• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 322010007 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 322010007 BAB III"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

121

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Pokok uraian dalam Bab III ini adalah, pertama hasil penelitian yang berisi mengenai uraian atau posisi kasus dari 10 (sepuluh) putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan. kedua analisis terhadap semua putusan-putusan KPPU.

A.

Hasil Penelitian

Sesuai dengan latar belakang di atas, yang mana untuk lebih memahami konsep penyalahgunaan posisi dominan ini, maka Penulis menyajikan kasus posisi yang dibagi atas 3 (tiga) varian, yaitu pertama,Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan memenuhi Pasal 25 ayat (2), Kedua Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti memenuhi Pasal 25 ayat (2), ketiga Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Tidak memenuhi Pasal 25 ayat (2).

Adapun putusan-putusan KPPU yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu:

(2)

122

a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003

Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310.1

PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat menghambat konsumen untuk melakukan kerjasama usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, dalam bentuk pengiriman surat penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT, kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal 5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT. JICT.

Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT. JICT menggunakan klausul 32.4 di dalam

1

(3)

123

authorization agreement tersebut untuk meminta klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, selanjutnya disebut Segoro, untuk menggunakan Dermaga 300 yang kemudian melayani jasa bongkar muat petikemas.2

Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, telah memberikan konsesi pengelolaan terminal petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan bahwa tidak akan ada pembangunan terminal petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit Terminal Petikemas III sebelum tercapainya throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8 juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di dalam authorization agreement tersebut merupakan bentuk hambatan strategis yang nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan

2

(4)

124

memasuki pasar bersangkutan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok.

Bahwa dalam Ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. Dalam memutus perkara ini, maka Majelis Komisi KPPU mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No.5 tahun 1999.3 Yaitu:

Pertama PT. JICT merupakan pelaku usaha sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang faktual memiliki posisi dominan pada pasar bersangkutan.

Kedua Bahwa pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) huruf a

3

(5)

125

Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah apabila satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dalam pemeriksaan di KPPU, pihak PT. JICT mengakui memiliki posisi dominan di Pelabuhan Tanjung Priok, baik dalam arti tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan maupun dalam arti menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar pada pasar bersangkutan. Data empirik pun

membuktikan bahwa PT. JICT telah menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar pada pasar bersangkutan, sehingga esensi kepemilikan posisi dominan pada pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.

(6)

126

tersebut, yang di dalam perkara ini adalah dengan menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Keempat Bahwa Surat tanggal 12 Pebruari 2002 dari Terlapor I kepada Terlapor III dan surat tertanggal 5 April 2002 dari Terlapor I dan Terlapor II kepada satu pengguna jasa terminal bongkar muat petikemas yang identitas lengkapnya ada pada Mejelis Komisi, serta Surat teguran dari penasehat hukum Terlapor I, Hiswara Bunjamin & Tandjung,

(7)

127

menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.4

b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480.

Kasus ini berawal pada pertengahan bulan

Februari 2004, PT Panasonic Gobel Indonesia (selanjutnya disebut PT PGI) telah melaksanakan

program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack (baterai manganese tipe AA) dengan menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah

4

(8)

128

senter yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI.

Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari

program tersebut tertuang dalam suatu “Surat

Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi:

1) Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter, Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC.

(9)

129

(10)

130

Bahwa perilaku PT.Arta Boga Cemerlang sebagai pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maupun etika bisnis yang ada, yaitu dengan membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas produk baterainya dengan memuat persyaratan bahwa pemilik toko yang menerima barang-barang dari PT.Arta Boga Cemerlang tidak akan membeli barang-barang yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok; Bahwa PT.Arta Boga Cemerlang telah menyalahgunakan posisi dominannya

untuk menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaingnya untuk memasuki pasar yang bersangkutan dan menetapkan syarat-syarat perdagangan yang menghambat atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing.

(11)

131

nasional, sehingga unsur posisi dominan telah terpenuhi.

Dengan posisi dominan tersebut PT.Arta Boga Cemerlang menyalahgunakan dengan menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta Boga Cemerlang telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK dimana salah satu syarat pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic,

dengan tujuan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK PT.Arta Boga Cemerlang.

(12)

132

c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT. Carrefour Indonesia mengakuisisi PT.Alfa Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar 46,30 persen setelah itu meningkat menjadi sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan pangsa pasar5 ini disalahgunakan oleh PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan berbagai syarat perdagangan (trading terms) kepada pemasok menimbulkan persaingan tidak sehat dan menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan ketua Gabungan Elektronik (GABEL) yang mengatakan bahwa PT.Carrefour Indonesia merupakan suatu kekuatan yang cukup besar di Indonesai, sehingga apabila produk Gabel tidak ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah

5

(13)

133

satunya harus memasok juga pada PT.Alfa Retailindo yang diakuisisi oleh PT.Carrefour Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada PT.Carrefour Indonesia.6

Setelah Tim Pemeriksa KPPU melakukan pemeriksaan hingga selesai, Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. Carrefour Indonesia terbukti sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama.

Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) Undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu menyalahgunakan posisi dominannya untuk mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar hanya meresepkan obat dengan merek Norvask.

6

(14)

134

Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode 2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi tersebut memenuhi kriteria posisi dominan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2). Posisi dominan Pfizer untuk produk Norvask menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan.

Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007, pangsa pasar Norvask mengalami penurunan seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52% dan 2009 mencapai tingkat 39.50. Pfizer

Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan apotik. Berdasarkan BAP dari apotik serta kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter dalam peresepan obat sangat penting.

(15)

135

Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan perusahaan farmasi yang diduga berakibat kepada keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program HCCP Pfizer Indonesia.

(16)

136

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999.

2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi

Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2).

a. Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS

(17)

137

dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh Terlapor I untuk mengembangkan sistem pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap pesaing Terlapor II.

