• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Analisis Kandungan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

4.2.2 Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

Perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan yang cukup rumit yang diakibatkan dari situasi hubungan laki-laki dengan perempuan yang tidak sejajar. Pola relasi ini mengakibatkan perempuan mendapatkan banyak ketidakadilan. Perempuan menanggapinya dengan berbagai cara dan sikap. Ada yang menyadari dan menumbuhkan kesadaran kritis yang berlanjut pada keberanian sikap menentang segala bentuk ketidakadilan tersebut, tetapi ada juga yang tidak

menyadari. Hal ini diakibatkan dari sosialisasi masyarakat dan keluarga sehingga perempuan sendiri menganggapnya sebagai sebuah kodrat.

Dalam novel Impian di Bilik Merah terdapat tokoh-tokoh perempuan yang berani memperjuangkan hak-haknya dan melawan sistem budaya masyarakat Patriarkis. Tokoh-tokoh tersebut adalah Wang Xifeng dan Yuanyang.

Wang Xifeng adalah potret perempuan China yang ingin mendapat kesetaraan dengan laki-laki untuk memimpin suatu kekuasaan. Melalui novelnya, Cao Xueqin menguraikan tokoh perjuangan perempuan tersebut dengan melihat sisi lain perempuan, yaitu dari sisi kekuasaan perempuan dalam meminpin kekuasaan. Tokoh Wang Xifeng juga digambarkan Xueqin sebagai seorang perempuan yang berani bertindak kejam agar mendapat posisi kekuasaan tersebut. Xifeng dipercaya oleh keluarga Jia karena kepandaiannya dalam berbicara dan mengambil hati orang lain. Sebelum keinginannya terwujud, dia selalu bersikap manis di depan orang lain, terutama Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Terdapat dalam kutipan berikut:

“Yang penting,” kata Xifeng untuk mengambil hati, “Ibu Mertua tentu tahu apa yang terbaik, bukan? Siapa sih yang tidak mau mendaki sampai ke puncak?... (Impian di Bilik Merah, 2014:506).

“Dan kau Xifeng, kuharap kau jangan marah terhadapku,” kata Nyonya Besar sambil memegang Xifeng.

“Ah, padahal saya juga bersedia menerima amarah Nenek Mertua, tapi kenapa Nenek Mertua merasa telah berbuat salah pada saya,” kata Xifeng. (Impian di Bilik Merah, 2014:521).

Dalam kehidupan masyarakat China, terutama sebelum RRC berdiri, pranata sosial yang paling penting adalah keluarga. Memahami keluarga membantu memahami kehidupan orang China dan sikap kaum pria dan wanita

yang membentuk keluarga tersebut. Dahulu keluargalah yang merupakan unit sosial yang paling kecil dan bukan individu.

Keluarga (Chia) dalam masyarakat China tradisional adalah keluarga kekerabatan yang diatur menurut sistem patrilineal. Istilah ini berarti bahwa keturunan dihitung menurut garis laki-laki. Posisi perempuan di masyarakat China tradisional sangat rendah dan harus patuh terhadap peraturan-peraturan.

Diantara berbagai peraturan yang harus dipatuhi oleh perempuan China adalah aturan Tiga Kepatuhan, yaitu patuh pada orang tua selama ia belum menikah, pada suami setelah ia menikah dan pada anak laki-laki setelah suaminya meninggal dunia. Aturan tersebut kemudian menjadi dasar bahwa seorang perempuan menjadi milik suami dan keluarga suaminya setelah ia menikah. Sebab, seorang perempuan secara langsung pindah dari rumah atau keluarga kandungnya, tempat dia lahir (niang jia) dan menjadi anggota keluarga suaminya (po jia). Dalam kehidupan berumah tangga, posisinya sebagai seorang istri dalam keluarga suaminya secara teoritis sangat tidak aman. Ketika menikah, maka ia berada di bawah kekuasaan keluarga suaminya, termasuk Ibu Mertuanya.

