• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkara No.15/KPPU-L/2006

Dalam dokumen T2 322010007 BAB III (Halaman 46-56)

Perkara ini melibatkan PT Pertamina, dimana PT Pertamina diduga melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Dalam pertimbangan Majelis Komisi KPPU mengenai posisi dominan pada kasus perkara ini, PT Pertamina (Persero) merupakan satu-satunya pemasok Elpiji di Indonesia, termasuk

167

didalamnya wilayah Pulau Bangka. Dengan pertimbangan Pasal 1 angka (4) UU No.5 tahun 1999, maka PT Pertamina (Persero) memenuhi unsur posisi dominan sehingga dinyatakan PT Pertamina memiliki posisi dominan tanpa menyebut lagi berapa pangsa pasarnya.

Kemudian dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan bahwa PT Pertamina tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Oleh karena, unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi, karena larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang telah dicabut oleh PT Pertamina sejak 14 Februari 2007 dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL. Sehingga larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi. Oleh karena unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu membuktikan unsur lainnya.

Dari kasus tersebut, ada dua hal yang menarik untuk di analis penulis yaitu Pertama, keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha. Dan Kedua, masalah jangka waktu pemberlakuan syarat-syarat perdagangan dan pencabutannya serta laporan

168

pelanggaran yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dan putusan Majelis Komisi.

a) Keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha.

Syarat-syarat perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tanggal 3 Maret 2006, dikaitkan dengan pelanggaran pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) huruf a.

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

dengan pelaku usaha lain yang memuat

persyaratan bahwa pihak yang menerima

barang dan/atau jasa hanya akan memasok

atau tidak memasok kembali barang

dan/atau jasa tersebut kepada pihak

tertentu dan/atau tempat tertentu”.

Menurut Majelis Komisi, Syarat-syarat perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tidak melanggar Pasal 15 ayat (1) karena bukan merupakan Unsur Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa

169

pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu. Dengan alasan:

 Perjanjian keagenan LPG antara Terlapor dengan agen.

Agen di Pulau Bangka memperoleh ijin dari Pertamina bahwa agen tersebut hanya mendistribusikan dan memasarkan Elpiji di wilayah Pulau Bangka Agen di Pulau Bangka membeli dengan sistem beli putus dari Pertamina, tetapi Terlapor menetapkan harga jual tertinggi yang diperbolehkan bagi para agen.

Penetapan harga jual tertinggi oleh Terlapor terkait dengan tindakan pemerintah yang tidak menyetujui usulan kenaikan harga jual Elpiji.

Elpiji merupakan komoditas bebas, namun pada kenyataannya Pemerintah mengatur atau setidak-tidaknya ikut mengatur pemasaran Elpiji terutama dalam penentuan harga jual tertinggi;

170

Dengan demikian perjanjian antara Terlapor dengan agen bukan merupakan bentuk perjanjian yang bertujuan untuk membatasi agen dalam mendistribusikan dan memasarkan Elpiji.

 Perjanjian Pengusahaan dan Penggunaan Agen Pengangkutan dan Pengisian Elpiji antara Terlapor dengan APPEL.

PT. Bina Mulia Jaya Abadi selaku APPEL hanya diperkenankan menjual Elpiji kepada agen yang ditunjuk oleh Terlapor dan dilarang melakukan penjualan langsung kepada konsumen baik industri maupun rumah tangga.

Keberadaan APPEL bertujuan untuk mendistribusikan Elpiji di Pulau Bangka kepada konsumen melalui agen agar tercapai harga jual yang lebih murah dibandingkan sebelum adanya APPEL.

Pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh Terlapor kepada APPEL dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan Elpiji di masing-masing agen dengan harga yang lebih murah.

171

Dengan demikian perjanjian pengusahaan dan penggunaan agen pengangkutan dan pengisian elpiji antara Terlapor dengan APPEL dalam hal pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) kepada APPEL bukan merupakan bentuk pembatasan penjualan

Dari kedua fakta tersebut di atas, maka perjanjian antara Terlapor dengan agen dan Terlapor dengan APPEL bukan merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Selanjutnya Majelis Komisi mempertimbangkan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku

usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: Menetapkan syarat-sarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas.

