• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

Dalam dokumen Universitas Sumatera Utara (Halaman 69-118)

BAB II PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

D. Hukum Acara

2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

Bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi, keadilan dan kepastian hukum dalam proses penanganan perkara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara yang baik,125 Transparansi dan efektifitas penanganan perkara oleh KPPU mutlak didukung oleh kepastian tentang proses penanganan perkara agar setiap tahapan proses penanganan perkara menjadi lebih berkepastian dan terprediksi bagi masyarakat secara umum dan pelaku usaha khususnya. Oleh karena itu untuk melaksanakan ketentuan pasal 36 huruf b dan huruf c, pasal 38, pasal 40 dan pasal 41 dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, maka diundangkanlah Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.1/2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Dengan demikian Perkom tersebut merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang sifatnya mengikat karena secara materiil dan formil keberadaan Perkom ini diperintahkan oleh Undang-Undang No.5 Tahun 1999 vide pasal 38 ayat (4).126

Penanganan perkara dugaan pelanggaran persaingan usaha berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Perkom No. 1 Tahun 2019 dilakukan melalui 2 cara yaitu laporan dan inisiatif. Penanganan perkara melalui laporan pelapor terdiri atas tahapan laporan, klarifikasi, penyelidikan, pemberkasan, sidang majelis komisi, dan putusan komisi. Sedangkan,Penanganan perkara inisiatif terdiri atas tahapan kajian, penelitian, pengawasan pelaku usaha, penyelidikan, pemberkasan, sidang majelis komisi, dan putusan komisi. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh tim

125KPPU, Perkom No.1/2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, bagian menimbang.

126 KPPU, Op.cit, hlm.101.

pemeriksa dalam sidang komisi. Pada tahap pemeriksaan pendahuluan, KPPU sudah dapat memanggil pihak pelapor dan terlapor untuk dimintai keterangan.

Dari pemeriksaan pendahuluan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi.

Pertama, dinyatakan ada bukti permulaan yang cukup sehingga bisa diteruskan ke pemeriksaan lanjutan, atau dinyatakan tidak ada bukti permulaan yang cukup sehingga tidak cukup bukti tentang adanya indikasi pelanggaran persaingan usaha.

Lama keseluruhan proses pemeriksaan pendahuluan ini adalah 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berkas diserahterimakan dari Ketua kepada sidang Komisi.

Bila ditemukannya bukti permulaan ada indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan lanjutan.

Tahap pemeriksaan lanjutan berlangsung selama 60 (enam puluh) hari kerja. Jika diperlukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Pada tahap pemeriksaan lanjutan ini, Majelis Komisi dapat memanggil terlapor, saksi, saksi ahli, dan pihak lain yang dianggap mengetahui kasus yang sedang dipermasalahkan. Setelah pemeriksaan lanjutan, kemudian berlanjut ke tahapan pembacaan putusan. Pengambilan putusan oleh Majelis Komisi diberi waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan Putusan dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.Putusan wajib disampaikan kepada terlapor. Jika dinyatakan bersalah, pihak terlapor dapat dijatuhi sanksi tindakan administratif tertentu. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan putusan, pihak terlapor wajib melaksanakan isi putusan tersebut. Pelaksanaan putusan dilaporkan kepada KPPU

Ada waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pemberitahuan putusan bagi pihak terlapor untuk menerima atau mengajukan keberatan. Upaya hukum keberatan diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri. Jika jangka waktu itu sudah lewat, maka putusan dinyatakan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam hal ini KPPU akan mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Jika pihak terlapor tetap tidak bersedia menjalankan eksekusi, KPPU dapat menyerahkan putusan Komisi tersebut kepada penyidik (Polri) untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan hukum (pidana) yang berlaku.

3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3/2019 Mengenai Tata Cara Pengajuan Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU

Berdasarkan ketentuan pasal 1 PERMA RI No.3/2019 tentang Keberatan Terhadap Putusan KPPU diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum usaha Pelaku Usaha tersebut127. Keberatan atas Putusan KPPU diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim. Upaya hukum keberatan hanya diajukan oleh Pelaku Usaha Terlapor. Dalam hal diajukan keberatan, KPPU merupakah pihak termohon.128 Pasal 3 PERMA RI No.3/2005 mengkategorikan Putusan atau Penetapan KPPU mengenai pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, tidak termasuk sebagai keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud

127 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No.3/2019, Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU, Pasal 1.

