• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Feminisme Pada Novel Impian Di Bilik Merah 1 Karya Cao Xueqin 小说 《红楼梦》女性主义的分析 Xiaoshuo (Hónglóumèng) Nǚxìng Zhǔyì De Fēnxī Chapter III V"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metodologi yaitu landasan yang berupa tata aturan kerja dalam penelitian dan bertujuan untuk membuktikan jawaban yang dihasilkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

Menurut Whitney (dalam Nazir, 2011:54), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode ini digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab permasalahan yang dihadapi sekarang. Metode ini menempuh langkah-langkah pengumpulan data, analisis data, membuat kesimpulan, dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskriptif situasi, memfokuskan pada analisis isi.

(2)

peneliti diharapkan fleksibel dan reflektif tetapi tetap mengambil jarak (Mc Fracken dalam Brannen, 1997:11)

Di dalam penelitian kualitatif konsep dan kategorilah, bukan kejadian atau frekuensinya, yang dipersoalkan. Dengan kata lain, penelitian kualitatif tidak meneliti suatu lahan kosong tetapi ia menggalinya (Mc. Cracken dalam Brannen, 1997:13).

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian ilmiah seyogyanya dimaksudkan untuk memperoleh bahan yang relevan, akurat, dan realibel (Hadi dalam Jabrohim, 2001:41). Relevan berarti berkaitan erat dengan tujuan penelitian;

akurat berarti sesuai atau tepat untuk tujuan penelitian; dan realibel berarti dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Dalam penelitian kualitatif peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual (Moleong dalam Jabrohim, 2001:42). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penelitian kepustakaan atau studi pustaka. Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Membaca novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin.

2. Mengamati dan menganalisis makna setiap kalimat atau wacana di dalam novel.

3. Mengklasifikasikan unsur-unsur feminisme dalam kalimat, kutipan atau wacana di dalam novel.

(3)

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca (Nazir, 2011:358). Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dalam mengkaji data. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang kemudian disusul dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan dalam kartu data. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 2. Melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap data yang sudah

diidentifikasi.

3. Melakukan pencatatan ulang data-data yang sudah diidentifikasi tersebut. 4. Menafsirkan seluruh data untuk menemukan kepaduan dan hubungan antar

data sehingga diperoleh pemahaman terhadap masalah yang diteliti 5. Membuat kesimpulan.

3.4 Data dan Sumber Data 3.4.1 Data

(4)

3.4.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebuah novel yang berjudul Impian di Bilik Merah 1 karya Cao Xueqin, yang dijadikan sebagai sumber data primer. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Judul : Impian di Bilik Merah 1 (Hong Lou Meng)

Penulis : Cao Xueqin

Penyunting : Agatha Tristanti dan Ken Diani Milati Desain Cover : Helen Lie

Tahun Terbit : 2014

Penerbit : Bhuana Sastra (Imprint dari PT.BIP) Jenis : Novel

Cetakan : Pertama

Tebal : 548 halaman (34 bab)

(5)

BAB IV PEMBAHASAN

Bab empat berisi tentang analisis struktur pada Novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin. Novel ini dikaji dengan menggunakan kajian feminisme Marxis. Penulis mendeskripsikan figur tokoh perempuan dan perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme. Bab empat ini juga menggambarkan tentang sosok perempuan China dalam kebudayaannya yang Patriarki, termasuk kedudukan perempuan dalam masyarakat feodal yang mengutamakan kaum laki-laki dan merendahkan kaum perempuan. Untuk mendukung analisis tentang feminisme pertama-tama penulis mendeskripsikan tentang unsur-unsur struktural yang terdapat dalam novel, yang mana penulis fokus pada tema, penokohan/perwatakan dan alur cerita (plot). Selanjutnya dianalisis unsur-unsur struktural tersebut berdasarkan pendekatan feminisme Marxis. Analisis itu diperlukan untuk menunjukkan adanya perbedaan gender

antara laki-laki dan perempuan, dan dengan analisis itu diharapkan perempuan dapat mencapai kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

4.1 Analisis Struktur Pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

(6)

4.1.1 Tema

Tema adalah ide pokok pengarang dalam membuat suatu karya sastra yang ingin disampaikan kepada pembaca. Cao Xueqin dalam novelnya mengangkat tema “kedudukan perempuan terhadap sistem feodal”. Masyarakat feodal adalah

masyarakat yang mengutamakan kaum laki-laki dan merendahkan kaum perempuan. Perempuan tidak berhak mendapat pendidikan. Hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar perempuan di rumahnya.

Pada novel Impian di Bilik Merah ada tiga sistem feodalisme, yang pertama yaitu sistem ujian negara. Sistem ujian negara adalah satu-satunya jalan untuk menjadi pejabat. Maka, laki-laki harus rajin belajar Konghucuisme dan Menghucuisme yang pada masa feodal menjadi filsafat dominan di Tiongkok. Pada masa feodal jika seorang laki-laki rajin belajar, lulus ujian negara dan menjadi pejabat akan dianggap sukses dan merupakan cita-cita umum. Hal itu tertulis pada kutipan-kutipan berikut:

Di ibu kota, Yu Cun lulus ujian dengan nilai tinggi sekali, sehingga memperoleh gelar Jin Shi. Ia lalu ditugaskan di beberapa daerah, dan setelah bertugas sebgai hakim, akhirnya ia diangkat menjadi Kepala Daerah Ru Zhou. (Impian di Bilik Merah, 2014:33).

Lin Ruhai sendiri memperoleh jabatan sebagai Komisaris Perdagangan Garam setelah berhasil lulus Ujian Negara. Karena hasil nilai ujiannya bagus sekali, ia memperoleh gelar tanhua, gelar peringkat kedua terbaik dalam Ujian Negara. (Impian di Bilik Merah, 2014:34 dan 36).

Untuk mencapai cita-citanya, Jia Zheng berusaha meningkatkan kedudukannya dengan mengikuti Ujian Negara. (Impian di Bilik Merah, 2014:42-43).

(7)

tualah yang akan menentukan. Jika orang tua sudah meninggal, tanggung jawab ini terletak pada kakak sulung. Pada novel diceritakan bahwa Lin Daiyu agak khawatir pernikahannya dengan Baoyu karena orang tuanya sudah meninggal, sedangkan dia tidak memiliki kakak. Oleh karena itu, hak ini terletak pada neneknya, yaitu Jia Mu atau disebut sebagai Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar tidak menyetujui pernikahan Baoyu dan Daiyu, mereka tidak boleh menikah.

Pernikahan kekerabatan tidak dilarang, melainkan sangat populer di masyarakat pada saat itu. Pernikahan kekerabatan yang terjadi di 4 keluarga itu dengan tujuan memperkokoh kekuatan keluarganya. Hal ini terlihat di dalam novel, seperti Wang Xifeng dengan Jia Lian. Wang Xifeng adalah keponakan ibu Baoyu yang dikenal dengan sebutan Nyonya Wang, sedangkan Jia Lian adalah keponakan Jia Zheng, ayah dari Baoyu. Selain itu ada pula Baoyu yang akan dijodohkan dengan Lin Daiyu dan Xue Baochai. Keduanya adalah saudara sepupu Baoyu. Hal itu tertulis pada kutipan berikut:

Mendengar kata-kata Xifeng, Lin Daiyu menukas sambil tertawa, “Coba kalian dengar kata-katanya. Baru saja dia memberi kita sedikit teh, langsung meminta ganti.”

