bahwa peraturan hukum

itu pada hakikatnya bertingkat (hierarki); dan (4) haruslah dicermati oleh para ahli

dan profesional hukum agar benar dalam kedudukannya dan benar dalam

keberlakuannya.

Pada dasarnya kepastian hukum secara normatif lahir ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan

5

(24)

11

logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tasfir) dan logis

dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dimana antara satu norma dengan

norma yang lain terjadi suatu sinkronisasi. Kepastian hukum menunjuk kepada

pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang

pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya

subyektif.6 Dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi ini, adanya

ketidakjelasan norma dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UU

Perkawinan Tahun 1974 dapat mengesampingkan bahkan meniadakan aspek

kepastian hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak konsisten dan konsekuen

dengan aturan yang ada.

1.7.2 Asaslex specialist derogat legi generali.

Dalam khazanah ilmu hukum secara umum dikenal adanya asas lex

specialis derogat legi generalli yang artinya peraturan yang bersifat umum

dikesampingkan oleh peraturan yang bersifat khusus jika pembuatnya sama.

Maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan

undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus

tersebut dapat pula diberlakukan peraturan perundang-undangan yang menyebut

peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa

khusus tersebut.7Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang

valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap

peristiwa-6

Yance, 2013, “Apa itu Kepastian Hukum”, URL : http//yancearizona.com, diakses pada tanggal 29 Juni 2015.

7

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Perundang-Undangan dan

(25)

12

peristiwa konkrit. Disini, asas lex specialist derogat legi generali ini dapat

diterapkan sebagai ketentuan-ketentuan hukum normatif yang mempunyai daya

ikat dan daya paksa terhadap suatu permasalahan hukum yang sifatnya

mengkhusus. Terkait dengan uraian diatas, perlu juga diketahui bahwa asas ini

tidaklah dapat diterapkan secara begitu saja terhadap suatu permasalahan hukum,

melainkan dalam pemberlakuannya itu harus pula diperhatikan rambu-rambu yang

diejawantahkan dalam prinsip-prisnip yang menjiwainya. Adapun prinsip-prinsip

tersebut antara lain : (1) sepanjang belum ditentukan secara spesifik dalam aturan

hukum khusus, maka aturan hukum yang bersifat umum tetap dapat diberlakukan

terhadap suatu permasalahan hukum konkrit; (2) hirarki antara hukum khusus dan

aturan hukum umum haruslah sederajat dalam arti bahwa kedudukannya setara

dimata hukum, contoh : KUHPerdata dan UU Perkawinan Tahun 1974 yang

sama-sama berjenis sebagai undang-undang dengan hirarki 1 (satu) tingkat

dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (3)

materi muatan yang dikandung dalam aturan hukum khusus maupun aturan

hukum umum haruslah berada dalam lingkup pengaturan yang sama, misalnya :

KUHPerdata dan UU Perkawinan Tahun 1974 sama-sama mengatur tentang

perihal perkawinan berikut segala aspek terkait.8

8

Sunaryati Hartono, Tanpa Tahun, “Prinsip-Prinsip yang Membingkai Asas Lex Specialist

(26)

13

1.7.3 Asas Konsensualisme.

Dalam hukum perjanjian, berlaku suatu asas yang dinamakan asas

konsesnsualisme. Perkataan ini berasal dari bahasa latin ialah consensus yang

artinya sepakat. Maksudnya, asas konsensualisme ialah bahwa suatu perjanjian

atau perikatan telah lahir seketika pada saat tercapaiya kata sepakat antara para

pihak, atau dengan kata lain suatu perikatan telah lahir pada saat terjadinya kata

sepakat dan perjanjian itu sudah sah, tanpa memerlukan suatu formalitas.9

Adapun asas konsensualisme ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal

1320 ayat (1) KUHPerdata dimana dalam ketentuan normatif tersebut ditentukan

syarat keabsahan suatu perjanjian yang paling fundamental ialah adanya kata

sepakat.

