• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Jemaat GPM Soya: Dulu dan Kini

Dari dokumen sumber sejarah jemaat GPM Soya,76 dan merujuk pada tulisan de Vriens, terungkap bahwa Injil mulai dihadirkan di negeri Soya pada tahun 1538.77 Momentum itu ditandai dengan dilakukannya sakramen baptisan kepada raja Soya pertama Latu Selemau, dan diberi gelar oleh pemerintah kolonial Portugis saat itu dengan gelar “Dom Rodrigos Brandos Fresdimas,” serta selanjutnya yang bersangkutan diterima sebagai “orang Portugis”.

Selanjutnya, “api Injil mulai lebih digelorakan” di Soya melalui kehadiran dan pelayanan seorang Misionaris Ordo Jesuit yang bernama Fransiskus Xaverius, setelah ia tiba di Ambon pada tanggal 14 Februari 1546. Itu sebabnya, di depan gereja tua soya, hingga saat ini, monumen patung Xaverius masih berdiri tegar sebagai suatu bukti sejarah.

Keterangan Foto:

Jejak kehadiran dan pelayanan Frasiscus Xaverius di Soya, diabadikan melalui Patungnya yang ditempatkan pada punggung bukit kecil, tepat berhadapan dengan gereja tua Soya.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

76https://gpmsoya.blogspot.co.id/p/selayan.htmlDiunduh tanggal 7 Maret 2017 77 G. Vriens (ed), “Sejarah Katolik Indonesia: Umat Katolik Perintis-Awal mula, Jilid-1”, 82, dalam Victor Untailawan, Yesus Sebagai Tete Manis – Suatu Kristologi yang Kontekstual di Ambon. Tesis (Yogyakarta: PPsMT UKDW, 1998),25. Bandingkan, Th. Van den End, Ragi...,50. Ada sumber lainnya yang menyebutkan bahwa raja Soya tersebut dibaptis pada tahun 1518. Namun bagi penulis tampaknya masih sulit diterima perkiraan tersebut, karena fakta sejarah umum mengkonstatir bahwa kolonial Portugis baru masuk Ambon dan mendirikan Benteng di Ambon (Hitu) pada tahun 1522. Lihat Sejarah kekristenan di Soya di https://gpmsoya.blogspot.co.id/p/selayan.html, diunduh 17 Januari 2017.

Dalam perkembangan berikutnya, seusai Belanda mengambil alih kekuasaan dari Portugis pada tahun 1602, dan tidak lama kemudian pada tanggal 27 Februari 1605 dilaksanakan untuk pertama kalinya ibadah dengan liturgi protestan di dalam benteng Victoria Amboina, maka aroma kekristenan pun beralih dari Katolik ke Protestan.

Ketika utusan injil dari lembaga penginjilan NZG Belanda, Joseph Kam, yang dikenal juga sebagai Rasul Maluku, datang ke negeri Soya pada tahun 1821, data statistik jemaat menunjukkan bahwa pada saat itu telah terdapat 22 orang anggota sidi gereja, 21 orang Anggota Baptis dewasa, 7 orang anak di luar sekolah, dan satu orang anak yang dibaptis. Dengan demikian, jumlah seluruh jemaat yang dilayani hingga kedatangan Joseph Kam adalah sebanyak 61 orang.78 Selain Yoseph Kam, maka salah satu tokoh pribumi penting yang turut merintis dan meletakkan dasar-dasar kekristenan (protestan) di negeri dan jemaat Soya adalah guru jemaat Lazarus Hitijaubessy, yang lahir pada tahun 1817 dan meninggal pada tahun 1871. Dan untuk mengenang jasa hidup dan pelayanannya di Soya, maka jemaat GPM Soya memberikan nama dari salah satu gerejanya yang cukup besar, yang berlokasi di kawasan Kayu Putih Soya, dengan nama gedung gereja “Lazarus.”

Selanjutnya, tak dapat disangkali betapa perkembangan injil tampak berjalan lambat seiring dengan keberadaan masyarakat yang adalah pula sebagai warga jemaat Soya, yang lebih cenderung untuk lebih memilih tinggal di hutan demi menghindarkan diri dari para penjajah (kolonial). Selain tentunya, proses penerimaan dan pertumbuhan Injil di beberapa jemaat-jemaat Kristen pada saat itu (termasuk soya), tidak terlalu memperlihatkan progresivitas yang signifikan, karena pengaruh budaya lokal masih cukup kuat dan ditambah pula dengan kuatnya motif politis yang melatari keputusan untuk menjadi kristen.79

78 John L. Rehatta, Negeri Soya....,6.

79 Abineno, dengan mengutip laporan Danckaerts, menyebutkan hal ini dalam ulasannya tentang motif politis, antara lain seperti takut dibunuh, tidak mau menjadi budak, dan mencari perlindungan dari pihak kolonial. Lihat, Abineno, Sejarah Apostolat....,54.

