BAB I PENDAHULUAN
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini dibagi atas 5 (lima) BAB dan masing-masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai kepentingan penulisan.
Bab I Pendahuluan, Bab ini mengemukakan tentang latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, tinjauan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Hukum Persaingan usaha di Indonesia, bab ini membahas mengenai gambaran umum mengenai persaingan usaha yang meliputi: sejarah hukum persaingan usaha di Indonesia dan pengertian persaingan usaha. Substansi Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang meliputi : asas dan tujuan, perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason dan yang terakhir hukum acara dalam persaingan usaha yang meliputi : Pengaturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1/2019 Mengenai Tata Cara Penanganan Perkara, Pengaturan Mahkamah Agung Nomor 3/2019 Mengenai Tata Cara Pengajuan Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU
Bab III mengenai penetapan harga dalam hukum persaingan usaha yang meliputi: pengertian penetapan harga, unsur-unsur penetapan harga, pendekatan prinsip per se illegal dalam penetapan harga dan dampak buruk dari penetapan harga terhadap masyarakat. Pengaturan tentang penetapan harga yang meliputi penetapan harga dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999, pedoman pasal 5 (penetapan harga) undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, penulis juga membahas tentang sanksi melanggar ketentuan penetapan harga dan daftar putusan KKPU mengenai kasus penetapan harga.
Bab IV mengenai analisa hukum terkait penetapan harga kasus jasa pemasangan instalasi listrik di wilayah kabupaten nunukan (studi kasus Putusan KPPU Nomor: 11/KPPU-L/2013) yang meliputi analisa hukum terkait Putusan Nomor :11/KPPU-L/2013 tentang penetapan harga menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dan analisa hukum terkait Putusan Nomor :11/KPPU-l/2013 menurut Pedoman Pasal 5 (penetapan harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Bab V Penutup, bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan karya ilmiah ini yang berisikan kesimpulan dan saran dari setiap bab yang dibahas dan dikemukakan.
PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Gambaran Umum Persaingan Usaha
1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
Dalam sejarah Indonesia, praktik monopoli pertama kali secara resmi dimulai tanggal 20 Maret 1602, yaitu pada saat pemerintah belanda atas persetujuan Staten Generaal33 memberikan hak untuk berdagang sendiri (monopoli) pada VOC di wilayah Indonesia (Hindia Timur). Selain melakukan monopoli di Indonesia, VOC juga mengawasi perdagangan di wilayah yang terbentang dari Tanjung Harapan di ujung Afrika hingga Sri lanka dan Jepang.
Namun sekalipun VOC memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dari praktik monopoli perdagangan, namun VOC pada akhirnya bangkrut dan menemui ajal pada tanggal 1 Januari 1800, yaitu sejak pemerintah Belanda pada waktu itu membentuk badan resmi yang dinamakan “Aziatische Raad” untuk mengambil alih pemerintahan atas daerah-daerah bekas jajahan VOC.34
Setelah Indonesia merdeka, praktek monopoli juga terjadi.pada waktu itu sejumlah pengusaha mempunyai kedekatan khusus dengan kekuasaan. Pada umumnya masyarakat maupun para pembuat kebijakan di Indonesia berasumsi bahwa masalah pasar yang terdistorsi selama ini adalah karena sekelompok
33 Dewan Negara Belanda (bahasa Belanda: Staten-Generaal der Nederlanden) adalah badan legislatif bikameral Belanda, yang terdiri dari Eerste Kamer atau Senat dan Tweede Kamer atau Dewan Perwakilan rakyat, https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Negara_Belanda, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
34 Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm.1
pengusaha yang memiliki keeratan dengan elit kekuasaan seperti yang disebutkan diatas. Dari hubungan ini kemudian mereka mendapat prioritas serta fasilitas khusus dalam menjalankan usaha mereka. Maka muncullah konglomerasi yang mengeksploitasi kekuatan ekonomi mereka dengan biaya yang harus ditanggung masyarakat maupun kelompok usaha kecil. Para konglomerat ekonomi ini menguasai pangsa pasar yang sangat besar dan mampu mengontrol serta menguasai pasar. Akibatnya masyarakat memiliki persepsi yang tidak benar mengenai makna yang sebenarnya dari tindakan anti persaingan. Masyarakat berpikir bahwa perbuatan yang anti persaingan usaha sangat erat hubungannya dengan konglomerasi atau terjadinya konsentrasi pasaryang tinggi. Hal ini dapat dipahami karena ketidakjelasan adanya kebijakan persaingan (competition policy)35 dari pihak pemerintah yang terbiasa memberikan kesempatan kepada konglomerasi tanpa mendukungnya dengan prinsip persaingan36.
