Puji syukur atas kehadirat Allah Ta’ala, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul :
“ANALISA HUKUM PERSAINGAN USAHA TERKAIT PENETAPAN HARGA KASUS JASA PEMASANGAN INSTALASI LISTRIK DI WILAYAH KABUPATEN NUNUKAN (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NO. 11/KPPU-L/2013”.
Disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penghargaan dan terima kasih yang sebesarnya kepada Ayahanda tercinta Baharuddin Daulay dan Ibunda tercinta Markia Hasibuan yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, cinta, motivasi, bimbingan dan memberikan segala kebutuhan penulis, dan penulis sertakan saudara saudari kandung penulis Zulhas Padly Daulay, Mardin Adly Daulay, Nordiya Yuni Daulay, Isra Oktaviani Daulay dan Annisa Adly Daulay yang senantiasa memberikan semangat. Semoga Allah Ta’ala selalu melimpahkan Rahmat, Kesehatan, Karunia dan keberkahan di dunia serta akhirat atas budi baik yang telah diberikan kepada penulis.
Dalam penyusunan dan penulisan skiripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Ok Saidin, SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara;
4. Ibu Puspa Melati, SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi;
7. Ibu Tri Murti Lubis, SH.,M.H, Selaku Sekretaris Departemen Ekonomi 8. Ibu Prof.Dr. Ningrum Natasya Sirait,SH,MLI yang merupakan Dosen
Pembimbing I;
Terimakasih atas bimbingan, saran, nasehat, dan ilmu yang telah ibu berikan selama ini dengan penuh kesabaran yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;
9. Bapak Dr. Mahmul Siregar,SH.,M.Hum yang merupakan Dosen Pembimbing II;
Terimakasih atas bimbingannya sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan.
10. Bapak Robert, SH.,M.H., yang telah memberikan saran dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
mengajar dan memberikan ilmu terbaik, serta membimbing penulis dalam menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
12. Seluruh Staff pegawai dan tata usaha yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan urusan administrasi;
13. Terimakasih kepada Grup WA tercinta penulis grup anak hilang dan penghuni surga, yang telah membantu dan selalu memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
14. Terimakasih kepada teman-teman penulis Laila Marliana Siregar, Rahmat Efendi Tanjung dan Asriyani Siregar yang selama ini telah memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
15. Seluruh orang yang penulis kenal maupun mengenal penulis;
Akhir kata, semoga skripsi ini memberi manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua dalam rangka menambah wawasan pengetahuan dan pemikiran kita.
Penulis
SRI RAHMADHANY DAULAY NIM. 160200153
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan ………. ... 10
E. Tinjauan Pustaka ... 12
F. Metode Penulisan ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA A. Gambaran Umum Persaingan Usaha 1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ... 20
2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha ... 25
B. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 1. Asas dan Tujuan ... 30
2. Perjanjian yang Dilarang ... 32
3. Kegiatan yang Dilarang ... 42
4. Posisi Dominan ... 47
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ... 48
C. Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason ... 51
D. Hukum Acara 1. Hukum Acara Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ... 55
2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 Mengenai Tata Cara Penanganan Perkara .... 59
Terhadap Putusan KPPU ... 61 BAB III PENETAPAN HARGA DALAM HUKUM PERSAINGAN
USAHA
A. Penetapan Harga
1. Pengertian Penetapan Harga ... 63 2. Unsur-Unsur Penetapan Harga ... 66 3. Pendekatan Prinsip Per Se Illegal dalam Penetapan
Harga ... 68 4. Dampak Buruk dari Penetapan Harga Terhadap
Masyarakat ... 70 B. Pengaturan Tentang Penetapan Harga
1. Penetapan Harga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 ... 71 2. Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ... 75 C. Sanksi Melanggar Ketentuan Penetapan Harga ... 76 D. Putusan KPPU Mengenai Kasus Penetapan Harga
(2000-2020) ... 79 BAB IV ANALISA HUKUM TERKAIT PENETAPAN HARGA KASUS
JASA PEMASANGAN INSTALASI LISTRIK DI WILAYAH KABUPATEN NUNUKAN (STUDI KASUS PUTUSAN KPPU NOMOR : 11/KPPU-L/2013)
A. Analisa Hukum Terkait Putusan Nomor: 11/KPPU-L/2013 tentang Penetapan Harga Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999... 84 B. Analisa Hukum Terkait Putusan Nomor :11/KPPU-l/2013
Menurut Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ... 93
A. Kesimpulan ... 96 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA
Analisa Hukum Persaingan Usaha Terkait Penetapan Harga Kasus Jasa Pemasangan Instalasi Listrik di Wilayah Kabupaten Nunukan (Studi Kasus
Putusan KPPU No 11/KPPU-L/2013) Ningrum Natasya Sirait*
Mahmul Siregar**† Sri Rahmadhany***‡
Pada prinsipnya persaingan usaha adalah baik adanya. Dimana dengan adanya persaingan usaha, efisiensi ekonomi secara keseluruhan akan meningkat.
Para pelaku usaha akan bersaing secara sehat sehingga menghasilkan produk- produk atau jasa dengan harga yang lebih murah, mutu yang baik, dan pelayanan yang memuaskan. Tetapi para pelaku usaha pada kenyataannya banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang mengacu pada persaingan usaha yang tidak sehat, seperti melakukan perjanjian penetapan harga yang dilakukan oleh PT.
