• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Kriminalisasi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah proses yang

memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana,

tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.11

Sedangkan di dalam kamus hukum lainnya mendefinisikan bahwa kriminalisasi

adalah proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh

Hukum Pidana atau Perundang-Undangan.12Jadi, pada dasarnya kriminalisasi

praktik perkawinan di bawah umur di sini dipahami sebagai sikap yang

mengategorikan praktik atau perbuatan perkawinan di bawah umur sebuah tindak

pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.

A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Di bawah Umur

Perkawinan di bawah umur di dalam hukum Islam tidak memberikan

penjelasan mengenai batasan usia minimal atau maksimal dalam menikah.

Karena kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihad. Dalam arti kata

diberikan kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas

1

Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), cet.,III, h.600.

12

Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2008), h.23.

menikah. Karena umur atau kedewasaan tidak termasuk dalam syarat rukun

nikah, maka apabila suatu perkawinan sudah memenuhi syarat dan rukun nikah,

maka hukumnya sah.13

Para ulama dalam hal ini masih berbeda pendapat dalam menghadapi

masalah ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan kondisi yang amat

penting, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di dalam

hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban

melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu

Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04) ayat 6 :

َُلاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ اوُعَ فْداَف اًدْشُر ْمُهْ ِم ْمُتْسَنآ ْنِإَف َحاَكِلا اوُغَلَ ب اَذِإ ٰىََح ٰىَماَتَيْلا اوُلَ تْ باَو

اوُاَ رْكَك ْنَأ اًراَدِبَو اًفاَاْرِإاَوُلُلْكَأ َ َوْو

َل ْنَمَو ْفِفْعَ تْسَيْلَ ف اًيَِغ َناَل ْنَمَو

ىللاِب ٰىَفَلَو ْمِهْيَلَع اوُدِهْشَكَف ْمَُلاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ ْمُتْعَ فَد اَذِإَف ِفوُاْعَوْلاِب ْلُلْكَيْلَ ف اًرِقَف َنا

ِ

اًريِسَح

:ءاس لا

٦

Artinya: “Dan ujilah anak-anak yatim sampai mereka mencapai usia nikah. Apabila kalian menemukan kecerdasannya maka serahkanlah harta-harta itu kepada mereka. Dan janganlah kalian memakannya dengan berlebih-lebihan dan jangan pula kalian tergesa-gesa menyerahkan sebelum mereka dewasa. Barang siapa (dari kalangan wali anak yatim itu) berkecukupan, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan barang siapa yang miskin maka dia boleh memakan dengan cara yang baik. Apabila kalian menyerahkan harta-harta mereka, maka hadrikanlah saksi-saksi.Dan cukuplah Allah sebagai

pengawas”.

Ketika menafsirkan ayat ini, di dalam tafsir al-Misbah, maka kata dasar

rushdan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang 13

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.93.

bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa (rushdan), yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedang yang dimaksud balighu al-nikdh ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterprestasikan bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan tertentu.14

Ayat ini dapat dipahami bahwa perkawinan dilakukan oleh seseorang yang sudah dewasa. Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan istilah baligh. Yang pada prinsipnya, seorang lelaki yang telah baligh dapat ditentukan dengan mimpi dan rushdan, akan tetapi rushdan dan umur kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan, seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan

dalam tindakannya. Begitupun juga dengan perempuan, seorang perempuan dikatakan baligh apabila sudah menstruasi. Namun, nyatanya sangat sulit memastikan pada usia berapa seorang perempuan mengalami menstruasi.

Sebagaimana para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan

dan menentukan batasan usia dewasa atau baligh untuk melangsungkan

perkawinan diantaranya: Imammiyah, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali yang mengatkan:“tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang”.

14

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Al-Fikriis,2009), h.23.

Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan

bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi‟i dan Hanbali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki

menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak

laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun.15

Perkawinan di bawah umur memang tidak secara terang-terangan di

bahas oleh hukum Islam. Bahkan di dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan

kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan

tersebut dinyatakan secara jelas seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan

antara anak laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau

boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”

sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam.16

Para ulama yang membolehkan perkawinan di bawah umur

beragumentasi dengan beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan masalah

perkawinan. Berikut beberapa dasar yang memperbolehkan kawin dalam usia

muda atau perkawinan di bawah umur, adalah firman Allah SWT yang

menyatakan dalam QS. Ath Thalaaq (65):4.

15

Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I, h.65.

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h.66.

َِي ََْ ىَئ ىّلاَو ٍاُهْشَأ ُةَث ََّث ىنُهُ أىدِعَف ْمُتْرَ أْرا ِنِإ ُمكِئاَسِن ْنِم ِضْيِحَوْلا َنِم َنْسِئَك ىِئ ّّلاَو

ىنُهُلْجَأ ِلاََْْْْا ُت َ وُأَو َنْض

َلا ِقىتَ ك ْنَمَو ىنُهَلَْْ َنْعَضَك ْنَأ

: قّطلا( اًاْسُك ِِاْمَأ ْنِم َُل ْلَعََْ

٤

)

Artinya: “perempun-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

Pada dasarnya Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la‟I lam yahidhna (yang belum haid) dengan „iddah selama 3 bulan, sementara

„iddah 3 bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau difasakh, maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.Husein

Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, didalam kata lam yahid

menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu

tiga bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya.