Terlapor I memiliki posisi dominan terhadap pasar jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT BEJ (Terlapor I) dan PT LS (Terlapor II) tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh karena BEJ (Terlapor I) tidak menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

b.Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005

(18)

138

BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama, yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor III).

Kasus ini berkaitan dengan diskriminasi distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina, yaitu dengan menetapkan syarat-syarat perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan sebagainya ) yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT. Pertamina.

Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo

mendapatkan lebih besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan PJBGnya.

(19)

139

barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.

c. Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh Terlapor dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan pendistribusian Elpiji di Sumatera Selatan.

Dimana menerbitkan surat No.

057/E22000/2006-S3 yang pada pokoknya melarang agen Elpiji di Pulau Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL Muntok terhitung

mulai tanggal 3 Maret 2006.

(20)

140

ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat puluh rupiah).

Bahwa berdasarkan surat GM No. 058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12 Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan yang diperoleh agen lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena pertama APPEL melakukan penjualan langsung melalui toko-toko dengan harga berkisar antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu

rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT. Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara langsung dari agen di Palembang dan memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu rupiah) per tabung 12 kg.

(21)

141

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dengan pertimbangan karena Terlapor telah mencabut

surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi.

d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh

 Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd)

 Terlapor II (Singapore Technologies

Telemedia Pte. Ltd)

 Terlapor III (STT Communications Ltd)

 Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company

Pte. Ltd)

 Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd)

 Terlapor VI (Indonesia Communications

(22)

142

 Terlapor VII (Indonesia Communications

Pte. Ltd)

 Terlapor VIII: Singapore

Telecommunications Ltd)

 Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte.

Ltd)

 Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular)

Kasus ini berkaitan dengan Telkomsel yang menyalahgunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya

menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan bukti:

(23)

143

itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim interkoneksi sudah berbasis pada biaya namun hingga saat ini belum terdapat adanya PKS antar operator yang memuat perjanjian tersebut.

Pada praktiknya, operator pencari interkoneksi tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan operator incumbent, sehingga masih mengikuti kehendak incumbent dengan ancaman hubungan interkoneksi diputus (BAP Saksi Mastel tanggal 25 September 2007.

Kedua kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14)

(24)

144

Pembayaran. Lebih lanjut, dalam

ayatnya disebutkan bahwa ”Tarif yang

dikenakan kepada Pengguna untuk jasa layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing Pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri tarif yang dikenakan kepada Penggunanya masing-masing dengan batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh operator X kepada Penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tarif yang dikenakan oleh Telkomsel kepada Penggunanya. Operator X akan melakukan penyesuai tarif yang

dikenakan kepada Penggunanya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak pemberitahuan perubahan tarif yang disampaikan oleh Telkomsel kepada Operator X sebagai waktu sosialisasi bila Telkomsel melakukan perubahan tarif yang dikenakan kepada

Pengguannya.” Namun, ketentuan

(25)

145

Bentuk hambatan lain, adalah persyaratan untuk pembangunan link interkoneksi diharuskan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk oleh Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya secara signifikan bagi pencari interkoneksi. Kepemilikan dan pengoperasian link tersebut pun menjadi milik pihak ketiga dan telkomsel bukan menjadi milik pencari interkoneksi.(BAP Saksi Hutchinson tanggal 21 Juni 2007).

Ketiga Dokumen perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan salah satu operator.

Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan Telkomsel pada pokoknya menyatakan tidak pernah menghambat pengembangan teknologi, Telkomsel merupakan operator telekomunikasi seluler pertama yang mengenalkan:

Bisnis pre-paid di Indonesia yang menggunakan teknologi IN;

(26)

146

Layanan value added services tertentu seperti ring back tone;

Electronic voucher;

Layanan-layanan 3G yang menyediakan layanan video call, video streaming.

Pengembangan-pengembangan teknologi yang digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga diaplikasikan oleh kompetitor kompetitor Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pasar telekomunikasi selular.

Sebelum menganalisa pemenuhan unsur pasal 25 ayat (1) huruf b, Majelis Komisi terlebih dahulu mengurai pendekatan analisa terhadap pasal 25 yaitu menurut Majelis Komisi analisa terhadap pasal 25 dapat dilakukan secara per se rule maupun rule of reason. Penggunaan pendekatan per se rule adalah pendekatan minimalist karena dari segi rumusannya pasal 25 tidak tercantum

salah satu dari dua kalimat yaitu „dapat menimbulkan praktik monopoli‟ dan/atau „persaingan usaha tidak sehat‟. Penggunaan

(27)

147

asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan. Untuk itu perlu dibuktikan bahwa kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu rule of reason.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan pertimbangan bahwa meskipun telah terjadi pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya unsur pembatasan pengembangan teknologi maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar dan pengembangan teknologi tersebut.

3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan

(28)

148

a. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000

Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik sendiri maupun toko swalayan dengan sistem waralaba. Kasus ini berawal dari laporan tertulisnya tertanggal 12 April 2000 yang diterima oleh Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai Saksi Pelapor. Berdasarkan wawancara langsung kepada 429

(29)

149

ada 10 usaha kecil, maka apabila ada 290 Toko Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil terancam mati, karena kalah bersaing dengan harga dan kenyamanan yang disediakan oleh Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang masyarakat miskin tambah melarat, resah kehilangan mata pencaharian.

Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT. Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan Indomaret dan jaminan pemasokan barang dagangan dengan harga distributor. Sedangkan

pewaralaba berkewajiban menyiapkan gedung dan investasi + 300 juta (termasuk untuk Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada PT. Indomarco).

(30)

150

secara bersama-sama dengan satu atau dua pelaku usaha lain yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Atas dasar fakta ini Terlapor tidak dapat dinyatakan dan dikategorikan mempunyai posisi dominan secara mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999.

b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

(31)

151

pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan menjual produk Terlapor dan Terlapor berhak melakukan blocking/menutup akses layanan milik operator lain dari wartel.