Nusa Mandiri, dkk pada jasa pemasangan instalasi listrik di Kabupaten Nunukan.
Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan dan literatur. Dalam kasus putusan Nomor: 11/KPPU-L/2013 Tentang Penetapan Harga Jasa Instalasi Listrik di Wilayah Nunukan, para pelaku usaha (Terlapor) I sampai XV yang sudah dirinci pada skripsi ini terbukti sah melakukan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yakni perjanjian penetapan harga, pada jasa instalasi listrik di Wilayah Kabupaten Nunukan. Para Terlapor dinyatakan secara sah melanggar Pasal 5 karena telah memenuhi semua unsur Pasal 5.
Kesimpulan penetapan harga yang dilakukan oleh PT Nusa Mandiri, dkk adalah para pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi setuju dan patuh pada harga yang telah ditetapkan oleh AKLI Nunukan, sehingga para Terlapor dinyatakan bersalah karena telah melakukan perjanjian penetapan harga. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diharap mampu menjadi acuan untuk mencapai iklim persaingan usaha yang sehat.
Kata Kunci : Persaingan, Harga, Jasa Instalasi Listrik
* Dosen Pembimbing I
** Dosen Pembimbing II
*** Mahasiswa
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia cukup dikenal dengan budaya yang berorientasi pada harmoni, kebersamaan, gotong-royong dan hal- hal seperti ini merupakan nilai-nilai yang hidup pada kehidupan masyarakat Indonesia. Kultur kita berasumsi bahwa persaingan menjadi sesuatu yang serta tidak paralel dengan nilai-nilai tersebut.
Makna bersaing diartikan sebagai tindakan yang bersifat individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan yang sebesar besarnya.4
Bersaing dalam kehidupan sehari-hari dan bisnis memiliki asumsi dan analogi. Anggapan bersaing berarti bersifat individual serta tidak memperhatikan kepentingan orang lain tidaklah sepenuhnya benar. Pandangan tersebut akan menjadi salah apabila dilakukan dengan cara yang tidak jujur. Sebaliknya dengan kultur kita yang tidak terbiasa dengan persaingan dan bila kita hidup dengan tidak mengenal apakah persaingan itu, tentu kita tidak akan mengetahui makna dari cara bagaimana bersaing yang sehat. Sesungguhnya bersaing bukanlah sesuatu yang harus kita hindarkan. Disamping kita akan mendapat kesempatan untuk melihat dan sekaligus mendapatkan hasil yang terbaik dari suatu persaingan, maka banyak hasil positif yang kita temukan dalam persaingan. Kita mampu
4 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011) hlm.14
melihat dan menikmati hasil yang terbaik, efisien serta strategi terbaik dari suatu persaingan.5
Indonesia sendiri pada saat ini memberlakukan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat, yang selanjutnya disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Dimana undang-undang ini merupakan undang-undang atau ketentuan khusus dalam hal menanggulangi tindak kejahatan atau pelanggaran dibidang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.6
Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum tersebut, mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Dengan menyimak secara seksama tujuan persaingan usaha yang terdapat pada Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-Undang No.5 tahun 1999 adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi
5 Ibid, hlm.15
6 Hermansyah, Pokok –Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.13
terhadap para pelanggarnya. Tidak akan salah jika kita mengatakan bahwa tujuan pokok Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini adalah efisiensi.7 Berkaitan dengan pengaturan tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan bahwa pada prinsipnya tujuan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu adalah untuk menciptakan efisiensi dan keadilan terutama disuatu pasar tertentu dengan cara menghilangkan distorsi pasar, antara lain : mencegah penguasaan pangsa pasar yang besar oleh seorang atau beberapa pelaku usaha pasar, mencegah timbulnya hambatan atau mencegah perkembangan pelaku usaha menjadi pesaingnya.8
Sedangkan apabila tujuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 itu disederhanakan, maka dapat disederhanakan menjadi 3 (tiga) tujuan, yaitu:
pertama, adalah memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara atau pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usaha, kedua, adalah menciptakan iklim usaha yang sehat, ketiga, adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat atau kepentingan umum.9 Dalam menjalankan instruksi dari Undang-Undang No. 5 tahun 1999, dibentuklah lembaga yang disebut dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut sebagai KPPU. Lembaga ini mempunyai tugas dan kewenangan dalam menangani persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha.10