“Seharusnya begitu,” ujar Xifeng. “Bukankah kau telah menerima teh kami? Tapi kenapa kau tidak mau menjadi menantu kami?” (Impian di Bilik Merah, 2014:366).

(8)

Pada masa feodal, kaum perempuan diindoktrinasi (sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan perilaku tertentu) bahwa jika seorang perempuan menikah lagi sesudah suaminya meninggal, maka dianggap tidak suci lagi. Tetapi jika tidak menikah lagi dan menjaga kesucian diri maka akan dihormati orang.

Kedudukan budak sangat rendah. Di keluarga kaya, tuan muda dan nona masing-masing dicarikan ibu susu dan Ya Tou, panggilan untuk budak perempuan, yang usianya hampir sama dengan tuan muda dan nona tersebut. Tugasnya adalah melayani berganti pakaian, membawakan makanan dan minuman. Tugas lainnya yaitu sebagai teman cerita tuan muda dan nona. Seorang Ya Tou dapat dijadikan

Ya Tou Tong Fang atau budak kesayangan jika pemiliknya suka padanya. Bahkan,

Ya Tou Tong Fang lebih menderita karena selain melayani pemiliknya dalam kehidupan sehari-hari, dia juga harus melakukan hubungan intim dengan pemilik laki-lakinya. Pada hakikatnya, Ya Tou Tong Fang tetap seorang budak, kedudukannya lebih rendah dari gundik. Seorang gundik mempunyai Ya Tou

untuk melayaninya meskipun dia bukan istri yang dapat dibenarkan sepenuhnya. asal istri yang resmi belum meninggal, gundik tidak ada kesempatan menjadi istri yang resmi. Di depan istri resmi dan suaminya, gundik adalah budak. Di depan Ya Tou dan pelayan lain, gundik baru mempunyai kesempatan berlaku sebagai majikan. Hal itu tertulis pada kutipan berikut:

Karena Lin Daiyu hanya membawa seorang pelayan muda bernama Xue Yan, “Itik Salju”, Nyonya Besar lalu memberinya Ying Ge, “Tekukur Ungu”, sebagai teman.

(9)

Pengasuh Baoyu bernama Li Ma. Pelayannya yang bernama Xiren, alias “Semerbak Harum”, juga merupakan pelayan kesayangan Nyonya Besar. (Impian di Bilik Merah, 2014:68).

Mula-mula Xiren menolaknya, tetapi setelah didesak, akhirnya ia menyetujui. Apalagi, ia pun tahu bahwa akhirnya ia akan menjadi selir Baoyu. Sejak itu, Baoyu menjadi lebih menyayanginya. Xiren pun melayani tuan mudanya dengan lebih patuh lagi. (Impian di Bilik Merah, 2014:108-109).

4.1.2 Penokohan dan Perwatakan

Dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin banyak sekali tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Hampir semua tokoh yang muncul telah mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh. Tokoh yang paling dominan dalam novel ini adalah Jia Baoyu, Lin Daiyu dan Xue Baochai. Mereka digambarkan sebagai nyawa dari Griya Rong Guo, kediaman keluarga besar Jia Fa dan segala keturunannya. Tokoh dan watak perempuan yang terdapat pada novel ini yang sesuai dengan judul penulis akan dijelaskan dalam uraian berikut:

a) Lin Daiyu

Lin Daiyu adalah tokoh utama perempuan dalam novel ini. Dari segi fisiologis, Lin Daiyu digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik dan mempunyai sopan santun. Namun kenyataannya Lin Daiyu adalah sosok perempuan yang mempunyai penyakit yang tak kunjung sembuh. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

(10)

neneknya lalu bertanya, “Kulihat kau beigtu lemah, apakah kau telah memeriksakan diri ke tabib secara teliti? Obat apa saja yang telah diberikan kepadamu?”

Lin Daiyu lalu melanjutkan, “Aku ingat ketika aku berumur 3 tahun, seorang biksu Buddha berambut kusut masai datang menemui ayah, meminta untuk membawaku pergi untuk dijadikan tumbal pengorbanan kepada Buddha. Jika biksu Buddha itu boleh membawaku, aku akan baik; kalau tidak, aku akan sakit-sakitan. Aku tidak boleh menangis terisak-isak, juga tidak boleh menemui sanak saudara dari pihak ibu. Tentu saja, tidak ada yang mengacuhkan nasihat itu karena menggelikan dan tidak masuk akal.” (Impian di Bilik Merah, 2014:56).

Dilihat dari segi sosiologis, Lin Daiyu adalah perempuan keturunan bangsawan yang terlahir dari keluarga Jia, yaitu Jia Min dan Lin Ruhai yang tinggal di kota Yang Zhou. Dia terlahir ketika ayahnya sudah berumur 40 tahun. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

Lin Ruhai orang kelahiran Su Zhou, dari keluarga terpandang. Kakek buyutnya dulu bangsawan kepala daerah. Walau Lin Ruhai sudah mengambil beberapa orang selir, takdir tetap menentukan lain dan ia pun tak punya pewaris lelaki.

Pada usia 40 tahun sekarang, ia hanya mempunyai seorang anak perempuan dari istrinya, Nyonya Jia. Anak itu diberi nama Lin Daiyu, yang sekarang berumur 5 tahun. (Impian di Bilik Merah, 2014:34 dan 36).

Lin Daiyu juga seorang anak yang cerdas dan memiliki semangat dalam belajar. Sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut:

Yu Cun amat senang dengan pekerjaannya, apalagi Daiyu yang menjadi murid tunggalnya adalah anak yang cakap dan sangat bersemangat belajar. (Impian di Bilik Merah, 2014:36).

(11)

tangisan, juga tidak boleh mengeluarkan air mata. Penyakitnya akan sembuh jika dia menjadi seorang biksuni seperti yang dikatakan biksu Buddha kepada orang tuanya.

Lin Daiyu berasal dari keluarga keturunan bangsawan yang mana pada masa itu jika ada keluarga keturunan bangsawan boleh mendapat pendidikan. Pada masa itu, hanya keluarga kaya yang mampu menggaji guru untuk mengajar wanita di rumahnya. Ayah Daiyu, Lin Ruhai sangat menyayangi anak perempuan tunggalnya. Dia memberikan pendidikan kepada anaknya meskipun pendidikan hanya diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Untuk itu dia mencari guru untuk mengajar anaknya. Dan akhirnya seseorang bernama Yu Cun yang disetujui untuk dijadikan guru bagi Lin Daiyu dan menurutnya Lin Daiyu adalah seorang anak yang cerdas.

Ketika berumur 6 tahun, ibunya meninggal karena penyakit menahun. Nenek Lin Daiyu, Nyonya Besar, memintanya untuk tinggal bersama. Tak berapa lama setelah dia tinggal bersama neneknya di Griya Rong Guo, ayahnya pun meninggal dunia akibat sakit yang dialaminya.

