• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkara No.17/KPPU-I/2010

Dalam dokumen T2 322010007 BAB III (Halaman 60-86)

PT. Pfizer Indonesia (Terlapor) memiliki pangsa pasar lebih dari 50% untuk pasar bersangkutan obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipine Besylate

selama periode tahun 2000 – 2007. Dengan demikian, Majelis Komisi KPPU menilai bahwa PT. Pfizer Indonesia terbukti memiliki posisi dominan pada Pasal 25 ayat (2) huruf a.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyalahgunaan posisi dominan sehingga melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999. Oleh karena Terlapor telah menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah

181

dan/atau jasa yang bersaing. Syarat-syarat

perdagangan yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam program HCCP yang melibatkan dokter berpotensi melibatkan dokter dalam praktik penjualan obat resep secara tidak langsung. Dengan keterlibatannya tersebut preferensi dan objektivitas dokter dalam meresepkan obat kepada pasiennya khususnya Norvask akan terpengaruh. Meskipun program HCCP memberikan diskon kepada pasien, harga produk Norvask masih tetap lebih mahal dibandingkan rata-rata obat generik dalam pasar bersangkutan yang sama.

Berikut penulis menyatukan pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang posisi dominan dan penyalahgunaan posisi dominan dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2

Pertimbangan Majelis Komisi KPPU tentang Posisi Dominan Dan Penyalahgunaan Posisi Dominan Per kar a No. Posisi Dominan PD Penyalahgunaan Posisi Dominan PP D A d a T i d a k A d a T i d a k 03 thn 20 00 Pangsa pasar sebesar 50% PT. Indomarco Prismatama Tidak melanggar Pasal 25 ayat (1). Karena PT. Indomarco

182 (Terlapor) bukan satu satunya perusahaan pengecer yang mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pengecer kecil yang lain (wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), akan tetapi masih terdapat beberapa perusahaan pengecer lainnya yang juga mempunyai kemampuan keuangan lebih tinggi dibanding pengecer kecil. Prismatama (Terlapor) tidak memiliki posisi dominan. Maka Majelis Komisi KPPU tidak perlu mempertimbangkan dugaan penyalahgunaan posisi dominan. 04 thn 20 03 Pangsa pasar sebesar 69,53% penguasaan produksi pelayanan bongkar muat petikemas. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. PT.JICT melakukan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal menghambat pelaku

usaha lain yang

berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, yakni dengan menggunakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement (Yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan

183

pelayanan bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok pelaku usaha lain (Segoro dan

MTI) harus

mengikatkan diri pada kontrak yang bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka pelaku usaha lain tidak akan dilayani 02 thn 20 04 Pangsa pasar sebesar <50% PT. Telkomsel pada pasar bersangkutan jasa telepon internasional yang diakses melalui

jaringan tetap lokal

nasional di

Indonesia.

Tidak melanggar

Pasal 25 ayat (1). Oleh karena unsur Pasal 25 ayat (2) sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan pasal 25 ayat (1) tidak terpenuhi, maka Majelis Komisis KPPU berpendapat tidak perlu lagi mempertimbangkan unsur-unsur penyalahgunaan posisi dominan Pasal 25 ayat (1). 06 thn 20 04 Pangsa pasar sebesar 88,73% Pasar baterai manganese AA secara nasional. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a jo. ayat (2) huruf a. PT.ABC (Terlapor) telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian PGK

dimana salah satu

184

syarat pemberian

potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan

semi grosir tidak

menjual baterai Panasonic. Syarat-syarat perdagangan PGK tersebut ditujukan untuk mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan

baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir

atau semi grosir

yang mengikuti PGK Terlapor. 05 thn 20 05 Pangsa pasar sebesar >50% Kegiatan usaha bursa efek di Jakarta. Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c. Karena PT BEJ tidak terbukti menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan. 21 thn 20 05 Pangsa pasar sebesar >50% Trader produsen gas. Tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a. Karena PT Pertamina (Terlapor) telah menetapkan syarat-syarat perdagangan

kepada para trader

yang akan

melakukan

hubungan dagang

dengan PT

185 Pertamina. PT Pertamina membuat beberapa persyaratan dalam PJBG yang dibuat dengan para trader yaitu JPMT, SBLC, gas make up, harga

gas, sistem pembayaran, dimana PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi terhadap PT. Igas Utama dan PT.