Muhammad menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung

pengertian bahwa perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia (belum mengalami menstruasi), karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang telah melangsungkan perkawinan.17

17

Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

Selain itu ada golongan ahli Fiqih yang melarang dan tidak

memperbolehkan perkawinan usia muda seperti Ibnu Syubrumah, dengan

berdalilkan sebagai berikut:

1) Sadduz Al-Dzari‟at, artinya menutup jalan yang bisa membawa malapetaka, karena perkawinan di bawah umur dapat membawa malapetaka bagi kedua

pasangan tersebut dan akibat-akibat yang negative, maka dari itu wajib

dengan menunda jalannya perkawinan.18

2) kaidah-kaidah Fiqih

(Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan).Walaupun perkawinan di bawah umur terdapat manfaat dan maslahatnya. Namun, mudharat dan

resikonya jauh lebih besar dari manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena

itu sudah seharusnya perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang

tersebut mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun

mentalnya.19

Sementara pandangan ahli hukum Islam (Fuqaha) terhadap perkawinan di

bawah umur. Dalam keputusan Ijtima „Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III

Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat

ketentuan secara eksplisit mengenai batas usia perkawinan, baik batas usia

18Rachmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet-1, h.132.

19

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secara kaidah-kaidah Azasi, (Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada, 2002), h. 105.

minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri dalam

perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam rangka

memperoleh keturunan (hifz al-nasl) dan hal ini bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses

reproduksi.20

Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa

ketentuan hukum yaitu:

a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan usia minimal perkawinan

secara defintif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan

menerima hak (ahliyatul ada „wa al wujud) sebagai ketentuannya.

b. Perkawinan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya

syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.

c. Kedewasaan merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan

perkawinan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan bermasyarakat

serta jaminan keamanan bagi kehamilan.

d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan pada

standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 sebagai pedomannya.

Dilihat dari argument-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama

tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang

belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka Secara

20

umum dalam hukum Islam mengenai perkawinan di bawah umur pendapat dari

para fuqaha dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:21

1. Pandangan jumhur fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini walaupun

demikian kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta membolehkan

adanya hubungan badan. Jika hubungan badan akan mengakibatkan adanya

dlarar maka hal itu terlarang, baik pernikahan dini maupun pernikahan dewasa.

2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur hukumnya terlarang secara mutlak.

3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil

oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki yang masih kecil dilarang.

Argument yang dijadikan dasar adalah Zhahir hadits pernikahan Aisyah

dengan Nabi Muhammad Saw.

Jadi, dalam diskursus fikih (Islamic Jurisprudence), tidak ditemukan kaidah yang sifatnya menentukan batas usia menikah. Karenanya, menurut fikih

semua tingkatan umur dapat melangsungkan perkawinan dengan dasar bahwa

telah mampu secara fisik, biologis dan mental.

21

Heru Susteyo, Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h.22.

B. Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan. 1. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Indonesia.

Perkawinan di bawah umur tidak luput dari batasan minimum usia

seseorang untuk melakukan perkawinan. Sebagaimana di Indonesia diatur ke

dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat

(1) yang berbunyi : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Namun, nyatanya dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak terdapat keharusan mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu Pasal 7 ayat (2)

menerangkan: ”bahwa dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.22

Di dalam Pasal itu menjelaskan apabila mereka yang belum

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas)

tahun bagi wanita diperbolehkan “menikah” apabila terjadi kasus yang

mengharuskan mereka menikah. Pernikahan tersebut boleh dilangsungkan

apabila ada ijin dari Pengadilan yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita.

Sebagaimana di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan

“untuk dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi pria dan 16 (enam belas)

22

tahun bagi wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun, jika orang tua tidak mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh

wali, atau orang yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan

ke atas di dalam Pasal 7 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.23

Sementara di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyatakan secara tegas, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” dan di dalam (Pasal 1) dan Pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan,

keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak (dibawah umur).24

Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pada Pasal 330 yaitu “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”.25

Dari berbagai ketentuan tersebut diketahui bahwa tidak ada keseragamaan

dalam pengertian kedewasaan, khususnya mengenai batasan minimum pada usia

berapa seseorang boleh menikah. Tetapi, di Indonesia secara umum di dalam

Undang-Undang tidak mengatur mengenai Perkawinan di bawah umur. Hanya

23

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 7.

24

Ahmad Sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema & Solusinya, (Medan: PT. Sofmedia, 2012), h. 130.

25

Asrorun Niam Sholeh, Detik-Detik Perlindungan Anak, (Depok: PENA NUSANTARA, 2013), h. 222.

saja di Indonesia mengatur tentang batasan minimum usia perkawinan di dalam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari uraian di atas dapat

diambil satu pengertian bahwa perkawinan di bawah umur adalah perkawinan

yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua mempelai yang batasan usia

menikah tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

Apabila batasan usia menikah belum cukup umur maka diperlukan dispensasi

kawin dari Pengadilan Agama dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan.

Berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan, pada dasarnya

harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi bahtera rumah

tangga. Gunanya untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan.

2. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Pakistan.

Perkawinan di bawah umur di dalam hukum keluarga di Pakistan

dikeluarkan pada tahun 1937 dan 1939 di dalam Undang-Undang tentang Child Marriage Restraint Act (Undang-Undang Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. Namun, tahun 1961 Undang-Undang ini di amandemen ke

dalam Muslim Family Law Ordinance (MFLO) No.8 tahun 1961 diatur ke dalam batas minimum usia menikah pada Pasal 2, 4, yang berbunyi :

In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context, (a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized; (d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;…

4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both.

Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16

tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur)

ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia

anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun

perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan

anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan

seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling

lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.26

Selanjutnya di dalam Pasal 5 dan 6 dari Child Marriage Restraint Act

tahun 1929 sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961:

5.Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both, unless he proves that he had reason to believe that the marriage was not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage, any person having change of the minor, whether as parent or guardian or in any other capcity, lawful or unlawful, who does any act to promote the marriage or permits it to be solemnized, or negligently fails to prevent it from being solemnized, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both; provided that no woman shall be punishable

26 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.243.

with imprisonment. (2) for the purpose of this section, it shall be presumed, unless and until the contrary is proved, that where a minor has contracted a child marriage, the person having charge of such minor has negligently failed to prevent the marriage from being solemnized.27

Artinya: “ seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, dianam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor”

(berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee, atau kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara, jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik atas inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1000 Rupee atau kedua-duanya.28

Berbeda dengan Indonesia, di Pakistan hukum keluarga lebih melindungi

kepada hak-hak perempuan di dalam Undang-Undangnya. Tidak hanya pelaku

perkawinan di bawah umur saja yang terkena sanksi melainkan kepada pihak

yang menyelenggarakan, memerintahkan, atau memimpin pernikahan di bawah

umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua

atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas atau berhak menurut hukum atau

tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau

lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap

27 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.242-243.

28 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analisis, h.242-243.

pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan

(terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut

melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara

maksimal 3 bulan. Semua ini diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act 1929

dan Amandemennya (Ordonansi MFLO No. 8 Tahun 1961).29

Kesimpulan sikap hukumnya adalah bahwa walaupun di dunia Islam

berbeda-beda dalam menentukan batasan usia menikah tetapi hukum

mensyaratkan kedewasaan ketika menikah. Jadi, perkawinan di bawah umur

ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang batasan usianya tidak

sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Negara tersebut yang pada

hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara mental

dan kedewasaan.Dan di Pakistan perkawinan di bawah umur memiliki kekuatan

hukum bagi pelaku dan yang mendukung perkawinan tersebut, baik hukuman

kurungan maupun denda atau kedua-duanya.

C. Faktor Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur Di Indonesia dan Pakistan 1. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Indonesia

Pernikahan dini (di bawah umur) merupakan praktik pernikahan yang

dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau keduanya berusia masih muda

dalam pandangan kekinian. Praktik pernikahan ini dipandang perlu memperoleh

29

Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”, artikel diakses pada 23 Januari2016 dari http://publik-syariah.blogspot.co.id/2011/04.html.

perhatian yang jelas. Di Indonesia khususnya perkawinan di bawah umur sudah

marak terjadi di beberapa daerah.

Bentuk perkawinan di bawah umur ini hanyalah sepenggal realitas social

yang dihadapi masyarakat saat ini. Pada kalangan remaja, pernikahan di usia dini

(bawah umur) ini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas.

Ada juga yang melakukannya karena terpaksa dan karena hamil di luar nikah.

Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan pergaulan

remaja yang mulai permisif (suka memperbolehkan atau mengizinkan) dan nyaris

tanpa batas mengakibatkan tingginya perkawinan di bawah umur.30

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional tahun 2015, di

Indonesia masih banyak terjadi pernikahan pada anak dan remaja. Sebanyak 38%

anak perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun sudah menikah.

Sementara persentase laki-laki yang menikah di bawah umur hanya

3,7%.31Ternyata, ada beberapa penyebab yang mendorong mereka melakukan

pernikahan di bawah umur, diantaranya:

1. Faktor Pergaulan bebas

2. Faktor Ekonomi

30 Umi Nurhasanah, “Perkawinan Usia Muda Dan Perceraian Di Kampung Kota Baru

Kecamatan PadangRatu Kabupaten Lampung Tengah”, artikel diakses pada 16 April 2016 dari Jurnal

Sosiologi http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articel/view/164.

31Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini.

3. Faktor Pendidikan

4. Dorongan Orang tua

5. Faktor Adat

Perkawinan di bawah umur juga berdampak buruk untuk kesehatan

reproduksi wanita. Seperti survey yang dilakukan oleh Deputi Keluarga Sejahtera

dan Pembangunan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso menyebutkan batas usia minimal dalam

UU Perkawinan saat ini menjadi peluang terjadinya pernikahan dini.

“Dari segi masalah kesehatan reproduksi pada ibu, organ-organ

Dokumen terkait