Dilihat dari segi psikologis, Lin Daiyu adalah seorang perempuan yang sangat sensitif perasaannya. Seperti yang terlihat pada kutipan-kutipan berikut:

“Oh, dia mirip sekali dengan Lin Meimei.”

Mendengar terkaan Xiang Yun, semua tertawa sambil mengiyakan bahwa pemain itu mirip sekali dengan Lin Daiyu.

Tiba-tiba, Lin Daiyu cemberut sehingga suasana menjadi tidak nyaman. Lin Daiyu pun pergi ke kamarnya.

Baoyu masuk ke kamar Lin Daiyu dan berkata, “Kenapa kau harus tersinggung?”

(12)

Namun tak lama kemudian, ia melihat sekelompok orang menuju ke kediaman Baoyu. Xifeng dan Nyonya Besar tampak di antara mereka.

Oh, alangkah bahagianya Bao Yu karena setiap orang selalu memperhatikannya, pikirnya. Sungguh berbeda dengan diriku. Apakah hal ini karena kedudukan orangtuanya? Tiba-tiba saja hati Lin Daiyu jadi sedih. (Impian di Bilik Merah, 2014:447).

Dari kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bahwa Lin Daiyu perasaannya sangat mudah tersinggung, apabila orang lain membicarakan hal yang tidak baik kepadanya, dia akan marah bahkan sampai menangis. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan dirinya yang telah kehilangan kedua orang tua ketika usianya masih sangat muda. Bagi anak, orang tua adalah guru dalam melakukan hal apapun. Hubungan yang baik dengan kedua orang tua berdampak untuk membentuk karakter anak. Di dalam batin seorang anak, apabila kehilangan kedua orang tua pasti akan memendam sebuah perasaan murung “di dunia ini hanya tinggal diri

sendiri sangat tidak beruntung”. Sehingga anak tersebut akan selalu merasa

rendah diri di hadapan orang lain. b) Xue Baochai

Xue Baochai adalah anak dari adik perempuan ibu Baoyu, dikenal oleh keluarga Jia sebagai Bibi Xue. Dilihat dari segi fisiologis, ia adalah seorang perempuan yang cantik dan rendah hati. Ditinjau dari segi sosiologis, Xue Baochai adalah sosok yang disenangi keluarga dan patuh terhadap tradisi serta nilai-nilai tradisional. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut:

(13)

Kecerdasannya ternyata 10 kali lipat dari kakaknya. Namun setelah ayahnya meninggal, ia kurang tertarik pada buku. Apalagi, ia menyadari betapa nakal kakaknya. Karena itu, ia memutuskan untuk ikut merasakan tanggung jawab ibunya. (Impian di Bilik Merah, 2014:90).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa di dalam keluarganya, hanya Xue Baochai lah yang dapat dibanggakan. Kakak laki-lakinya sangat dibenci oleh keluarganya karena sifatnya yang tidak baik. Karena ayahnya yang meninggal ketika masih kecil, ibunya menggantungkan masa depan keluarganya kepada dirinya.

Selain itu, Xue Baochai juga selalu menghibur hati orang lain ketika sedang bersedih. Seperti tertulis pada kutipan berikut:

“Kau orang sabar,” kata Baochai. “Karena itu, aku tak perlu lagi mengatakan soal sikap majikanmu terhadapmu. Tapi karena hari ini dia tidak dapat mengendalikan diri, dia lupa apa yang telah dilakukannya terhadapmu. Padahal ia merasa dekat sekali denganmu. Apalagi, tak ada orang lain yang bisa menenangkannya jika ia marah. Sekarang, jika kau menangis terus, semua orang akan mendengarnya dan akan menertawakan majikanmu. Bukankah kau tak menginginkan hal seperti itu terjadi?” (Impian di Bilik Merah, 2014:486-487).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Xue Baochai tidak ingin hati orang lain selalu bersedih. Tidak peduli meskipun seorang pelayan yang sedang bersedih, ia selalu berusaha menghiburnya. Dia adalah perempuan yang selalu berusaha melihat segala sesuatu secara positif. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, dan lebih suka mencari solusi daripada membuat orang frustasi.

(14)

“Kemarin, kulihat resep obatmu banyak menggunakan ginseng dan kayu manis. Kurasa ramuan itu hanya untuk memperkuat saraf dan merangsang semangat saja. Jadi, tidak baik jika kau meminum terlalu banyak obat yang mengandung panas. Seharusnya, kau memperkuat hatimu dulu, karena itu dapat mempengaruhi unsur bumi sehingga kau bisa mencerna makanan lebih baik. Sebaiknya kau makan saja sup yang dibuat dari satu ons sarang burung dan setengah ons gula batu. Ini lebih baik dari obat, dan sarang walet lebih bermanfaat bagimu daripada yang lain,” kata Baochai. (Impian di Bilik Merah, 2014:450).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang perempuan bernama Xue Baochai sangat memperhatikan kesehatan saudaranya. Meskipun terkadang Lin Daiyu merasa iri dan cemburu dengan kedekatan Xue Baochai bersama Baoyu, tapi Xue Baochai tidak membalas kecemburuan Lin Daiyu dengan kecemburuan juga. Dia lebih suka memperhatikan kesehatan orang lain karena kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi semua manusia.

c) Wang Xifeng

Wang Xifeng merupakan tokoh antagonis dalam novel ini. Dia adalah keponakan Nyonya Wang, ibu Baoyu, yang menikah dengan Jia Lian. Jia Lian adalah anak laki-laki Jia She, yang merupakan putra pertama Nyonya Besar.

Dari segi fisiologis, Wang Xifeng memiliki wajah yang cantik, matanya seperti mata burung phoenix, bertubuh semampai, dan bergaya glamour atau mewah. Hal itu tertulis seperti kutipan berikut:

Kira-kira dua tahun yang lalu, Lian telah kawin dengan keponakan Nyonya Wang bernama Xifeng, si „Burung Cantik‟. Meski tak suka membaca, tapi tutur katanya halus di tengah-tengah keluarganya. (Impian di Bilik Merah, 2014:47).

(15)

cucu di situ. Selain itu, ia pun mengenakan perhiasan yang serba gemerlap. (Impian di Bilik Merah, 2014:58).

Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ karena matanya besar dan tajam seperti burung phoenix. Phoenix dalam mitologi China merupakan burung yang lemah lembut, ia turun dengan sangat hati-hati sehingga tidak merusak apa pun yang dipijak atau disentuhnya. Phoenix dianggap kekuatan yang dikirim dari surga yang ditujukan untuk kaisar. Phoenix, dalam bahasa Mandarin disebut feng huang, mengindikasikan bahwa feng adalah kata „angin‟ sehingga pada masa

legenda phoenix dikenal sebagai dewanya angin. Dalam sejarah China, phoenix

menjadi simbol sanjungan bagi penguasa yang berhasil dalam memimpin negara dengan damai. Berdasarkan penjelasan tentang burung phoenix tersebut, maka pantaslah Wang Xifeng disebut sebagai „Burung Cantik‟ yang sesuai dengan

fisiknya.

Dari segi sosiologis, Wang Xifeng sedikit dermawan. Dia pernah menolong kerabatnya yang miskin. Seperti pada kutipan berikut:

Xifeng kemudian mengambilnya, lalu memberikannya kepada nenek Liu.