Kemudian dalam putusan KPPU, Majelis Hakim Menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang dijual atau disediakannya. Posisi Terlapor

meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak dapat disimpulkan sebagai pemegang posisi dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat. Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi.

(32)

152

tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25.

Dari kesepuluh putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan di atas, maka untuk lebih memudahkan dalam memahami putusan-putusan KPPU tersebut, penulis menyajikannya dalam bentuk tabel 1 di bawah ini yaitu:

Tabel 1

10 (sepuluh) Putusan KPPU

Tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan

No Putusan-Putusan KPPU Melanggar

(33)

153

(34)

154

B.

Analisis

Analisis mengenai putusan-putusan KPPU berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan dimaksudkan untuk menjawab rumusan masalah dalam Bab I mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha. Putusan-putusan KPPU ini pertama-tama, diuraikan mengenai posisi dominan kemudian penyalahgunaan posisi dominan, selanjutnya penulis mengaitkan fakta-fakta tersebut dengan teori dan peraturan berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan.

Adapun uraian mengenai posisi dominan dan putusan Majelis Hakim tentang penyalahgunaan posisi dominan dalam (10) perkara ini, yaitu:

1. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000

(35)

155

Indomarco Prismatama melakukan secara bersama-sama dengan satu atau dua pelaku usaha lain yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. PT. Indomarco Prismatama bukan satu satunya perusahaan pengecer yang mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pengecer kecil yang lain (wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), akan tetapi masih terdapat beberapa perusahaan pengecer lainnya yang juga mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibanding pengecer kecil.

Atas dasar fakta bahwa PT. Indomarco Prismatama tidak memiliki posisi dominan. Maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu mempertimbangkan

dugaan penyalahgunaan posisi dominan. Pemenuhan ketentuan ayat (2) dalam hal ini posisi dominan merupakan syarat untuk mempertimbangkan ayat (1). Sehingga PT. Indomarco Prismatama tidak melakukan penyalahgunaan posisi dominan.

Dari kasus yang melibatkan PT. Indomarco Prismatama ini, ada 3 (tiga) hal yang menarik untuk menurut penulis yaitu:

 PT. Indomarco Prismatama tidak hanya diduga

(36)

156

menguasai pangsa pasar karena kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan. Penggunaan Pasal 1 angka (4) ini mengidikasikan bahwa Pasal 1 angka (4) dilarang dan bisa ditarik sebagai pelanggaran tersendiri. Secara tidak langsung KPPU melarang Pelaku Usaha Dominan. Padahal menurut penulis, Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang sepanjang dalam memperoleh atau mendapatkan posisi dominannya itu melalui persaingan sehat dan tidak melanggar UU Persaingan Usaha.

 Dari putusan KPPU dalam perkara ini PT.

Indomarco Prismatama diduga melanggar Pasal

(37)

157

dilarang oleh KPPU. Ketentuan ayat 2 ini sebagai standar minimal sebuah pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan. Artinya ketentuan ini hampir mirip dengan Pasal 1 angka (4) di atas yang mengatur mengenai posisi dominan dan kedua-duanya tidak dilarang.

 Dalam pertimbangan Majelis Komisi

menyimpulkan bahwa PT. Indomarco Prismatama Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan tidak memiliki posisi dominan secara mutlak, akan tetapi yang membingungkan ialah dalam putusan KPPU tersebut, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor terbukti atau tidak

(38)

158

tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 huruf a, b dan c.

2. Perkara No.04/KPPU-I/2003

PT. JICT terbukti melakukan penguasaan produksi pelayanan bongkar muat petikemas dengan menguasai

lebih dari 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar pada pasar bersangkutan, dimana posisi terakhir penguasaan pasar PT.JICT pada tahun 2002

adalah sebesar 69,53% (enam puluh sembilan koma

lima puluh tiga persen) dari total arus petikemas pasar

bersangkutan. Pangsa pasar tersebut membuat PT.JICT menduduki posisi utama dalam pasar.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.JICT terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. Yang dalam perkara ini PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan

dalam hal menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar

(39)

159

tersebut digunakan dalam rangka menghambat konsumen untuk melakukan kerjasama usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku usaha lain (Segoro dan MTI) harus mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka pelaku usaha lain tidak akan dilayani. Dengan fakta tersebut, PT.JICT terbukti menyalahgunakan posisi

dominannya secara tidak langsung untuk

menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi

menjadi pesaing untuk memasuki pasar

bersangkutan.

Dalam memutus Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003, KPPU menggunakan patokan Pasar Bersangkutan dalam Posisi Dominan dengan pertimbangan Pasal 1 angka (6) UU No.5 tahun 1999 Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

(40)

160

usaha lain” dan “pasar bersangkutan” dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c menjadi unsur yang diperhintungkan untuk menyatakan JICT melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No.5 tahun 1999. Oleh karena keterkaitan Penyalahgunaan Posisi Dominan dengan Pasal 17 dalam hal Perusahaan dengan posisi dominan pada hakikatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan sehat sangat mungkin terjadi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pelanggaran

Posisi Dominan dalam hal unsur “menghambat pelaku

usaha lain” dan “pasar bersangkutan” ditarik sebagai pelanggaran terhadap Praktik Monopoli dalam Pasal

17 ayat (1) UU No.5 thn 1999. Hal yang menarik dalam kasus ini adalah keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 17, dimana Perusahaan dengan posisi dominan pada hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi terjadinya praktik monopoli yang menghambat persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.