Dalam pertimbangkan Majelis Komisi menyatakan bahwa unsur pelaku usaha dan

172

unsur posisi dominan Terpenuhi, namun unsur Menetapkan syarat-syarat perdagangan dinyatakan Tidak Terbukti karena PT Pertamina (Persero) telah telah mencabut surat surat No. 057/E22000/2006-S3 tentang larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji.

b) Jangka Waktu

Hasil pemeriksaan awal Tim Pemeriksa KPPU tanggal 28 Maret 2006 menemukan bahwa memang benar PT Pertamina (Persero) menetapkan syarat-syarat perdagangan, akan tetapi sejak 14 Februari 2007 Terlapor mencabut surat larangan tersebut dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL bahwa dengan demikian larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi.

Hal ini menjadi aneh, mengingat KPPU menerima laporan dugaan pelanggaran ini Pada

173

tanggal 28 Maret 2006, dimana dugaan pelanggaran oleh PT Pertamina (Persero) ini dilakukan pada tanggal 3 Maret 2006. Kemudian sejak 14 Februari 2007 PT Pertamina (Persero) mencabut surat larangan tersebut. Atas dasar pencabutan inilah, melalui putusan Majelis Komisi KPPU pada tanggal tanggal 23 Mei 2007 memutuskan bahwa PT Pertamina (Persero) tidak terbukti melanggar pasal 25 ayat (1) huruf a.

Penanganan kasus ini terkesan tidak adil karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT Pertamina (persero) sudah menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat tersebut disela-sela pemeriksaan Lanjutan maka dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain meniru tindakan PT Pertamina (persero) yang membuat syarat-syarat perdagangan dengan pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha

174

yang bersangkutan segera mencabutnya sebelum dibacakan putusan.

KPPU memang diberi janga waktu penangganan perkara sampai pembacaan Putusan Majelis Komisi yaitu 434 hari. Akan tetapi ini merupakan jangka waktu maksimal. Jadi sebaiknya KPPU mempertimbangkan jangka waktu agar lebih cepat dalam menangani perkara-perkara tertentu supaya tidak diamanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh pelaku-pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha.

Perubahan perilaku pelaku usaha memang dimungkinkan menurut Pasal 37 Peraturan KPPU No.1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan meskipun terdapat dugaan pelanggaran, apabila Terlapor menyatakan bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku ini dapat dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan kegiatan dan/atau menghentikan penyalahgunaan posisi dominan

175

yang diduga melanggar dan/atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan.Pelaksanaan perubahan perilaku dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang sesuai dengan penetapan Komisi. Komisi dalam hal ini Sekretariat melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan tentang perubahan perilaku.Dalam melakukan kegiatan monitoring oleh Sekretariat Komisi dapat membentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Penetapan. Monitoring Pelaksanaan Penetapan dilakukan untuk menilai pelaksanaan Penetapan Komisi. Hasil Monitoring disusun dalam bentuk Laporan Pelaksanaan Penetapan yang sekurang-kurangnya memuat isi penetapan, pernyataan perubahan perilaku Terlapor dan bukti yang menjelaskan telah dilaksanakannya penetapan Komisi. Sekretariat Komisi menyampaikan dan memaparkan Laporan Pelaksanaan

Penetapan dalam suatu Rapat Komisi. Dalam hal Komisi menilai bahwa Terlapor telah melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan tidak melanjutkan

176

ke Pemeriksaan Lanjutan. Sebaliknya apabila Komisi menilai bahwa Terlapor tidak melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan.

Jadi Perubahan Perilaku ini hanya bisa dilakukan sebelum KPPU melakukan Pemeriksaan Lanjutan. Dalam Perkara ini, PT Pertamina (Persero) melakukan Pencabutan surat GM No. 058/E22000/2006-S3 dalam periode Pemeriksaan Lanjutan. Sehingga menurut penulis, Pencabutan surat ini tidak bisa dikategorikan sebagai Perubahan Perilaku.

Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Komisi yang menyatakan PT Pertamina tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a karena telah mencabut surat GM No. 058/E22000/2006-S3 tidak tepat karena pencabutan surat tersebut tidak bisa

dikategorikan sebagai „Perubahan Perilaku‟.

Dalam dokumen T2 322010007 BAB III (Halaman 46-56)

Dokumen terkait