• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PENERAPAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN ATAU AHLI WARIS DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

A. Proses Dalam Tahapan Penyidikan

1. Perkap NO : 10 TAHUN 2007 tentang unit PPA

Unit Pelayanan Perempuan dan anak ( PPA ) , bukanlah merupakan suatu unit yang baru dalam organisasi Polri ,dimana sebelumnya unit ini pernah bernama Unit Rendawan ( Remaja, Pemuda dan Wanita ) yang berada di bawah naungan Fungsi Binmas ( Pembinaan Masyarakat dan sekarang dinamakan Binamitra ) dan kemudian menjadi suatu unit khusus dibawah Fungsi Reskrim yang bernama Unit RPK ( Ruang Pelayanan Khusus ) dimana khusus disini dimaksudkan dalam hal penanganan para korban,saksi atau tersangka yang melibatkan wanita dan anak anak sehingga memerlukan hal yang khusus dalam penanganannya. Latar belakang pendirian Unit PPA ini. Namanya unit ini difokuskan pada penanganan para Wanita dan Anak yang memang sangat rentan terhadap perilaku kekerasan baik secaar fisik maupun seksual, ini dikarenakan posisi mereka yang seringkali diposisikan sangat lemah dalam strata kemasyarakatan kita. Wanita di berbagai belahan bumi sering dipandang lebih rendah daripada laki laki, hingga pada akhirnya ketika terjadi praktek kekerasan dalam rumah tangga ataupun dilingkungan masyarakat hal ini dianggap sebagai hal yang wajar. Pada akhirnya kaum wanita pun menjadi bersikap

permisif dan menganggap penderitaan ataupun penyiksaan yang terjadi pada diri mereka adalah merupakan suatu hal yang wajar dan merupakan kodrat mereka yang kemudian melahirkan sikap pasrah dan nrimo saja.

Kondisi anakpun tidaklah jauh berbeda, dalam keluarga posisi anak selalu dianggap sebagai pihak yang harus selalu patuh dan taat pada orang tuanya ataupun pada orang yang lebih tua di lingkungan sekitarnya. Anak dianggap tidak tahu apa apa dan harus selalu mendengar, menyimak tanpa punya kesempatan untuk mengutarakan pendapat. Si anak menyatakan sesuatu maka pernyataannya sering dianggap berbohong, mengada ada ataupun tidak dapat dipertanggung jawabkan. Rekan rekan masih ingat di buku sejarah, bahwa pada jaman dulu dikalangan bangsa Arab mempunyai anak perempuan dianggap sebagai pembawa sial sehingga merupakan hal yang lumrah ketika mereka lahir kemudian langsung dibunuh oleh orang tuanya sendiri,sungguh sungguh sangat ironis.

Seorang wanita menjadi korban perkosaan atau seorang anak perempuan yang berusia belasan tahun menjadi korban perkosaan dan kemudian peristiwa tersebut dilaporkan pada pihak kepolisian maka sesuai dengan prosedur, maka korban haruslah dimintai keterangan yang kemudian dituangkan dalam bentuk BAP ( Berita Acara Pemeriksaan ) untuk selanjutnya di visum. Penyidiknya adalah seorang pria dan ia menanyakan bagaimana peristiwa perkosaan tersebut secara mendetil pada korban. Secara psikologis wanita dana anak yang menjadi korban akan sangat malu ataupun ragu untuk menceritakan pengalaman yang menimpa dirinya pada seseorang yang asing dan orang tersebut adalah pria. Keterangan yang diberikan kurang jelas bahkan lebih parah lagi korban tidak mau bicara dan hanya