7 Ibid, hlm. 14
8 Ibid, hlm. 15
9 Ibid.
10 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao,Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dn i Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010). hlm. 114
Dari tahun pertama KPPU didirikan dan bertugas dalam menangani berbagai perkara persaingan usaha, iklim perekonomian Indonesia masih juga diliputi warna dan corak persaingan usaha tidak sehat, berupa pelanggaran- pelanggaran terhadap Undang-Undang No.5 tahun 1999. Kondisi seperti ini mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang ujungnya akan berpengaruh terhadap daya saing Indonesia bernilai semakin rendah, padahal telah sering dikemukakan bahwa dengan berkompetisi akan dapat meningkatkan kualitas produk barang dan/ atau jasa. Artinya dengan memulai persaingan merupakan katalisator menuju perkembangan industri, peningkatan ekonomi, dan kemajuan usaha secara menyeluruh.11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 telah melarang serta mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat serta bentuk-bentuk pelanggaran lainnya seperti tindakan-tindakan yang dilarang, dalam bentuk tiga kategori, yaitu : perjanjian yang dilarang dimana ditentukan ada sepuluh perjanjian yang tidak boleh dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu sebagai berikut:
1. Oligopoli 2. Penetapan harga 3. Pembagian wilayah 4. Pemboikotan 5. Kartel 6. Trust 7. Oligopsoni 8. Integrasi vertikal
11 Ibid, hlm. 115
9. Perjanjian tertutup
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri.12
Kegiatan yang dilarang, ditentukan pula ada empat tindakan yang tidak diperbolehkan, yaitu :
1. Monopoli 2. Monopsoni 3. Penguasaan pasar 4. Persekongkolan.13
Dan yang terakhir adalah posisi dominan, dimana berdasarkan Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 bahwa posisi dominan yang dilarang dalam dunia usaha dikategorikan dalam 4 (empat) bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Posisi dominan yang bersifat umum 2. Posisi dominan jabatan rangkap
3. Posisi dominan pemilikan saham mayoritas
4. Posisi dominan karena penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.14
Salah satu perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian penetapan harga, dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
12 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.cit hlm. 132
13 Ibid, hlm. 133
14 Ibid, hlm. 144
pasar bersangkutan yang sama.15 Perjanjian dapat dilakukan dengan tertulis ataupun tidak tertulis (lisan), bahkan pada pasar yang bersifat oligopoli ataupun pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi16
Penetapan harga bisa dilakukan hanya dengan memberikan tanda kepada pelaku usaha lainnya dengan bentuk menaikkan harga, yang biasanya akan selalu diikuti oleh pelaku usaha lainnya. Perjanjian penetapan harga, baik yang bersifat terbuka maupun yang disamarkan, pada dasarnya merupakan tindakan yang mencederai asas persaingan. Tindakan tersebut akan merugikan konsumen dengan bentuk harga yang lebih tinggi, dan jumlah barang yang lebih sedikit tersedia.
Itulah sebabnya dalam hukum persaingan, penetapan harga dalam bentu apapun pada dasarnya dilarang.17
Pada tahun ke-20 (dua puluh) KPPU telah banyak memutus kasus tentang persaingan usaha tidak sehat, khususnya kasus tentang penetapan harga dimana KPPU telah memutus sebanyak 23 (dua puluh tiga) kasus.18 Hal ini berarti masih banyak para pelaku usaha yang tidak paham atau mungkin saja melanggar
15 Undang-Undang No. 5 Tahun Tahun 1999, Pasal 5
16 Ibid, Pasal 1 ayat 5
17 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999) hlm. 11
18 Putusan KPPU
larangan penetapan harga tersebut, sehingga akan lebih baik jika disediakan banyak literasi berupa tulisan untuk sumber pengetahuan atau penyuluhan bagi para pelaku usaha atau masyarakat Indonesia. Untuk itu penelitian ini akan menganalisa salah satu dari putusan KPPU mengenai Penetapan Harga yaitu Putusan KPPU Nomor 11/KPPU-L/2013 Kasus Jasa Pemasangan Instalasi Listrik di Wilayah Kabupaten Nunukan yang melanggar penetapan harga dan termasuk pada perjanjian yang dilarang, dimana penetapan harga diatur pada pasal 5 Undang-Undang No.5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Yang mana penetapan harga adalah kesepakatan diantara para penjual yang bersaing di pasar yang sama untuk menaikkan atau menetapkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Pada kasus Perjanjian Penetapan Harga di Wilayah Nunukan Provinsi Kalimantan Timur. Para pelaku usaha yakni:
1. PT Nusa Mandiri (Terlapor I) 2. PT Sudi Indah (Terlapor II) 3. CV Citra Jananuraga (Terlapor II) 4. CV Merkah (Terlapor IV)
5. CV Sumber Maju (Terlapor V), 6. CV Albar Jaya (Terlapor VI), 7. CV Putra daerah (Terlapor VII), 8. CV Anifah (Terlapor VIII), 9. CV Surya Agung (Terlapor IX), 10. CV Wahyu Agung (Terlapor X),
11. CV Anugrah Prima Perkasa (Terlapor XI), 12. CV Putra Borneo (Terlapor XII),
13. CV Karya Jaya Mandiri (Terlapor XIII)
14. Dewan Pengurus Cabang (DPC) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal (AKLI) Nunukan (Terlapor XIV)
15. Dewan Pengurus Cabang (DPC) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal (AKLI) Berau (Terlapor XV)
Merupakan penyedia jasa instalasi listrik yang tergabung dalam 1 (satu) Asosiasi yakni: Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal (AKLI) Nunukan. Jika dilihat dari pengertian pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 maka seluruh pelaku usaha (Terlapor) I sampai dengan XV merupakan pelaku usaha yang terdapat pada unsur Pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1999. Dimana seluruh Terlapor sama-sama berdomisili atau berkedudukan di Wilayah Nunukan dan berada pada pasar produk dan atau jasa yang sama yaitu jasa instalasi listrik.
Berdasarkan analisa investigator pada kasus penetapan harga ini, unsur membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan juga telah dibuktikan. Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 ketentuan umum Undang- Undang No. 5 tahun 1999, pelaku mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa tindakan kesepakatan harga/biaya jasa pemasangan instalasi listrik telah dilakukan oleh para Terlapor. Unsur yang terakhir adalah pasar bersangkutan yang sama.
Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang no. 5 tahun 1999 Pasar
Bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari barang atau jasa tersebut. Sehingga dalam perkara ini, Pasar Produk adalah pasar jasa instalasi listrik dan kemudian pasar Pasar Geografis adalah di kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur.