Sama halnya dengan Wang Xifeng, dia sangat patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Dia tidak berani melawan perintah mereka, terdapat pada kutipan berikut:

Ketika melihat Nyonya Besar marah, Nyonya Wang hanya bisa tegak dan mendengarkan dengan diam, karena seorang menantu tidak pantas mempertahankan diri jika dituduh sesuatu oleh mertuanya. Begitu pula dengan Bibi Xue yang tak mungkin bisa membela kakaknya, serta Baochai yang tak dapat membela bibinya. Li Wan, Xifeng, dan Baoyu juga tidak pantas jika ingin membelanya.

Orang yang berhak membantah Nyonya Besar hanya anak-anak kandungnya. Ying Chun juga tidak berani, sedangkan Xi Chun masih terlalu muda. (Impian di Bilik Merah, 2014:518, 520).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang menantu tidak boleh membantah perkataan Ibu Mertuanya, yang boleh membantah hanyalah anak-anak kandungnya. Hal ini dikarenakan adanya aturan Tiga Kepatuhan yang dialami perempuan China seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Meskipun Wang Xifeng patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya, tetapi sikapnya tidak demikian terhadap suaminya. Xifeng sering meremehkan suaminya di hadapan orang lain karena sikap suaminya yang tidak pandai berbicara dan tidak bersikap sebagai seorang pemimpin. Terdapat pada kutipan berikut:

“Apakah kau yakin tugas itu dapat kau tangani?” tanya Jia Lian, sambil menatap Jia Qiang dari bawah ke atas,...

Xifeng lalu berkata kepada suaminya, “Rupanya kau kira dirimu saja yang mampu melakukan itu. Apa kau meragukan pertimbangan Jia Qiang? Seharusnya kita puas boleh belajar dari yang lain...

“Aku tidak meragukan pertimbangan Jia Qiang,” kata Jia Lian. “Tapi, aku hanya merasa heran.” (Impian di Bilik Merah, 2014:252, 254).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Wang Xifeng berani menegur suaminya karena telah meragukan kemampuan orang lain dalam membangun istana baru. Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh perempuan China yang telah menikah, yang mana seorang istri harus berkata lembut di hadapan suaminya, apalagi kejadian itu dilihat oleh orang lain.

Tokoh Wang Xifeng yang pandai bicara membuatnya lebih terpandang daripada suaminya. Banyak orang yang sudah mengakui kepandaiannya.

Terutama Jia Zhen, putra Jia Jing yang berasal dari Griya Ning Guo. Jia Zhen seorang yang tidak suka ilmu pengetahuan, segenap tenaganya dihamburkan untuk hal sepele sehingga menggoyahkan kedudukan Griya Ning Guo. Oleh karena itu, dia mengajak Xifeng untuk bersama-sama mengurus Griya Ning Guo. Hal ini tidak disia-siakan oleh Xifeng, dengan penuh harap dia ingin berkuasa di Griya Ning Guo. Untuk itu dia menunjukkan semua kepandaiannya agar keinginannya dapat terwujud.

Dalam memimpin suatu kekuasaan, tokoh Wang Xifeng digambarkan sebagai sosok yang kejam dan berambisi. Sifat ambisi yang dimiliki Xifeng cenderung ke arah negatif. Dalam mewujudkan ambisinya, dia terlalu berambisi, sehingga ambisinya berlebihan dan tak jarang sampai menghalalkan segala cara. Saking berambisinya untuk memimpin suatu hal, dia jadi memaksa orang lain atau pelayannya terus menerus mengerjakan suatu tugas. Karena terlalu memaksa, pelayannya menjadi takut dan dia tidak segan menghukum jika ada yang melakukan kesalahan, meskipun kesalahan tersebut sedikit. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:

“... Kerjakan apa yang kuperintahkan sebab bagi mereka yang berani mengabaikan kewajiban akan menerima hukuman yang setimpal, tak peduli betapa bagus pekerjaannya di bawah majikan dulu. Aku tidak mau membedakan siapa yang disayangi dan siapa yang tidak.” (Impian di Bilik Merah, 2014:220).

“Ping-Er, coba kau panggil dua orang pembantu, suruh mereka membawa cemeti untuk mencambuki si kurang ajar ini sampai kulitnya terlepas dari punggungnya,” katanya. (Impian di Bilik Merah, 2014:480).