“Terimalah perak ini dan buatlah pakaian untuk anak-anak,” kata Xifeng. “Sering-seringlah datang kemari jika tidak ada kesibukan. Bukankah kita ini masih saudara? Tapi aku juga tidak berusaha untuk menahan kalian karena aku tahu hari sudah siang, sedangkan perjalanan pulangmu masih jauh. Hanya saja, kumohon agar kalian mau menyampaikan salamku kepada siapa saja yang masih ingat kepada kami.” (Impian di Bilik Merah, 2014:124).

(16)

Dari segi psikologis, Wang Xifeng memiliki watak yang kejam, terutama kepada pelayan yang membantah perintahnya. Dia juga suka merendahkan para pelayan. Seperti pada kutipan-kutipan berikut:

Kemudian, ia memberi perintah dengan nada keras, “Bawa dia keluar, dan cambuk dia 20 kali.” Mendengar keputusan itu, tak seorang pun pembantu yang berani memohon pengampunan padanya karena raut muka Xifeng sangat menakutkan hingga menggetarkan hati semua orang. Karena itu, mereka langsung menarik keluar pembantu yang lalai itu, dan mencambuknya sebanyak perintah yang diberikan. Sebagai lanjutan hukuman itu, ia tidak diberi gaji selama sebulan. (Impian di Bilik Merah, 2014:222-223).

Sesudah berkata begitu, Xifeng menampar pipi kiri dan pipi kanan pelayan itu. Seketika itu juga, muka pelayan itu menjadi sembab.

“Coba kau tampar dia,” perintah Xifeng. “Tanyakan padanya, kenapa dia lari. Jika tidak mengaku, robek saja mulutnya!” (Impian di Bilik Merah, 2014:480-481).

Mendengar kata-kata Jia Lian, akhirnya Xifeng naik pitam. Karena mengira Ping-Er secara diam-diam suka mengadu kepada Jia Lian, Xifeng lalu menghampiri Ping-Er dan langsung menampar mukanya. Sesudah itu, ia segera masuk ke kamar, lalu menjambak istri Bao-Er dan memukulnya bertubi-tubi. (Impian di Bilik Merah, 2014:483).

(17)

Wang Xifeng juga sangat pandai memeriksa hati seseorang dari air muka dan ucapannya. Hal ini membuat banyak orang yang was-was jika bertemu dengannya. Tertulis dalam kutipan berikut:

Saat itu, datanglah para gadis muda dari Da Guan Yuan. Mula-mula mereka tampak ragu-ragu, tapi setelah mereka bertukar pandang, Xifeng akhirnya dapat menduga apa yang hendak mereka kemukakan.

Karena Xifeng dapat menerka tugas apa yang sebenarnya akan diberikan kepadanya, Xifeng segera berkata, “Kalian jangan mempermainkanku, sebab aku sudah tahu maksud kalian. Bukankah perkumpulan itu hanya untuk hiburan di antara kalian saja? Karena itu, kurasa kalian tidak memerlukan pengawasan. Tapi yang kalian butuhkan sebenarnya hanya orang yang dapat membiayai pertemuan itu. Betul, kan?”

Mendengar perkataan Xifeng yang tepat, akhirnya mereka tertawa. (Impian di Bilik Merah, 2014:491-492).

Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa kehebatan Wang Xifeng yang lain ternyata bisa membaca maksud seseorang hanya dari ekspresi muka dan ucapannya. Pada saat pihak pembicara tidak ada berbicara, dia sudah bisa menebaknya. Pihak pembicara baru saja akan bicara, dia sudah bisa menanganinya. Oleh karena itu, banyak orang-orang berkata kalau Wang Xifeng “punya seribu mata hati”.

Wang Xifeng juga memiliki sifat yang dengki. Seperti yang tertulis pada kutipan berikut:

Tabib kemudian memberinya resep ginseng dengan mutu paling tinggi, yang hanya terdapat di Tai Yuan. Ketika Nyonya Wang diminta untuk memberi ginseng itu, ia menyuruh Xifeng untuk memberikan ginseng itu. Namun, Xifeng malah mengirimkan ginseng yang bermutu rendah. (Impian di Bilik Merah, 2014:195).

(18)

Xifeng dan ingin selalu berada di dekatnya. Untuk itu dia mengatur rencana menipu Jia Rui sehingga dia menjadi sakit. Karena mengetahui yang sakit adalah Jia Rui, maka Wang Xifeng tidak ingin melihatnya sembuh. Untuk itu dikirimkannya ginseng yang bermutu rendah.

d) Yuanyang

Yuanyang adalah pelayan kesayangan Nyonya Besar. Dari segi fisiologis, dia adalah sosok perempuan yang cantik dan baik hati. Yuanyang juga seorang pelayan yang pintar dan terampil. Seperti yang tertulis dalam kutipan berikut:

Ketika Yuanyang berkunjung ke tempat Jia She, si tua ini terpesona oleh kecantikan Yuan Yang. Ia terus mengawasi gadis itu. (Impian di Bilik Merah, 2014:505).

Setelah menunggu beberapa saat di kediaman Nyonya Besar, Nyonya Xing segera masuk ke kamar Yuanyang. Di sana, ia mendekati Yuanyang yang sedang merenda dan memuji kepandaiannya. (Impian di Bilik Merah, 2014:508).

Dilihat dari segi psikologis, Yuanyang mempunyai sifat berpendirian teguh dan berani. Hal ini terjadi ketika Nyonya Xing mengatakan kepada Yuanyang tentang suaminya, Jia She, yang ingin menjadikannya selir. Terlihat pada kutipan berikut:

“Suamiku sedang membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya. Ternyata, dia memilihmu, Yuanyang. Dari sekian banyak calon yang ingin sekali terpilih, kaulah yang diambilnya. Jika pada suatu hari kau melahirkan bayi lelaki dari Jia She, kau akan mendapat tempat yang sederajat dengan yang lainnya. Mari kita menghadap Nyonya Besar.”

Yuanyang tidak menjawab, tetapi malah menarik tangannya secara kasar. (Impian di Bilik Merah, 2014:508-509).

(19)

hidupnya di atas dasar prinsip kebenaran yang bersifat mutlak. Dia sangat menjunjung nilai nilai kesucian dan tidak pernah merasa malu untuk menunjukkan prinsipnya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan kepada orang yang pada dasarnya tidak suka dengan prinsip kebenarannya.

Sifat beraninya muncul ketika dia menolak tawaran Nyonya Xing. Dia tidak mau dijadikan selir meskipun yang akan menikah dengannya adalah anak majikannya sendiri, yang mana pada masa itu jika ada perempuan budak yang akan dijadikan selir merupakan suatu kebanggan bagi dirnya dan keluarganya. Terlebih lagi jika bisa melahirkan anak laki-laki yang sesuai dengan sistem Patriarki pada masa itu. Dia berani untuk menolak demi mempertahankan harga dirinya sebagai seorang perempuan dan juga tidak bersedia mengalah demi kepentingan orang banyak terhadap sistem feodal pada masa itu.