Banten Inti Gasindo

dalam hal PT.

Banten Inti Gasindo mendapatkan lebih besar pasokan gas

dan dipermudah persyaratan PJBGnya. Akan tetapi, unsur menghalangi konsumen tidak terpenuhi. 15 thn 20 06 Pangsa pasar sebesar >50% Pemasok Elpiji di Indonesia, termasuk didalamnya wilayah Pulau Bangka. Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a. Karena unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak terpenuhi. Sebab larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang telah dicabut oleh PT Pertamina sejak 14 Februari 2007 dan mengijinkan agen di Pulau Bangka untuk memilih pengisian

186 di DSP Pulau Layang atau di APPEL. Sehingga larangan pengisian Elpiji di DSP sudah tidak berlaku lagi. 07 thn 20 07 Pangsa pasar sebesar 61,24% Pangsa pasar seluler. Tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b. Karena unsur pembatasan Pasar

dan Teknologi tidak sepenuhnya

terpenuhi, sebab

yang terjadi hanya

pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi. 09 thn 20 09 Pangsa pasar sebesar 57,99%

Pada pasar jasa

hypermarket dan supermarket di seluruh wilayah Indonesia. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a. Membuat syarat-syarat perdagangan (trading terms) dalam suatu perjanjian nasional dengan para pemasok yang

memuat syarat dan ketentuan bagi PT. Carrefour Indonesia dan pemasoknya dalam rangka melakukan pasokan barang kepada PT. Carrefour Indonesia. Yang menyebabkan dampak negatif terhadap persaingan.

187 thn 20 10 sebesar >50% pada pasar bersangkutan obat anti hipertensi

dengan zat aktif

Amlodipine Besylate. Pasal 25 ayat (1) huruf a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dalam program HCCP yang melibatkan dokter berpotensi melibatkan dokter dalam praktik penjualan obat

resep secara tidak langsung.

Dari uraian mengenai pembuktian posisi dominan di atas, menekankan pada pembuktian posisi dominan di pasar bersangkutan. Pemenuhan syarat kuantitatif dalam Pasal 25 ayat (2) yang pada pokoknya mensyaratkan pangsa pasar satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% /dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar merupakan syarat mutlak untuk dinyatakan memiliki posisi dominan. Jika ketentuan pangsa pasar ini tidak

memenuhi maka suatu kasus ini di „Stop‟ atau

dihentikan, yang pada akhirnya dugaan pelanggaran pasal 25 ayat (1) tidak dilanjutkan.

Namun demikian, ada beberapa putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan di atas tidak menggunakan ketentuan Pasal 25 ayat (2) tapi menggunakan ketentuan Pasal 1 angkta (4). Ketentuan

188

posisi dominan dalam Pasal 1 angkta (4) menganggap ukuran posisi dominan adalah relatif dan tidak tergantung hanya kepada pangsa pasar. Hal ini sejalan dengan pendapat Heermann yang mengatakan bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa pasar paling sedikit 50% atau 75%. Yang mana jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli), tetapi dalam praktiknya dapat melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.

Ketentuan penetapan penguasaan pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli dan di bawah 75% untuk pasar oligopoli yang ditetapkan oleh Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya. Tentu saja, dalam pembuktian posisi dominan ini dikaitkan dengan

189

pasar bersangkutan (produk dan geografis). Pasar bersangkutan ini lebih menekankan pada konteks horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha beserta pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan dalam dua perspektif yaitu pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat substitusinya dan pasar berdasarkan geografis yang terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran. Pendefinisian pasar bersangkutan ini merupakan salah cara untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku usaha. Dari 10 (sepuluh) perkara yang telah di putus oleh Majelis Komisi di atas, hanya ada 2 putusan yang mendefenisikan secara langsung pasar bersangkutan sebagai wujud posisi kasus suatu perkara yakni Perkara Nomor 04/KPPU-I/2003 dan Perkara Nomor 02/KPPU-I/2004. Perkara-perkara lainnya tidak

dianalisis secara „gambalang‟ mengenai defenisi pasar

bersangkutan.

Sementara pembuktian penyalahgunaan posisi dominan dalam 10 (sepuluh) putusan KPPU di atas, Majelis Komisi KPPU masih berpatokan pada pemenuhan semua unsur dalam Pasal 25 ayat 1 huruf a, b dan c. Dari bunyi Pasal 25 ayat (1) ini nampak

190

bahwa dalam membuktikan pelanggaran terhadap Pasal tersebut menggunakan pendekatan per se. Akan tetapi, dalam pembuktian terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1) dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007. Dalam pertimbangan Majelis Komisi KPPU secara tegas menyatakan bahwa pendekatan analisa terhadap pasal 25 dapat dilakukan secara per se rule maupun rule of reason. Penggunaan pendekatan per se rule adalah pendekatan minimalist karena dari segi rumusannya pasal 25 tidak tercantum salah satu dari dua kalimat yaitu “dapat menimbulkan praktik monopoli” dan/atau “persaingan usaha tidak sehat”.

Penggunaan pendekatan rule of reason adalah pendekatan maximalist. Perspektif ini mendasarkan pada asumsi bahwa kebijakan pelaku usaha seperti tercantum dalam ayat (1) huruf a, b, atau c belum tentu dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persaingan. Untuk itu perlu dibuktikan bahwa kebijakan pelaku usaha dimaksud menimbulkan atau berpontensi menimbulkan dampak negatif. Dalam perkara ini, Majelis Komisi menggunakan perspektif maximalist yaitu rule of reason.

Sedangkan kesembilan putusan-putusan lainnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan,

191

secara tersirat menurut penulis Majelis Komisi KPPU menggunakan pendekatan rule of reason dalam pembuktian terhadap pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 25 ayat (1). Dengan menggunakan pendekatan rule of reason pada satu sisi menyebabkan ketidakpastian hukum. Meskipun kedua pendekatan ini memang tidak diatur secara tegas dalam UU Persaingan Usaha Indonesia, namun demikian dari berbagai literatur menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut bisa dibedakan dan lazim dilakukan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran UU Persaingan Usaha. Akan tetapi disisi yang lain jika pendekatan per se yang akan digunakan maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan.

Jadi, kalau misalnya pendekatan per se maka dari segi kepastian hukum dalam teori Gustav Rabruch akan tercapai, dengan resiko bisa membatasi pertumbuhan/perkembangan atau bahkan merugikan pelaku usaha yang memiliki dominan. Penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal 25 diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 tersebut tanpa perlu

192

menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 tidak seharusnya dilarang.

Jika tetap menggunakan pendekatan rule of reason bisa menjadi solusi untuk membuktikan apakah pelaku usaha dominan melakukan penyalahgunaan posisi dominan atau tidak, namun disisi lain menimbulkan ketidakpastian menurut teori Gustav Radbruch. Sisi ketidakpastian jika tidak menggunakan ini lebih kepada faktor Perundang-undangan, artinya ketidakpastian terhadap konsistensi mengikuti ketentuan yang telah ada selama ini. Pandangan ini bukan hendak mengatakan bahwa rule of reason tidak memiliki kepastian hukum malahan pendekatan ini menurut penulis sangat layak untuk digunakan dalam pembuktian penyalahgunaan posisi dominan, akan tetapi ini masalah konsistensi dimana dalam beberapa literatur dikatakan bahwa pembuktian Pasal 25 ayat 1 UU No.5 tahun 1999

193

menggunakan pendekatan Per Se. Jadi sekali lagi penulis tegaskan bahwa ketidakpastian yang dimaksud adalah masalah substansi ketidakpastian mengikuti pendekatan sesuai dengan Perundang-Undangan.

Oleh karena itu, pendekatan dalam penangganan penyalahgunaan posisi dominan ini hendaknya menjadi salah satu faktor yang wajib direvisi oleh pembentuk atau pembuat UU (eksekutif dan legislatif) jika seandainya UU persaingan usaha ini dirubah. Sehingga permasalahan pendekatan rule of reason ini bisa diakomodasi dalam pembuktian penyalahgunaan posisi dominan.