Dengan merujuk pada sumber-sumber arsip dokumenter sejarah gereja di Indonesia, de Jong merilis data warga gereja di Soya (dibedakan antara warga yang mendiami di wilayah Soya bagian atas dan bagian bawah) dari tahun 1816 hingga tahun 1923, sebagaimana dalam Tabel III.4 di bawah ini.

Tabel III.4

Statistik Warga Jemaat Soya pada Tahun 1816-192380

Data 1816 1821 1830 1833 1846 1854 1860 1871 1905 1923

Soya Atas 77 61 70 100 96 107 135 146 331 347

Soya Bawah 52 63 35 49 - - - - - -

Jumlah 129 124 105 149 96 107 135 146 137 347

Mengingat perkembangan dan pertumbuhan anggota jemaat Soya yang kian bertambah, maka tahun 1876 dimulai pembangunan gereja Soya di masa pemerintahan raja Stephanus

Jacob Rehatta, dengan guru jemaat pada saat itu adalah T.J. Sopacua. Gereja tersebut mengalami rehabilitasi pada tahun 1927

oleh raja Leonard Lodewijk Rehatta dan D.S.M. Haulussy sebagai gembala jemaat, dengan bentuk arsitektur gereja yang merujuk pada bentuk gereja tua di pulau Ambon yang berdiri tahun 1781, yakni gereja berbentuk segi delapan.

Menyadari bahwa gereja Soya telah dikategorisasikan sebagai salah satu situs sejarah gereja tua (cagar budaya) di Ambon, Maluku, maka selanjutnya pada tahun 1996, maka melalui bantuan dan arahan dari Bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku, dilakukan renovasi gedung gereja secara representatif. Namun, akibat konflik sosial yang melanda Maluku, Ambon dan menjalar ke Soya, maka gedung gereja tua yang telah direnovasi tersebut, dihancurleburkan oleh perusuh pada tanggal 28 April tahun 200281. Tetapi dengan semangat dan kerja keras di bawah

80 Sumber data penulis olah dari paparan data statistik oleh Chr.G.F. de Jong, Sumber-Sumber ..., 833.

81 Tercatat bahwa jumlah warga yang menjadi korban: meninggal 11 orang, luka berat 12 orang, dan sejumlah warga lainnya luka ringan. Sementara selain gedung gereja tua Soya tersebut, terdapat 22 buah rumah warga yang juga terbakar habir. Lihat. John L. Rehatta, Negeri Soya...,6 dan Pieter, Mitos...,58. Patut dikemukakan pula bahwa dari 11 korban yang

kepemimpinan dan kordinasi langsung bapa raja Soya sekarang ini (bapa Rido Rehatta), maka hanya dalam waktu kurang dari setahun, yakni pada tahun 2003 gedung gereja tua tersebut berhasil dibangun sesuai arsitektur aslinya dan diresmikan kembali.

Ketika melakukan riset dan diikuti juga dengan wawancara bersama bapak pendeta Pieter Kempa sebagai ketua Majelis Jemaat, yang telah bertugas semenjak tahun 2012, dan juga dialog (FGD) dengan beberapa narasumber lainnya82, maka dapat disimpulkan beberapa fenomena faktual dari profil jemaat, dan sikap keberagamaan warga maupun pelayan jemaat GPM Soya, dalam kaitannya dengan upaya untuk mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan sebagai jemaat Soya yang misioner di tengah realita konteks budaya dan perkembangan “zaman now” ini, antara lain sebagai berikut:83

Pertama, Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi sekarang ini,

komposisi warga jemaat dari kalangan masyarakat Soya “asli” dan yang “pendatang” cukup berimbang. Posisi yang cukup berimbang ini menjadi tantangan tersendiri bagi gereja bersama dengan pihak pemerintah negeri untuk terus-menerus berupaya mengeleminir persinggungan karena perbedaan apapun antara “orang dalam atau asli” dengan “orang luar atau pendatang”.84

Upaya terhadap fenomena tersebut di atas, antara lain disiasati dengan tetap memberikan ruang bagi artikulasi budaya dan

meninggal tersebut, termasuk diantaranya mama bongso (adik dari ibu) penulis dan anak (piara)-nya berusia sekitar 9 tahun, yang sebetulnya merupakan korban pengungsi dari jemaat GPM Rumahtiga dan untuk sementara mendapatkan tempat pengungsian di Soya, karena (pada saat itu) Soya dipertimbangkan sebagai salah satu negeri yang dianggap “cukup aman untuk pengungsian”.