(41)

161

PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor) tidak terbukti memiliki posisi dominan pada pasar bersangkutan dalam hal ini pasar jasa telepon

internasional yang diakses melalui jaringan tetap lokal

nasional di Indonesia, karena komposisi pangsa pasar sambungan telepon internasional dari traffic outgoing

sebagai nilai jual jasa telepon internasional adalah

70-75% dikuasai SLI-001 dan SLI-008 milik Indosat dan

25-30% lainnya dikuasai produk ITKP. Produk ITKP

TelkomGobal-017 sendiri memiliki 10% dari pangsa

pasar sementara produk SLI-007 Telkom tidak

dihitung karena baru diproduksi secara resmi pada

tanggal 7 Juni 2004.

Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa oleh

karena unsur Pasal 25 ayat (2) sebagai persyaratan

untuk mempertimbangkan pasal 25 ayat (1) tidak

terpenuhi, Majelis berpendapat tidak perlu lagi

mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan

posisi dominan Pasal 25 ayat (1). Sehingga PT. Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi dominan.

(42)

162

PT.ABC (Arta Boga Cemerlang) terbukti menguasai 88,73% pangsa pasar baterai manganese AA secara nasional. Dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan bahwa PT.ABC terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyalahgunaan posisi

dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a

jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun

1999. Yakni PT.ABC menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah

dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga

maupun kualitas. PT.ABC telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat

perjanjian PGK dimana salah satu syarat pemberian

potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir

dan semi grosir tidak menjual baterai Panasonic.

Syarat-syarat perdagangan dalam PGK tersebut

ditujukan untuk mencegah atau menghalangi

konsumen memperoleh baterai Panasonic yang

bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun

kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK

Terlapor.

(43)

163

tercantum dalam Pasal tersebut, yakni: terhalanginya konsumen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.7

Sebenarnya Pasal yang secara langsung melarang perjanjian semacam ini adalah Pasal 15 ayat (3) huruf b.8 Namun, KPPU berhasil membuktikan bahwa PT ABC mempunyai posisi dominan dalam produk yang bersangkutan, sehingga bisa menerapkan Pasal 25 ayat (1). KPPU juga mengatakan bahwa PT ABC melanggar Pasal 19 huruf a karena PT ABC dengan

perjanjian semacam itu dianggap telah “menolak

dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar

bersangkutan.”

5. Perkara No.05/KPPU-L/2005

PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ Terbukti memiliki posisi dominan oleh karena PT BEJ

merupakan satu-satunya pelaku usaha yang bergerak

7

Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 tahun 1999.

(44)

164

di bidang usaha menyelenggarakan kegiatan usaha

bursa efek di Jakarta.

Dalam putusan Majelis Komisi KPPU, menyatakan

bahwa PT BEJ tidak terbukti melakukan

penyalahgunaan posisi dominan. Dengan demikian PT

BEJ tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Karena PT BEJ tidak

terbukti tidak menghambat pelaku usaha lain

memasuki pasar bersangkutan sehingga unsur

menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi

menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan

tidak terpenuhi.

6. Perkara No.21/KPPU-L/2005

Perkara ini, KPPU hanya menyatakan bahwa PT

Pertamina menggunakan posisi dominannya memaksa

PT Igas Utama untuk menandatangani Surat

Kesepakatan Bersama Nomor (SKB)

925/D00000/2004-SI dengan ancaman jika tidak

menandatangani SKB maka gas tidak akan dialirkan.

Majelis Komisi KPPU tidak secara tegas menyebutkan

berapa pangsa pasar PT Pertamina pada saat itu. Tapi

dari pernyataan KPPU tersebut, bisa dikatakan bahwa

(45)

165

Mengenai dugaan penyalahgunaan posisi

dominan yang dilakukan oleh PT Pertamina, Majelis

Komisi memutuskan bahwa PT Pertamina (persero)

tidak terbukti melakukan penyalahgunaan posisi

dominan sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 25

ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Dengan mempertimbangkan unsur menetapkan

syarat-syarat perdagangan. Yang dimaksud dengan

menetapkan syarat-syarat perdagangan dalam hal ini

adalah syarat-syarat perdagangan yang dipersyaratkan

oleh PT Pertamina kepada para trader yang akan

melakukan hubungan dagang dengan PT Pertamina.

PT Pertamina membuat beberapa persyaratan dalam

PJBG yang dibuat dengan para trader yaitu JPMT,

SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran,

dimana PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi

terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo

dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih

besar pasokan gas dan dipermudah persyaratan

PJBGnya. Dengan demikian, maka unsur menetapkan

syarat-syarat perdagangan terpenuhi.

Selain itu, Majelis Komisi KPPU

mempertimbangkan unsur bertujuan atau menghalangi

konsumen memperoleh barang. Yang dimaksud dengan

(46)

166

perkara ini adalah syarat-syarat perdagangan yang

diterapkan oleh PT Pertamina mengakibatkan

terhalangnya trader untuk mencari produsen gas

lainnya. Dari syarat-syarat dagang yang diterapkan

oleh PT Pertamina sebagaimana diuraikan pada butir

2.6 (PT. Igas Utama menyatakan PT Pertamina telah

melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan

PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti

Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas dan

dipermudah persyaratan PJBGnya) tidak terdapat

persyaratan dagang yang mengakibatkan para trader

tidak dapat berhubungan dengan produsen gas selain

PT Pertamina atau persyaratan yang membagi alokasi

pasar dari masing-masing trader dalam

mendistribusikan gas. Dengan demikian, maka unsur

bertujuan menghalangi konsumen memperoleh barang

tidak terpenuhi.

7. Perkara No.15/KPPU-L/2006

Perkara ini melibatkan PT Pertamina, dimana PT

Pertamina diduga melanggar ketentuan Pasal 25 ayat

(1) huruf a UU No.5 tahun 1999. Dalam pertimbangan

Majelis Komisi KPPU mengenai posisi dominan pada

kasus perkara ini, PT Pertamina (Persero) merupakan

(47)

167

didalamnya wilayah Pulau Bangka. Dengan

pertimbangan Pasal 1 angka (4) UU No.5 tahun 1999,

maka PT Pertamina (Persero) memenuhi unsur posisi

dominan sehingga dinyatakan PT Pertamina memiliki

posisi dominan tanpa menyebut lagi berapa pangsa

pasarnya.