Apakah persaingan itu sendiri baik tentu sangat erat kajiannya dengan tujuan dari kebijakan persaingan itu sendiri. Sebagai contoh adalah pengalaman Indonesia dengan tata niaga cengkeh melalui BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh). BPPC dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan untuk menjaga kestabilan serta pemasokan harga cengkeh dipasaran. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sejak BPPC dibentuk maka harga cengkeh justru jatuh di pasaran dalam waktu yang cepat dengan angka penurunannya yang sangat drastis.
35 Kebijakan persaingan adalah melingkupi pula pengertian dari hukum persaingan usaha atau dengan kata lain bidang hukum persaingan usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam kebijakan persaingan, Syamsul Maarif dan B.C. Rikrik Rizkiyana, Posisi Hukum Persaingan Usaha Dalam Sistem Hukum Nasional, 2004. hlm.3
36 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit.,hlm.6
Disamping itu mekanisme cara niaga cengkeh telah membentuk pasar monopoli sekaligus juga telah mengakibatkan terjadinya praktek monopsoni. Akibat dari pengadaan BPPC petani enggan menanam cengkeh yang mengakibatkan penurunan hasil panen cengkeh. Komoditas cengkeh adalah salah satu contoh sederhana campur tangan pemerintah dan kepentingan politik suatu pihak telah mengakibatkan distorsi pasar.37
Pemberian sejumlah kemudahan yang di tempuh oleh rezim Orde Lama berlanjut pula pada masa pemerintahan Orde Baru, praktek perdagangan di Indonesia paling tidak sampai dengan tahun 1998, banyak bidang usaha yang disinyalir melakukan praktek monopoli. Sejak tahun 1980-an, gejala monopoli dalam bentuk oligopoli sudah hampir menguasai sektor industri, disamping itu disebutkan bahwa tidak kurang dari 67% usaha di sektor industri dikuasai oleh pengusaha besar yang melakukan praktek monopoli. Di sektor industri telah terjadi bukan hanya sekedar praktek monopoli, melainkan multi monopoli. Hal ini disebabkan karena terhadap seorang pengusaha dapat diberikan ijin untuk mendirikan berbagai macam industry satu-satunya, yang sekaligus memiliki hak impor bahan baku industri satu-satunya pula. Berbagai usaha untuk memiliki industri-industri yang sudah ada sebelumnya, bahkan tidak jarang dapat berakibat adanya penutupan usaha yang umumnya golongan ekonomi lemah.38
Krisis ekonomi berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 kemudian diperburuk dengan
37 Ibid, hlm.7
38 Binoto Nadapdap, Op.cit., hlm.2
kondisi perekonomian dunia yang juga menurun. Faktor-faktor ini menjadi alasan pemicu reformasi dan restrukturisasi dalam berbagai hal yang akhirnya turut mempengaruhi hidup bernegara. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis ekonomi adalah pada kenyataanya pemerintah Indonesia selama ini dikenal tidak memiliki kebijakan kompetisi yang jelas.39
Dalam upaya untuk mempercepat berakhirnya krisis yang dialami Indonesia, maka pada bulan Januari 1998 Indonesia menandatangani Letter of Intent40 sebagai bagian dari program bantuan International Monetary Fund (IMF).
Dari 50 butir memorandum maka serangkaian kebijakan deregulasi secara dilakukan pemetrintah pada waktu itu. Deregulasi direalisasikan dalam bentuk mengeluarkan 7 keputusan Presiden, 3 Peraturan Pemerintah dan 6 instruksi Presiden. Deregulasi yang dilakukan berupa instruksi penghentian gtindakan yang mendistorsi pasar yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan golongan tertentu di Indonesia. Diantaranya adalah Keppres No. 20/1998 yang mencabut fasilitas istimewa yang sebelumnya diberikan kepada proyek Mobil Nasional, Keppres No.
15, 1998 yang mencabut monopoli Bulok (kecuali beras) dan Keppres No.
