• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BISNIS WARALABA

D. Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Perdata

Perdagangan dengan menggunakan konsep waralaba dibangun atas dasar perjanjian, yaitu perjanjian antara franchisor sebagai pemberi hak dan franchisee sebagai penerima hak. Perjanjian diatur dalam KUH Perdata buku ke III Pasal 1313 yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis antara pihak franchisor dengan pihak franchisee. Perjanjian tersebut merupakan dokumen pemberi waralaba karena dipersiapkan oleh pemberi waralaba dan mencantumkan apa yang diinginkan pemberi waralaba.7 Perjanjian waralaba termaksud kedalam perjanjian innominaat yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007. Kontrak innominaat adalah kontrak-kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalam praktik kehidupan masyarakat seperti kontrak karya, leasing, franchise, kontrak joint-venture, kontrak production sharing, kontrak rahim (surrogated mother) dan lainnya.8

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 12/M-DAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, dijelaskan pengertian perjanjian waralaba, yaitu:

Pasal 1 ayat (6): ”Perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba utama”.

7 Iman Sjahputra Tunggal, Franchising: Konsep dan Kasus, (Jakarta: Harvarindo, 2005), h., 55.

8 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h., 1.

Pasal 1 ayat (7): ”Perjanjian waralaba lanjutan adalah perjanjian secara tertulis antara penerima waralaba utama dengan penerima waralaba lanjutan”.

Dapat dirumuskan bahwa, perjanjian waralaba dalam Peraturan Menteri Perdagangan tersebut menegaskan bahwa pemberian waralaba dapat dilakukan dengan pemberian hak lebih lanjut kepada franchisee utama untuk mewaralabakannya kembali kepada franchisee lanjutan. Dalam prekteknya lebih dikenal dengan istilah Master Franchisee, dan kesepakatan pemberian waralabanya dibuat dalam Master Franchise Agreement.

Pada umumnya perjanjian waralaba berlaku sampai 5 tahun, tetapi tidak menutup kemungkinan perjanjian tersebut akan diperpanjang. Dalam prakteknya, pihak franchisor dapat membatalkan perjanjian waralaba lebih awal jika pihak franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai yang tercantum didalam perjanjian waralaba yang sudah mereka sepakati.

1. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat nomor satu dan nomor dua merupakan “syarat subjektif”, sedangkan syarat nomor tiga dan nomor empat merupakan “syarat objektif”. Dari keempat syarat sah suatu perjanjian tersebut, apabila tidak terpenuhinya syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

21

Sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.9

2. Asas-asas dalam Perjanjian a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan pada para pihak. Di dalam asas ini orang bebas dengan siapa saja ia akan mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menentukan syarat-syarat dalam perjanjian tersebut.10 Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak yaitu:11

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian.

2) Kebebasan untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.

3) Kebebasan untuk memilih kausa dari suatu perjanjian yang akan dibuatnya.

4) Kebebasan untuk menentukan objek dalam suatu perjanjian.

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk dari suatu perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-undang yang bersifat opsional.

b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan sesuai Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Bahwa salah satu syarat sahnya

9 Faturrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di

Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.2), h., 40.

10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.,31.

11 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut

Bankir Indonesia, 1993), h., 47.

perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.12Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang cukup erat dengan asas kebebasan berkontrak yang terdapat dipasal 1338 ayat (1).13

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat dari suatu perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang telah dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya suatu undang-undang.14 Para pihak tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang sudah mereka buat. Asas ini dapat disimpulkan sesuai pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dapat disimpulkan sesuai Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal tersebut berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Maksudnya yaitu perjanjian tersebu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan keyakinan dan

12 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h., 10.

13

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h., 37.

14 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h., 10.

23

kepercayaan antara para pihak. 15 Terdapat dua macam itikad baik, yaitu:16

1) Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik di sini berupa anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedangkan pihak yang beritikad tidak baik harus menanggung resiko dan harus bertanggung jawab atas perbuatannya, itikad baik disini bersifat subjektif dan statis.

2) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tertulis dalam hubungan hukum. Itikad baik ini terletak pada suatu tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak. Pengertian itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, dan bersifat objektif dan dinamis, mengikuti situasi disekitar perbuatan hukum tersebut.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan membuat kontrak dan melakukannya hanya untuk kepentingan perseorangan.17 Hal ini diatur dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.

Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Maksudnya adalah seseorang

15

Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h., 11.

16 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur, 1992), h.,56-62.

17 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur, 1992), h.,56-62.

yang mengadakan perjanjian itu hanya untuk kepentingannya sendiri.

Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Maksudnya adalah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang telah membuatnya namun ketentuan itu ada pengecualiannya.