Kemudian dalam putusan Majelis Komisi KPPU,

menyatakan bahwa PT Pertamina tidak terbukti

melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga

tidak melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a

UU No.5 tahun 1999. Oleh karena, unsur menetapkan

syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi, karena

larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang telah

dicabut oleh PT Pertamina sejak 14 Februari 2007 dan

mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih

pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL.

Sehingga larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak

berlaku lagi. Oleh karena unsur menetapkan

syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi maka Majelis

Komisi KPPU tidak perlu membuktikan unsur lainnya.

(48)

168

pelanggaran yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) dan putusan Majelis Komisi.

a) Keterkaitan Pasal 25 dengan Pasal 15 UU Persaingan Usaha.

Syarat-syarat perdagangan dalam bentuk surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang No. 057/E22000/2006-S3 tanggal 3 Maret 2006, dikaitkan dengan pelanggaran pasal 15 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) huruf a.

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

dengan pelaku usaha lain yang memuat

persyaratan bahwa pihak yang menerima

barang dan/atau jasa hanya akan memasok

atau tidak memasok kembali barang

dan/atau jasa tersebut kepada pihak

tertentu dan/atau tempat tertentu”.

(49)

169

pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu. Dengan alasan:

 Perjanjian keagenan LPG antara Terlapor

dengan agen.

Agen di Pulau Bangka memperoleh ijin dari Pertamina bahwa agen tersebut hanya mendistribusikan dan memasarkan Elpiji di wilayah Pulau Bangka Agen di Pulau Bangka membeli dengan sistem beli putus dari Pertamina, tetapi Terlapor menetapkan harga jual tertinggi yang diperbolehkan bagi

para agen.

Penetapan harga jual tertinggi oleh Terlapor terkait dengan tindakan pemerintah yang tidak menyetujui usulan kenaikan harga jual Elpiji.

(50)

170

Dengan demikian perjanjian antara Terlapor dengan agen bukan merupakan bentuk perjanjian yang bertujuan untuk membatasi agen dalam mendistribusikan dan memasarkan Elpiji.

 Perjanjian Pengusahaan dan Penggunaan

Agen Pengangkutan dan Pengisian Elpiji antara Terlapor dengan APPEL.

PT. Bina Mulia Jaya Abadi selaku APPEL hanya diperkenankan menjual Elpiji kepada agen yang ditunjuk oleh Terlapor dan dilarang melakukan penjualan langsung kepada konsumen baik industri maupun rumah tangga.

Keberadaan APPEL bertujuan untuk mendistribusikan Elpiji di Pulau Bangka kepada konsumen melalui agen agar tercapai harga jual yang lebih murah dibandingkan sebelum adanya APPEL.

(51)

171

Dengan demikian perjanjian pengusahaan dan penggunaan agen pengangkutan dan pengisian elpiji antara Terlapor dengan APPEL dalam hal pengaturan penjualan Elpiji yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) kepada APPEL bukan merupakan bentuk pembatasan penjualan

Dari kedua fakta tersebut di atas, maka perjanjian antara Terlapor dengan agen dan Terlapor dengan APPEL bukan merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Selanjutnya Majelis Komisi mempertimbangkan

Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku

usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: Menetapkan syarat-sarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas.

(52)

172

unsur posisi dominan Terpenuhi, namun unsur Menetapkan syarat-syarat perdagangan dinyatakan Tidak Terbukti karena PT Pertamina (Persero) telah telah mencabut surat surat No. 057/E22000/2006-S3 tentang larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji.

b) Jangka Waktu

Hasil pemeriksaan awal Tim Pemeriksa KPPU tanggal 28 Maret 2006 menemukan bahwa memang benar PT Pertamina (Persero)

menetapkan syarat-syarat perdagangan, akan tetapi sejak 14 Februari 2007 Terlapor mencabut surat larangan tersebut dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian di DSP Pulau Layang atau di APPEL bahwa dengan demikian larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi.

(53)

173

tanggal 28 Maret 2006, dimana dugaan pelanggaran oleh PT Pertamina (Persero) ini dilakukan pada tanggal 3 Maret 2006. Kemudian sejak 14 Februari 2007 PT Pertamina (Persero) mencabut surat larangan tersebut. Atas dasar pencabutan inilah, melalui putusan Majelis Komisi KPPU pada tanggal tanggal 23 Mei 2007 memutuskan bahwa PT Pertamina (Persero) tidak terbukti melanggar pasal 25 ayat (1) huruf a.

Penanganan kasus ini terkesan tidak adil karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT Pertamina (persero) sudah

(54)

174

yang bersangkutan segera mencabutnya sebelum dibacakan putusan.

KPPU memang diberi janga waktu penangganan perkara sampai pembacaan Putusan Majelis Komisi yaitu 434 hari. Akan tetapi ini merupakan jangka waktu maksimal. Jadi sebaiknya KPPU mempertimbangkan jangka waktu agar lebih cepat dalam menangani perkara-perkara tertentu supaya tidak diamanfaatkan secara tidak bertanggungjawab oleh pelaku-pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha.