“Aku tahu pasti ada orang yang mengeluh tentang pemotongan gaji,” kata Xifeng. “Meskipun dia mengeluh di depan Bibi, aku tidak takut. Pelacur tak tau malu. Dia pantas mati konyol.

Bodoh! Gila! Bisa-bisanya dia mengeluh karena gaji pelayannya dipotong. Sedikit pun dia tidak sadar bahwa sekarang setiap orang harus bisa membatasi kebutuhannya. Memangnya dia yang menggaji pelayan?” (Impian di Bilik Merah, 2014:453).

Kutipan di atas menandakan bahwa Wang Xifeng merupakan perempuan yang sangat tidak menyukai apabila perintahnya diabaikan. Dia juga suka bicara ketus, tak hanya kepada pelayan, tapi juga berprilaku sama bila melihat tingkah orang yang membuat dirinya kesal. Sikap ketus yang dimiliki Xifeng merupakan suatu bentuk pertahanan diri dalam mewujudkan feminisme. Selain itu sifat ambisinya yang besar dalam mencapai kekuasaan juga sebagai bentuk wujud feminisme.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam hidup seorang perempuan layak mempertahankan diri dalam sistem feodal. Seperti pada teori politik Marxis yang menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang menindasnya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh.

Masyarakat akan percaya terhadap kemampuan dan kepemilikan perempuan jika perempuan itu sendiri mengungkapkan dan menunjukkannya dengan berani dan lugas. Untuk menjadi berani dan lugas, perempuan membutuhkan kesadaran dalam dirinya sendiri. Kesadaran dan kesiapan itu dibutuhkan untuk perubahan yang diperjuangkannya.

Feodalisme sering dianggap berjalan beriringan dengan Patriarki. Akan tetapi, penghapusan feodalisme tentu saja tidak memakan waktu yang sebentar.

Bahkan, sebagian orang beranggap itu adalah suatu hal yang mustahil. Dalam hal ini, feminisme membutuhkan optimistis untuk mendapat keadaan seperti yang didambakan yaitu terjadi keadilan dan kesetaraan gender.

Selain tokoh perempuan yang bertindak kejam dalam mewujudkan feminisme, terdapat pula tokoh perempuan yang dianggap melakukan pemberontakan terhadap sistem feodal, yaitu Yuanyang. Dia memperjuangkan haknya dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasan memilih pasangan. Wujud feminisme yang dimiliki Yuanyang terlihat pada kutipan berikut:

Sekarang saya ingin katakan di depan Tuan muda Baoyu maupun di depan siapa saja, bahwa saya telah memutuskan untuk tidak kawin seumur hidup. Jika Nyonya Besar akan memaksa saya untuk kawin dengannya, lebih baik saya mati saja! Kelak jika Nyonya Besar wafat, saya pun tak akan kembali kepada orang tua atau abang saya. Lebih baik saya mati atau menjadi biarawati. Jika saya bersumpah palsu, semoga Langit, Bumi, Matahari, dan Bulan, bahkan semua setan atau iblis yang menjadi saksi akan mengutuk saya menderita sakit tenggorokan selama-lamanya.” (Impian di Bilik Merah, 2014:516).

Kutipan di atas menandakan bahwa Yuanyang sudah mempunyai jiwa seorang feminisme Marxis dengan keinginannya tidak menikahi anak majikannya yang dianggap akan merubah hidupnya menjadi lebih baik. Yuanyang berusaha keras untuk mewujudkan keinginannya itu. Dia rela mati bahkan memutuskan untuk tidak kawin seumur hidupnya.

Yuanyang tidak mau dijadikan selir karena hanya akan menjadi pemuas nafsu laki-laki saja. Seperti yang diketahui, Jia She adalah seorang laki-laki hidung belang yang suka membeli gadis muda apabila ada yang diinginkannya. Yuanyang tidak ingin nasibnya seperti perempuan-perempuan yang dibeli Jia She.

Meskipun dia akan dijadikan selir, tapi dia tahu bahwa Jia She akan mencampakkannya bila sudah muak dengan dirinya.

Perempuan China seperti Yuanyang ini merupakan perempuan yang berasal dari kelas bawah dan tidak mempunyai hak istimewa dalam sistem feodal. Yang mana pada sistem feodal tersebut, perempuan selalu diremehkan keberadaannya. Perempuan yang bekerja sebagai budak sangat patuh bahkan mengabdi kepada majikannya, seperti yang dilakukan oleh Yuanyang. Sejak dia diambil dari orang tuanya untuk dijadikan budak, sedikitpun dia tidak pernah melawan majikannya, si Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar sedang jalan-jalan di taman, dia akan selalu mendampingi dan terkadang mengeluarkan pendapat tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Jika Nyonya Besar kedatangan tamu, dia akan langsung mengambil tempat duduk dan membuatkan minuman. Selama majikannya masih hidup, dia akan selalu mengikuti kemanapun majikannya pergi. Terdapat pada kutipan berikut:

“Selama Nyonya Besar masih hidup, aku tak akan meninggalkannya,” kata Yuanyang dengan suara mantap. (Impian di Bilik Merah, 2014:512).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perempuan yang dijadikan budak sangat taat dengan sistem yang ada dan tidak berani untuk melawannya. Hal ini disebabkan karena pada masa feodal apabila ada anak perempuan atau anak laki-laki yang lahir dari keluarga miskin, maka harus dijadikan budak. Sama halnya dengan ayah dan ibu Yuanyang yang dari kecil juga sudah menjadi budak di keluarga Jia.

Sejatinya pelaku utama dalam suatu kehidupan masyarakat adalah kelas-kelas sosial, yaitu kelas-kelas atas yang terdiri dari kaum Borjuis dan kelas-kelas bawah yang terdiri dari kaum Proletar. Pada pembagian kelas ini, Karl Marx memberi perhatian lebih terhadap ketidakadilan yang terjadi diantara kedua kelas tersebut. Kaum Borjuis lebih melaksanakan kegiatan yang terlalu berlebihan terhadap kaum Proletar. Kaum Borjuis membeli tenaga yang dimiliki kaum Proletar dengan harga yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat. Padahal sejatinya yang menjual jasa adalah kaum Proletar, namun yang mendapat keuntungan justru kaum Borjuis.

Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham feodalisme, yang mana paham tersebut selalu merendahkan kaum Proletar, terlebih lagi kaum perempuan. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum Proletar terutama perempuan akan memberontak dan menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan Yuanyang, berani mengatakan “tidak” demi mempertahankan harga dirinya sebagai seorang perempuan. Dia sangat menjunjung nilai-nilai kesucian dan selalu memegang teguh apa yang menjadi pendapatnya. Menurutnya, apabila ingin bebas maka kita harus melawannya walaupun akan menanggung resiko tinggi. Sebagai seorang budak, kalau ada kesempatan tidak menjadi budak lagi dapat dikatakan sebagai hal yang baik. Penolakan yang dilakukan Yuanyang mencerminkan dia tidak rela hati menjadi mainan kaum laki-laki.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam hidup seorang perempuan memang sepantasnya untuk memberontak sistem feodal, sehingga perempuan pun bisa mendapatkan kebebasan. Menjadi seorang

feminisme Marxis seperti di dalam novel Impian di Bilik Merah, salah satu caranya. Menentang sistem feodal sehingga keadilan pun dapat ditegakkan kembali.

Menurut pendapat penulis, perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja dan perempuan borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa tertindas dari dalam rumah, maka perempuan borjuis harusnya dapat merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan tersendiri dalam hubungan persaudaraan yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan.

Cita-cita Marxis untuk menciptakan dunia yang nyaman bagi perempuan, agar perempuan dapat mengalami dirinya sebagai manusia yang utuh. Dengan adanya cita-cita ini dapat menginspirasi perempuan dari berbagai kelas untuk menyatukan kekuatan atas dasar penindasan yang sama sebagai kesadaran penuh untuk merebut kebahagiaan bersama.

BAB V

Dokumen terkait