128 Ibid. Pasal 2

dalam UU No.5/1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9/2004 tentang Perubahan atas UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.129

Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU dan atau diumumkan melalui website KPPU. Keberatan diajukan melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dengan prosedur pendaftaran perkara perdata dengan memberikan salinan keberatan kepada KPPU.130 Pemeriksaan keberatan dilakukan tanpa melalui proses mediasi.131 Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar salinan putusan KPPU dan berkas perkaranya.132 Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu tiga puluh (30) hari sejak dimulainya keberatan tersebut. Dalam hal terjadi keberatan.133 Setelah melewati mekanisme-mekanisme beracara yang telah dibahas pada PERMA 3/2019, tiba saatnya pembacaan putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri terhadap keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha terhadap putusan KPPU. Dalam putusannya, Majelis Hakim dapat memberi putusan yang semakin menguatkan putusan KPPU, melemahkan putusan KPPU, atau bahkan melepaskan pelaku usaha dari segala tuntutan KPPU.

129 Ibid. Pasal 3

130 Ibid. Pasal 4

131 Ibid. Pasal 11

132 Ibid. Pasal 12

133 Ibid. Pasal 13

PENETAPAN HARGA DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Penetapan Harga

1. Pengertian Penetapan Harga

Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) antar pelaku usaha termasuk perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar konsumen atau pelanggannya.134 Dalam Pasal 5 ayat(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dinyatakan sebagai berikut :

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.135

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini, pelaku usaha dilarang untuk mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna menetapkan suatu harga tertentu atau suatu barang dan atau jasa yang akan diperdagangkan pada pasar yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan mengakibatkan meniadakan persaingan usaha diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian pada pasar yang bersangkutan tersebut.

Artinya, perjanjian penetapan harga bersama-sama merupakan sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam pengaturan hukum persaingan usaha. Hal tersebut

134 Rachmadi Usman, Op.cit .hlm.212

135 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.cit, Pasal 5

disebabkan bahwa penetapan harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada jauh diatas harga yang bisa dicapai melalui persaingan usaha yang sehat.

Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.136

Harga disini merupakan pembayaran untuk barang dan jasa yang tidak hanya meliputi biaya pokok, tetapi juga mencakup biaya tambahan, seperti diskon atau penundaan pembayaran. Hal ini menegaskan bahwa setiap penjual “bebas”

menetapkan sendiri harga penjualannya. Misalnya, terjadi kartel harga dimana anggota-anggotanya menyepakati harga tertentu terhadap suatu barang, karenanya pada pihak yang melakukan perjanjian tidak mempunyai pilihan lain, apakah menaikkan atau menurunkan harga. Inilah yang menghilangkan persaingan dalam berusaha.137

Penetapan harga (price fixing) menurut ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 bisa terwujud dalam beberapa bentuk berikut :

a. Penetapan harga yang diadakan pelaku usaha dengan pesaingnya untuk menetapkan harga yang harus dibayar konsumen untuk suatu barang pada pasar bersangkutan yang sama Pasal 5 ayat (1) ketentuan ini dapat disimpangi apabila perjanjian penetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku Pasal 5 ayat (2).

b. Penetapan harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang

136 Rachmadi Usman, Op.cit .hlm.213

137 Ibid. hlm.214

berbeda dari harga yang dibayar pembeli lain untuk barang dan jasa yang sama Pasal 6. Ada ketidakjelasan didalam ketentuan pasal 6. Menurut pasal tersebut yang dilarang adalah diskriminasi harga yang didasarkan pada perjanjian oleh karena itu tindakan ini termasuk kategori ”perjanjian yang dilarang” padahal sebenarnya diskriminasi harga bisa dilakukan secara unilateral, tanpa perjanjian apapun. Pasal 6 yang memberi tekanan pada perjanjian sebagai dasar diskriminasi harga bisa memunculkan pertanyaan tentang boleh tidaknya diskriminasi harga secara sepihak (unilateral) yang tidak didasarkan pada perjanjian.

c. Penetapan harga dibawah harga pasar melalui perjanjian horizontal (antara pelaku usaha dengan pesaingnya) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 7).