Perubahan perilaku pelaku usaha memang

(55)

175

yang diduga melanggar dan/atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan.Pelaksanaan perubahan perilaku dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang sesuai dengan penetapan Komisi. Komisi dalam hal ini Sekretariat melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan tentang perubahan perilaku.Dalam melakukan kegiatan monitoring oleh Sekretariat Komisi dapat membentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Penetapan. Monitoring Pelaksanaan Penetapan dilakukan untuk menilai pelaksanaan Penetapan Komisi. Hasil Monitoring disusun dalam bentuk Laporan

Pelaksanaan Penetapan yang sekurang-kurangnya memuat isi penetapan, pernyataan perubahan perilaku Terlapor dan bukti yang menjelaskan telah dilaksanakannya penetapan Komisi. Sekretariat Komisi menyampaikan dan memaparkan Laporan Pelaksanaan

(56)

176

ke Pemeriksaan Lanjutan. Sebaliknya apabila Komisi menilai bahwa Terlapor tidak melaksanakan Penetapan Komisi, maka Komisi menetapkan untuk menghentikan monitoring pelaksanaan penetapan dan menetapkan untuk melakukan Pemeriksaan Lanjutan.

Jadi Perubahan Perilaku ini hanya bisa dilakukan sebelum KPPU melakukan Pemeriksaan Lanjutan. Dalam Perkara ini, PT Pertamina (Persero) melakukan Pencabutan surat GM No. 058/E22000/2006-S3 dalam periode Pemeriksaan Lanjutan. Sehingga menurut penulis, Pencabutan surat ini tidak bisa dikategorikan sebagai Perubahan Perilaku.

Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Komisi yang menyatakan PT Pertamina tidak melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a karena telah mencabut surat GM No. 058/E22000/2006-S3 tidak tepat karena pencabutan surat tersebut tidak bisa

dikategorikan sebagai „Perubahan Perilaku‟.

(57)

177

Pangsa Pasar PT. Telekomunikasi Selular

(Telkomsel) pada pangsa pasar seluler sejak tahun

2001 sampai dengan tahun 2006 telah lebih dari 50%,

dengan rata-rata sebesar 61,24%. Sehingga Majelis

Komisi KPPU menyimpulkan bahwa Telkomsel memiliki

posisi dominan.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

Telkomsel tidak terbukti melakukan penyalahgunaan

posisi dominan sehingga tidak melanggar Pasal 25 ayat

(1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Dimana unsur

pembatasan Pasar dan Teknologi tidak sepenuhnya

terpenuhi, sebab yang terjadi hanya pembatasan pasar

melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi

pembatasan pengembangan teknologi. Karena tidak

dipenuhinya semua unsur membatasi pasar dan

pengembangan teknologi, maka Majelis Komisi tidak

perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya

pembatasan pasar dan pengembangan teknologi.

(58)

178

menggunakan kata “dan”. Yang mana antar

Pembatasan Pasar dan Pembatasan Pengembangan Teknologi harus bersatu atau beriringan dalam tindakan dan tidak boleh dipisahkan.

Kedua,Unsur yang berkaitan dengan dampak atau akibat terjadinya pasar dan pengembangan ikut dianalisis. Dalam tataran teori pendekatan analisa terhadap pasal 25 mestinya dilakukan secara per se. Akan tetapi dalam menganalisis kasus ini, KPPU dapat juga menggunakan pendekatan secara rule of reason. Yang mana, pendekatan rule of reason ini mensyaratkan adanya dampak atau efek negatif dari suatu tindakan pelaku usaha, padahal dalam Pasal 25

ini tidak ada unsur atau kata “mengakibatkan”.

(59)

179

9. Perkara No.09/KPPU-L/2009

PT. Carrefour Indonesia memiliki pangsa pasar

lebih dari 50% (limapuluh persen), yaitu sebesar

57,99% (limapuluh tujuh koma sembilan puluh

sembilan persen) pada pasar jasa hypermarket dan

supermarket di seluruh wilayah Indonesia. Dengan

demikian menurut Majelis Komisi KPPU, PT. Carrefour

Indonesia memiliki posisi dominan.

Kemudian, dalam putusan Majelis Komisi KPPU

menyatakan bahwa PT. Carrefour Indonesia terbukti

secara sah dan meyakinkan melakukan

penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar

Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No.5 Tahun 1999. Karena

setiap tahun PT. Carrefour Indonesia membuat syarat

perdagangan (trading terms) dalam suatu perjanjian

nasional dengan para pemasok yang memuat syarat

dan ketentuan bagi PT. Carrefour Indonesia dan

pemasoknya dalam rangka melakukan pasokan

barang kepada PT. Carrefour Indonesia. Pemasok

dalam hal ini merupakan pemakai (konsumen) dari

jasa ritel yang disediakan oleh hypermarket dan

supermarket pada gerai-gerai dan sistem yang dimiliki

oleh hypermarket dan supermarket untuk kepentingan

(60)

180

trading terms tersebut yaitu menyebabkan dampak

negatif terhadap persaingan.

Dengan demikian, Majelis Komisi KPPU menyimpulkan

bahwa dampak syarat perdagangan (trading terms)

yang diterapkan oleh Terlapor terhadap pemasok

menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan

menghambat konsumen memperoleh barang dan jasa

yang bersaing.

10. Perkara No.17/KPPU-I/2010

PT. Pfizer Indonesia (Terlapor) memiliki pangsa

pasar lebih dari 50% untuk pasar bersangkutan obat

anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate

selama periode tahun 2000 – 2007. Dengan demikian,

Majelis Komisi KPPU menilai bahwa PT. Pfizer

Indonesia terbukti memiliki posisi dominan pada Pasal

25 ayat (2) huruf a.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga

melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun

1999. Oleh karena Terlapor telah menetapkan

syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah

(61)

181

dan/atau jasa yang bersaing. Syarat-syarat

perdagangan yang dimaksud dalam hal ini adalah

dalam program HCCP yang melibatkan dokter

berpotensi melibatkan dokter dalam praktik penjualan

obat resep secara tidak langsung. Dengan

keterlibatannya tersebut preferensi dan objektivitas

dokter dalam meresepkan obat kepada pasiennya

khususnya Norvask akan terpengaruh. Meskipun

program HCCP memberikan diskon kepada pasien,

harga produk Norvask masih tetap lebih mahal

dibandingkan rata-rata obat generik dalam pasar

bersangkutan yang sama.