Para pelaku usaha tersebut diduga telah melakukan pelanggaran berupa perjanjian penetapan harga yang diatur pada Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Dimana setelah dirinci unsur-unsur Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 para pelaku usaha tersebut telah terbukti melakukan perjanjian penetapan harga. Seperti yang diketahui bahwa perjanjian penetapan harga termasuk perjanjian yang melawan hukum persaingan usaha yang sehat yang dapat merugikan masyarakat terutama masyarakat di Wilayah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Kajian Hukum Persaingan usaha di Indonesia?
2. Bagaimana Pengaturan Tentang Penetapan Harga Dalam Hukum Persaingan Usaha?
3. Bagaimana Analisa Hukum Terkait Penetapan Harga Kasus Jasa Pemasangan Instalasi Listrik di Wilayah Kabupaten Nunukan (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor: 11/KPPU-L/2013) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Penyusunan skripsi ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kajian tentang hukum persaingan usaha di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang penetapan harga di dalam hukum persaingan usaha.
3. Untuk mengetahui analisa hukum terkait penetapan harga Kasus Jasa Pemasangan Instalasi Listrik di Wilayah Kabupaten Nunukan (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor: 11/KPPU-L/2013).
Manfaat penulisan yang diharapkan melalui penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara Teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan pustaka mengenai penetapan harga di dalam persaingan usaha
2. Secara Praktis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan untuk pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah yang terjadi di persaingan usaha terkait penetapan harga.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Analisa Hukum Persaingan Usaha Terkait Penetapan Harga Kasus Jasa Pemasangan Instalasi Listrik di Wilayah Kabupaten
Nunukan (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 11/KPPU-L/2013)”, merupakan hasil karya penulis sendiri. Penulis menyusun skripsi ini dengan referensi buku- buku ilmiah tentang hukum, makalah-makalah, jurnal baik media cetak maupun elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak. Dalam penulisan skripsi ini dituangkan segala pemikiran dan pendapat penulis dengan kelayakan dan menjamin skripsi ini belum ada yang menulis sebelumnya, meskipun ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan tersebut sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Zealabetra Mahamanda, Tahun 2011, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia dengan judul “Analisis Dugaan Penetapan Harga Dan Kartel Yang Menimbulkan Persaingan Usaha Yang Tidak sehat”.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Monatalia Tobing, Tahun 2008, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara dengan judul “Penetapan Harga (Price Fixing) Antara Para Pelaku Usaha Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Yudha Febri Rahadianto, Tahun 2011, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul “Penetapan Harga Dan Monopoli (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor : 11/KPPU-I/2005 antara PT.
Semen Gresik Dan Konsorsium Distributor Semen Gresik tentang Gresik Dan Putusan Perkara Inisiatif Nomor : 02/KPPU-I/2003 antara PT. Tanto Intim Line tentang Penetapan Harga)”.
Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti tersebut diatas tidak sama dengan penelitian ini, baik dari segi judul maupun pokok permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan kepustakaan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang menjadi sorotan studi kepustakaan. Hal ini berguna bagi penulis untuk membantu melihat ruang lingkup agar berada dalam topik yang diangkat dari permasalahan diatas.
1. Analisa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian analisis adalah penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya). Analisa berasal dari kata Yunani Kuno “analusis” yang berarti melepaskan Analusis terbentuk dari 2 suku kata yaitu “ana” yang berarti kembali dan “luein” yang berarti melepas. Sehingga pengertian analisa yaitu suatu usaha dalam mengamati secara detail pada suatu hal atau benda dengan cara menguraikan komponen-komponen pembentuknya atau menyusun komponen tersebut untuk dikaji lebih lanjut.19
19 www. http://pengertiandefenisi.com, diakses pada Tanggal 5 Maret 2020.
Menurut Gorys Keraf, analisa adalah sebuah proses untuk memecahkan sesuatu kedalam bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Sedangkan menurut Komaruddin mengatakan bahwa analisa merupakan suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda dari setiap komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam suatu keseluruhan yang terpadu.20 Analisa bahan hukum yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini dengan cara mengklasifikasi dan menganalisa sumber bahan hukum yang telah dikumpulkan secara sistematis berdasarkan bab-bab dan sub bab sesuai rumusan masalah yang terdapat dalam skripsi ini dengan metode deduktif yaitu dengan cara menganalisis dari kesimpulan umum atau generalisasi yang diuraikan menjadi contoh-contoh kongkrit atau fakta-fakta untuk menjelaskan kesimpulan atau generalisasi tersebut.
2. Hukum Persaingan Usaha
Sesungguhnya banyak istilah yang digunakan untuk bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha (competition law) yaitu hukum Antimonopoli dan hukum antitrust. Namun demikian, penulis menggunakan istilah hukum persaingan usaha karena dipandang paling tepat, dan memang sesuai dengan substansi ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.21 Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Untuk
20 Ibid.
21 Hermasyah, Op.cit., hlm.2
memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentu pengertian hukum persaingan usaha yang demikian itu tidaklah mencukupi. Oleh karenanya, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan usaha dari para ahli hukum persaingan usaha.
Menurut Hermansyah, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Persaingan Usaha” yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah instrumen hukum yang menetukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek “persaingan”, hukum persaingan juga menjadi perhatian dari hukum persaingan adalah mengatur persaingan sedemikaian rupa, sehingga ia tidak menjadi sarana untuk mendapatkan monopoli.22 Beranjak dari pengertian diatas, maka menurut penulis yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh para pelaku usaha.