Dikaitkan dengan isi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7 ini sebenarnya merupakan pasal yang berlebihan. Pasal 5 ayat (1) ini jelas melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian penetapan harga dengan pesaingnya untuk menentukan harga yang harus dibayar oleh konsumen. Karena yang dilarang oleh Pasal 5 adalah perjanjian untuk menetapkan harga, semestinya perjanjian penetapan harga dibawah harga pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 7 sudah tercakup dalam Pasal 5.

d. Penetapan harga maksimal secara vertikal atau (Pasal 8). Pasal 8 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang

mensyaratkan penerima barang/jasa tidak akan menjual kembali barang /jasa tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga tertentu yang diperjanjikan. Praktek semacam ini juga disebut RPM (resale price maintenance138).

Contoh :

Perusahaan x menjual barang A pada perusahaan y (distributor) dengan syarat perusahaan y tidak boleh menjual barang tersebut dibawah harga tertentu.139

2. Unsur-Unsur Penetapan Harga

Dengan merujuk kepada ketentuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, maka dapat diketahui unsur-unsur dari pasal tersebut berikut ini.

(1) Unsur Pelaku Usaha

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999, “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.

138 Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali adalah perjanjian antar pelaku usaha yang didalamnya memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual kembali barang dan/atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan, Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 251

139 Arie Siswanto, Op.cit .hlm.82

(2) Unsur Perjanjian

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.

5 Tahun 1999, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

(3) Unsur Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.

(4) Unsur Harga Pasar

Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.

(5) Unsur Barang

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, “barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.

(6) Unsur jasa

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, “jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen dan pelaku usaha”.

(7) Unsur Konsumen

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, “konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”.

(8) Unsur Pasar Bersangkutan

Pasar bersangkutan, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah “pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut”.

(9) Unsur Usaha Patungan

Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh dua pihak atau lebih untuk menjalankan aktifitas ekonomi bersama, dimana para pihak bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara professional berdasarkan perjanjian tersebut.140

3. Pendekatan Prinsip Per Se Illegal dalam Penetapan Harga

Bahwa pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason telah lama diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar undang-undang hukum persaingan usaha. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha

140 Rachmadi Usman, Op.cit . hlm.221

untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian dan kegiatan usaha tertentu sebagai sebagai illegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. Pemeriksaan terhadap perjanjian Penetapan Harga (Pasal 5) dianggap menggunakan pendekatan per se illegal.141

Melihat rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, larangan bersifat perse illegal yang tidak mengharuskan melihat implikasi atau adanya hambatan persaingan usaha. Perjanjian penetapan harga dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, didasarkan pada pertimbangan bahwa penetapan harga bersama-sama akan menyebabkan tidak dapat berlaku nya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya tawaran dan permintaan.142 Hal ini dapat dibuktikan juga dengan adanya pendapat dari salah satu guru besar persaingan usaha di Indonesia. Bahwa menurut Ningrum Natasya Sirait, dalam bukunya yang berjudul “Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak sehat”, penetapan harga (price fixing) dalam hukum persaingan usaha ditetapkan sebagai suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai per se illegal dan secara universal dalam hukum persaingan di seluruh dunia, penetapan harga dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang bersifat per se illegal.

141 Ibid, hlm 222

142Ibid, hlm.213

4. Dampak Buruk dari Penetapan Harga Terhadap Masyarakat Apabila ditinjau dari Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa tujuan dari pembentukan Undang-Undang ini adalah :

a) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

c) Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d) Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Maka dapat dilihat bahwa penetapan harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha diatas dapat menyebabkan kerugian pada kesejahteraan masyarakat dan negara.143 dimana akibat dari penetapan harga oleh para pelaku usaha akan menjadikan harga pasar yang relatif tinggi yang tersebar pada seluruh pasar yang mengharuskan masyarakat tidak punya pilihan lain selain membayar dengan harga yang telah ditetapkan oleh para pelaku usaha.