menangis saja. Berangkat dari latar belakang diatas maka Polri selaku pihak yang bertanggungjawab dalam penegakan hukum yang didalamnya juga termaktub wanita dan anak anak menganggap hal ini sebagai suatu hal yang serius dan otomatis juga memerlukan penanganan yang serius pula. Petugas Unit PPA pun mendapatkan bekal pelatihan khusus tentang teknik dan taktik penanganan para korban yang demikian, termasuk juga personil dan ruangan pemeriksaannya pun khusus sehingga tidak menimbulkan trauma yang lebih jauh lagi. Menangani wanita dan menangani anak anak tidaklah sama, semuanya memerlukan kiat khusus sehingga pemeriksaan akan berjalan dengan lancar dan akhirnya pelaku dapat dijerat sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku. Polwan Indonesia sendiri pernah mendapatkan pelatihan khusus di Belanda tentang masalah penangan wanita dan anak tapi dalam hal yang berkaitan dengan Human Trafficking dimana wanita dan anak menjadi obyek perdagangan jaringan internasional antar negara yang biasanya mereka berakhir pada rumah rumah pelacuran ataupun menjadi budak seksual dari segelintir orang, sungguh menggenaskan.66

2.Bentuk Viktimisasi yang dilakukan oleh Penyidik Polri Terhadap Perempuan

Korban Human Trafficking dalam Proses Penyidikan di Kepolisian Perempuan korban human trafficking adalah sosok yang rentan untuk kembali terviktimisasi. Kasus pidana yang menimpa mereka yang pada umumnya adalah

66

https://matahatidantelinga.wordpress.com/2009/08/11/perkap-no-10-tahun-2007-tentang- unit-ppa/

untuk kepentingan bisnis seks, telah melemahkan mental, psikologis dan juga fisik. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak mendukung bagi mereka untuk dapat menuntut haknya terhadap para tersangka, melalui mekanisme dalam sistem peradilan pidana yang berlaku. Sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih fokus pada tersangka dan kurang memperhatikan hak-hak korban, menjadi momok yang seringkali justru menjadikan para korban human trafficking ini mengalami

viktimisasi yang kedua kalinya. Proses peradilan yang panjang dan berbelit mengikuti jalur birokrasi yang ada, telah menempatkan korban pada situasi yang sulit. Korban sudah terlanjur melaporkan tindak pidana yang telah menimpanya demi memperjuangkan hak-haknya terhadap tersangka, tetapi di sisi lain, korban harus kembali bergulat dengan permasalahan yang pernah menimpanya tersebut. Proses ini harus dijalani oleh korban sejak tahap penyidikan, penuntutan hingga peradilan. Pada tahap penyidikan di kepolisian, mekanisme yang harus di lalui oleh korban yaitu setelah korban melaporkan tindak pidana human trafficking yang menimpanya, mereka harus berhadapan dengan penyidik Polri untuk memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban.

Pada kondisi ini, terdapat beberapa hal yang menjadikan para perempuan korban human trafficking ini mengalami viktimisasi oleh penyidik. Bentuk

viktimisasi atau membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan dimasyarkat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan. Pro yang dilakukan oleh penyidik terhadap korban human trafficking ini yang pertama yaitu seringkali korban dipaksa oleh penyidik untuk mengingat

hingga menjadi budak dalam bisnis seks, serta peristiwa-peristiwa yang telah mereka alami selama menjalani profesi tersebut. Penyidik, hal ini adalah wajar demi mendapatkan fakta-fakta hukum dan alat bukti untuk menjerat tersangkanya. Korban hal ini secara tidak langsung akan menjadi beban psikologis yang justru akan membuatnya menjadi labil dan depresi. Kedua yaitu pada umumnya kasus- kasus human trafficking ini adalah ditangani oleh penyidik Polri dari tingkat Mabes Polri, Polda, Polres hingga satuan setingkat Polsek sedangkan penyidik Polisi Wanita (Polwan) pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hanya terdapat pada satuan Mabes Polri, Polda dan Polres. Satuan setingkat Polsek, tidak memiliki penyidik Polisi Wanita (Polwan) dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sehingga yang menangani perkara ini di tingkat Polsek adalah polisi laki-laki.

Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan bagi para perempuan korban

human trafficking dalam bisnis seks ini, karena kesan dan perlakuan seorang penyidik polisi laki-laki di bandingkan dengan penyidik polisi wanita akan memiliki perbedaan yang sangat mencolok terhadap korban yang adalah perempuan. Penyidik polisi wanita akan cenderung lebih halus dan berperasaan dalam berkomunikasi dan memperlakukan korban, sehingga korban akan lebih nyaman, relaks dan mudah terbuka dalam memberikan keterangan terkait peristiwa yang menimpanya. Penyidik polisi laki-laki yang cenderung kasar, keras nada bicaranya dan tegas sehingga membuat korban cenderung takut, malu dan sulit terbuka. Ketiga yaitu proses penyidikan yang memakan waktu cukup lama dan memakan biaya sendiri. Aktivitas keseharian korban akan sangat bergantung pada

penyidik. Korban menjadi tidak terlalu bebas untuk bepergian terutama keluar kota dalam waktu yang lama atau mencari pekerjaan keluar kota, karena merasa khawatir apabila sewaktu-waktu dipanggil kembali oleh penyidik untuk menjalani rangkaian pemeriksaan seperti pembuatan berita acara pemeriksaan lanjutan, konfrontasi dan lain sebagainya. Korban juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk ongkos mereka pulang dan pergi ke kantor polisi atau untuk biaya makan selama menjalani pemeriksaan. Pendapatan mereka juga berkurang karena selama menjalani pemeriksaan di penyidik Polri, mereka tidak dapat bekerja sehingga tidak mendapatkan uang. Keempat yaitu pada proses penyidikan dikepolisian, seringkali penyidik Polri mempersilahkan wartawan untuk mewawancarai atau mengambil foto korban. Hal ini sering di keluhkan korban karena pada hakekatnya korban tidak menghendaki dirinya di ekspos oleh media apalagi sampai foto dan identitas lengkap mereka di tampilkan secara gamblang oleh media. Perempuan korban

human trafficking menganggap bahwa peristiwa tindak pidana yang terjadi pada mereka adalah sebagai sebuah aib bagi mereka dan keluarganya, sehingga mereka cenderung menutupinya dari publik. Sanksi sosial yang begitu keras terhadap para perempuan yang berada dalam bisnis seks dan keluarganya, sangat ditakuti oleh para korban human trafficking ini. Korban berhak menolak untuk diwawancarai maupun diambil fotonya oleh wartawan, tetapi karena hal tersebut terjadi di kantor polisi dan pada saat mereka di periksa oleh penyidik, maka para korban ini tidak dapat melawan hal tersebut terjadi.

Human Trafficking. Mecegah terjadinya viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks oleh penyidik Polri pada tahap penyidikan di Polsek, maka perlu di bentuk Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sub Unit ini beranggotakan penyidik-penyidik yang kesemuanya adalah polisi wanita (Polwan) dan secara struktural berada di dalam Unit Reserse kriminal yang ada di Polsek. Sub Unit PPA ini di awaki setidaknya oleh 3 (tiga) orang penyidik polisi wanita (Polwan) ditambah 1 (satu) orang Polwan selaku Kasubnit. Sub Unit PPA ini memiliki tugas dan peran yang pertama adalah melakukan penyidikan tindak pidana human trafficking dan tindak pidana lainnya, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Penyidik harus dapat berkomunikasi dan memperlakukan korban dengan menggunakan sentuhan kewanitaan, sehingga korban akan lebih nyaman, relaks dan mudah terbuka dalam memberikan keterangan terkait peristiwa yang menimpanya. Penyidik juga harus aktif dan terampil dalam mengumpulkan alat bukti melalui pendekatan dengan korban sehingga dapat di tentukan tersangkanya hingga Berkas Perkara selesai dan dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.Tugas dan peran yang kedua yaitu memberikan bantuan psikologis kepada korban berupa pendampingan selama korban dalam proses penyidikan di Polsek. Penyidik polisi wanita (Polwan) tersebut harus dibekali dengan pengetahuan tentang ilmu psikologi. Harapannya adalah, dengan bekal pengetahuan tentang ilmu psikologi tersebut, maka para penyidik ini dapat menguatkan mental dan psikologis korban serta membantunya dalam memecahkan permasalahan yang dialami korban terkait dengan tindak pidana yang menimpanya. Tugas dan peran yang ketiga yaitu menampilkan sosok