3. Penetapan Harga
Penetapan harga adalah kesepakatan diantara para penjual yang bersaing di pasar yang sama untuk menaikkan atau menetapkan harga dengan tujuan membatasi persaingan diantara mereka dan menetapkan keuntungan yang lebih banyak lagi.23
22 Ibid, hlm. 3
23 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.cit, hlm. 118.
F. Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normative, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.24 Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat25. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normatif mengandung arti dalam meninjau dan menganalisa masalahnya dipergunakan pendekatan dengan menganalisa Undang-Undang26. Penelitian hukum normatif yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi
24 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 295.
25 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm.54
26 Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.118.
dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yaitu yang ada di perpustakaan.27
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang ditunjang dengan data sekuder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti pendekatan perundang-undangan, pendekatan analistis dan pendekatan kasus.28. Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.29 Pendekatan analisis adalah pendekatan menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep yuridis yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian.30 Pendekatan kasus adalah mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum, terutama pada kasus-kasus yang telah diputus terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.31
27 Edi Warman, Monograf Metodologi Hukum ( Panduan Penelitian Tesis dan Disertasi), ( Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan , 2014), hlm,94.
28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.13
29 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hlm.93
30 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, (Malang: Banyu Media,2005), hlm.257
31 Ibid
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dibuat dalam penulisan skiripsi ini adalah data sekunder dan adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penulisan skiripsi ini diantaranya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b) Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bahan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan bahan yang diteliti
c) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contohnya adalah kamus, ensiklopedia dan indeks kumulatif.32
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah, majalah, internet makalah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian.
32 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm..
103-104.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini dibagi atas 5 (lima) BAB dan masing- masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai kepentingan penulisan.
Bab I Pendahuluan, Bab ini mengemukakan tentang latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, tinjauan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Hukum Persaingan usaha di Indonesia, bab ini membahas mengenai gambaran umum mengenai persaingan usaha yang meliputi: sejarah hukum persaingan usaha di Indonesia dan pengertian persaingan usaha. Substansi Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang meliputi : asas dan tujuan, perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason dan yang terakhir hukum acara dalam persaingan usaha yang meliputi : Pengaturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1/2019 Mengenai Tata Cara Penanganan Perkara, Pengaturan Mahkamah Agung Nomor 3/2019 Mengenai Tata Cara Pengajuan Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU
Bab III mengenai penetapan harga dalam hukum persaingan usaha yang meliputi: pengertian penetapan harga, unsur-unsur penetapan harga, pendekatan prinsip per se illegal dalam penetapan harga dan dampak buruk dari penetapan harga terhadap masyarakat. Pengaturan tentang penetapan harga yang meliputi penetapan harga dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999, pedoman pasal 5 (penetapan harga) undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, penulis juga membahas tentang sanksi melanggar ketentuan penetapan harga dan daftar putusan KKPU mengenai kasus penetapan harga.
Bab IV mengenai analisa hukum terkait penetapan harga kasus jasa pemasangan instalasi listrik di wilayah kabupaten nunukan (studi kasus Putusan KPPU Nomor: 11/KPPU-L/2013) yang meliputi analisa hukum terkait Putusan Nomor :11/KPPU-L/2013 tentang penetapan harga menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dan analisa hukum terkait Putusan Nomor :11/KPPU-l/2013 menurut Pedoman Pasal 5 (penetapan harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Bab V Penutup, bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan karya ilmiah ini yang berisikan kesimpulan dan saran dari setiap bab yang dibahas dan dikemukakan.
PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Gambaran Umum Persaingan Usaha
1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Dalam sejarah Indonesia, praktik monopoli pertama kali secara resmi dimulai tanggal 20 Maret 1602, yaitu pada saat pemerintah belanda atas persetujuan Staten Generaal33 memberikan hak untuk berdagang sendiri (monopoli) pada VOC di wilayah Indonesia (Hindia Timur). Selain melakukan monopoli di Indonesia, VOC juga mengawasi perdagangan di wilayah yang terbentang dari Tanjung Harapan di ujung Afrika hingga Sri lanka dan Jepang.
Namun sekalipun VOC memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dari praktik monopoli perdagangan, namun VOC pada akhirnya bangkrut dan menemui ajal pada tanggal 1 Januari 1800, yaitu sejak pemerintah Belanda pada waktu itu membentuk badan resmi yang dinamakan “Aziatische Raad” untuk mengambil alih pemerintahan atas daerah-daerah bekas jajahan VOC.34
Setelah Indonesia merdeka, praktek monopoli juga terjadi.pada waktu itu sejumlah pengusaha mempunyai kedekatan khusus dengan kekuasaan. Pada umumnya masyarakat maupun para pembuat kebijakan di Indonesia berasumsi bahwa masalah pasar yang terdistorsi selama ini adalah karena sekelompok
33 Dewan Negara Belanda (bahasa Belanda: Staten-Generaal der Nederlanden) adalah badan legislatif bikameral Belanda, yang terdiri dari Eerste Kamer atau Senat dan Tweede Kamer atau Dewan Perwakilan rakyat, https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Negara_Belanda, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
34 Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm.1
pengusaha yang memiliki keeratan dengan elit kekuasaan seperti yang disebutkan diatas. Dari hubungan ini kemudian mereka mendapat prioritas serta fasilitas khusus dalam menjalankan usaha mereka. Maka muncullah konglomerasi yang mengeksploitasi kekuatan ekonomi mereka dengan biaya yang harus ditanggung masyarakat maupun kelompok usaha kecil. Para konglomerat ekonomi ini menguasai pangsa pasar yang sangat besar dan mampu mengontrol serta menguasai pasar. Akibatnya masyarakat memiliki persepsi yang tidak benar mengenai makna yang sebenarnya dari tindakan anti persaingan. Masyarakat berpikir bahwa perbuatan yang anti persaingan usaha sangat erat hubungannya dengan konglomerasi atau terjadinya konsentrasi pasaryang tinggi. Hal ini dapat dipahami karena ketidakjelasan adanya kebijakan persaingan (competition policy)35 dari pihak pemerintah yang terbiasa memberikan kesempatan kepada konglomerasi tanpa mendukungnya dengan prinsip persaingan36.
