• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjumpaan Injil dan Adat (Budaya)

Penelusuran konteks selanjutnya akan lebih difokuskan pada fenomena perjumpaan antara Injil dengan Adat (Budaya) setempat, yang dalam hal ini merujuk pada perjumpaan dari kekristenan (yang datang dari luar) dengan keambonan itu sendiri (yang datang dari dalam).

Sebelum masuknya Injil ke Ambon-Maluku, maka sudah dipastikan bahwa penduduk asli setempat hidup dalam tatanan budaya dan kepercayaan tradisionalnya yang adati. Sebagaimana disinyalir oleh Cooley dalam bukunya Ambonese Adat , bahwa bagi masyarakat Ambon, karena adat dipandang sebagai warisan pemberian nenek moyang atau leluhur yang harus dijaga, dipatuhi dan dihidupi, maka adat merupakan pranata kehidupan yang sangat penting. Bahkan Adat itu sendiri pun dilihat sebagai representasi dari perintah dan kehadiran leluhur sebagai pendiri suatu komunitas adati. Adat merupakan sebuah hukum dalam mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam komunitas. Oleh karena itu, leluhur dan adat memiliki korelasi yang sangat kuat. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa kepatuhan atau ketidakpatuhan kepada leluhur dan adat, akan berdampak terhadap hadirnya “berkat atau kutukan/hukuman” dari para

58 Saat ini, selain GPM (yang lahir tahun 1935), maka gereja-gereja yang menjadi anggota GPI adalah: GMIM-Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), GMIT-Gereja Masehi Injili di Timor (1947), GPIB-Gereja Protestan Indonesia di Bagian Barat (1948), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID – 1964), Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-Toli (GPIBT – 1964), Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo (GPIG – 1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB – 1976), Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua – 1985). Pada tahun 2000 jemaat-jemaat di daerah Banggai Kepulauan dimekarkan menjadi gereja yang mandiri dengan nama: Gereja Protestan Indonesia Banggai Kepulauan (GPIBK). Dua gereja lain yang menyatakan diri masuk ke dalam lingkungan GPI yaitu: Indonesian Ecumenical Christian Church di Riverside California USA (IECC – 1998) dan Gereja Masehi Injili di Talaud (GERMITA – 2002).

leluhur itu sendiri, sebagaimana yang dikonstatirnya sebagai berikut:

“....it becomes clear that adat is obligatory upon all members of the community precisely because it is believed to have been established and handed down to them by the ancestors. It represents the will of the ancestors. Observance of it is an expression of respect for the ancestors. To ignore or neglect it is to flout the will of the ancestors, and this is exceedinglyu hazardous because of the power which they continue to hold. The sanctions of adat are thus rooted primarily in this power attributed to the ancestors.”59

Corak keambonan yang adati tersebut, dipandang oleh kaum pendatang (kolonial, terlebih dari kalangan Belanda) sebagai corak yang sangat rendah. Tapilatu menyebutkan bahwa orang-orang Belanda tidak mau tahu tentang agama-agama yang bukan kristen. Karena, bagi mereka agama asli ini dianggap sebagai “agama setan”. Begitupun dengan kebiasaan atau adat yang di luar bangsa Eropa ditolak dengan sangat keras. Bahkan paradigma sedemikian berimplikasi pada upaya untuk menghancurkan agama dan kebudayaan asli.60 Dan tanpa disadari, bahwa ternyata upaya tersebut hanya semacam pemberantasan “kulit” semata, sementara “isi” dari budaya dan agama asli tersebut tetap berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Ambon-Maluku.61 Malahan dalam perkembangannya justru melahirkan suatu

hibridisasi, atau oleh sejarahwan lainnya menyebutkannya

sebagai sinkretisme injil dan adat, sebagaimana terlihat pada pandangan dan sikap orang Ambon-Kristen terhadap Alkitab, roti Perjamuan, air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain-lainnya. Objek-objek gerejawi tersebut dipandang “keramat” dan bahkan “memiliki kekuatan gaib”.62

59 Frank Cooley, Ambonese Adat: A General Description (Michigan: The Cellar Book, 1962),2-4.

60 Tapilatu, Sejarah Gereja....,33. 61 Van den End dalam Ibid,33-34. 62 Tapilatu, Sejarah Gereja....,34.

Sebetulnya, bila ditelisik lebih jauh tentang paradigma (cara pandang) yang melatari perjumpaan antara kaum pembawa Injil (bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis dan Belanda) dan masyarakat penerima (orang Maluku, Ambon), maka fenomena menguatnya resistensi orang Eropa terhadap adat dan kepercayaan tradisional penduduk setempat, turut dilatari oleh apa yang digambarkan oleh Andaya dalam ulasannya tentang perjumpaan dua dunia pada abad ke-16, antara lain sebagai berikut:63

“Ketika bangsa Eropa dan rakyat Maluku pertama kali berjumpa pada awal abad XVI, masing-masing dari mereka bereaksi dalam sebuah cara yang diatur oleh pandangan tertentu yang mereka miliki terhadap dunia. Bangsa Eropa, meskipun dihadapkan pada pengalaman yang baru-baru ini mereka dapatkan di India, masih cenderung untuk mencurigai “kemanusiaan” Dunia Timur. Meskipun cukup tercerahkan untuk mempertanyakan klaim-klaim yang berlebihan mengenai ras mengerikan, bagaimanapun mereka mempertahankan sikap superioritas moral mereka atas masyarakat yang menghuni wilayah pinggiran dari dunia bangsa Eropa “yang beradab”. Bagi rakyat Maluku, bangsa Eropa ~seperti halnya kelompok lain yang berbondong-bondong ke wilayah tersebut untuk mendapatkan rempah-rempah~ adalah orang asing yang tidak tergolong ke dalam keluaga Maluku yang eksklusif sebagaimana yang digambarkan dalam mitos. Sebagai pihak luar, bangsa Eropa tidak pernah berharap untuk (dapat) menikmati hak istimewa yang khusus disediakan bagi mereka. Kedua pandangan yang berbeda (mengenai sang Liyan) tersebut hampir dengan segera menempatkan dua dunia pada kedudukan yang saling bertentangan. Yang memperburuk keadaan adalah karakter individu bangsa Eropa yang dikirim ke Maluku, yang dalam segala hal

benar menegaskan pandangan bangsa Eropa bahwa wilayah pinggiran secara alami menarik mereka yang kurang beradab.”

Dengan paradigma sedemikian, ditambah pula dengan

mindset teologi Barat-Kolonial terhadap penduduk pribumi lokal

dengan pelbagai adat tradisional serta kepercayaan adatinya yang dianggap “haram” dan patut disingkirkan, serta merujuk pada

artikel 36 dari Pengakuan Iman Belanda, maka gerakan

“pembersihan” simbol-simbol dan praktik adati yang dipandang tidak “injili” dilakukan secara keras dan sporadis, khususnya di wilayah-wilayah yang mengalami kristenisasi. Sebagai contoh seperti yang dikemukakan dalam temuan Cooley, antara lain: perusakan Baileo, benda-benda pusaka yang dianggap memiliki kekuatan sihir, serta larangan upacara adat yang berkaitan dengan penguburan.64 Bahkan, menurut Cooley, semenjak hadirnya para pendeta (misionaris) yang mewakili kelompok Pekabaran Injil Belanda, maka bentrokan antara pendeta dengan pejabat desa (negeri) tentang persoalan adat, menjadi realita yang tak tersangkali. Dan fenomena ini kian merebak, ketika para guru injil pribumi pun ~akibat pengaruh mindset teologi misionaris kolonial~ menjadi garda terdepan yang lebih bersemangat dalam melakukan “pembersihan pelbagai elemen adati dan kepercayaan tradisional tersebut”.65

Terkait dengan itu pula, maka hal yang sangat menyedihkan adalah bahwa ternyata bahasa asli (disebut bahasa

tana) pun menjadi bagian dari “korban pembersihan” di

negeri-negeri Kristen, karena dipandang sebagai bagian dari perangkat tradisional-adati yang tidak injili, dan digantikan dengan bahasa Melayu. Cooley mencatat bahwa kendatipun pergantian bahasa asli dengan bahasa Melayu merupakan dampak dari proses penginjilan yang dilakukan gereja melalui bidang pendidikan, namun

64 Tapilatu, Sejarah Gereja...,22 Lihat juga,.Frank Cooley, Mimbar dan Takhta...,200-201.

penghilangan bahasa asli tersebut menjadi suatu pukulan langsung dan mematikan terhadap keberadaan adat itu sendiri. Oleh karena, menurut Cooley, ada dua alasan penyebabnya: (1) Keberlangsungan adat hanya dapat terjamin dengan penggunaan bahasa asli. Dan bahasa itulah yang memungkinkan hubungan langsung dengan arwah para leluhur; (2) Bahasa asli dalam banyak hal merupakan kunci bagi arti dan fungsi adat. Dengan demikian, adat pun akan punah seiring dengan lenyapnya bahasa asli tersebut.66

Penelusuran para ahli terhadap realita sejarah perjumpaan Injil dengan Adat (Budaya) Ambon di waktu lampau, memperhadapkan wajah kekristenan Ambon yang antara lain dapat diindentifikasikan sebagai:

Satu, Kekristenan yang bercorak “sentralistis-birokratis”.67 Cooley merumuskan sifat kekristenan ini dengan mengutip pendapat Kraemer, yang antara lain mengisyaratkan bahwa corak pengorganisasian sebagai “gereja pemerintah” turut melatari sifat sentralistis-birokratis ini. Bahkan sistim kepemimpinan dan kelembagaan (pengorganisasian) gereja yang hirarkhis sedemikian turut memungkinkan suasana bergereja yang nyaris tanpa konflik di antara para pejabat gerejawi, sebagaimana yang ditulis oleh G.P.H.Locher dalam bukunya, “Dat de kerk een dergelijke

hiȅrarchische ordening kreeg, was voor de ambonees nl/ niets vreemds. De kerk hoorde voor zijn besef bij de compagnie en deze had in haar binnenlands bestuur en leger een zelfde opbouw.”68

Dua, Kekristenan yang berorientasi status. Corak

kekristenan ini terlihat misalnya dalam sikap dan kecenderungan masyarakat Ambon-Kristen terhadap ritual peneguhan anggota sidi gereja, yang disebut pula dengan istilah penerimaan “pangkat

66 Lihat, Ibid,201-202. 67Ibid,276.

68 Terjemahan: “Bahwa gereja mendapat sistem penatalayanan yang hirarkhis seperti itu, bukanlah sesuatu yang aneh bagi orang Ambon. Menurut pengertiannya, gereja Kompeni mempunyai struktur yang sama seperti dalam pemerintah dalam negeri dan tentara”. G.P.H. Locher, “De Kerkorde de Protestantse Kerk in Indonesiȅ”,73 dalam Tapilatu, Sejarah Gereja....,49.

serani” (bagi mereka yang mengikuti sakramen baptisan kudus), dan “pangkat sidi baru” (bagi mereka yang telah mengikuti pembaptisan dan selanjutnya mengikuti ritual peneguhan sidi), yang dipandang pula sebagai “pangkat serani yang lengkap”.69

Tiga, Kekristenan yang bercorak “hibrid”, sebagaimana

tercermin misalnya dalam penggunaan busana gereja, pengaturan tempat duduk di dalam gereja, orkes suling, dan sikap terhadap sakramen Perjamuan Kudus.70 Bahkan fenomena tersebut terlihat pula pada keimanan orang Ambon-Kristen dengan pemahaman dan kesadaran religiusnya dalam kaitan dengan, antara lain pengertian akan Allah, dosa dan penyakit, sikap terhadap gedung gereja (secara fisik) atau semua elemen simbolik yang berkaitan dengan praktik dan ritual liturgis gerejawi serta semua pemerannya, seperti pendeta dan majelis jemaat.71

Penelusuran fenomenologi historis-religius lainnya yang perlu dikemukakan, sehubungan dengan perjumpaan Injil dan masyarakat setempat yang adati ini, adalah tentang latar motif dan kepentingan di balik dorongan orang Ambon pribumi untuk memilih menjadi Kristen (menerima Injil). Dikemukakan bahwa salah satu motif yang sangat kuat adalah pilihan untuk tetap

survive di tengah pelbagai ketakutan ancaman dan penyingkiran,

dengan mencari perlindungan dari penguasa kolonial. Hal ini dapat dimengerti sebab fenomena pada masa kolonial saat itu sangat diwarnai dengan keberadaan dua simbol yang menonjol, yaitu Benteng (sebagai simbol penguasa kolonial) dan rumah Gereja (sebagai simbol kekristenan). Bahkan simbolisasi yang korelatif

69 Lihat ibid, 277. Menurut Cooley, di balik kecenderungan “status-oriented” ini, tidak diragukan pula bahwa kecenderungan ini didorong juga dengan motif pencarian kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Mengingat pada saat itu, agama Kristenlah yang dominan dan identik dengan agama penguasa (kolonial). Bandingkan pula dengan paparan Tapilatu tentang adanya faktor pertimbangan ekonomis yang ikut melatari motivasi orang Ambon pribumi untuk menjadi pekerja gereja, dengan mencontohkan gaji seorang pekerja gereja tamatan STOVIL (Sekolah Guru Injil) pada tahun 1930-an sebesar 55 gulden. Lihat Tapilatu, Sejarah Gereja....,67.

70 Cooley, Mimbar dan Takhta....,275. 71Ibid,276.

tersebut menjadi sangat kuat semenjak berdirinya kota Ambon.72 Hal itu pun berdampak pada wajah kekristenan di kota Ambon pada masa kolonial itu, yang dirumuskan dalam dua wajah: kekristenan di dalam benteng dan kekristenan di luar benteng.73 Itulah sebabnya, sebagaimana yang diakui dalam tulisan Casparus Wiltens, yang tiba di Ambon pada tahun 1614, bahwa motif mencari perlindungan diri karena takut ~baik oleh tekanan dari pihak kolonial maupun ancaman dari pihak kerajaan Islam yang cukup berpengaruh saat itu, khususnya dari Ternate dan Hitu~, merupakan motif yang sangat kuat yang mendorong merapatnya orang-orang kristen pribumi terhadap kolonial.74

Perjumpaan injil dan adat-budaya Ambon yang saling memengaruhi, pada akhirnya telah melahirkan corak kekristenan Ambon yang khas, yang disebut pula sebagai “agama Ambon” yang kian mapan, sebagaimana yang dikonstatir oleh Cooley, antara lain:

“Sebetulnya adat dan Indjil telah saling memengaruhi. Dapat dikatakan bahwa agama Kristen di Ambon telah diperadatkan. Sebutan “agama Ambon” itu memang tepat dalam hal bahwa sifat-sifat dari adat telah melekat pada agama Kristen di Ambon. Dan sebaliknja adat djuga telah

dibaptiskan atau dikristenkan, dalam arti bahwa

paling sedikit secara lahir, adat telah disesuaikan dengan adjaran dan praktek agama Kristen, terutama dalam hal2 jang berhubungan dengan peristiwa2 penting dalam hidup seseorang seperti kelahiran, inisiasi, kedewasaan, perkawinan dan kematian.”75

72 P. Tanamal, “Pertumbuhan dan Pengorganisasian Jemaat-Jemaat Kota Ambon”, dalam Sejarah Serta Perspektif Pertumbuhan dan Perkembangan Klasis GPM Kota Ambon (Rangkuman Hasil Seminar Sehari Klasis GPM Kota Ambon Tanggal 17 Juni 1988), Tidak diterbitkan (Ambon: Badan Pekerja Klasis GPM Kota Ambon,1988),5-6.

73Ibid,9.

74Ibid. Bandingkan pula sinyalemen yang hampir tidak berbeda, yang dikemukakan oleh Tapilatu, terkait dengan motif negeri-negeri yang berkolaborasi dengan Portugis (dan diikuti dengan penerimaan agama Kriten) dalam menghadapi ancaman Islam dari kerajaan Ternate dan Hitu. Lihat: Tapilatu, Sejarah Gereja....,15-20.

75 Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964),229.

Dokumen terkait