Dalam pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan pasal 1318 KUH Perdata mengatur tentang ruang lingkupnya yaitu dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

E. Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Islam

Perjanjian waralaba merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama syirkah. Syirkah atau Musyarakah menurut istilah adalah keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.18

Menurut kompilasi hukum ekonomi syari’ah, syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.19

1. Rukun dan Syarat Syirkah a. Rukun Syirkah

Adapun yang menjadi rukun syirkah menurut ketentuan syariat islam, yaitu:

1) Sighat (Ijab dan Qabul)

18 Ismail, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h., 151.

19Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,

(Bandung: FOKUSMEDIA, 2008), h., 14.

25

2) Pihak-pihak yang mengadakan serikat 3) Objek akad

b. Syarat Syirkah

Adapun yang menjadi syarat syirkah, yaitu:20

1) Sighat atau ijab dan qabul harus diungkapkan secara tegas dan menunjukkan tujuan akad yang jelas.

2) Mitra syirkah harus berkompeten dalam menjalankan amanat.

3) Keuntungan bisa berbentuk persentase atau nisbah. 4) Penentuan pembagian keuntungan tidak boleh dalam

jumlah nominal, karena bertentangan dengan subtansi syirkah.

2. Macam-Macam Syirkah

Di dalam hukum islam terdapat beberapa macam-macam syirkah, yang masing-masing memiliki ciri khasnya dalam hal perjanjian. Para ulama fiqih membagi syirkah menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Syirkah al- Amlak (perserikatan dalam kepemilikan)

Syirkah al- Amlak adalah persekutuan kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu barang tanpa di dahului oleh transaksi syirkah.21

b. Syirkah al- Uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan)

Syirkah al- Uqud adalah kesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.22

20

Harun, Fiqih Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h., 186.

21 Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami

Seluk-Beluk Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Salma Idea, 2014, Cet. Pertama), h., 106

22 Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalah mu? , Panduan Memahami

Seluk-Beluk Fiqih Muamalah, ( Yogyakarta : Salma Idea, Cetakan Pertama, 2014), h., 106.

3. Asas-asas Perjanjian dalam Hukum Islam

Di dalam hukum islam terdapat asas-asas dari suatu perjanjian. Asas ini sangat berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya akad yang dibuat. Asas-asas tersebut saling berkaitan. Asas-asas tersebut yaitu: 23

a. Kebebasan (Al-Hurriyah)

Asas kebebasan merupakan prinsip dasar dalam hukum islam dan prinsip dasar dari hukum perjanjian. Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik dari segi isi yang diperjanjikan, menentukan pelaksanaan dan persyaratan-persyaratan, melakukan perjanjian dengan siapa saja, maupun dalam bentuk perjanjiannya tertulis ataupun lisan dan menetapkan cara penyelesaian sengketa bila terjadi sengketa dalam perjanjian tersebut. Konsep kebebasan (al-hurriyah) dalam KUH Perdata disebut dengan asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda.

b. Persamaan atau Kesetaraan (Al- Musawah)

Bahwa dalam asas ini kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan yang lain. Asas kesamaan atau kesetaraan sering dinamakan juga asas keseimbangan para pihak dalam suatu perjanjian. Tetapi terdapat keadaan dimana salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan pihak lainnya, seperti hubungan pihak pemberi fasilitas (franchisor) dengan penerima fasilitas (franchisee). Hal terpenting dalam pelaksanaan asas ini, karena dalam perkembangannya diakui 23 Faturrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di

Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.2), h., 15-25.

27

bahwa perlu ada ketentuan untuk melindungi para pihak yang kedudukannya lebih lemah.

c. Asas Keadilan (Al’Adalah)

Asas keadilan yaitu di mana para pihak yang melakukan suatu akad dituntut untuk berlaku benar dalam memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajiban yang telah mereka buat. Asas ini berkaitan erat dengan asas kesamaan, meskipun keduanya tidak sama, dan merupakan lawan dari kezaliman.

d. Asas Kerelaan atau Konsensualisme (Al-Ridhaiyyah)

Asas ini menyatakan bahwa segala bentuk transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara para pihak dalam hukum islam, kerelaan antara para pihak yang berakad dianggap sebagai persyaratan bagi terwujudnya segala

transaksi. Apabila segala sesuatu tidak terpenuhi asas ini, maka sana saja dengan memakan sesuatu dengan cara yang bathil. e. Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidiq)

Kejujuran merupakan suatu etika dalam hukum islam. Islam dengan tegas melarang penipuan serta kebohongan dalam bentuk apapun. Jika asas kejujuran ini tidak dijalankan, maka akan merusak pada legalitas akad yang sudah mereka buat. f. Kemanfaatan (Al- Manfaat)

Kemanfaatan antara lain berkaitan dengan objek akad. Bahwa dalam akad yang dilakukan oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi para pihak dan tidak boleh menimbulkan kerugian.

g. Tertulis (Al- Kitabah)

Sesuai dengan QS. AL- Baqarah ayat 282-283, bahwa akad yang dilakukan benar-benar dalam kebaikan bagi semua pihak yang akan melakukan akad, sehingga akad itu harus dibuat secara tertulis (kitabah).

F. Kriteria, Format, dan Klausul dalam Perjanjian Waralaba

Dokumen terkait