Apakah persaingan itu sendiri baik tentu sangat erat kajiannya dengan tujuan dari kebijakan persaingan itu sendiri. Sebagai contoh adalah pengalaman Indonesia dengan tata niaga cengkeh melalui BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh). BPPC dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan untuk menjaga kestabilan serta pemasokan harga cengkeh dipasaran. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sejak BPPC dibentuk maka harga cengkeh justru jatuh di pasaran dalam waktu yang cepat dengan angka penurunannya yang sangat drastis.
35 Kebijakan persaingan adalah melingkupi pula pengertian dari hukum persaingan usaha atau dengan kata lain bidang hukum persaingan usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam kebijakan persaingan, Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional, 2004. hlm.3
36 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit.,hlm.6
Disamping itu mekanisme cara niaga cengkeh telah membentuk pasar monopoli sekaligus juga telah mengakibatkan terjadinya praktek monopsoni. Akibat dari pengadaan BPPC petani enggan menanam cengkeh yang mengakibatkan penurunan hasil panen cengkeh. Komoditas cengkeh adalah salah satu contoh sederhana campur tangan pemerintah dan kepentingan politik suatu pihak telah mengakibatkan distorsi pasar.37
Pemberian sejumlah kemudahan yang di tempuh oleh rezim Orde Lama berlanjut pula pada masa pemerintahan Orde Baru, praktek perdagangan di Indonesia paling tidak sampai dengan tahun 1998, banyak bidang usaha yang disinyalir melakukan praktek monopoli. Sejak tahun 1980-an, gejala monopoli dalam bentuk oligopoli sudah hampir menguasai sektor industri, disamping itu disebutkan bahwa tidak kurang dari 67% usaha di sektor industri dikuasai oleh pengusaha besar yang melakukan praktek monopoli. Di sektor industri telah terjadi bukan hanya sekedar praktek monopoli, melainkan multi monopoli. Hal ini disebabkan karena terhadap seorang pengusaha dapat diberikan ijin untuk mendirikan berbagai macam industry satu-satunya, yang sekaligus memiliki hak impor bahan baku industri satu-satunya pula. Berbagai usaha untuk memiliki industri-industri yang sudah ada sebelumnya, bahkan tidak jarang dapat berakibat adanya penutupan usaha yang umumnya golongan ekonomi lemah.38
Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 kemudian diperburuk dengan
37 Ibid, hlm.7
38 Binoto Nadapdap, Op.cit., hlm.2
kondisi perekonomian dunia yang juga menurun. Faktor-faktor ini menjadi alasan pemicu reformasi dan restrukturisasi dalam berbagai hal yang akhirnya turut mempengaruhi hidup bernegara. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomi adalah pada kenyataanya pemerintah Indonesia selama ini dikenal tidak memiliki kebijakan kompetisi yang jelas.39
Dalam upaya untuk mempercepat berakhirnya krisis yang dialami Indonesia, maka pada bulan Januari 1998 Indonesia menandatangani Letter of Intent40 sebagai bagian dari program bantuan International Monetary Fund (IMF).
Dari 50 butir memorandum maka serangkaian kebijakan deregulasi secara dilakukan pemetrintah pada waktu itu. Deregulasi direalisasikan dalam bentuk mengeluarkan 7 keputusan Presiden, 3 Peraturan Pemerintah dan 6 instruksi Presiden. Deregulasi yang dilakukan berupa instruksi penghentian gtindakan yang mendistorsi pasar yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan golongan tertentu di Indonesia. Diantaranya adalah Keppres No. 20/1998 yang mencabut fasilitas istimewa yang sebelumnya diberikan kepada proyek Mobil Nasional, Keppres No.
15, 1998 yang mencabut monopoli Bulok (kecuali beras) dan Keppres No.
21/1998 yang membubarkan Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC).41 Ada yang berpendapat bahwa peran serta (IMF) cukup penting dalam mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi pada beberapa materi perundang- undangan baru khususnya yang menyangkut mengenai persaingan usaha.
Walaupun ditentang sebagian pihak, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa peran
39 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm.5
40 Konteks permintaan dukungan keuangan dari IMF,
https://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
41 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm. 7
IMF sebagai bagian dari Letter of Intent cukup signifikan dalam menentukan beberapa perubahan yang terjadi terutama dalam kebijakan perekonomian dan hukum.42
Melihat momen yang tepat untuk mengeluarkan aturan hukum persaingan yang bertolak belakang dengan praktik perdagangan di era Orde Baru, DPR RI bersama pemerintah mengusulkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keputusan tersebut diambil dalam waktu yang relative singkat guna meredam gejolak dalam masyarakat sekaligus pelaksanaan kesepakatan dalam Letter of Intent dengan IMF. Tepatnya Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia B.J. Habibie pada tanggal 5 Maret 1999. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 53, Undang-Undang ini mulai berlaku terhitung satu tahun sejak tanggal diundangkan, berarti berlaku mulai tanggal 5 Maret 2000. Dengan alasan untuk memberikan waktu yang cukup bagi sosialisasi Undang-Undang tersebut, pemberlakuannya diundur 6 bulan dari tanggal yang telah ditetapkan Undang- Undang, sehingga baru dinyatakan berlaku secara efektif sejak tanggal 5 September 2000.43
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, ini merupakan langkah awal bagi Indonesia dalam rangka membawa bisnis dan perdagangan ke arah yang lebih adil dan berlandaskan
42 Ibid, hlm.8
43 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 14
kepada prinsip-prinsip persaingan pasar secara sehat. Pertanyaan yang paling mendasar yang harus dijawab ialah sampai sejauh mana Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini dapat memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha, konsumen, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dengan lahirnya Undang-Undang ini maka perangkat hukum yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, jauh lebih baik dari yang diatur oleh peraturan perundang-undang yang sebelumnya.44
2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha, adapun istilah-istilah yang digunakan dalam bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha (competition law), yakni hukum anti monopoli (antimonopoly law) dan hukum antitrust (antitrust law). Namun demikian, istilah hukum persaingan usaha telah diatur dan sesuai dengan substansi ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang mencakup pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha dengan segala aspek-aspeknya yang terkait.45 Persaingan dianggap hal baik karena persaingan akan menuntut produsen (barang ataupun jasa) untuk berusaha keras memuaskan keinginan konsumen dengan harga yang
44 Ibid, hlm. 15
45 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hlm.1
paling rendah dengan menggunakan sumber daya yang sesedikit mungkin. Jadi tujuan utama hukum persaingan adalah untuk mendorong persaingan.46
Hukum persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha, dibagi menjadi dua kategori, yaitu tindakan anti persaingan (anti competition)47 dan tindakan persaingan curang atau praktik bisnis yang tidak jujur. Tujuan hukum persaingan usaha adalah memastikan bahwa ekonomi yang berdasarkan pada persaingan usaha, dengan asumsi bahwa melalui persaingan usaha yang sehat, para produsen akan berjuang untuk mencapai kepuasan konsumen melalui produk yang berkualitas, penciptaan harga yang murah dengan penggunaan sumber-sumber produksi yang sekecil mungkin. Melalui persaingan usaha yang sehat diantara semua produsen, konsumen dimungkinkan memperoleh barang dan jasa yang terbaik, yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.48
Sedangkan dalam rumusan istilah Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pengertian persaingan usaha adalah “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.49 Dari pengertian ini diperoleh gambaran, bahwa persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatannya dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum,
46 Jhon W Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi ( Jakarta: Elips, 2002), hlm. 9
47 Praktik anti persaingan (anti competition) adalah praktik bisnis, pemerintah, atau agama yang mencegah atau mengurangi persaingan di pasar (lihat pembatasan perdagangan), https://en.wikipedia.org/wiki/Anti-competitive_practices, diakses pada Tanggal 13 Agustus 2020.
48 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Salatiga: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 31
49 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.cit., hlm.34.
implikasinya akan menghambat persaingan usaha secara sehat.50 Dalam konteks ini, Hermansyah, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, menambahkan :
“Maka dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan persaingan usaha adalah kebijakan yang berkaitan dengan masalah- masalah di bidang persaingan usaha yang harus di pedomani oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen”.
Dari semua pendapat diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama,
“Menjamin terlaksananya pasar yang optimal” dan Kedua, ”Melindungi kepentingan konsumen”. Kedua kesimpulan pokok itu mengarah pada kebijakan dari suatu lembaga sebagai pelaksana hukum dan pengawas terhadap Undang- Undang No. 5 Tahun 1999
Implementasi kebijakan persaingan usaha yang efektif dan tegas diyakini mampu meningkatkan keberhasilan suatu lembaga pengawas persaingan dalam menegakkan hukum persaingan usaha itu sendiri. Dengan demikian keberadaan KPPU adalah sebagai penegak kebijakan persaingan sekaligus mampu melakukan pengawasan terhadap ketentuan perundang-undangan persaingan usaha bagi pelaku usaha. KPPU adalah lembaga quasi judicial51. Jelasnya KPPU secara yuridis formal dalam hubungannya dengan kebijakan, dilindungi undang-undang sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 5 tahun 1999.52 Yang dimaksud dengan KPPU adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku
50 Ibid, hlm.35.
51Yaitu badan non yudisial yang dapat menafsirkan hukum, https://en.wikipedia.org/wiki/Quasi-judicial_body, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
52 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.cit., hlm.36
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.53
Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
B. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya.
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, seiring dengan adanya kecendrungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha
53 Ibid, hlm.36
swasta sejak awal tahun 1900-an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi.
Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataanya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.54
Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut diatas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.55
Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha didalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan
54 Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak sehat.
55 Ibid.
kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang- Undang Dasar tahun 1945. Agar Implementasi undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan.56 Dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan substansi dari Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut:
1. Asas dan Tujuan
Asas dan tujuan terdapat pada Pasal (2) dan (3) dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang berisi yaitu :
(2) Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum
(3) Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk :
1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
56 Ibid.
2) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil
3) Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha dan
4) Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.57
Tujuan Hukum Persaingan Usaha adalah untuk memastikan bahwa ekonomi yang berdasarkan pada persaingan usaha, dengan asumsi bahwa melalui persaingan usaha yang sehat, para produsen akan berjuang untuk mencapai kepuasan konsumen melalui produk yang berkualitas dan harga yang murah dengan penggunaan sumber-sumber produksi sekecil mungkin. Sehingga secara ekonomis, persaingan usaha dapat memaksimalkan kesejahteraan konsumen dengan meningkatkan alocative efficiency58 dan productive efficiency59 yaitu menghasilkan barang atau jasa dengan harga produksi serendah mungkin yang menggunakan sumber daya seminimum mungkin.60
57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.cit., Pasal 2 dan 3
58 Efisiensi alokatif adalah keadaan ekonomi di mana produksi mewakili preferensi konsumen; khususnya, setiap barang atau jasa diproduksi sampai pada titik di mana unit terakhir memberikan manfaat marjinal kepada konsumen yang setara dengan biaya produksi marjinal, https://en.wikipedia.org/wiki/Allocative_efficiency, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020.
59 Efisiensi produktif adalah situasi di mana ekonomi atau sistem ekonomi tidak dapat menghasilkan lebih dari satu barang tanpa mengorbankan produksi barang lain dan tanpa meningkatkan teknologi produksi. Dengan kata lain, efisiensi produktif terjadi ketika barang atau
jasa diproduksi dengan biaya serendah mungkin,
https://en.wikipedia.org/wiki/Productive_efficiency, diakses pada Tanggal 14 Agustus.
60 Gunawan Widjaja, Marger dalam Perspektif Monopoli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 7
2. Perjanjian yang Dilarang a. Pengertian
Secara umum perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Pengertian secara umum ini tidak jauh berbeda dengan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang ada dalam persetujuan tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk Mengikat diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.61
b. Jenis-jenis Perjanjian yang Dilarang
Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun jenis-jenis perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Oligopoli
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit
61Hermansyah, Op.cit., hlm.24
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.62 Dari sudut ekonomi, pengertian oligopoli adalah struktur pasar (market structure)63 yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1) Sedikit perusahaan dan banyak pembeli.
2) Produk homogen atau yang dibedakan.
3) Pasar yang sulit dimasuki karena besarnya rintangan-rintangan yang masuk.64
Sedangkan yang dikategorikan sebagai oligopoli menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan (2) yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 4 Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat
Pasal 4 Ayat (2) :
62 Ibid, hlm.26
63 Suatu bentuk struktur pasar (market structure) dimana jumlah perusahaan yang menyediakan barang di pasar menjadi indicator dalam menilai bentuk pasar, seperti persaingan sempurna, Elyta Ras Ginting, Hukum Antimonopoli Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 20
64 Elyta Ras Ginting, Op.cit,. hlm. 33
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, sebagaimana dimaksud Ayat (1), apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu65.
2. Penetapan harga
Penetapan harga terdapat pada pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat yaitu:
Pasal 5 : Perjanjian penetapan harga (price fixing) dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama66.
3. Perjanjian Pembagian Wilayah
Perjanjian price fixing67 bukan satu-satunya cara mengontrol harga cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian diantara pelaku usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran barang atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, Pertama, pelaku usaha dapat membagi pasar
65 Hermansyah, Op.cit., hlm.25
66 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm.89.
67 (price fixing) penetapan harga adalah perjanjian antar pelaku usaha dimana, para pelaku usaha menetapkan harga yang harus dibayar oleh pembeli untuk barang dan/ atau jasa, yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama, Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat, (Jakarta: PT. Tema Baru, 2002), hlm.140
secara geografis; Kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan atau konsumen; dan Ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis produk yang dikeluarkan.68
Pasal 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market allocation)69, baik yang bersifat vertikal atau horizontal. Dalam pasal 9 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.70
4. Pemboikotan
Boikot itu mengandung arti penghentian pemasokan barang oleh produsen untuk memaksa distributor menjual kembali barang tersebut dengan ketentuan khusus. Boikot dapat diartikan juga sebagai pelarangan impor atau ekspor tertentu, atau pelarangan sama sekali melakukan perdagangan internasional dengan negara tertentu oleh negara-negara lain.71 Sedangkan perjanjian pemboikotan yang dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu : perjanjian yang bertujuan menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri, dan perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
68 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.53
69 (Market allocation) pembagian wilayah pemasaran merupakan perjanjian diantara para pesaing yang bertujuan untuk saling mengalokasi atau membagi pasar, Knud Hansen, Op.cit., hlm.
187
70 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 53
71 Hermansyah, Op.cit, hlm.31
pelaku usaha lain sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2).
Selengkapnya Pasal 10 ini menyatakan sebagai berikut :
Pasal 10 Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pasal 10 Ayat (2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain, b) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan, dan c) Kartel.72
Kartel diartikan sebagai suatu bentuk kolusi atau persekongkolan antara suatu kelompok pemasok yang bertujuan untuk mencegah persaingan sesama mereka secara keseluruhan atau sebagian.73 Berkaitan dengan itu, menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, kartel adalah perjanjian yang mengandung maksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau
72 Ibid, hlm.32
73 Ibid.