4.1.3 Alur Cerita (Plot)

(20)

1. Tahap Pertama

Pada tahap ini pembaca akan diajak menyaksikan awal mula riwayat „Si Batu‟ yang tertarik pada dunia manusia dan minta dibawa ke

dunia manusia. Cerita dimulai dengan memperkenalkan tokoh Shi Yin sang penjaga Kuil Labu.dan Jia Yu Cun, seorang pelajar dari kalangan miskin, yang bertetangga dengan Shi Yin karena tinggal di Kuil Labu.

Dengan kesaktiannya, Dewi Nuwa mencurahkan sinar kehidupan pada batu itu, dan memberkatinya dengan daya kekuatan sakti. Dengan demikian, batu itu dapat muncul ataupun lenyap secara mendadak.

Pada suatu hari, ketika si Batu sedang meratapi nasibnya, ia melihat seorang biksu Buddha dan pendeta Tao berjalan mendekatinya. Keduanya sedang berbicara tentang keindahan di Debu Merah.

Mendengar hal itu, timbul godaan duniawi pada si Batu. Ia tergugah ingin merasakan kenikmatan kehidupan fana. Karena itu, disapanya biksu dan pendeta itu. (Impian di Bilik Merah, 2014:1-2).

(21)

“Aku akan senang sekali kalau kau bisa membantuku. Kebetulan, ibu mertuaku ingin agar anak perempuanku, Lin Daiyu alias „Batu Giok Hitam‟, tinggal bersamanya untuk merawat neneknya.

“Karena kau ingin pergi ke ibu kota, maukah kau ikut berlayar bersama anakku?”

Yu Cun menyetujui saran itu. (Impian di Bilik Merah, 2014:48).

2. Tahap Kedua

Pada tahap ini akan terlihat Lin Daiyu telah tiba di kediaman neneknya, yaitu di Griya Rong Guo. Dia disambut dengan hangat oleh neneknya. Kemudian diceritakan pertemuan pertama antara Lin Daiyu dengan Jia Baoyu. Cerita berlanjut ke flash back masa lalu Xue Pan dan cerita mengenai keluarganya. Xue Pan merupakan kakak laki-laki Xue Baochai yang suka congkak, pemarah, boros dan mata keranjang. Pada novel ini, semua kisah tokoh-tokohnya akan diceritakan dengan alur flash back.

(22)

Dalam novel ini banyak menceritakan perayaan-perayaan atau perkumpulan, seperti Perayaan Pesta Bunga, Perayaan Lentera Perayaan Ulang Tahun, Perkumpulan Para Penyair, bahkan Upacara Pemakaman pun diceritakan pada novel ini.

Di dalam novel ini juga diceritakan bagaimana peran wanita dalam mengurus keuangan istana yang biasanya hanya diurus oleh kaum laki-laki. Peran Wang Xifeng sangat berpengaruh dalam Griya Rong Guo. Dia sering diangkat jadi ketua pengawas, pengatur keuangan, bahkan akan diangkat menjadi Perdana Mentri.

3. Tahap Ketiga

Pada tahap inilah peran feminisme akan muncul. Seorang pelayan kesayangan Nyonya Besar, Yuanyang, diminta untuk menjadi selir Jia She yang memang suka dengan wanita-wanita muda dan cantik. Yuanyang menolak dengan tegas, bahkan berani bertindak kasar kepada atasannya, Nyonya Xing, istri Jia She, untuk mempertahankan pendiriannya. Dia lebih memilih mati atau menjadi biarawati, daripada harus menikah dengan “Si Tua Mata Keranjang” itu.

(23)

dihina oleh orang tuanya pun menjadi malu. Dia pura-pura sakit, tapi tetap membeli seorang gadis sebagai pengganti Yuanyang.

Cerita berakhir dengan Xue Pan, kakak laki-laki Xue Baochai, yang ingin merayu Liu Xiang Lian, pemuda yang gemar main sandiwara yang merupakan teman Baoyu dan Qin Zhong. Sepanjang Pesta Pengangkatan Lai Shang Rong menjadi pegawai kehakiman, Xue Pan terus memandangi Liu Xiang Lian dan diam-diam mengajaknya berduaan saja. Xiang Lian pun mengusulkan pergi ke tempat yang sepi untuk bicara berdua saja. Sampai di suatu rawa yang sepi, jauh dari desa dan kuil, mereka pun bertemu. Xiang Lian ingin mereka melakukan sumpah. Belum lagi Xue Pan selesai mengucapkan sumpah, tiba-tiba dari belakang Xiang Lian memukulnya. Kemudian Xue Pan ditendang, dipukul habis-habisan sampai disuruh minum air rawa yang kotor.Setelah puas, Xiang Lian pun pergi. Tak lama, Jia Rong menemukannya, lalu membawanya pulang ke rumah menggunakan tandu. Setelah sembuh, Xue Pan terpaksa meninggalkan ibu kota agar teman-temannya melupakan tingkah lakunya yang hina.

(24)

pribadinya, berdasarkan budaya Patriarki yang selalu menganggap bahwa perempuan itu lebih rendah.

4.2 Analisis Kandungan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan harus sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa kaum perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan keinginan kesetaraan gender.

Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Hal barusan mengisyaratkan pentingnya kesetaraan dalam hak. Aspek ini juga berlaku bagi dunia kesastraan.

Perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra. Penempatan perempuan pada nilai-nilai kultural yang mempunyai kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum pria. Sebuah karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasan maupun berusaha menjadikan perempuan sebagai objek, tapi juga ingin menghapus perbedaan yang ada selama ini sehingga tercapai persamaan gender yang diinginkan.

4.2.1 Figur Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel

Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

(25)

Guo, terselip berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan China. Dalam novel ini ada dua perempuan dimunculkan sebagai sosok-sosok yang berambisi, terampil dan patuh terhadap majikan. Dua tokoh paling penting yang sangat berpengaruh dalam penceritaan novel ini adalah Wang Xifeng dan Yuanyang.

Figur tokoh perempuan China yang sangat berambisi adalah Wang Xifeng, seorang perempuan dari kelas bangsawan yang berambisi besar untuk dapat menguasai griya Rong Guo. Padahal pada masa itu, perempuan hanya bisa berdiam diri di rumah dan dilarang untuk memimpin suatu kedudukan. Terlihat pada kutipan berikut ini:

Namun ternyata, Xifeng ingin sekali menerima tugas itu sehingga ia agak mendesak, “Kuharap Bibi menyetujuinya karena kakak tertua benar-benar membutuhkan bantuan kita.”

“Apakah kau yakin bisa menunaikan tugas itu?”tanya Nyonya Wang.

“Saya rasa tugas itu tidak terlalu sulit,” jawab Xifeng. “Bukankah kakak tertua sudah mengaturnya? Saya hanya bertugas mengawasi pekerjaan dalam rumah saja. Jika ada yang tidak saya ketahui, bukankah saya bisa bertanya pada Bibi?” (Impian di Bilik Merah, 2014:217-218).