Hal lain yang menarik dari kesepuluh kasus tersebut, khususnya perkara No.15/KPPU-L/2006 yang berkaitan dengan jangka waktu pencabutan syarat-syarat perdagangan. Pencabutan syarat-syarat perdagangan yang menjadikan terlapor tidak dinyatakan melakukan penyalahgunaan posisi dominan terkesan tidak adil menurut Gustav Radbruch karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT Pertamina (persero) sudah menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat tersebut disela-sela pemeriksaan Lanjutan maka

194

dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain meniru tindakan PT Pertamina (persero) yang membuat syarat-syarat perdagangan dengan pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha yang bersangkutan segera mencabutnya sebelum dibacakan putusan.

Pasal 25 ayat (1) tidak memetingkan penggunaan

kata „tujuan‟ (purpose), akan tetapi mensyaratkan adanya kesengajaan dari pemegang posisi dominan.

Hal ini karena formulasi Pasal ini berbunyi “dilarang menggunakan posisi dominan untuk „menetapkan‟ atau „membatasi pasar’ atau „menghambat pelaku usaha lain’ kata kerja aktif „menetapkan‟, „membatasi‟ dan „menghambat‟ mensyaratkan adanya tindakan

kesengajaan dari pelakunya. Dengan tidak

memetingkan penggunaan „tujuan‟ berarti ketentuan

Pasal 25 ayat (1) UU persaingan usaha Indonesia sangat keras. Hal ini karena walaupun tidak terbukti adanya purpose atau intent, apabila pemegang posisi dominan dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang disebut dalam Pasal 25 ayat 1 ini, maka pemegang

195

posisi dominan sudah dikatakan melanggar. Jadi, nampak bahwa ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU Persaingan Usaha Indonesia mengikuti posisi Alcoa dan United Shoe di Amerika Serikat.

Pembuktian penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia ini, yang tidak mensyaratkan adanya

„tujuan‟ pada tindakan penetapan harga. Misalnya syarat „tujuan‟ untuk „mencegah dan/atau

menghalangi konsumen untuk memperoleh barang

atau jasa yang bersaing‟. Itu artinya apabila predatory pricing yang mana tindakan pelaku usaha memberikan harga produknya sangat murah sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar. Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar, pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada tingkat monopoli dan dapat menutupi kerugian-kerugian yang telah dialami. Tindakan ini dilakukan oleh pemegang

posisi dominan terbukti „menghambat pelaku usaha

lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki

pasar bersangkutan‟, maka sudah dapat dikatakan

pelaku usaha tersebut menyalahgunakan posisi

dominannya walaupun „tujuan‟ (purpose atau intent) untuk itu tidak terbukti. Meskipun pada putusan

196

dalam hal ini menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa.

Hukum persaingan usaha Amerika Serikat, Putusan-Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang diperoleh secara sah tetapi melarang tindakan yang menggunakan kekuatan monopoli dengan melihat pada purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah tersebut. Menurut Standart Oil9 dan American Tobacco,10 actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha harus mempunyai “positive drive to monopolize”. Artinya, harus ada praktik-praktik “predatory” yang menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa11 menunjukkan bahwa bukti actual intent dalam hal ini

„tujuan‟ kurang diperlukan; yang penting adalah bukti

adanya kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan monopoli untuk mempertahankan posisi monopolinya. Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi

9

Standart Oil Co. Of N.J. v. United States 221 U.S. 1.31 S.Ct. 502, 55 L.Ed. 619 (1911).

10

United States v. American Tobacco Co. 221 U.S. 106, 31 S.Ct. 632, 55 L.Ed. 663 (1911).

11

197

aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti Alcoa.12 United Shoe memperkuat Alcoa dengan menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuatan monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal. Namun, pengadilan-pengadilan semenjak tahun 1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan United Shoe dan membatasi cakupan pelanggaran Section 2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan American Tobacco (1911) mengunakan „teori penyalahgunaan‟ (the abuse theory), Alcoa (1945) dan United Shoe (1953) kemudian meninggalkannya. Kemudian, mulai tahun 1979, pengadilan kembali menggunakan teori penyalahgunaan. Artinya, sebagaimana dalam Standard Oil dan American

12

United States v. United Shoe Machinery Corp., 110 F. Supp. 295 (D.C.Mass. 1953).

198

Tobacco, actual purpose or intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi dominan.

Ketentuan pasal 25 ayat (1) ini sesuai dengan posisi di Uni Eropa. Di Uni Eropa, ECJ dalam Hoffmann-La Roche13 menegaskan bahwa penyalahgunaan posisi dominan menurut Pasal EU Article 102 ( ex Article 82) European Community Treaty merupakan konsep yang objektif berkaitan dengan tingkah laku pemegang posisi dominan yang mempengaruhi struktur pasar yang menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut menjadi lemah. Sebelumnya, dalam Continental Can,14 ECJ juga menegaskan bahwa pelanggaran EU Article 102 ( ex Article 82) tersebut terjadi apabila pemegang posisi dominan telah dengan sengaja memperkuat posisinya dan memperlemah persaingan dengan melakukan merger dengan pelaku usaha lain, walaupun tidak ada bukti bahwa pelaku usaha tersebut telah mengeksploitasi kekuatan pasarnya. Jadi, penyalahgunaan posisi dominan menurut EU Article 102 (ex Article 82) bisa terjadi walaupun tidak ada intent atau purpose untuk melakukan penyalahgunaan asalkan telah terjadi dampak negatif terhadap

13

Hoffmann-La Roche & Co AG v. Commission (1979) ECR 461, (1979) 3 CMLR 211.

14

199

persaingan. Jadi dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan posisi dominan menurut Pasal 25 ayat (1) bisa terjadi walaupun tidak ada intent atau purpose dari pemegang posisi dominan.

Undang-undang persaingan usaha Indonesia mengambil sikap yang termasuk ketat. Pasal 25 ayat (1) lebih mudah menyimpulkan adanya posisi dominan dan lebih mudah melarang tindakan pemegang posisi dominan. Pasal ini dalam menentukan adanya tindakan penyalahgunaan posisi dominan mengikuti posisi di Uni Eropa. Hal demikian ini di satu sisi dapat memberikan kemudahan dalam pembuktian, tetapi di sisi lain lebih membatasi ruang gerak pemegang posisi dominan yang belum tentu dapat meningkatkan persaingan yang sehat antar pelaku usaha. Posisi yang lebih bijak perlu dipertimbangkan agar dapat memberikan perlakuan yang adil seperti tujuan hukum menurut Gustav Radbruch antara pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan yang tidak dengan tetap memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang lemah untuk meningkatkan persaingan yang sehat.

Dari beberapa putusan Majelis Komisi tentang penyalahgunaan posisi dominan ini menunjukkan bahwa UU persaingan usaha Indonesia ini berusaha

200

menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sesuai dengan teori Pound yang salah satunya menekankan pada aspek hukum sebagai alat kontrol sosial. Selain itu, UU persaingan usaha Indonesia ini juga berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha, yang mana hal ini menurut Pound hukum disebut sebagai alat rekayasa sosial. Jika seandainya kedepan implementasi UU persaingan usaha dapat dilakukan sesuai dengan tujuan UU persaingan usaha ini, apalagi kalau misalnya ada beberapa perbaikan yang menuju kearah yang lebih baik dalam perubahan UU persaingan ini maka dipastikan UU ini khususnya pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan pasti akan membawa nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal.

Dengan berbagai uraian di atas, maka dugaan pelanggaran Pasal 25 awalnya difokuskan pada ayat (1). Laporan mengenai pencapain tujuan yang diatur dalam ayat (1) ini merupakan syarat yang selalu

201

menjadi dasar orang/badan hukum serta KPPU dalam memeriksa pelaku usaha yang diduga melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Sementara dalam pembuktiannya, ayat (1) selalu dianalisa setelah ayat (2) dalam hal ini indikator (pasar bersangkutan dan pangsa pasar) terpenuhi. Yang artinya bahwa, indikator seperti pendefenisian serta pembuktian pasar bersangkutan (pasar produk dan pasar geografis) serta pemenuhan batas kuantitatif pangsa pasar yakni 50% dan 75% atau lebih, menjadi hal yang utama untuk menentukan apakah suatu kasus pemeriksaannya dilanjutkan atau dihentikan. Kalau seandainya ketentuan batas kuantitif pangsa pasar tidak terpenuhi maka secara otomatis pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ayat (1) dihentikan, sementara jika seandainya pangsa pasar dipenuhi maka pemeriksaan dilanjutkan tentunya setelah diketahui bagaimana pelaku usaha tersebut mencapai

Dalam dokumen T2 322010007 BAB III (Halaman 60-86)

Dokumen terkait