1.7.4 Asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral

didalam hukum perjanjian, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan

hukum namun mempunyai pengaruh yang sanagat kuat dalam hubungan

kontraktual para pihak. Asas ini tercermin dalam substansi Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam rumusan

pasal ini, frasa “semua” yang ada dimuka frasa “perjanjian” mengarah kepada

eksistensi asas tersebut yang menekankan para pihak boleh membuat perjanjian

apa saja asalkan tidak bertabrakan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Frasa

9

(27)

14

“semua” tersebut memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para pihak untuk

melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan

perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan

syarat-syarat perjanjian termasuk bebas pula untuk menuangkannya dalam bentuk

perjanjian standar.10

1.8 Metode Penelitian

Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan

berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna

mencapai tujuan.11 Dapat dipahami bahwa penelitian pada dasarnya ialah suatu

kegiatan yang telah direncanakan menggunakan suatu metode ilmiah dan

bertujuan untuk mendapatkan data baru guna mendapat kebenaran ataupun

ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.12

1.8.1 Jenis penelitian.

Berdasarkan pada judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini,

menunjukan bahwa penelitian ini menggunakan penelitian yuridis-normatif yaitu

penelitian yang menguraikan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada,

untuk selanjutnya dibahas dengan kajian teori-teori hukum kemudian dikaitkan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.

10

Agus Yuda Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.110.

11

Kartini Kartono, 1995,Metode Pembuatan Kertas Karya atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.58.

12

(28)

15

1.8.2 Jenis pendekatan.

Dalam penelitian hukum normatif ada beberapa metode pendekatan yang

dapat digunakan yakni, pendekatan perundang-undangan (statute approach),

pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical

approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan

historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan

pendekatan kasus (case approach).13 Dalam penelitian ini digunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual

approach), yang artinya disini dilakukan dengan menelaah peraturan

perundang-undangan yang khususnya mengatur terhadap perjanjian perkawinan di Indonesia.

1.8.3 Sumber bahan hukum.

Dalam penulisan skripsi ini sumber bahan hukum yang digunakan, yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum yang mengikat dalam penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat seperti KUHPerdata, UU Perkawinan Tahun 1974, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau

menunjang bahan hukum primer dimana pada akhirnya memperkuat penjelasan

13

(29)

16

dan penelitian ini, yang diantaranya meliputi : literatur-literatur, karya tulis

dalam bidang hukum dan bahan hukum tertulis lainnya yang terkait.

c. Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang dapat membantu dan

menunjang bahan huku primer dan sekunder, diantaranya terdiri dari kamus

hukum dan tulisan-tulisan yang diakses melalui internet yang tentunya masih

relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam penulisan ini.

1.8.4 Data penunjang.

Dalam penelitian ini, pendapat para sarjana yang berkompeten di

bidangnya selaku informan diperlukan untuk membedah beberapa permasalahan

yang terkait dimana dalam bahan hukum primer, sekunder, dan tersier tidak

ditemukan pemecahannya. Disini, informan-informan yang memberikan

sumbangsih pemikirannya melalui argumen-argumen hukum terkait permasalahan

yang dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Ni Luh Lely Sriadi (Kepala Seksi Pengawasan dan Penyuluhan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar);

2. I Gede Raka Sukarta (Notaris di Kabupaten Badung);

3. Menurut Muhamad Choirun (Kepala Seksi Kepenghuluan dan Pemberdayaan Kantor Urusan Agama Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali);

4. Januar Simatupang (Pembimbing Masyarakat Kristen (Protestan) Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali);

5. Yulius Galle (Pembimbing Masyarakat Katolik Kantor Wilayah Kementerian

(30)

17

6. I Wayan Santa Adnyana (Kepala Seksi Informasi Bidang Urusan Agama Hindu Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali);

7. Bodhi Giri Ratana (Pembimbing Masyarakat Budha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali); dan

8. Saefudin (Kepala Sub Bagian Hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kong Hu Cu Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali).

1.8.5 Teknik pengumpulan bahan hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan sistem bola salju

(snow ball system) dimana hal ini diawali dengan pencarian literatur, dari satu

literatur dengan merujuk pada daftar pustaka untuk kemudian dicatat dan

dilakukan pencarian literatur lainnya sesuai dengan permasalahan yang di teliti.

Demikian untuk seterusnya sehingga bahan hukum telah dirasa cukup untuk

membahas permasalahan.

1.8.6 Teknik analisis bahan hukum.

Dalam penelitian ini, teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan

adalah teknik deskripsi. Analisis dilakukan dengan memaparkan isi hukum

dengan menguraikannya secara lengkap dan jelas untuk selanjutnya dilakukan

pengklasifikasikan terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis

dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana.14

14

(31)

18

Selanjutnya, dilakukan penafsiran sistematis dan gramatikal. Penafsiran

sistematis dilakukan dengan titik tolak dari aturan suatu konsep/aturan hukum dan

mengaitkannya dengan konsep/aturan hukum lainnya. Sedangkan penafsiran

secara gramatikal dilakukan dengan mencari arti/esensi dari suatu substansi aturan

secara keseluruhan atau bagian-bagiannya per kalimat menurut bahasa hukum

(32)

19

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN

PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

2.1 Perkawinan

2.1.1 Pengertian perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Dikatakan sakral karena perkawinan yang akan dilakukan mempunyai kekuatan

atau hubungan yang sangat erat dengan agama berikut aspek kerohaniaannya, hal

ini disebabkan karena suatu perkawinan bukan hanya hubungan jasmaniahnya saja

tetapi hubungan bathiniah mempunyai peran yang sangat penting dalam

perkawinan.15

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan Tahun 1974, perkawinan ialah “Ikatan

lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan“Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam rumusan pasal tersebut, dapat dirinci dalam beberapa unsur,

diantaranya :

15

(33)

20

a) Adanya ikatan lahir batin

Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan yang dapat

menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang

pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir.

b) Antara seorang pria dan wanita

Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan

melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini sangat

penting karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

menghendaki adanya keturunan.

c) Sebagai suami-isteri

Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis

statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita berubah

statusnya sebagai istri.

d) Adanya tujuan tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Seorang pria dan seorang wanita yang telah mempunyai ikatan lahir batin

dengan melangsungkan perkawinan haruslah menuju pada suatu perkawinan

yang kekal, bukan untuk masa tertentu.

e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi “Ketuhanan

Yang Maha Esa”, memberikan arti bahwa perkawinan itu mempunyai

hubungan yang erat dengan agama berikut segala aspek kerohaniannya, disini

(34)

21

bukanlah semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga masalah

agama, sehingga di dalam perkawinan tersebut harus diperhatikan unsur-unsur

agama.

Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga, yang mana

laki-laki dan perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang

merupakan dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan

kewajiban baik di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang

kemudian dilahirkan.16

2.1.2 Asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan.

Dalam UU Perkawinan Tahun 1974 diamanatkan sejumlah asas-asas dan

prinsip-prinsip perkawinan dimana hal ini mengejawantahkan spirit dari

perkawinan itu sendiri. Secara eksplisit dinyatakan dalam Penjelasan umum butir

4 UU Perkawinan Tahun 1974, diantaranya :

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar

masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.

b. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

16

(35)

22

menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan

dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh

yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun

demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun

hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan

apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap

jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian,

dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur, karena

perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka

untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya

perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur. Sebab batas

umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju

kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih

(36)

23

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah

19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada

alasan-alasan tertentu (Pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta

harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan

Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat,

sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan

dan diputuskan bersama suami-isteri.

2.1.3 Syarat sahnya perkawinan.

Pada dasarnya, tidak semua pasangan calon suami-isteri dapat

melangsungkan perkawinan, hanya pasangan yang sudah memenuhi persyaratan

untuk melangsungkan perkawinan yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan saja yang dapat melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan

diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perkawinan Tahun 1974. Di dalam ketentuan

tersebut ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat

(37)

24

pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Adapun syarat-syarat tersebut akan

diuraikan secara garis besar sebagai berikut :

a. Persetujuan kedua belah pihak;

b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)

tahun;

c. Pria berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun.

Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari Pengadilan atau Camat atau Bupati;

d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin; dan

e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu(iddah). Bagi

wanita yang putus perkawiannya karena perceraian, masa iddahnya 90

(sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.17

Sedangkan mengenai syarat-syarat ekstern suatu perkawinan pada

dasarnya adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam

pelaksanaan perkawinan, yang meliputi :

a. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk;

b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:

1) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon

mempelai dan dari orang tua calon. Di samping itu, disebutkan juga nama istri

atau suami yang terdahulu; dan

2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.18

17

Salim HS, 2009,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, h. 62.

(38)

25

2.2 Perjanjian perkawinan

2.2.1 Pengertian perjanjian perkawinan.

Menurut R. Subekti, “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian

mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang

dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”.19 Menurut Libertus

Jehani, “perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon

suami-istri yang memuat tentang status kepemilikan harta dalam perkawinan mereka”.20

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, “perjanjian perkawinan adalah perjanjian

(persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap

harta kekayaan mereka”.21

Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian

perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat antara suami dan isteri baik

sebelum ataupun pada saat perkawinan mereka dilangsungkan dimana perjanjian

jenis ini secara khusus mengatur mengenai status hukum harta benda bersama

dalam perkawinan namun pengaturan demikian tidaklah bersifat rigid karena

dasar hukum perjanjian jenis ini yakni UU Perkawinan Tahun 1974 memberikan

keleluasaan para pihak untuk memperjanjikan apa saja kecuali taklik talak. Perlu

diketahui pula bahwa perjanjian perkawinan dapat pula mengikat pihak ketiga

19

R. Subekti, 1996,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h. 9.

20

Libertus Jehani, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Isteri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta, h. 8.

21

(39)

26

selain tentunya para pihak setelah perjanjian perkawinan yang bersangkutan

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Ketentuan terhadap perjanjian perkawinan secara eksplisit diatur dalam

Pasal 29 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Perkawinan Tahun 1974 sebagiamana yang

telah disebutkan dalam sub bab latar belakang masalah di awal. Dalam ketentuan

tersebut, secara garis besar mengatur tentang saat pembuatan, keabsahan,

keberlakuan, dan perubahan suatu perjanjian perkawinan. Pada dasarnya, ruang

lingkup substansi yang dapat diatur dalam suatu perjanjian perkawinan begitu

luas. Hal ini tercermin dalam ketentuan penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan

Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam

Pasal ini tidak termasuk taklik talak”. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan

umumnya diterapkan hanya untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perihal

harta bersama dalam perkawinan.

2.2.2 Tujuan perjanjian perkawinan.

UU Perkawinan Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

maupun peraturan perunang-undangan terkait dengan perkawinan lainnuya, secara

substansial tidak mengatur secara jelas mengenai tujuan perjanjian perkawinan.

Berangkat dari hal ini, doktrin sebagai salah satu sumber hukum formil di

Indonesia dapatlah digunakan sebagai acuan untuk memperjelas tujuan perjanjian

perkawinan itu sendiri. Menurut Anna Zubari, dibuatnya perjanjian perkawinan

(40)