penyidik Polri yang humanis, sehingga para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana human trafficking dalam bisnis seks, mau dan berani melaporkan tindak pidana yang menimpa mereka. Kesan humanis ini dapat dimunculkan dari para penyidik polisi wanita tersebut melalui cara berpakaian, cara bertegur sapa, cara berkomunikasi, cara melakukan

investigasi dan lain sebagainya. Berguna dalam melakukan koordinasi dengan stake holders yang ada seperti para wartawan, instansi pemerintah, swasta dan lain- lainnya, sehingga dapat berguna dalam mencegah tindak pidana terhadap perempuan dan anak serta meminimalkan viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam proses penyidikan di Polsek.

Kenyataan ini menuntut Polri untuk segera menambah jumlah personel polisi wanitanya terutama guna memenuhi kebutuhan sebagai penyidik di Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Polsek di seluruh Indonesia terutama di wilayah perkotaan untuk memiliki penyidik-penyidik polisi wanita yang mengawaki Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek. Melindungi kepentingan para korban tindak pidana yang adalah kaum perempuan dan anak-anak sehingga dapat diminimalisir terjadinya viktimisasi

terhadap mereka oleh para penyidik, karena semua Polsek juga berwenang untuk menangani tindak pidana yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Upaya yang seharusnya dilakukan oleh Polri dalam memenuhi kebutuhan penyidik polisi wanita tersebut adalah dengan merekrut polisi wanita yang akan khusus dididik sebagai calon-calon penyidik pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

menghasilkan calon-calon penyidik polisi wanita yang sudah siap untuk melaksanakan tugas. Polri kedepan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada masyarakat.

Praktek prostitusi pada saat ini telah mendorong munculnya berbagai macam kasus human trafficking dalam bisnis seks dengan korban-korbannya adalah para wanita. Tindak pidana ini, para korban mengalami kondisi yang terviktimisasi dalam jangka waktu yang panjang yaitu selama menjalani profesi sebagai PSK atau pekerjaan lain yang serupa. Korban yang melaporkan tindak pidana ini ke penyidik Polri terutama di tingkat Polsek, justru mendapat perlakuan dari penyidik yang secara tidak langsung telah membuat mereka kembali mengalami viktimisasi, selama proses penyidikan berlangsung. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu, penyidik di Polsek yang menangani perkara mereka adalah polisi laki-laki, cara penyidik berkomunikasi dan melakukan investigasi kurang selaras dengan perasaan korban yang adalah perempuan, proses penyidikan yang lama dan memakan biaya sendiri, serta penyidik seringkali memperbolehkan wartawan untuk mewawancarai, mengambil identitas lengkap dan mengambil foto korban pada saat pemeriksaan berlangsung. Terjadinya viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks oleh penyidik Polri pada tahap penyidikan di Polsek, maka perlu di bentuk Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sub Unit PPA ini memiliki tugas dan peran melakukan penyidikan tindak pidana human trafficking dan tindak pidana lainnya, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak memberikan bantuan psikologis kepada korban berupa pendampingan selama korban dalam proses

penyidikan di Polsek dan menampilkan sosok penyidik Polri yang humanis. Polri dituntut segera menambah jumlah personel polisi wanitanya terutama guna memenuhi kebutuhan sebagai penyidik di Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek, dengan cara merekrut polisi wanita yang akan khusus dididik sebagai calon-calon penyidik pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek.67

Dokumen terkait