143Undang-Undang No 5 Tahun 1999, Op.cit., Pasal 3

B. Pengaturan Tentang Penetapan Harga

1. Penetapan Harga dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

a. Cakupan Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, melarang adanya penetapan harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu :

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:

(1) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau

;

(2) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.144

b. Keterkaitan Ketentuan dalam Pasal 5 dengan Pasal Lain dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

144 Rachmadi Usman, Op.cit, hlm.220

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat beberapa pasal yang memiliki keterkaitan erat dengan praktik penetapan harga. Beberapa Pasal tersebut diantaranya :

1) Pasal 8 yang berbunyi :

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Pengaturan dalam Pasal 8 berlaku untuk perjanjian horizontal (sesama pesaing) atau secara vertikal dengan perusahaan dibawahnya. Dalam hal perjanjian dilakukan secara horizontal maka hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 5.

2) Pasal 9 tentang Pembagian Wilayah

Baik Pasal 5 maupun Pasal 9 sesungguhnya merupakan bentuk dari praktik kartel. Hanya saja secara spesifik dalam Pasal 5 yang diatur adalah penetapan harga, sementara dalam Pasal 9 yang diatur adalah tentang pembagian wilayah.

Bukan tidak mungkin dalam praktiknya proses pembagian wilayah disertai oleh kegiatan penetapan harga.

3) Pasal 11 tentang Kartel

Sehubungan dengan itu, Pasal 5 juga merupakan pengaturan tentang kartel, hanya saja kartel yang dimaksud adalah kartel harga. Sementara kartel

dalam Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan pemasaran yang tujuan akhirnya mempengaruhi harga. Jadi, kalau Pasal 5 mengatur secara langsung larangan pengaturan harga, maka dalam Pasal 11 yang diatur adalah kartel produksi dan pemasaran yang akhirnya berpengaruh pada harga produk.

4) Pasal 16 tentang Perjanjian Luar Negeri

Kaitan antara Pasal 5 dan Pasal 16 karna sangat mungkin perjanjian penetapan harga merupakan salah satu bentuk perjanjian dengan pihak lain di luar negeri.

5) Pasal 26 tentang Jabatan Rangkap

Keterkaitan Pasal 5 dengan Pasal 26 bahwa perilaku penetapan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 5 akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila terdapat jabatan rangkap pada perusahaan yang saling bersaing. Melalui jabatan rangkap inilah yang akhirnya justru akan memfasilatasi proses penetapan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 5.145

c. Aturan Pelanggaran Penetapan Harga

1. ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/ atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

Secara umum, bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk kedalam aturan

145 Ibid. hlm.222

pelarangan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagimana berikut ini (namun tidak terbatas pada) :

a) Kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga;

b) Kesepakatan memakai formula standar sebagai dasar perhitungan harga;

c) Kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga yang dipersaingkan dengan suatu produk tertentu;

d) Kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon;

e) Kesepakatan persyaratan pemberian kredit pada konsumen;

f) Kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi;

g) Persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan ;

h) Kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak dipenuhi;

i) Kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah awal untuk negosiasi.146

146 Ibid. hlm.228

2. Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999, dipandang perlu menetapkan Peraturan KPPU tentang Pedoman Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999, Peraturan ini yang dimaksud dengan Pedoman adalah dokumen Pedoman Penetapan Harga Sesuai Ketentuan Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Pedoman merupakan penjabaran penafsiran dan pelaksanaan Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Pedoman merupakan pedoman bagi Pelaku usaha dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memahami ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan juga bagi Komisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.147 Tujuan dari pembuatan Pedoman Pasal 5 sendiri adalah :

a. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan Penetapan Harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

b. Memberikan dasar pemahaman yang sama dan arah yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 5.

147 Pedoman Pasal 5, Pasal 2

c. Memberikan landasan bagi semua pihak untuk berperilaku tidak melanggar Pasal 5 Undang-Undang No.5 tahun 1999.

d. Memberikan pemahaman tentang pendekatan yang dilakukan oleh KPPU dalam melakukan penilaian atas perjanjian tentang Penetapan Harga.148

C. Sanksi Melanggar Ketentuan Penetapan Harga

Adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah sanksi administratif. Sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 yakni :

Ayat (1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Ayat (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :

1. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15 dan Pasal 16 dan atau;

2. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan atau;

3. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat, dan atau;

148 Ibid, Bab II

4. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan dan atau;

5. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha

5. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha

Dalam dokumen Universitas Sumatera Utara (Halaman 69-118)

Dokumen terkait