27

a. Melindungi kepentingan salah satu pihak, misalnya apabila suami melakukan

poligami, maka akan ada pengaturan untuk menjamin kehidupan semua

isterinya dan harta bersama masing-masing perkawinan terpisah. Dengan

perjanjian ini dapat memastikan harta bersama akan terlindungi tidak

tercampur selam berlangsungnya perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat

dipastikan bahwa pemisahan harta peninggalan para pihak, baik untuk

perkawinan yang pertama, kedua, ketiga bahkan untuk perkawinan yang

keempat. Masing-masing isteri akan tenang dan kehidupannya akan terjamin,

akan jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli waris;

b. Membebaskan salah satu pihak dari kewajiban ikut membayar utang pihak

lainnya. Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan

tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berdasarkan

ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan Tahun 1974 jo. Pasal 121 KUHPerdata,

harta bersama juga meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing

suami-isteri, baik sebelum perkawinan, bahkan selama perkawinan. Bila salah

satu pihak memiliki beban utang yang tinggi, maka pihak lainnya ikut

berkewajiban melunasinya. Kemudian apabila dalam perkawinan tersebut,

salah satu pihak memiliki beban utang yang signifikan, dan tidak mau

bertanggung jawab atas hutangnya, maka perjanjian ini dapat membantu

memastikan bahwa hal ini tidak terjadi;

c. Menjamin kepentingan usaha. Apabila memiliki usaha bisnis yang dijalankan

(baik badan usaha maupun badan hukum), suami-isteri berhak menikmati

(41)

28

perkawinan bila terjadi perceraian. Kekayaan atas usaha bisninya harus dibagi,

termasuk soal keuntungan harta atau bertambahnya harta kekayaan berdua

yang timbul dari hasil harta kekayaannya masing-masing. Dengan perjanjian

ini akan fleksibel mengatur bila terjadi perceraian atau perkawinan berakhir;

d. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Disini dimaksudkan

bahwa eksistensi perjanjian perkawinan dapat memastikan tidak ada harta

bawaan dan oleh masing-masing harta benda yang diperoleh suami-isteri

sebagai hadiah atau warisan berpindah dan menjamin harta perolehan dari

warisan atau hadiah keluarga tetap dalam kekuasaan pemiliknya;

e. Menjamin kondisi finansial para pihak setelah perkawinan putus atau berakhir.

Sangat bermanfaat bagi pihak wanita yang tidak bekerja, dan saat vonis

pengadilan menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang

diajukannya yang memegang hak pengasuhan anak dan lebih memilih

menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan anak berdasarkan

pertimbangan putusan hakim, dalam perjanjian perkawinan bisa membicarakan

soal ini dengan baik. Misalnya, dengan jalan pengajuan perjanjian perkawinan

dan meminta ke hakim untuk memerintahkan mantan suami menjalankan

kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian ini.22

2.2.3 Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan.

22

Aditya Herlambang Putra, 2014, “Ada 5 Tujuan Perjanjian Perkawinan”, URL :

(42)

29

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pada

waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan

bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga

sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Dalam rumusan pasal tersebut telah

digariskan bahwa perjanjian perkawinan haruslah berbentuk perjanjian tertulis.

Secara teoritis, perjanjian tertulis dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yakni

akta dibawah tangan dan akta autentik. Akta dibawah tangan adalah akta yang

cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangakan akta autentik

merupakan akta yang dibuat oleh/dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh notaris

itu merupakan akta perjabat.23Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian

perkawinan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan

Tahun 1974 yang mengharuskan untuk dituangkan dalam bentuk perjanjian

tertulis haruslah berjenis akta dibawah tangan atau akta autentik. Pilihan atas

jenis-jenis akta tersebut dikembalikan kepada para pihak yang bersangkutan

dimana mereka dibebaskan memilih salah satu jenis daripada akta-akta tersebut.

2.3 Pegawai pencatat perkawinan

Penjelasan mengenai pegawai pencatat perkawinan dapat dilihat pada

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 1 huruf (d) menyatakan

23

(43)

30

Pegawai Pencatat Perkawinan adalah Pegawai Pencatat Perkawinan dan

Perceraian. Keterangan lebih lanjut menganai Pegawai Pencatat Perkawinan

terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) peraturan pemerintah ini yang

berbunyi:

(1)Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaiman dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak

dan Rujuk.

(2)Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam, dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaiaman

dimakasud dalam berbagai perundang-undang mengenai pencatatan

perkawinan.

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur mengenai pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut

Agama Islam. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang

Pencatattan Nikah, Talak dan Rujuk. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk belum dinyatakan dengan jelas

siapakah yang dimaksud dengan pegawai pencatat nikah.

Kejelasan mengenai Pegawai Pencatat Nikah yang dimaksud dalam Pasal

(44)

31

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan

Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan

Agama. Jadi yang dimakasud dengan Pegawai Pencatat Perkawinan pada Pasal 2

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah Pegawai Pencatat

Nikah pada Kantor Urusan Agama.

Sedangkan bagi orang-orang yang melangsungkan perkawinan menurut

agamanya dan kepercayaannya selain Agama Islam, berlaku ketentuan Pasal 2

ayat (2) Peratutan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan pencatatan

perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan

Sipil. Dalam proses pencatatan perkawinan tersebut pegawai pencatat perkawinan

mensahkan perjanjian perkawinan.

Kewenangan pegawai pencatat perkawinan bagi mereka yang

melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, secara spesifik diatur

dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan

Nikah. Dalam regulasi ini, Pegawai Pencatat Perkawinan sebagimana dimaksud

diatas secara gramatikal disebut sebagai Pegawai Pencatat Nikah. Kewenangan

Pegawai Pencatat Nikah secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan

(3) diantaranya:

a. Melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa

nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan

(45)

32

b. Menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah)

dan/atau kutipan akta rujuk.

Ketentuan yang berkaitan dengan uraian diatas, secara umum diatur dalam

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

(yang selanjutnya disingkat UU Administrasi Kependudukan).

Sedangkan kewenangan Pegawai Pencatat Perkawinan bagi mereka yang

bukan beragama Islam dirumuskan dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 11

dan angka 17 Undang-Undang Admisnistrasi Kependudukan, disebutkan bahwa

Instansi Pelaksanaan Administrasi Kependudukan c.q. Pegawai Pencatat Sipil

(Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil) berwenang untuk :

a. Memperoleh keterangan dan data yang benar tentang peristiwa kependudukan

dan peristiwa penting yang dilaporkan penduduk (dalam hal perkawinan);

b. Memperoleh data mengenai peristiwa penting yang dialami penduduk (yang

berkenaan dengan perkawinan) atas dasar putusan atau penetapan pengadilan;

c. Memberikan keterangan atau laporan peristiwa kependudukan dan peristiwa

penting (yang berkaitan dengan perkawinan) untuk kepentingan penyelidikan,

penyidikan, pembuktian kepada lembaga peradilan; dan

d. Mengelola data dan mendayagunakan informasi hasil pendaftaran penduduk

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penerapan model Discovery Learning mampu meningkatkan aktivitas belajar pada peserta

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,

Penelitian yang dilakukan Mailina Harahap (2017) dengan judul “Kajian modal sosial pada usaha tani sayur” Studi kasus pada Kelompok Tani Barokah Kelurahan Tanah

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui struktur novel Tempurung (2) mengetahui perjuangan tokoh perempuan (3) mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam

Yaitu kehilangan tegangan yang terjadi pada saat gaya prategang dialihkan ke angkur. Perlengkapan didalam angkur yang mengalami tegangan pada saat peralihan cenderung

Sjafri dan Aida (2007 : 153) tiap manajemen perlu mengelola dan mengetahui kinerja pegawainya, apakah sudah sesuai dengan standar kinerja perusahaan atau

Media sosial sangat berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada Mahasiswa program studi Manajemen Universitas Pasir Pengaraian terbukti dengan banyaknya jumlah

Nilai dari bilangan penyabunan bergantung pada panjang atau pendeknya rantai karbon suatu minyak atau asam lemak, dan dapat dikatakan nilai dari bilangan penyabunan