(26)

memamerkan kepandaiannya di hadapan keluarganya, terdapat dalam kutipan berikut:

“Kurasa kurang bijaksana kalau kita menempatkan para biksuni dan pendeta wanita itu di beberapa kuil. Jika sewaktu-waktu Yang Mulia Yuan Chun diizinkan mengunjungi kita lagi, kita tentu harus mengumpulkan mereka kembali secara terburu-buru. Menurut pendapatku, lebih baik kita menempatkan mereka di Biara Bulan Air. Selain biayanya tidak besar, mereka juga mudah dipanggil bila diperlukan.” (Impian di Bilik Merah, 2014:349-350).

Kutipan di atas merupakan pendapat Xifeng dalam hal mencarikan tempat tinggal bagi para biksuni muda Buddha dan pendeta wanita Tao. Dia berpendapat bahwa lebih baik para biksuni dan pendeta wanita tinggal di tempat mereka daripada harus tinggal di beberapa kuil. Pendapatnya yang lain juga terlihat pada kutipan berikut ini:

“Jika saya jadi Ibu Mertua,” kata Xifeng, “Saya akan berpikir seribu kali, sebab Nyonya Besar selain tidak mau ditinggalkan oleh Yuanyang, beliau juga sering mengatakan bahwa dia tidak senang terhadap ayah mertua yang suka mencari selir. Menurut pendapat saya, lebih baik Ibu Mertua mencegahnya. Memang siapa saja bisa berbuat begitu selagi masih muda, tapi lain halnya jika sudah punya anak, keponakan, dan cucu. Jika sampai memalukan, tentu Nyonya Besar akan mengecamnya secara terbuka.” (Impian di Bilik Merah, 2014:503-504).

(27)

sebab itu dia mencari Wang Xifeng untuk mencari solusi dan pendapat Wang Xifeng pun diterimanya.

Kemudian ada figur perempuan China yang memiliki keterampilan khas seorang perempuan kelas bawah yaitu Yuanyang, seorang pelayan kesayangan Nyonya Besar. Perempuan China yang berkelas bawah harus bekerja sebagai pelayan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedudukan budak muda atau Ya Tou sangat rendah pada masa itu. Mereka harus melayani semua kebutuhan majikannya, seperti melayani berganti pakaian, membersihkan semua ruangan majikannya, serta membawakan makanan dan minuman. Majikan dapat memaksakan kehendak kepada pelayannya. Seperti tokoh Yuanyang yang dipaksa menikah dengan suaminya Nyonya Xing, Jia She. Keluarga Yuanyang pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya, terdapat pada kutipan berikut:

“Kenapa kau tidak mau menjadi majikan atau nyonya? Masa kau ingin terus jadi pelayan? Coba kalau beberapa tahun lagi kau menikah dengan salah seorang pesuruh di sini, bukankah kau akan tetap menjadi budak? Ayo, pergi bersamaku. Kalau sekarang aku bersikap baik terhadapmu, sampai kelak pun aku akan tetap bersikap baik kepadamu.” (Impian di Bilik Merah, 2014:509).

Mendengar ancaman Jia She, Jin Wen Xiang tak bisa berbuat lain kecuali mengucapkan kata “ya, ya, ya” dan berjanji akan memaksa adiknya. (Impian di Bilik Merah, 2014:515).

(28)

rumah lama yang tidak memasang nama seorang selir, seperti terlihat pada kutipan berikut:

Selain itu, Kaisar juga memberi izin kepada keluarga selir dari Kerajaan Zhou dan Wu serta Griya Rong Guo untuk membangun istana atas biaya kaisar.

Da Guan Yuan, nama istana yang diberikan kepada Yuan Chun, didirikan di halaman Griya Ning Guo di bagian timur halaman Griya Rong Guo. (Impian di Bilik Merah, 2014:249).

Perempuan China pada masa feodal masih sangat taat pada adat yang sebagian besar merugikannya, bahkan mereka sering merasa tertindas oleh perbuatan majikannya. Dari sinilah Yuanyang ingin agar perempuan China dapat sedikit lebih dihargai agar mereka bisa merasakan kebahagiaan. Selain itu, untuk dapat menguasai suatu kekuasaan, perempuan China harus pandai bicara agar dapat memimpin suatu kekuasaan, seperti yang dilakukan Wang Xifeng. Perempuan China digambarkan sebagai perempuan yang ulet, pekerja keras dan patuh maka sudah sewajarnya perempuan mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki.

4.2.2 Perjuangan Tokoh Perempuan dalam Mewujudkan Feminisme pada Novel Impian di Bilik Merah Karya Cao Xueqin

(29)

menyadari. Hal ini diakibatkan dari sosialisasi masyarakat dan keluarga sehingga perempuan sendiri menganggapnya sebagai sebuah kodrat.

Dalam novel Impian di Bilik Merah terdapat tokoh-tokoh perempuan yang berani memperjuangkan hak-haknya dan melawan sistem budaya masyarakat Patriarkis. Tokoh-tokoh tersebut adalah Wang Xifeng dan Yuanyang.

Wang Xifeng adalah potret perempuan China yang ingin mendapat kesetaraan dengan laki-laki untuk memimpin suatu kekuasaan. Melalui novelnya, Cao Xueqin menguraikan tokoh perjuangan perempuan tersebut dengan melihat sisi lain perempuan, yaitu dari sisi kekuasaan perempuan dalam meminpin kekuasaan. Tokoh Wang Xifeng juga digambarkan Xueqin sebagai seorang perempuan yang berani bertindak kejam agar mendapat posisi kekuasaan tersebut. Xifeng dipercaya oleh keluarga Jia karena kepandaiannya dalam berbicara dan mengambil hati orang lain. Sebelum keinginannya terwujud, dia selalu bersikap manis di depan orang lain, terutama Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Terdapat dalam kutipan berikut:

“Yang penting,” kata Xifeng untuk mengambil hati, “Ibu Mertua tentu tahu apa yang terbaik, bukan? Siapa sih yang tidak mau mendaki sampai ke puncak?... (Impian di Bilik Merah, 2014:506).

“Dan kau Xifeng, kuharap kau jangan marah terhadapku,” kata Nyonya Besar sambil memegang Xifeng.

“Ah, padahal saya juga bersedia menerima amarah Nenek Mertua, tapi kenapa Nenek Mertua merasa telah berbuat salah pada saya,” kata Xifeng. (Impian di Bilik Merah, 2014:521).

(30)

yang membentuk keluarga tersebut. Dahulu keluargalah yang merupakan unit sosial yang paling kecil dan bukan individu.

Keluarga (Chia) dalam masyarakat China tradisional adalah keluarga kekerabatan yang diatur menurut sistem patrilineal. Istilah ini berarti bahwa keturunan dihitung menurut garis laki-laki. Posisi perempuan di masyarakat China tradisional sangat rendah dan harus patuh terhadap peraturan-peraturan.

Diantara berbagai peraturan yang harus dipatuhi oleh perempuan China adalah aturan Tiga Kepatuhan, yaitu patuh pada orang tua selama ia belum menikah, pada suami setelah ia menikah dan pada anak laki-laki setelah suaminya meninggal dunia. Aturan tersebut kemudian menjadi dasar bahwa seorang perempuan menjadi milik suami dan keluarga suaminya setelah ia menikah. Sebab, seorang perempuan secara langsung pindah dari rumah atau keluarga kandungnya, tempat dia lahir (niang jia) dan menjadi anggota keluarga suaminya (po jia). Dalam kehidupan berumah tangga, posisinya sebagai seorang istri dalam keluarga suaminya secara teoritis sangat tidak aman. Ketika menikah, maka ia berada di bawah kekuasaan keluarga suaminya, termasuk Ibu Mertuanya.

Sama halnya dengan Wang Xifeng, dia sangat patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya. Dia tidak berani melawan perintah mereka, terdapat pada kutipan berikut:

(31)

Orang yang berhak membantah Nyonya Besar hanya anak-anak kandungnya. Ying Chun juga tidak berani, sedangkan Xi Chun masih terlalu muda. (Impian di Bilik Merah, 2014:518, 520).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa seorang menantu tidak boleh membantah perkataan Ibu Mertuanya, yang boleh membantah hanyalah anak-anak kandungnya. Hal ini dikarenakan adanya aturan Tiga Kepatuhan yang dialami perempuan China seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Meskipun Wang Xifeng patuh terhadap Ibu Mertua dan Nenek Mertuanya, tetapi sikapnya tidak demikian terhadap suaminya. Xifeng sering meremehkan suaminya di hadapan orang lain karena sikap suaminya yang tidak pandai berbicara dan tidak bersikap sebagai seorang pemimpin. Terdapat pada kutipan berikut:

“Apakah kau yakin tugas itu dapat kau tangani?” tanya Jia Lian, sambil menatap Jia Qiang dari bawah ke atas,...

Xifeng lalu berkata kepada suaminya, “Rupanya kau kira dirimu saja yang mampu melakukan itu. Apa kau meragukan pertimbangan Jia Qiang? Seharusnya kita puas boleh belajar dari yang lain...

“Aku tidak meragukan pertimbangan Jia Qiang,” kata Jia Lian. “Tapi, aku hanya merasa heran.” (Impian di Bilik Merah, 2014:252, 254).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Wang Xifeng berani menegur suaminya karena telah meragukan kemampuan orang lain dalam membangun istana baru. Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh perempuan China yang telah menikah, yang mana seorang istri harus berkata lembut di hadapan suaminya, apalagi kejadian itu dilihat oleh orang lain.

(32)

Terutama Jia Zhen, putra Jia Jing yang berasal dari Griya Ning Guo. Jia Zhen seorang yang tidak suka ilmu pengetahuan, segenap tenaganya dihamburkan untuk hal sepele sehingga menggoyahkan kedudukan Griya Ning Guo. Oleh karena itu, dia mengajak Xifeng untuk bersama-sama mengurus Griya Ning Guo. Hal ini tidak disia-siakan oleh Xifeng, dengan penuh harap dia ingin berkuasa di Griya Ning Guo. Untuk itu dia menunjukkan semua kepandaiannya agar keinginannya dapat terwujud.

Dalam memimpin suatu kekuasaan, tokoh Wang Xifeng digambarkan sebagai sosok yang kejam dan berambisi. Sifat ambisi yang dimiliki Xifeng cenderung ke arah negatif. Dalam mewujudkan ambisinya, dia terlalu berambisi, sehingga ambisinya berlebihan dan tak jarang sampai menghalalkan segala cara. Saking berambisinya untuk memimpin suatu hal, dia jadi memaksa orang lain atau pelayannya terus menerus mengerjakan suatu tugas. Karena terlalu memaksa, pelayannya menjadi takut dan dia tidak segan menghukum jika ada yang melakukan kesalahan, meskipun kesalahan tersebut sedikit. Hal itu terlihat pada kutipan berikut:

“... Kerjakan apa yang kuperintahkan sebab bagi mereka yang berani mengabaikan kewajiban akan menerima hukuman yang setimpal, tak peduli betapa bagus pekerjaannya di bawah majikan dulu. Aku tidak mau membedakan siapa yang disayangi dan siapa yang tidak.” (Impian di Bilik Merah, 2014:220).

“Ping-Er, coba kau panggil dua orang pembantu, suruh mereka membawa cemeti untuk mencambuki si kurang ajar ini sampai kulitnya terlepas dari punggungnya,” katanya. (Impian di Bilik Merah, 2014:480).

(33)

Bodoh! Gila! Bisa-bisanya dia mengeluh karena gaji pelayannya dipotong. Sedikit pun dia tidak sadar bahwa sekarang setiap orang harus bisa membatasi kebutuhannya. Memangnya dia yang menggaji pelayan?” (Impian di Bilik Merah, 2014:453).

Kutipan di atas menandakan bahwa Wang Xifeng merupakan perempuan yang sangat tidak menyukai apabila perintahnya diabaikan. Dia juga suka bicara ketus, tak hanya kepada pelayan, tapi juga berprilaku sama bila melihat tingkah orang yang membuat dirinya kesal. Sikap ketus yang dimiliki Xifeng merupakan suatu bentuk pertahanan diri dalam mewujudkan feminisme. Selain itu sifat ambisinya yang besar dalam mencapai kekuasaan juga sebagai bentuk wujud feminisme.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam hidup seorang perempuan layak mempertahankan diri dalam sistem feodal. Seperti pada teori politik Marxis yang menawarkan suatu analisis kelas yang memberikan janji untuk membebaskan perempuan dari kekuatan yang menindasnya. Marxisme berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama membangun struktur sosial dan peran sosial yang memungkinkan kedua gender untuk merealisasikan potensi kemanusiaannya secara penuh.

Masyarakat akan percaya terhadap kemampuan dan kepemilikan perempuan jika perempuan itu sendiri mengungkapkan dan menunjukkannya dengan berani dan lugas. Untuk menjadi berani dan lugas, perempuan membutuhkan kesadaran dalam dirinya sendiri. Kesadaran dan kesiapan itu dibutuhkan untuk perubahan yang diperjuangkannya.

(34)

Bahkan, sebagian orang beranggap itu adalah suatu hal yang mustahil. Dalam hal ini, feminisme membutuhkan optimistis untuk mendapat keadaan seperti yang didambakan yaitu terjadi keadilan dan kesetaraan gender.

Selain tokoh perempuan yang bertindak kejam dalam mewujudkan feminisme, terdapat pula tokoh perempuan yang dianggap melakukan pemberontakan terhadap sistem feodal, yaitu Yuanyang. Dia memperjuangkan haknya dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasan memilih pasangan. Wujud feminisme yang dimiliki Yuanyang terlihat pada kutipan berikut:

Sekarang saya ingin katakan di depan Tuan muda Baoyu maupun di depan siapa saja, bahwa saya telah memutuskan untuk tidak kawin seumur hidup. Jika Nyonya Besar akan memaksa saya untuk kawin dengannya, lebih baik saya mati saja! Kelak jika Nyonya Besar wafat, saya pun tak akan kembali kepada orang tua atau abang saya. Lebih baik saya mati atau menjadi biarawati. Jika saya bersumpah palsu, semoga Langit, Bumi, Matahari, dan Bulan, bahkan semua setan atau iblis yang menjadi saksi akan mengutuk saya menderita sakit tenggorokan selama-lamanya.” (Impian di Bilik Merah, 2014:516).

