BAB II PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
B. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
2. Perjanjian yang Dilarang
Secara umum perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Pengertian secara umum ini tidak jauh berbeda dengan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang ada dalam persetujuan tersebut. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk Mengikat diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.61
b. Jenis-jenis Perjanjian yang Dilarang
Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis perjanjian sebagaimana diuraikan dibawah ini karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun jenis-jenis perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Oligopoli
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit
61Hermansyah, Op.cit., hlm.24
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar, atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.62 Dari sudut ekonomi, pengertian oligopoli adalah struktur pasar (market structure)63 yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1) Sedikit perusahaan dan banyak pembeli.
2) Produk homogen atau yang dibedakan.
3) Pasar yang sulit dimasuki karena besarnya rintangan-rintangan yang masuk.64
Sedangkan yang dikategorikan sebagai oligopoli menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dan (2) yang selengkapnya berbunyi :
Pasal 4 Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat
Pasal 4 Ayat (2) :
62 Ibid, hlm.26
63 Suatu bentuk struktur pasar (market structure) dimana jumlah perusahaan yang menyediakan barang di pasar menjadi indicator dalam menilai bentuk pasar, seperti persaingan sempurna, Elyta Ras Ginting, Hukum Antimonopoli Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 20
64 Elyta Ras Ginting, Op.cit,. hlm. 33
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, sebagaimana dimaksud Ayat (1), apabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu65.
2. Penetapan harga
Penetapan harga terdapat pada pasal 5 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat yaitu:
Pasal 5 : Perjanjian penetapan harga (price fixing) dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama66.
3. Perjanjian Pembagian Wilayah
Perjanjian price fixing67 bukan satu-satunya cara mengontrol harga cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat mengontrolnya, yakni perjanjian diantara pelaku usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain. Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran barang atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian wilayah ini, Pertama, pelaku usaha dapat membagi pasar
65 Hermansyah, Op.cit., hlm.25
66 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm.89.
67 (price fixing) penetapan harga adalah perjanjian antar pelaku usaha dimana, para pelaku usaha menetapkan harga yang harus dibayar oleh pembeli untuk barang dan/ atau jasa, yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang sama, Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat, (Jakarta: PT. Tema Baru, 2002), hlm.140
secara geografis; Kedua, membagi jenis atau kelas pelanggan atau konsumen; dan Ketiga, mereka bisa membagi pasar berdasarkan jenis produk yang dikeluarkan.68
Pasal 9 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian pembagian wilayah (market allocation)69, baik yang bersifat vertikal atau horizontal. Dalam pasal 9 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.70
4. Pemboikotan
Boikot itu mengandung arti penghentian pemasokan barang oleh produsen untuk memaksa distributor menjual kembali barang tersebut dengan ketentuan khusus. Boikot dapat diartikan juga sebagai pelarangan impor atau ekspor tertentu, atau pelarangan sama sekali melakukan perdagangan internasional dengan negara tertentu oleh negara-negara lain.71 Sedangkan perjanjian pemboikotan yang dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu : perjanjian yang bertujuan menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri, dan perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
68 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.53
69 (Market allocation) pembagian wilayah pemasaran merupakan perjanjian diantara para pesaing yang bertujuan untuk saling mengalokasi atau membagi pasar, Knud Hansen, Op.cit., hlm.
187
70 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 53
71 Hermansyah, Op.cit, hlm.31
pelaku usaha lain sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2).
Selengkapnya Pasal 10 ini menyatakan sebagai berikut :
Pasal 10 Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pasal 10 Ayat (2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :
a) Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain, b) Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap
barang dan/atau jasa dari pasar bersangkutan, dan c) Kartel.72
Kartel diartikan sebagai suatu bentuk kolusi atau persekongkolan antara suatu kelompok pemasok yang bertujuan untuk mencegah persaingan sesama mereka secara keseluruhan atau sebagian.73 Berkaitan dengan itu, menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, kartel adalah perjanjian yang mengandung maksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau
72 Ibid, hlm.32
73 Ibid.
pemasaran suatu barang dan/atau jasa. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
5. Trust
Pasal 12 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian trust, yang melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam Pasal 12 ini dinyatakan :
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggota-anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.74
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang dilarang adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan cara membentuk apa yang dinamakan trust, yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan tadi, dengan tujuan menciptakan stabilisasi dan kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa, dan dengan sendirinya akan dapat menciptakan
74 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Op.cit,. Pasal 12
monopolisasi dengan damikian pasar menjadi tidak kompetitif lagi, sebab diantara pelaku usaha tidak ada persaingan usaha lagi.75
6. Oligopsoni
Dalam hal pasar oligopoli hanya ada beberapa perusahaan yang menjadi penjual terhadap produk tertentu dengan pembeli yang relatif banyak (pasar telekomunikasi ponsel), maka sebaliknya dalam pasar oligopsoni, di pasar hanya ada beberapa pembeli yang membeli produk tertentu, dengan penjual yang relatif banyak. Oligopsoni diartikan sebagai suatu bentuk dari pemusatan pembeli (buyer concentration)76 yaitu suatu situasi pasar dimana beberapa pembeli besar berhadapan dengan beberapa pembeli kecil.77
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktik anti persaingan yang cukup unik, karena dalam praktik oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual, di mana biasanya untuk bentuk-bentuk praktik anti persaingan lain (seperti price fixing, price discrimination78, dan kartel) yang menjadi korban umunya konsumen. Dalam oligopsoni, konsumen membuat kesepakatan dengan konsumen lain dengan tujuan agar mereka secara
75 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm.58
76 Which a small number of customers buy most of a company's product, https://dictionary.cambridge.org/us/dictionary/english/buyer-concentration, diakses pada Tanggal 14 Agustus 2020
77 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hlm.202
78 (Price discrimination) atau perjanjian penetapan harga yang berbeda ialah keadaan seorang pemasok untuk menjual produk yang sama pada sejumlah pasar yang terpisah dengan harga yang berbeda, Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 245
sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang bersangkutan.79
7. Integrasi Vertikal (vertical integration)
Dalam melakukan kegiatan usahanya pelaku usaha tentu akan melakukan hubungan-hubungan dengan pihak lainnya, baik dengan para kompetitornya maupun dengan para pemasok. Hubungan-hubungan ini adalah hal yang wajar dan memang harus dilakukan oleh para pelaku usaha untuk menjalankan usahanya. Namun, ketika suatu pelaku usaha ingin pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar, pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efisiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidakpastiaan akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi, biasanya perusahaan akan melakukan penggabungan ataupun kerja sama dengan pelaku-pelaku usaha lain yang secara vertikal berada pada level yang berbeda pada proses produksi, maka kerja sama ini disebut integrasi vertikal. Jadi integrasi vertikal terjadi ketika suatu perusahaan melakukan kerja sama dengan perusahaan lain yang berada pada level yang berbeda dalam suatu proses produksi, sehingga membuat seolah-olah mereka merupakan satu perusahaan yang melakukan dua aktivitas yang berbeda tingkatannya pada satu proses produksi.80
79 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hlm.203
80 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: KPPU, 2017). hlm. 120
8. Perjanjian Tertutup
Adalah perjanjian yang mengkondisikan bahwa pemasok dari satu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau pada perspektif lain, dalam rangka memastikan bahwa seluruh produk tidak akan tersalurkan kepada pihak lain. Seorang pembeli (biasanya distributor) melalui perjanjian tertutup mengondisikan bahwa penjual atau pemasok produk tidak akan menjual atau memasok setiap produknya kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang perjanjian tertutup secara “ per se´’ artinya tidak dibutuhkan suatu pembuktian akan adanya dampak kepada persaingan untuk menetapkan legal atau ilegalnya praktik tesebut.81
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur praktik Perjanjian Tertutup dalam Pasal 15Ayat (1) dan Ayat (3) b. Substansi Ayat (1) adalah melarang adanya perjanjian yang memiliki syarat bahwa penerima pasokan (pembeli) produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk kepada pihak tertentu (yang menjadi pesaing) atau pada tempat tertentu. Sementara itu larangan pada ayat (3) b dikaitkan dengan suatu prakondisi, yaitu pemberian intensif dalam kaitannya dengan harga atau potongan harga tertentu atas produk yang diperjualbelikan mensyaratkan bahwa pembeli produk tersebut tidak akan
81 Suhasril dan Muhammad Taufik Makarao, Op.cit, hlm. 130
membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pemasok (penjual).82
9. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri jika perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.83 Khusus mengenai pengaturan ini masih belum dapat dijelaskan perjanjian yang bagaimana yang dimaksud dengan perjanjian luar negeri, kontrak bisnis maupun perjanjian lainnya. Ketentuan-ketentuan yang belum jelas ini akan dapat dibantu melalui publikasi dalam petunjuk kepada pelaku usaha maupun publik mengenai ketentuan apa saja yang dimaksud oleh undang-undang.84 Tetapi dalam buku Hukum Persaingan Usaha di Indonesia oleh Rachmadi Usman menyebutkan bahwa dari Pasal 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan yang tidak wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.85
82 Ibid.
83 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 62.
84 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hlm. 95
85 Rachmadi Usman, Op.cit., hlm.62.
3. Kegiatan yang Dilarang