82 Termasuk ketika penulis berkesempatan melakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan beberapa unsur pelayan dan pimpinan pengurus wadah/organisasi pelayanan di jemaat, usai melayani ibadah Minggu 17 Desember 2017 di gereja tua Soya.

83 Rangkuman data hasil wawancara dengan pdt. P. Kempa, S.Th (54 th), pada 5 Juli 2017 di Gereja Lazarus.

84 Penulis sendiri mendengar langsung ajakan, himbauan dari bapa pendeta Kempa maupun bapa raja Rehatta dalam beberapa kali kesempatan sambutan atau kesan-pesan di momen-momen perayaan hari-hari gerejawi dan petuah akhir tahun di gereja, kalimat yang sungguh jelas dan tegas, seperti: “Ingat...katong ini seng ada asli atau pendatang....pokoknya semua yang sudah berdiam di negeri Soya, maka katong samua sama-sama menjadi orang Soya yang punya tanggung jawab untuk membangun negeri dan jemaat Soya!”

pelbagai kearifan lokal negeri Soya pada satu pihak, dan pada lain pihak, tetap mendorong peran dan partisipasi warga “pendatang” untuk juga terlibat dalam pelbagai aktifitas yang menyentuh kebersamaan. Bahkan sebagai pelayan dan pemimpin di jemaat, para pendeta bersama dengan bapa raja dan keluarga, serta juga pihak sekolah sebagai unsur-unsur kebersamaan dari Tiga Batu

Tungku di negeri dan jemaat, selalu berupaya untuk memberikan

perhatian yang seimbang dan tidak diskriminatif. Lebih lanjut ujar pendeta Kempa, “ Sekalipun dari 9 sektor yang ada di jemaat GPM

Soya, hanya 2 sektor terdapat di Soya atas yang notabene mayoritasnya warga asli, sedangkan 7 sektor yang mayoritasnya pendatang berada di Soya bawah, namun semua pelayanan dan kebutuhan jemaat direspons secara baik, tertanggung jawab, terkoodinir, dan proporsional.”

Kedua, Terkait dengan pemeliharaan tatanan nilai-nilai

adat-budaya dan kearifan negeri Soya, termasuk ritual CN, menurut pendeta, gereja selalu menopang dan bahkan turut mengembangkan seluruh tatanan adat budaya dan kearifan yang ada. Karena bagi gereja, memang masing-masing (injil dan adat) memiliki keberadaannya tersendiri, namun tidak perlu dipertentangkan, melainkan perlu untuk saling topang-menopang secara dialogis dan kondusif, sepanjang adat dan tradisi itu tidak bertolak belakang dengan kebenaran injili. Bahkan adat dan tradisi itu justru dapat menjadi semacam sarana untuk kontekstualisasi injil itu sendiri. Oleh karena itu, dalam momen-momen perayaan ibadah tertentu, sering juga ada kemasan ibadah yang bernuansa kultural Soya-Ambon, dalam hal mana tatanan seni musik dan tari serta simbol-simbol budaya (seperti bahasa dan busana) dipergunakan juga dalam acara ibadah tersebut.

Khususnya berkaitan dengan keterlibatan jemaat dalam ritual CN, diakui bahwa sampai saat ini mayoritas warga yang terlibat adalah dari kalangan warga “asli”. Namun dari tahun ke tahun partisipasi warga “pendatang” mulai menampakkan kesadaran untuk turut berpartisipasi secara aktif juga. Apalagi momentum pelaksanaan ritual CN tersebut berada dalam nuansa perayaan minggu-minggu

adventus menjelang natal Kristus, Konci Taong dan Tahun Baru. Sehingga pemaknaan ritual CN itu sendiri bagi gereja menjadi sangat korelatif, yakni sebagai spirit untuk membersihkan, memulihkan dan menata kembali relasi kehidupan antara umat dengan Tuhan dan juga antara umat dengan sesamanya serta lingkungan alamnya. Dan itu pula ~menurut pendeta dan diamini pula oleh bapa raja~ yang menjadi spiritualitas minggu-minggu adventus, natal hingga memasuki Konci Taong dan Tahun Baru.