Berikut penulis menyatukan pertimbangan

Majelis Komisi KPPU tentang posisi dominan dan

penyalahgunaan posisi dominan dalam tabel 2 di

bawah ini.

Tabel 2

Pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang Posisi Dominan Dan Penyalahgunaan Posisi Dominan

(62)
(63)

183

jaringan tetap lokal

(64)
(65)
(66)

186 tidak berlaku lagi. 07

Terbukti melanggar

(67)

187

Dari uraian mengenai pembuktian posisi dominan di atas, menekankan pada pembuktian posisi dominan di pasar bersangkutan. Pemenuhan syarat kuantitatif dalam Pasal 25 ayat (2) yang pada pokoknya mensyaratkan pangsa pasar satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% /dua

atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha

menguasai 75% atau lebih pangsa pasar merupakan

syarat mutlak untuk dinyatakan memiliki posisi

dominan. Jika ketentuan pangsa pasar ini tidak

memenuhi maka suatu kasus ini di „Stop‟ atau

dihentikan, yang pada akhirnya dugaan pelanggaran pasal 25 ayat (1) tidak dilanjutkan.

(68)

188

posisi dominan dalam Pasal 1 angkta (4) menganggap ukuran posisi dominan adalah relatif dan tidak tergantung hanya kepada pangsa pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Heermann yang mengatakan bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa pasar paling sedikit 50% atau 75%. Yang mana jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli), tetapi dalam praktiknya dapat melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.

(69)

189

pasar bersangkutan (produk dan geografis). Pasar bersangkutan ini lebih menekankan pada konteks horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan dalam dua perspektif yaitu pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat substitusinya dan pasar berdasarkan geografis yang terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran. Pendefinisian pasar bersangkutan ini merupakan salah cara untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dari 10 (sepuluh) perkara yang telah di putus oleh Majelis Komisi di atas, hanya ada 2 putusan yang mendefenisikan secara langsung pasar bersangkutan sebagai wujud posisi kasus suatu perkara yakni Perkara Nomor 04/KPPU-I/2003 dan Perkara Nomor 02/KPPU-I/2004. Perkara-perkara lainnya tidak

dianalisis secara „gambalang‟ mengenai defenisi pasar

bersangkutan.

(70)

190

bahwa dalam membuktikan pelanggaran terhadap Pasal tersebut menggunakan pendekatan per se. Akan tetapi, dalam pembuktian terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1) dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007. Dalam pertimbangan Majelis Komisi KPPU secara tegas menyatakan bahwa pendekatan analisa terhadap pasal 25 dapat dilakukan secara per se rule maupun rule of reason. Penggunaan pendekatan per se rule adalah pendekatan minimalist karena dari segi rumusannya pasal 25 tidak tercantum salah satu dari dua kalimat yaitu “dapat menimbulkan praktik

monopoli” dan/atau “persaingan usaha tidak sehat”.

Penggunaan pendekatan rule of reason adalah pendekatan maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan. Untuk itu perlu dibuktikan bahwa kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu rule of reason.

(71)

191

secara tersirat menurut penulis Majelis Komisi KPPU menggunakan pendekatan rule of reason dalam pembuktian terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1). Dengan menggunakan pendekatan rule of reason pada satu sisi menyebabkan ketidakpastian hukum. Meskipun kedua pendekatan ini memang tidak diatur secara tegas dalam UU Persaingan Usaha Indonesia, namun demikian dari berbagai literatur menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut bisa dibedakan dan lazim dilakukan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran UU Persaingan Usaha. Akan tetapi disisi yang lain jika pendekatan per se yang akan digunakan maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan.

(72)

192

menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 tidak seharusnya dilarang.

(73)

193

menggunakan pendekatan Per Se. Jadi sekali lagi penulis tegaskan bahwa ketidakpastian yang dimaksud adalah masalah substansi ketidakpastian mengikuti pendekatan sesuai dengan Perundang-Undangan.

Oleh karena itu, pendekatan dalam penangganan penyalahgunaan posisi dominan ini hendaknya menjadi salah satu faktor yang wajib direvisi oleh pembentuk atau pembuat UU (eksekutif dan legislatif) jika seandainya UU persaingan usaha ini dirubah. Sehingga permasalahan pendekatan rule of reason ini bisa diakomodasi dalam pembuktian penyalahgunaan posisi dominan.

(74)

194

dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain meniru tindakan PT Pertamina (persero) yang membuat syarat-syarat perdagangan dengan pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha yang bersangkutan segera mencabutnya sebelum dibacakan putusan.

Pasal 25 ayat (1) tidak memetingkan penggunaan

kata „tujuan‟ (purpose), akan tetapi mensyaratkan adanya kesengajaan dari pemegang posisi dominan.

Hal ini karena formulasi Pasal ini berbunyi “dilarang menggunakan posisi dominan untuk „menetapkan

atau „membatasi pasar’ atau „menghambat pelaku usaha lain’ kata kerja aktif „menetapkan‟, „membatasi‟ dan „menghambat‟ mensyaratkan adanya tindakan

kesengajaan dari pelakunya. Dengan tidak

memetingkan penggunaan „tujuan‟ berarti ketentuan

(75)

195

posisi dominan sudah dikatakan melanggar. Jadi, nampak bahwa ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Persaingan Usaha Indonesia mengikuti posisi Alcoa dan United Shoe di Amerika Serikat.

Pembuktian penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia ini, yang tidak mensyaratkan adanya

„tujuan‟ pada tindakan penetapan harga. Misalnya syarat „tujuan‟ untuk „mencegah dan/atau

menghalangi konsumen untuk memperoleh barang

atau jasa yang bersaing‟. Itu artinya apabila predatory pricing yang mana tindakan pelaku usaha memberikan harga produknya sangat murah sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar. Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar, pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada tingkat monopoli dan dapat menutupi kerugian-kerugian yang telah dialami. Tindakan ini dilakukan oleh pemegang

posisi dominan terbukti „menghambat pelaku usaha

lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki

pasar bersangkutan‟, maka sudah dapat dikatakan

pelaku usaha tersebut menyalahgunakan posisi

dominannya walaupun „tujuan‟ (purpose atau intent) untuk itu tidak terbukti. Meskipun pada putusan

(76)

196

dalam hal ini menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa.

Hukum persaingan usaha Amerika Serikat, Putusan-Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang diperoleh secara sah tetapi melarang tindakan yang menggunakan kekuatan monopoli dengan melihat pada purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah tersebut. Menurut Standart Oil9 dan American Tobacco,10 actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha harus mempunyai “positive drive to monopolize”. Artinya, harus ada praktik-praktik “predatory” yang menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa11 menunjukkan bahwa bukti actual intent dalam hal ini

„tujuan‟ kurang diperlukan; yang penting adalah bukti

adanya kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan monopoli untuk mempertahankan posisi monopolinya. Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi

9

Standart Oil Co. Of N.J. v. United States 221 U.S. 1.31 S.Ct. 502, 55 L.Ed. 619 (1911).

10

United States v. American Tobacco Co. 221 U.S. 106, 31 S.Ct. 632, 55 L.Ed. 663 (1911).

11

(77)

197

aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti Alcoa.12 United Shoe memperkuat Alcoa dengan menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuatan monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal. Namun, pengadilan-pengadilan semenjak tahun 1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan United Shoe dan membatasi cakupan pelanggaran Section 2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan American Tobacco (1911) mengunakan „teori

penyalahgunaan‟ (the abuse theory), Alcoa (1945) dan United Shoe (1953) kemudian meninggalkannya. Kemudian, mulai tahun 1979, pengadilan kembali menggunakan teori penyalahgunaan. Artinya, sebagaimana dalam Standard Oil dan American

12

(78)

198

Tobacco, actual purpose or intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi dominan.

Ketentuan pasal 25 ayat (1) ini sesuai dengan posisi di Uni Eropa. Di Uni Eropa, ECJ dalam Hoffmann-La Roche13 menegaskan bahwa penyalahgunaan posisi dominan menurut Pasal EU Article 102 ( ex Article 82) European Community Treaty merupakan konsep yang objektif berkaitan dengan tingkah laku pemegang posisi dominan yang mempengaruhi struktur pasar yang menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut menjadi lemah. Sebelumnya, dalam Continental Can,14 ECJ juga menegaskan bahwa pelanggaran EU Article 102 ( ex Article 82) tersebut terjadi apabila pemegang posisi dominan telah dengan sengaja memperkuat posisinya dan memperlemah persaingan dengan melakukan merger dengan pelaku usaha lain, walaupun tidak ada bukti bahwa pelaku usaha tersebut telah mengeksploitasi kekuatan pasarnya. Jadi, penyalahgunaan posisi dominan menurut EU Article 102 (ex Article 82) bisa terjadi walaupun tidak ada intent atau purpose untuk melakukan penyalahgunaan asalkan telah terjadi dampak negatif terhadap

13

Hoffmann-La Roche & Co AG v. Commission (1979) ECR 461, (1979) 3 CMLR 211.

14

(79)

199

persaingan. Jadi dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan posisi dominan menurut Pasal 25 ayat (1) bisa terjadi walaupun tidak ada intent atau purpose dari pemegang posisi dominan.

Undang-undang persaingan usaha Indonesia mengambil sikap yang termasuk ketat. Pasal 25 ayat (1) lebih mudah menyimpulkan adanya posisi dominan dan lebih mudah melarang tindakan pemegang posisi dominan. Pasal ini dalam menentukan adanya tindakan penyalahgunaan posisi dominan mengikuti posisi di Uni Eropa. Hal demikian ini di satu sisi dapat memberikan kemudahan dalam pembuktian, tetapi di sisi lain lebih membatasi ruang gerak pemegang posisi dominan yang belum tentu dapat meningkatkan persaingan yang sehat antar pelaku usaha. Posisi yang lebih bijak perlu dipertimbangkan agar dapat memberikan perlakuan yang adil seperti tujuan hukum menurut Gustav Radbruch antara pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan yang tidak dengan tetap memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang lemah untuk meningkatkan persaingan yang sehat.

Gambar

Tabel 1 10 (sepuluh) Putusan KPPU
Tabel 2 Pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang Posisi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2013 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

perubahan kualitas lingkungan dari waktu ke waktu. Prakiraan dampak dilakukan secara cermat mengenai besaran dampak penting dari aspek biogeofisik-kimia, sosial, ekonomi,

3 Ning Kusumastuti Kuswantoro ILMU BUDAYA.. 4 Nurul Maisaroh

dilanjutkan dilanjutkan Tidak dilanjutkan Tidak - Spesifikasi Barang/produk yang ditawarkan kurang dari atau tidak sesuai dengan spesifikasi barang /produk yang dipersyaratkan,

No Kode Nama Tugas/Praktikum Smt Nomor Surat Puas Tanggal Masuk Petugas Paraf. 1 TM 12220P Prakt.Pemrograman

Peneltian ini bertujuan: (1) menganalisis struktur ukuran ikan cakalang yang tertangkap di daerah rumpon pada perairan Teluk Bone (2) menganalisis kondisi biologi

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk peneliti dan pembaca dalam memahami dan mengetahui makna konotasi kata dan frasa yang terdapat dalam rubrik “ Edukasia ” pada surat