21/1998 yang membubarkan Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC).41 Ada yang berpendapat bahwa peran serta (IMF) cukup penting dalam mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi pada beberapa materi perundang-undangan baru khususnya yang menyangkut mengenai persaingan usaha.
Walaupun ditentang sebagian pihak, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa peran
39 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm.5
40 Konteks permintaan dukungan keuangan dari IMF,
https://www.imf.org/external/np/loi/1113a98.htm, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
41 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm. 7
IMF sebagai bagian dari Letter of Intent cukup signifikan dalam menentukan beberapa perubahan yang terjadi terutama dalam kebijakan perekonomian dan hukum.42
Melihat momen yang tepat untuk mengeluarkan aturan hukum persaingan yang bertolak belakang dengan praktik perdagangan di era Orde Baru, DPR RI bersama pemerintah mengusulkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keputusan tersebut diambil dalam waktu yang relative singkat guna meredam gejolak dalam masyarakat sekaligus pelaksanaan kesepakatan dalam Letter of Intent dengan IMF. Tepatnya Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia B.J. Habibie pada tanggal 5 Maret 1999. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 53, Undang-Undang ini mulai berlaku terhitung satu tahun sejak tanggal diundangkan, berarti berlaku mulai tanggal 5 Maret 2000. Dengan alasan untuk memberikan waktu yang cukup bagi sosialisasi Undang-Undang tersebut, pemberlakuannya diundur 6 bulan dari tanggal yang telah ditetapkan Undang-Undang, sehingga baru dinyatakan berlaku secara efektif sejak tanggal 5 September 2000.43
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, ini merupakan langkah awal bagi Indonesia dalam rangka membawa bisnis dan perdagangan ke arah yang lebih adil dan berlandaskan
42 Ibid, hlm.8
43 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 14
kepada prinsip-prinsip persaingan pasar secara sehat. Pertanyaan yang paling mendasar yang harus dijawab ialah sampai sejauh mana Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini dapat memberikan rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha, konsumen, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dengan lahirnya Undang-Undang ini maka perangkat hukum yang mengatur mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, jauh lebih baik dari yang diatur oleh peraturan perundang-undang yang sebelumnya.44
2. Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha, adapun istilah-istilah yang digunakan dalam bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha (competition law), yakni hukum anti monopoli (antimonopoly law) dan hukum antitrust (antitrust law). Namun demikian, istilah hukum persaingan usaha telah diatur dan sesuai dengan substansi ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang mencakup pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha dengan segala aspek-aspeknya yang terkait.45 Persaingan dianggap hal baik karena persaingan akan menuntut produsen (barang ataupun jasa) untuk berusaha keras memuaskan keinginan konsumen dengan harga yang
44 Ibid, hlm. 15
45 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., hlm.1
paling rendah dengan menggunakan sumber daya yang sesedikit mungkin. Jadi tujuan utama hukum persaingan adalah untuk mendorong persaingan.46
Hukum persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha, dibagi menjadi dua kategori, yaitu tindakan anti persaingan (anti competition)47 dan tindakan persaingan curang atau praktik bisnis yang tidak jujur. Tujuan hukum persaingan usaha adalah memastikan bahwa ekonomi yang berdasarkan pada persaingan usaha, dengan asumsi bahwa melalui persaingan usaha yang sehat, para produsen akan berjuang untuk mencapai kepuasan konsumen melalui produk yang berkualitas, penciptaan harga yang murah dengan penggunaan sumber-sumber produksi yang sekecil mungkin. Melalui persaingan usaha yang sehat diantara semua produsen, konsumen dimungkinkan memperoleh barang dan jasa yang terbaik, yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.48
Sedangkan dalam rumusan istilah Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pengertian persaingan usaha adalah “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.49 Dari pengertian ini diperoleh gambaran, bahwa persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatannya dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum,
46 Jhon W Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi ( Jakarta: Elips, 2002), hlm. 9
47 Praktik anti persaingan (anti competition) adalah praktik bisnis, pemerintah, atau agama yang mencegah atau mengurangi persaingan di pasar (lihat pembatasan perdagangan), https://en.wikipedia.org/wiki/Anti-competitive_practices, diakses pada Tanggal 13 Agustus 2020.