Ketiga, Respons yang diperoleh dari kalangan warga

jemaat maupun dari unsur pelayan (Majelis Jemaat) berkaitan dengan sikap terhadap tradisi dan pelbagai ritual adati yang ada, termasuk terhadap CN sendiri, hampir jamak semuanya bersikap dengan merujuk, bahkan mengutip kata-kata Yesus dalam Alkitab (Matius 22: 21) "....Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu

berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."85 Dengan kata lain, bagi mereka, kesediaan untuk turut melakukan dan memelihara tradisi dan adat-istiadat yang ada, sama sekali bukanlah bertujuan untuk menyembah leluhur atau tete-nene moyang, melainkan justru merupakan sikap penghargaan terhadap Leluhur dan apa yang telah mereka perbuat bagi anak-cucu Soya.

Keempat, Terkait dengan partisipasi jemaat dalam ibadah,

pembangunan fisik, serta acara-acara ritual-serimonial gerejawi dan penerimaan “jabatan” pelayanan, antara lain yang dapat dicatat adalah:

(a) Jemaat sangat terbiasa dengan tatanan suatu acara yang formalistik, serimonialistik, dan momental. Artinya, keterlibatan dan kesungguhan jemaat untuk menghadiri dan terlibat aktif pada sebuah perayaan tertentu, termasuk momentum ibadah khusus, seperti perayaan Natal, malam natal menjelang 25 Desember, malam konci taong tanggal 31

85 Kecenderungan sikap dan alasan yang sama ditunjukkan oleh informan kunci di negeri Naku dan Hukurila, ketika penulis melakukan riset perbandingan tentang CN dan bagaimana sikap mereka terhadap tradisi dan adat yang ditinggalkan para leluhur tersebut. Lihat: Lampiran tentang Data Perbandingan CN di Soya dengan Naku dan Hukurila.

Desember, dan Perjamuan Kudus misalnya), akan direspons dengan penuh antusias dan khusuk, dan itu sangat berbeda dari sikap terhadap ibadah-ibadah rutin biasa (baik ibadah minggu, apalagi ibadah organisasi atau wadah pelayanan).86 (b) Hal yang hampir mirip berlaku pada antusiasme jemaat

adalah pada aktifitas pembangunan fisik rumah-rumah ibadah (gedung gereja atau pastori misalnya). Jemaat akan menampakkan sikap pengorbanannya ~baik tenaga, finansial, maupun waktu~ untuk terlibat menyukseskan pembangunan tersebut. Bahkan respons tersebut dilakukan dengan rasa bangga terhadap rumah gereja yang besar dan megah serta menyita dana yang tidak sedikit, kendatipun dari sisi keberadaan ekonomi dan pendapatan, warga jemaat tersebut sangat “pas-pasan bahkan minim”.

(c) Suatu fenomena yang cukup khas tampak pula adalah spirit dan kebanggaan warga jemaat terhadap jabatan-jabatan pelayanan gerejawi. Fenomena ini kuat terlihat dalam sikap terhadap jabatan khusus sebagai majelis gereja (penatua dan

diaken)87. Rasa kebanggaan dan kewibawaan terhadap jabatan pelayanan majelis tersebutkian diperkuat dengan penggunaan busana pelayanan yang khas dan sekaligus membedakan para pelayan tersebut dengan kalangan warga gereja pada umumnya. Nuansa tersebut terlihat manakala tanggapan dari warga jemaat atau sikap si pelayan sendiri yang merasa tidak percaya diri bila pelayan yang bersangkutan melakukan pelayanan dengan tidak menggunakan busana pelayan yang sudah standar sifatnya.

86 Lihat data Renstra jemaat GPM Soya yang mencatat rata-rata tingkat kehadiran antara 20-25 %. Untuk ibadah minggu biasa, tingkat kehadirannya rata-rata di antara 50-60 %. Suatu angka kehadiran yang berbeda jauh bila dibandingkan dengan ibadah momental tertentu, seperti Natal, Konci Taong dan Jumat Agung, yang berkisar antara 80 – 90 % kehadiran warga jemaat..

87 Penulis menemukan kuatnya kesan dan persepsi strukturalis-hirarkhis yang menempatkan posisi penatua lebih di atas diaken. Hal yang turut tampak pada posisi seorang “tuagama” atau “kostor” yang dipandang lebih “rendah” daripada posisi majelis jemaat.

(d) Bila melihat pada data kepelayanan jemaat ~sebagaimana dirincikan dalam Lampiran 9~, terlihat bahwa partisipasi jemaat dalam ibadah dan kegiatan gerejawi telah meluas dan terbuka kepada pelbagai unsur kaum awam yang ada di dalam jemaat, sesuai dengan pengorganisasian pelayanan GPM. Pengorganisasian wadah-wadah pelayanan seperti unit dan sektor, Sekolah Minggu (SMTPI), Angkatan Muda GPM, Wadah Pelayanan Perempuan, Laki-Laki dan Lansia, kelompok-kelompok pelayanan musik gerejawi (seperti vocal group, paduan suara, paduan suling, terompet, hingga pemain keyboard dan band), secara faktual telah memperhadapkan suatu penataan organisasi pelayanan dan ibadah yang telah mengalami diferensiasi sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Fenomena yang tampak misalnya, pelaksanaan persidangan gerejawi dengan semua penataan dan pengorganisasian sidang jemaat hingga modifikasi acara ritual dan serimonial yang cenderung kolaboratif sifatnya. Pemisahan acara ritual dan serimonial, penataan acara dengan simbol-simbol bendera dan praktik yang berlaku sesuai aturan protokoler gereja dan negara (seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya), semuanya merupakan pemandangan yang sudah lumrah berlaku dalam agenda kegiatan persidangan gerejawi, sebagaimana berlaku pula di jemaat GPM Soya.

Keterangan Foto:

1) Kiri Atas, Tuagama meniup Tahuri sebagai pengganti bunyi lonceng, pertanda mulainya ibadah pembukaan sidang jemaat; 2) Kanan Atas, bapa raja Soya menyampaikan sambutan pada

acara serimonial. Terlihat ada bendera merah-putih di posisi kanannya.

3) Kiri Bawah, Meja Persembahan, yang pada saat sidang akan digunakan sebagai meja pimpinan sidang. Terlihat bendera GPM di posisi kirinya. Gambar Presiden dan Wakil Presiden pun telah ditempatkan di depan mimbar.

4) Kanan Bawah, Penataan Formasi ruang sidang (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Kelima, Selanjutnya perlu dikemukakan pula sikap

penghormatan atau penghargaan dari jemaat terhadap pendeta yang dipandang antara lain sebagai “hamba Tuhan,88 orang suruhan Tuhan, dan wakil Tuhan.” Sikap terhadap pendeta ini, tampak dari perlakuan jemaat dalam membawakan maksud doa atau pergumulan khususnya, baik secara pribadi maupun keluarga.89 Sekalipun pendeta ~dalam kemanusiaannya~ (dapat) berbuat salah atau suatu kekeliruan, namun sikap jemaat cenderung diungkapkan dengan kalimat, “....Kalau antua pendita

salah atau bardosa, itu urusan antua (beliau) dengan Tuhang....maar katong jang malawang atau bikin pandita susah apalagi sampe pandita manangisI” (Terjemahan:“Kalau beliau

pendeta berbuat salah atau dosa, itu urusan beliau dengan Tuhan, tetapi kita jangan melawan atau bikin pendeta itu susah apalagi sampai menangis!”). Oleh karena itu, hampir menjadi pemandangan yang rutin, setiap terjadi fase masuk-keluar seorang pendeta di Soya. Baik yang mutasi masuk, maupun yang keluar atau bahkan pensiun. Jemaat akan mempersiapkan acara khusus untuk merespons momentum tersebut.

Keenam, Kesetiaan untuk berpegang teguh pada aturan

gerejawi yang berlaku, walaupun memiliki sikap keterbukaan terhadap perkembangan lingkungan yang ada. Tampak bahwa walaupun sikap inklusif atau keterbukaan terhadap hal-hal yang baru itu ada, namun membutuhkan proses waktu yang cukup lama dalam penyesuaian, dan tidak bisa dengan serta-merta diterima begitu saja. Apalagi kalau hal itu berkaitan dengan suatu kebiasaan dan telah menjadi tradisi gerejawi yang berlaku turun-temurun, bahkan dianggap seperti telah menjadi “harga mati”. Fenomena

88 Penulis menangkap kesan bahwa warga jemaat, bahkan beberapa majelis jemaat, kuat membedakan “hamba Tuhan” dan “pelayan Tuhan.” Bagi mereka, sebutan “hamba Tuhan” itu lebih sesuai disematkan kepada seorang pendeta, sedangkan bagi penatua dan diaken, cukup dengan sebutan “pelayan Tuhan.”

89 Lazimnya, berkaitan dengan maksud doa atau pergumulan khusus tersebut, biasanya jemaat akan membawakan persembahan uang khusus yang disebut sebagai “natzar pergumulan”, yang telah dipersiapkan khusus dan diserahkan kepada pendeta pada saat pergumulan tersebut.

tersebut terlihat pada sikap terhadap pengajaran90dan ibadah atau liturgi gerejawi, serta acara-acara syukuran atau pesta yang berkaitan dengan momentum baptisan dan peneguhan sidi.

Ketujuh, Hal yang terakhir, yang patut dikemukakan di sini

adalah perkembangan modernisasi-globalisasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi-informasinya serta pengaruhnya dalam kehidupan jemaat dan pelayanan gerejawi.

Sebagai jemaat ~yang walaupun berada di arah pegunungan dan tidak jauh dari pusat kota Ambon~ maka dampak kehadiran modernisasi-global sangat terasa dalam penatalayanan kehidupan bergereja. Fasilitas teknologi-informasi modern, seperti televisi-parabola, internet dengan gadget dan medsos, media cetak-elektronik, serta jalur transportasi darat yang terhubung dan mudah dijangkau, semuanya mengakibatkan jemaat GPM Soya sama sekali tidak terisolasi dari pelbagai gempuran dampak kehidupan modern tersebut. Dalam konteks sedemikian, dilatari pula dengan trend budaya global-kapitalis-modern, maka bagi pemangku pelayanan gerejawi, fenomena tersebut menjadi tantangan tersendiri yang cukup serius bagi gereja, untuk membekali warga jemaat, sehingga pada satu pihak tidak “ketinggalan arus zaman” tetapi pada pihak lainnya juga tidak “gampang terseret arus zaman” yang dapat menghancurkan.

90 Ketika diperkenankan melayani ibadah natal jemaat GPM Soya pada tanggal 22 Desember 2017 di gereja Lazarus, penulis mendengar sendiri peringatan keras yang disampaikan oleh bapa raja pada saat memberikan Kesan dan Pesan Natalnya, untuk memberitahukan dan sekaligus memerintahkan warga jemaat (yang dalam hal ini sebagai warga masyarakat Soya pula) agar menolak penyebaran ajaran yang merasuki jemaat dan masyarakat Soya bahwa “perayaan natal itu bukanlah perayaan kristiani yang benar, sehingga tidak patut untuk dirayakan.” Tanpa menyebutkan nama si pelaku dan keluarganya, namun peringatan keras itu diikuti dengan kalimat, “...Saya tidak pandang siapapun itu pelakunya, entah warga biasa ataukah pejabat di pemerintahan negeri Soya. Selama yang bersangkutan tidak bertobat dan menghentikan pelbagai hasutan pengajarannya yang sesat, maka saya tidak segan-segan untuk memberhentikan dan mengeluarkannya dari negeri ini...!” Kondisi yang sama, walau dengan fakta yang berbeda adalah informasi yang diperoleh dari bapa pendeta Kempa bahwa walaupun jemaat GPM Soya cukup besar dan berada di dekat pusat kota Ambon, namun hingga kini tidak ada satupun aliran atau denominasi gereja lainnya yang masuk dan berbasis di Soya. Beberapa warga Soya dalam jumlah yang sangat kecil memang ada yang tergabung dengan gereja lainnya, namun mereka selalu mengikuti ibadah dari gereja tersebut di luar Soya, seperti di gereja Pentakosa atau GBI (Gereja Bethel Indonesia) yang ada di kota Ambon.

Penataan pelayanan dan ibadah jemaat misalnya, sudah cukup akrab dengan penggunaan fasilitas multi-media dan peralatan musik yang modernis, namun sama sekali tidak berarti mengabaikan potensi budaya dan tradisi yang ada pada jemaat. Sebagaimana terlihat dari fasilitas gereja saat ini, seperti: peralatan band, multi-media dan soundsystem yang menunjang peribadahan umat. []

Dokumen terkait