Kutipan di atas menandakan bahwa Yuanyang sudah mempunyai jiwa seorang feminisme Marxis dengan keinginannya tidak menikahi anak majikannya yang dianggap akan merubah hidupnya menjadi lebih baik. Yuanyang berusaha keras untuk mewujudkan keinginannya itu. Dia rela mati bahkan memutuskan untuk tidak kawin seumur hidupnya.

(35)

Meskipun dia akan dijadikan selir, tapi dia tahu bahwa Jia She akan mencampakkannya bila sudah muak dengan dirinya.

Perempuan China seperti Yuanyang ini merupakan perempuan yang berasal dari kelas bawah dan tidak mempunyai hak istimewa dalam sistem feodal. Yang mana pada sistem feodal tersebut, perempuan selalu diremehkan keberadaannya. Perempuan yang bekerja sebagai budak sangat patuh bahkan mengabdi kepada majikannya, seperti yang dilakukan oleh Yuanyang. Sejak dia diambil dari orang tuanya untuk dijadikan budak, sedikitpun dia tidak pernah melawan majikannya, si Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar sedang jalan-jalan di taman, dia akan selalu mendampingi dan terkadang mengeluarkan pendapat tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Jika Nyonya Besar kedatangan tamu, dia akan langsung mengambil tempat duduk dan membuatkan minuman. Selama majikannya masih hidup, dia akan selalu mengikuti kemanapun majikannya pergi. Terdapat pada kutipan berikut:

“Selama Nyonya Besar masih hidup, aku tak akan meninggalkannya,” kata Yuanyang dengan suara mantap. (Impian di Bilik Merah, 2014:512).

(36)

Sejatinya pelaku utama dalam suatu kehidupan masyarakat adalah kelas-kelas sosial, yaitu kelas-kelas atas yang terdiri dari kaum Borjuis dan kelas-kelas bawah yang terdiri dari kaum Proletar. Pada pembagian kelas ini, Karl Marx memberi perhatian lebih terhadap ketidakadilan yang terjadi diantara kedua kelas tersebut. Kaum Borjuis lebih melaksanakan kegiatan yang terlalu berlebihan terhadap kaum Proletar. Kaum Borjuis membeli tenaga yang dimiliki kaum Proletar dengan harga yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat. Padahal sejatinya yang menjual jasa adalah kaum Proletar, namun yang mendapat keuntungan justru kaum Borjuis.

Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham feodalisme, yang mana paham tersebut selalu merendahkan kaum Proletar, terlebih lagi kaum perempuan. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum Proletar terutama perempuan akan memberontak dan menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan Yuanyang, berani mengatakan “tidak” demi mempertahankan harga

dirinya sebagai seorang perempuan. Dia sangat menjunjung nilai-nilai kesucian dan selalu memegang teguh apa yang menjadi pendapatnya. Menurutnya, apabila ingin bebas maka kita harus melawannya walaupun akan menanggung resiko tinggi. Sebagai seorang budak, kalau ada kesempatan tidak menjadi budak lagi dapat dikatakan sebagai hal yang baik. Penolakan yang dilakukan Yuanyang mencerminkan dia tidak rela hati menjadi mainan kaum laki-laki.

(37)

feminisme Marxis seperti di dalam novel Impian di Bilik Merah, salah satu caranya. Menentang sistem feodal sehingga keadilan pun dapat ditegakkan kembali.

Menurut pendapat penulis, perempuan miskin akan selalu menjadi pekerja dan perempuan borjuis pasti sebagai majikan. Karena ada kesamaan rasa tertindas dari dalam rumah, maka perempuan borjuis harusnya dapat merasakan penderitaan perempuan pekerja. Oleh karena itu, perempuan sebagai kekuatan tersendiri dalam hubungan persaudaraan yang kuat untuk merebut kembali kondisi yang membahagiakan bagi semua perempuan.

(38)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap analisis feminisme dalam novel

Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin maka dapat disimpulkan bahwa : a. Unsur-unsur struktural dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin (1) Tema

Mengangkat cerita mengenai kedudukan perempuan China pada masa feodal.

(2) Penokohan dan Perwatakan

Penulis membahas 4 tokoh perempuan yang berbeda-beda wataknya, yaitu: 1. Lin Daiyu : Penyakitan dan mudah tersinggung

2. Xue Baochai : Patuh terhadap nilai-nilai tradisional 3. Wang Xifeng : Kejam dan punya seribu mata hati 4. Yuanyang : Terampil dan berani

(3) Alur

Alur yang terdapat dalam novel ini adalah alur flash back. Awal cerita dimulai dengan kisah „Si Batu‟, kemudian tampaklah tokoh Yu Cun dan Shi Yin,

(39)

tempat neneknya setelah kematian ibunya, diceritakan pula pertemuan pertama antara Lin Daiyu dan Baoyu yang akan menimbulkan benih-benih cinta.

Pada novel banyak diceritakan tentang perayaan-perayaan dan upacara kematian. Diceritakan pula betapa seringnya Daiyu dan Baoyu bertengkar, Baoyu yang dijodohkan dengan Baochai padahal dia sangat mencintai Daiyu, cerita diakhiri dengan penolakan Yuanyang untuk dijadikan selir dan tingkah Xue Pan yang dianggap hina pada masa itu.

b. Kandungan feminisme yang terkandung pada novel Impian di Bilik Merah

karya Cao Xueqin

(1) Figur tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme

Figur perempuan China digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kecantikan dan keterampilan serta hidup dalam sistem feodalisme. Mereka adalah perempuan yang menjunjung tinggi ambisi, terlihat pada sosok Wang Xifeng, dan menjunjung tinggi kepatuhan, terlihat pada sosok Yuanyang.

(2) Perjuangan tokoh perempuan dalam mewujudkan feminisme

(40)

5.2 Saran

Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan ajar,

khususnya pada pembelajaran unsur-unsur intrinsik novel.

2. Dapat menambah pengetahuan mengenai kajian feminisme yang terkandung dalam karya sastra.

Referensi

Dokumen terkait

Contoh penerapan modelling dalam bimbingan dan konseling yaitu pada studi yang dilakukan oleh Kris- phianti, Hidayah, & Irtadji (2016) yang membuktikan bahwa teknik storytelling

Guna meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Inggris, menurut peneliti sangat penting untuk menerapkan metode pembelajaran yang bersifat kolaboratif antara guru dan siswa

didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan

Dengan adanya keempat produk konversi tersebut, perusahaan dapat mengimplementasikan tacit knowledge yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat di kelola menjadi

Memenuhi Asosiasi Petani Hutan Rakyat (APHR) Tri Wana Lestari telah membuat dokumen lingkungan yang relevan untuk kegiatan penebangan kayu di APHR , yaitu

s) Melaksanakan evaluasi dan pelaporan hasil pelaksanaan tugas Seksi Sekolah Dasar; t) .Melaksanakan Koordinasi dengan unit kerja terkait. 3.1 Seksi Sarana dan Prasarana Taman

Spaced Repetition Software adalah sebuah sistem yang memanfaatkan algoritma spaced repetition yang digunakan untuk memberikan jeda atau interval pada saat melakukan

Bagi SMA Muhammadiyah 1 Taman Sidoarjo 1 Staff bimbingan konseling dapat melakukan rekam aktivitas yang terjadi selama kegiatan sekolah berlangsung seperti mencatat, menyimpan,