48 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Salatiga: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 31
49 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.cit., hlm.34.
implikasinya akan menghambat persaingan usaha secara sehat.50 Dalam konteks ini, Hermansyah, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, menambahkan :
“Maka dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan persaingan usaha adalah kebijakan yang berkaitan dengan masalah-masalah di bidang persaingan usaha yang harus di pedomani oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen”.
Dari semua pendapat diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama,
“Menjamin terlaksananya pasar yang optimal” dan Kedua, ”Melindungi kepentingan konsumen”. Kedua kesimpulan pokok itu mengarah pada kebijakan dari suatu lembaga sebagai pelaksana hukum dan pengawas terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Implementasi kebijakan persaingan usaha yang efektif dan tegas diyakini mampu meningkatkan keberhasilan suatu lembaga pengawas persaingan dalam menegakkan hukum persaingan usaha itu sendiri. Dengan demikian keberadaan KPPU adalah sebagai penegak kebijakan persaingan sekaligus mampu melakukan pengawasan terhadap ketentuan perundang-undangan persaingan usaha bagi pelaku usaha. KPPU adalah lembaga quasi judicial51. Jelasnya KPPU secara yuridis formal dalam hubungannya dengan kebijakan, dilindungi undang-undang sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 5 tahun 1999.52 Yang dimaksud dengan KPPU adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku
50 Ibid, hlm.35.
51Yaitu badan non yudisial yang dapat menafsirkan hukum, https://en.wikipedia.org/wiki/Quasi-judicial_body, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
52 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op.cit., hlm.36
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.53
Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
B. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya.
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, seiring dengan adanya kecendrungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha
53 Ibid, hlm.36
swasta sejak awal tahun 1900-an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi.
Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataanya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.54
Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut diatas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.55
Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha didalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan
54 Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak sehat.
55 Ibid.
kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar tahun 1945. Agar Implementasi undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan.56 Dalam skripsi ini penulis akan menjelaskan substansi dari Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah sebagai berikut:
1. Asas dan Tujuan
Asas dan tujuan terdapat pada Pasal (2) dan (3) dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak sehat yang berisi yaitu :
(2) Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum
(3) Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk :
1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
56 Ibid.
2) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil
3) Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha dan
4) Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.57
Tujuan Hukum Persaingan Usaha adalah untuk memastikan bahwa ekonomi yang berdasarkan pada persaingan usaha, dengan asumsi bahwa melalui persaingan usaha yang sehat, para produsen akan berjuang untuk mencapai kepuasan konsumen melalui produk yang berkualitas dan harga yang murah dengan penggunaan sumber-sumber produksi sekecil mungkin. Sehingga secara ekonomis, persaingan usaha dapat memaksimalkan kesejahteraan konsumen dengan meningkatkan alocative efficiency58 dan productive efficiency59 yaitu menghasilkan barang atau jasa dengan harga produksi serendah mungkin yang menggunakan sumber daya seminimum mungkin.60
57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.cit., Pasal 2 dan 3
58 Efisiensi alokatif adalah keadaan ekonomi di mana produksi mewakili preferensi konsumen; khususnya, setiap barang atau jasa diproduksi sampai pada titik di mana unit terakhir memberikan manfaat marjinal kepada konsumen yang setara dengan biaya produksi marjinal, https://en.wikipedia.org/wiki/Allocative_efficiency, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020.
59 Efisiensi produktif adalah situasi di mana ekonomi atau sistem ekonomi tidak dapat menghasilkan lebih dari satu barang tanpa mengorbankan produksi barang lain dan tanpa meningkatkan teknologi produksi. Dengan kata lain, efisiensi produktif terjadi ketika barang atau
jasa diproduksi dengan biaya serendah mungkin,
https://en.wikipedia.org/wiki/Productive_efficiency, diakses pada Tanggal 14 Agustus.
60 Gunawan Widjaja, Marger dalam Perspektif Monopoli, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 7
2. Perjanjian yang Dilarang a. Pengertian
Secara umum perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Pengertian secara umum ini tidak jauh berbeda dengan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang ada dalam persetujuan tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk Mengikat diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.61
b. Jenis-jenis Perjanjian yang Dilarang
Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun jenis-jenis perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Oligopoli
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit
61Hermansyah, Op.cit., hlm.24
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.62 Dari sudut ekonomi, pengertian oligopoli adalah struktur pasar (market structure)63 yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.62 Dari sudut ekonomi, pengertian oligopoli adalah struktur pasar (market structure)63 yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: