Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
JENNY NULADANI NIM. 1112044200013
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAK
Jenny Nuladani, NIM 1112044200013, Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan). Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan ahli hukum Islam terhadap perkawinan di bawah umur menurut hukum perkawinan di Indonesia dan Pakistan, pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam kriminalisasi perkawinan di bawah umur, apa segi-segi persamaan dan perbedaan perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan.
Penelitian ini merupakan penelitian normative yuridis, dengan meneliti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam,
Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang di bahas dalam skripsi ini. Adapun data yang diperoleh dan digunakan serta dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan antara peraturan perkawinan di bawah umur antara Indonesia dan Pakistan, diantaranya di Pakistan melarang adanya perkawinan anak (perkawinan di bawah umur) dengan memberikan sanksi bagi pelaku, calon mempelai, ataupun yang ikut berpartisipasi dalam acara perkawinan tersebut yaitu dengan hukuman penjara satu bulan serta denda sebesar seribu rupee atau kedua-duanya. faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan diantaranya dari segi mazhab Pakistan yang umumnya menganut mazhab Hanafi serta Indonesia yang umumnya menganut mazhab Syafi’i. dan Negara Pakistan menjadikan perkawinan sebuah perbuatan kriminalisasi yang adanya sanksi hukum. Sedangkan di dalam Al-Quran maupun al-hadits tidak ada yang menjelaskan secara detail pada usia berapa sesorang boleh menikah. Namun, perkawinan boleh dilakukan apabila keduanya sudah baligh dan dalam hal ini para fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan usia baligh seseorang.
Kata Kunci : Kriminalisasi Perkawinan di bawah umur
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 sampai tahun 2014
Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allahsubhanahu wa Ta‟ala kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad
SAW, dan atas semua keluarganya, para sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang
mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan.
Dalam penulisan skripsi ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulilah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun
tidak langsung segala hambatan dapat diatasi sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk pemberi do’a terhebat sepanjang
perjalanan hidup penulis, yaitu kedua orang tua penulis Jiyanto, dan ibunda Masnun,
beserta kakak dan adik-adik terkasih dan tercinta, Zaenal Fachrudin, Siti Aminah, dan
Fachry Tachinardi,yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, cinta, kasih
sayangnya serta do’a, semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka semua.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag dan Arip Purkon, MA sebagai Ketua Program
Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada beliau.
4. Penguji Munaqasyah I : Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.A dan Penguji II
Munaqasyah Hotnidah Nasution, S.Ag, M.A.
5. Segenap Bapak Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.
6. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan dan
penyediaan buku-bukkunya sehingga memudahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabatku terkasih Zulfah Zurotunnisa, Fathi Taybun, Djulhijah, Reza
Fahlevi, yang senantiasa memberikan semangat, canda, tawanya melewati
suka duka selama di bangku perkuliahan serta kesabaran dan kesetiaannya
menemani dari awal bertemu sampai pada penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
8. Sahabat-sahabat rumahku Mayang Claudia, Dyan Purnama Sari, Desi
Ciciliamaharani yang sudah menjadi tempat canda dan tawa penulis semoga
kesuksesan meyertai kita.
menjadi orang yang sukses.
10. Teman-teman INI KKN, Nurul Farihah, Nur Habibah, yang telah
mengajarkan arti hidup, arti team work yang baik dan pengalamannya selama KKN sebulan di desa Sukagalih semoga kesuksesan selalu menyertai kita.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya, hanya
doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat
ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk skripsi ini.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii A.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan di Bawah Umur ... 15
B.Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan ... 19
C.Faktor Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan ... 24
BAB III SEJARAH HUKUM KELUARGA DI INDONESIA DAN PAKISTAN A.Sejarah Pembentukan Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan ... 31
B.Pembaharuan Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan ... 42
C.Peraturan yang Mengatur Hukum Keluarga di Pakistan dan Indonesia ... 50
Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia
Dan Pakistan ... 60
C.Persamaan dan Perbedaan Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan ... 65
BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 74
B.Saran-saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 84
LAMPIRAN……….89
1
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan kontrak
keperdataan biasa. Akan tetapi, lebih dari itu untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.1Guna mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang diharapkan yaitu sakinah dan mawadah, maka kematangan jiwa bagi calon pasangan pengantin sangat diperlukan. Kematangan yang dimaksud adalah
kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak
sehingga tujuan perkawinan tersebut dapat terlaksana dengan baik.2
Di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memiliki 7 (tujuh) asas-asas atau
prinsip-prinsip perkawinan. Salah satunya di dalam asas-asas perkawinan tersebut
membahas tentang asas (prinsip) kedewasaan calon mempelai.3Di mana asas
1
Arso Sosroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1975), h.102.
2
Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet.ke-3, h.11.
3
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada, 2004),h.157.
kematangan ini, menjadi salah satu standar yang digunakan dalam penetapan usia
menikah.
Membahasa tentang kedewasaan atau kematangan seseorang untuk
menikah dalam Undang-Undang Perkawinan di dunia Islam memang
berbeda-beda dalam menetapkan batasan minimal usia perkawinan. Hal ini dapat dilihat
dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang
menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun
bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi
laki-laki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup
banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, Libya,
Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Suriah. Sisanya adalah di bawah
18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17
tahun, dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan.4
Perbedaan usia nikah ini terjadi disebabkan, karena Al-Qur‟an maupun
Al-Hadis tidak secara eksplisit menetapkan usia nikah. Namun demikian, baik
Al-Qur‟an maupun Al-Hadis secara implisit tampak mengakui pernikahan
sebagai salah satu ciri bagi kedewasaan seseorang.5Karena faktor kedewasaan
atau umur merupakan kondisi yang amat penting. Dan layak untuk membina
rumah tangga, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di
4
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.202.
5
dalam hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru boleh menikah apabila
sudah layak untuk menikah.
Penetapan batasan umur perkawinan itu penting karena dimaksudkan
untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunannya. Serta pasangan suami
istri agar mampu menanggung beban tanggung jawab keluarga. Khususnya
tanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, rumah tangga yang selalu kacau
akan berdampak buruk terhadap pembinaan anak, dan hal itu umumnya terjadi
dalam lingkungan keluarga yang kawin sebelum memiliki kematangan berfikir
atau perkawinan di bawah umur.6
Pengertian perkawinan di bawah umur pada dasarnya tidak disebutkan
dalam hukum Islam (kitab fiqih). Hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang boleh menikah. Karena
itu, masalah batasan umur seseorang untuk melaksanakan perkawinan ini
termasuk ke dalam wilayah ijtihadiyyah. Dalam fiqih menyebutkan adanya
perkawinan muda atau kawin belia dengan istilah nikah ash-shaghir/ash-shaghirah secara literal berarti kecil, namun yang dimaksudkan dengan
shaghir/shaghirah disini adalah anak laki-laki atau perempuan yang belum
baligh.7Ketentuan baligh antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
6Abdi Koro, Perlindungan Anak Di Bawah Umur Dalam Perkawinan Usia Muda dan
Perkawinan Siri, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 177.
7
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi kiai atas wacana agama dan gender, cet.V,
berbeda. Pada anak laki-laki, ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilam,
yakni mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani), sedangkan anak
perempuan, ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid.
Zaman modern seperti ini perkawinan di bawah umur marak terjadi tidak
hanya di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di dunia Islam lainnya. Seperti, di
Negara Pakistan dan Bangladesh yang melakukan unifikasi pada hukum keluarga. Maraknya perkawinan di bawah umur di dunia Islam membuat
perubahan besar terhadap Negara tersebut. Unifikasi hukum keluarga yang terjadi di Negara Pakistan salah satunya yaitu menolak adanya perkawinan di bawah
umur dengan memberikan sanksi hukuman kurungan penjara serta denda kepada
seseorang yang menikahi anak di bawah umur di dalam hukum keluarganya.
Sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan 4 dari Child Marriage Restraint Act tahun 1929 sebagaimana diubah dengan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961:8
2. In this Act, unless there is anything repugnant in the subject or context, (a) “child” means a person who, if a male, is under eighteen years of age, and if a female, is under sixteen years of age; (b) “child marriage” means a marriage to which either of the parties is child; (c)”contracting party” to a marriage means either of the parties whose marriage is about to be thereby solemnized; (d) “minor” means a person of either sex who is under eighteen years of age;… 4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both.
8Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16
tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur)
ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia
anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan
anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang
laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan
seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling
lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.9
Sedangkan di Indonesia mempunyai pandangan berbeda dengan
Negara-Negara muslim lainnya yang telah melakukan pembaharuan di dalam hukum
keluarga. Peraturan hukum keluarga di Indonesia tidak membahas secara rinci
mengenai perkawinan di bawah umur dikarenakan di dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak membahas mengenai sanksi terhadap
perkawinan di bawah umur.
Perkawinan di bawah umur merupakan salah satu trend reformasi hukum
keluarga di dunia Islam Modern yang diberlakukannya sanksi hukum
(kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki
9 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
sanksi hukum. Misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk Negara
yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan
mengkategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan
kriminal.10
Kriminalisasi perkawinan di bawah umur seperti hal yang diatas belum
menjadi potret umum dari hukum atau Undang-Undang yang berlaku di dunia
Islam lainnya. Namun, keberadaannya semakin dipertimbangkan karena
menjadikan perkawinan di bawah umur suatu perbuatan kriminalisasi. lebih
menarik lagi jika di Indonesia juga bisa melihat lebih dekat serta mentelaah lebih
dalam lagi. Apakah praktik perkawinan di bawah umur itu merupakan suatu
perbuatan kriminalisasi hukum? Kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam
konteks doktrin Hukum Islam Konvesional, antar Negara, dan posisinya sebagai
salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khusunya hukum keluarga di
dunia Islam. Hal inilah yang penulis anggap sebagai sesuatu yang menarik untuk
diteliti apa sebenarnya factor-faktor dalam pembentukan hukum keluarga
khususnya mengenai “Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur (Studi
Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan).”
B. Identifikasi Masalah
10
Zaki Saleh, Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam, artikel diakses pada 23
Dari latarbelakang masalah diatas, penulis mengidentifikasikan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana batasan usia nikah dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di
dunia Islam pada umumnya.
2. Bagaimana pandangan Al-Qur‟an dan Hadist tentang perkawinan di
bawah umur.
3. Apa saja ciri atau ukuran kedewasaan seseorang untuk melangsungkan
pernikahan.
4. Bagaimana pemberlakuan sanksi perkawinan di bawah umur di dalam
hukum keluarga di Dunia Islam khususnya Indonesia dan Pakistan.
5. Undang-Undang yang mengatur perkawinan di bawah umur di Indonesia
dan Pakistan.
C. Pembatasan Masalah
Meniadakan adanya kajian yang lebih luas dan tidak terbatas, disebabkan
terlalu banyaknya Negara Islam di dunia ini, maka penulis membatasi
permasalhan dan akan menjelaskan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah
umur yang berlaku di Indonesia dan Pakistan. Berdasarkan latar belakang dan
permasalahan di atas maka penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis
perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan hukum keluraga di
D. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah, dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan ahli hukum Islam (fuqoha) terhadap perkawinan di
bawah umur ?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hukum positif dalam
kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan?
3. Apa perbedaan dan persamaan sanksi bagi perkawinan di bawah umur di
Indonesia dan Pakistan?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan ahli hukum Islam (Fuqoha) mengenai
perkawinan di bawah umur.
2. Untuk mengetahui perkawinan di bawah umur dari sisi hukum Islam
terhadap hukum positif mengenai kriminalisasi.
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sanksi bagi perkawinan di
bawah umur di Indonesia dan Pakistan.
2. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan ataupun
pengetahuan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah umur menurut
hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan.
2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman ataupun
pengetahuan untuk mengetahui kriminalisasi perkawinan di bawah umur
menurut hukum perkawinan di dunia Islam di Indonesia dan Pakistan.
3. Bagi Akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi
dan acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi di dalam menunjang
penelitian selanjutnya yang mungkin cangkupannya lebih luas sebagai
bahan perbandingan.
F. Review Studi Terdahulu
Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan
diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali.
Sekalipun ada akan tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar. Oleh karena
itu, untuk menjaga keaslian dalam penelitian ini, penulis sudah melakukan
review studi terdahulu. Adapun diantara review studi terdahulu yang telah
dilakukan oleh penulis antara lain:
1. Haris Santoso, Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab, (Jurusan peradilan agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi ini adalah
di dalam hukum Islam tidak ditetapkan batas usia perkawina, oleh sebab itu
menyelesaikan masalah tersebut. Dan para ulama mahzab berbeda pendapat
dalam menentukan batas usia menikah. oleh sebab itu analisa yang digunakan
dalam skripsi adalah perspektif imam mahzab. Adapun metode penelitian
yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode komparatif yaitu
mengkomparasikan perkawinan di bawah umur antara hukum islam dan
hukum positif sebagai bahan acuan penelusuran skripsi ini.
2. Mochammad Abdul Rochim, Kriminalisasi Perkawinan di Bawah Umur, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011).
Pembahasan dalam skripsi ini adalah lebih ditekankan dalam hal pernikahan
di bawah umur di Indonesia yang dianggap menjadi tindakan kriminal atau
eksploitasi terhadap anak. Skripsi ini hanya berfokus terhadap hukum positif
saja. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
metode metode komparatif yaitu dengan cara membandingkan.
3. Muhammad Zaki Saleh, Kriminalisasi dalam hukum keluarga di Negara-Negara Muslim, Artikel Al-risalah volume 11, 2011. Artikel tersebut membahas tentang perbuatan kriminalisasi tidak hanya perkawinan di bawah
umur saja tetapi praktik poligami, pencatatan nikah dan talak. Artikel ini tidak
menekankan atau tidak fokus terhadap perkawinan di bawah umur saja.
Adapun perbedaan dari ketiga studi review diatas yaitu membahas
tentang batasan usia perkawinan, baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari
hukum Islam. Sedangkan perbedaannya adalah skripsi ini hanya membahas
dan dianggap menjadi tindakan kriminalisasi di sebagaian dunia Islam yang
mengakibatkan adanya hukuman baik kurungan penjara maupun denda.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunkan untuk memperoleh data yang valid
dalam penelitian ini menjadi:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan
(Comparative Approach) yaitu penelitian yang membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain.
2. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya
dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.
3. Data Penelitian a. Sumber Data
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi
Family Law Commission (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga).
b. Jenis Data
Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini.
1) Data Primer: yaitu berasal dari Al-Qur‟an, kitab hadis, dan Undang
-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Inpres Kompilasi Hukum
Islam, Child Marriage Restraint Act 1929 (Undang-Undang 29 Tahun 1929) dan di Ordonansi No. 8 Tahun 1961 Marriage and Family Law Commission (MFLO). (Pakistan: Kitab Undang-Undang hukum keluarga). 2) Data Sekunder: yaitu berasal dari buku-buku, majalah, surat kabar, jurnal
ilmiah, artikel serta sumber lain yang berkaitan dengan judul ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sebagai berikut: Library Research (Penelitian Kepustakaan), yakni dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber
bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan lain-lain yang
diperoleh dari internet.
Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan
data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan ini
berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
5. Teknik Pengolahan Data
Metode yang digunakan yaitu deskriptif dengan memaparkan data yang
diperoleh tersebut kemudian dikomparatifkan antara data yang tertera pada
teori yang diambil dari studi pustaka lalu penulis analisa.
6. Metode Analisis Data
Adapun analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis komparatif
yang bersifat membandingkan.Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang
diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang
lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak
masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah
Pada bab pertama merupakan bab tentang pendahuluan yang merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi: latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Pada bab Kedua menjelaskan tentang kriminalisasi perkawinan di bawah umur. Pada bab ini penulis hadirkan tiga pembahasan yaitu Pengertian
dasar-dasar perkawinan di bawah umur dalam Hukum keluarga Islam di
Indonesia dan Pakistan.
Pada bab Ketiga menjelaskan tentang sejarah hukum keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan. Serta mendeskripsikan hukum keluarga Islam di Negara
Indonesia dan Pakistan sebagai Negara Muslim, pengaruh Mahzab terhadap
pembentukan hukum keluarga Islam di Negara Indonesia dan Pakistan.
Pada bab Keempat berisi tentang analisis perbandingan mengenai kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia dan Pakistan. Pada bab ini
penulis hadirkan tiga pembahasan yaitu pandangan ahli hukum Islam (fuqoha)
terhadap perkawinan di bawah umur, dan pandangan hukum Islam terhadap
hukum positif dalam kriminalisasi perkawinan di bawah umur di Indonesia.
Pada bab Kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Kriminalisasi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana,
tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.11
Sedangkan di dalam kamus hukum lainnya mendefinisikan bahwa kriminalisasi
adalah proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh
Hukum Pidana atau Perundang-Undangan.12Jadi, pada dasarnya kriminalisasi
praktik perkawinan di bawah umur di sini dipahami sebagai sikap yang
mengategorikan praktik atau perbuatan perkawinan di bawah umur sebuah tindak
pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Di bawah Umur
Perkawinan di bawah umur di dalam hukum Islam tidak memberikan
penjelasan mengenai batasan usia minimal atau maksimal dalam menikah.
Karena kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihad. Dalam arti kata
diberikan kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas
1
Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), cet.,III,
h.600.
12
Kamus Hukum, (Bandung: Citra Umbara, 2008), h.23.
menikah. Karena umur atau kedewasaan tidak termasuk dalam syarat rukun
nikah, maka apabila suatu perkawinan sudah memenuhi syarat dan rukun nikah,
maka hukumnya sah.13
Para ulama dalam hal ini masih berbeda pendapat dalam menghadapi
masalah ini, karena faktor kedewasaan atau umur merupakan kondisi yang amat
penting, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Di dalam
hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan kewajiban
melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu
Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04) ayat 6 :
َُلاَوْمَأ ْمِهْيَلِإ اوُعَ فْداَف اًدْشُر ْمُهْ ِم ْمُتْسَنآ ْنِإَف َحاَكِلا اوُغَلَ ب اَذِإ ٰىََح ٰىَماَتَيْلا اوُلَ تْ باَو
Apabila kalian menemukan kecerdasannya maka serahkanlah harta-harta itu kepada mereka. Dan janganlah kalian memakannya dengan berlebih-lebihan dan jangan pula kalian tergesa-gesa menyerahkan sebelum mereka dewasa. Barang siapa (dari kalangan wali anak yatim itu) berkecukupan, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) dan barang siapa yang miskin maka dia boleh memakan dengan cara yang baik. Apabila kalian menyerahkan harta-harta mereka, maka hadrikanlah saksi-saksi.Dan cukuplah Allah sebagaipengawas”.
Ketika menafsirkan ayat ini, di dalam tafsir al-Misbah, maka kata dasar
rushdan adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rushd yang
13
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu
bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa
(rushdan), yaitu apabila seseorang mengerti dengan baik cara menggunakan harta
serta membelanjakannya, sedang yang dimaksud balighu al-nikdh ialah jika
umur telah siap untuk menikah. Ini artinya al-Maraghi menginterprestasikan
bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh dibebani persoalan-persoalan
tertentu.14
Ayat ini dapat dipahami bahwa perkawinan dilakukan oleh seseorang yang
sudah dewasa. Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan istilah baligh.
Yang pada prinsipnya, seorang lelaki yang telah baligh dapat ditentukan dengan
mimpi dan rushdan, akan tetapi rushdan dan umur kadang-kadang tidak sama
dan sukar ditentukan, seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan
dalam tindakannya. Begitupun juga dengan perempuan, seorang perempuan
dikatakan baligh apabila sudah menstruasi. Namun, nyatanya sangat sulit
memastikan pada usia berapa seorang perempuan mengalami menstruasi.
Sebagaimana para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menetapkan
dan menentukan batasan usia dewasa atau baligh untuk melangsungkan
perkawinan diantaranya: Imammiyah, Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali yang
mengatkan:“tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang”.
14
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung:
Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan
bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi‟i dan Hanbali menyatakan bahwa usia
baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki
menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak
laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun.15
Perkawinan di bawah umur memang tidak secara terang-terangan di
bahas oleh hukum Islam. Bahkan di dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan
kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan
tersebut dinyatakan secara jelas seperti ungkapan “boleh terjadi perkawinan
antara anak laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau
boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil”
sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam.16
Para ulama yang membolehkan perkawinan di bawah umur
beragumentasi dengan beberapa ayat al-Qur‟an yang menjelaskan masalah
perkawinan. Berikut beberapa dasar yang memperbolehkan kawin dalam usia
muda atau perkawinan di bawah umur, adalah firman Allah SWT yang
menyatakan dalam QS. Ath Thalaaq (65):4.
15
Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I,
h.65.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan
َِي ََْ ىَئ ىّلاَو ٍاُهْشَأ ُةَث ََّث ىنُهُ أىدِعَف ْمُتْرَ أْرا ِنِإ ُمكِئاَسِن ْنِم ِضْيِحَوْلا َنِم َنْسِئَك ىِئ ّّلاَو
Artinya: “perempun-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.Siapa siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Pada dasarnya Allah menetapkan perempuan dengan predikat: wa al-la‟I lam yahidhna (yang belum haid) dengan „iddah selama 3 bulan, sementara
„iddah 3 bulan tersebut hanya berlaku bagi perempuan yang ditalak atau
difasakh, maka ayat ini menjadi dalalah iltizam, bahwa perempuan yang disebutkan tadi sebelumnya telah dinikah, kemudian ditalak atau difasakh.Husein
Muhammad memberikan alasan lain terhadap ayat ini, didalam kata lam yahid
menunjukkan bahwa yang belum menstruasi, jika diceraikan harus menunggu
tiga bulan untuk melangsungkan perkawinannya yang kedua kalinya.
Muhammad menjelaskan bahwa secara tidak langsung ayat ini mengandung
pengertian bahwa perkawinan dapat dilaksanakan bagi perempuan belia (belum mengalami menstruasi), karena iddah hanya dapat dikenakan bagi seorang yang telah melangsungkan perkawinan.17
17
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Selain itu ada golongan ahli Fiqih yang melarang dan tidak
memperbolehkan perkawinan usia muda seperti Ibnu Syubrumah, dengan
berdalilkan sebagai berikut:
1) Sadduz Al-Dzari‟at, artinya menutup jalan yang bisa membawa malapetaka, karena perkawinan di bawah umur dapat membawa malapetaka bagi kedua
pasangan tersebut dan akibat-akibat yang negative, maka dari itu wajib
dengan menunda jalannya perkawinan.18
2) kaidah-kaidah Fiqih
(Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan).Walaupun perkawinan di bawah umur terdapat manfaat dan maslahatnya. Namun, mudharat dan
resikonya jauh lebih besar dari manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena
itu sudah seharusnya perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang
tersebut mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun
mentalnya.19
Sementara pandangan ahli hukum Islam (Fuqaha) terhadap perkawinan di
bawah umur. Dalam keputusan Ijtima „Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III
Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat
ketentuan secara eksplisit mengenai batas usia perkawinan, baik batas usia
18Rachmat Syafe‟I,
Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet-1, h.132.
19
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secara kaidah-kaidah Azasi, (Jakarta: PT. Gaja Grafindo
minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri dalam
perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam rangka
memperoleh keturunan (hifz al-nasl) dan hal ini bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses
reproduksi.20
Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa
ketentuan hukum yaitu:
a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan usia minimal perkawinan
secara defintif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan
menerima hak (ahliyatul ada „wa al wujud) sebagai ketentuannya.
b. Perkawinan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya
syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat.
c. Kedewasaan merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan
perkawinan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan bermasyarakat
serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan pada
standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 sebagai pedomannya.
Dilihat dari argument-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama
tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang
belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka Secara
20
umum dalam hukum Islam mengenai perkawinan di bawah umur pendapat dari
para fuqaha dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:21
1. Pandangan jumhur fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini walaupun
demikian kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta membolehkan
adanya hubungan badan. Jika hubungan badan akan mengakibatkan adanya
dlarar maka hal itu terlarang, baik pernikahan dini maupun pernikahan dewasa.
2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur hukumnya terlarang secara mutlak.
3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil
oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki yang masih kecil dilarang.
Argument yang dijadikan dasar adalah Zhahir hadits pernikahan Aisyah
dengan Nabi Muhammad Saw.
Jadi, dalam diskursus fikih (Islamic Jurisprudence), tidak ditemukan kaidah yang sifatnya menentukan batas usia menikah. Karenanya, menurut fikih
semua tingkatan umur dapat melangsungkan perkawinan dengan dasar bahwa
telah mampu secara fisik, biologis dan mental.
21
Heru Susteyo, Perkawinan Di Bawah Umur Tantangan Legislasi dan Haronisasi Hukum
B. Dasar Hukum Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia dan Pakistan. 1. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Indonesia.
Perkawinan di bawah umur tidak luput dari batasan minimum usia
seseorang untuk melakukan perkawinan. Sebagaimana di Indonesia diatur ke
dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat
(1) yang berbunyi : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Namun, nyatanya dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak
terdapat keharusan mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu Pasal 7 ayat (2)
menerangkan: ”bahwa dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.22 Di dalam Pasal itu menjelaskan apabila mereka yang belum mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki dan 16 (enam belas)
tahun bagi wanita diperbolehkan “menikah” apabila terjadi kasus yang
mengharuskan mereka menikah. Pernikahan tersebut boleh dilangsungkan
apabila ada ijin dari Pengadilan yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
Sebagaimana di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
“untuk dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi pria dan 16 (enam belas)
22
tahun bagi wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun, jika
orang tua tidak mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh
wali, atau orang yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan
ke atas di dalam Pasal 7 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.23
Sementara di dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan secara tegas, “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” dan di dalam (Pasal 1) dan Pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan,
keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak (dibawah umur).24
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pada Pasal 330 yaitu “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”.25
Dari berbagai ketentuan tersebut diketahui bahwa tidak ada keseragamaan
dalam pengertian kedewasaan, khususnya mengenai batasan minimum pada usia
berapa seseorang boleh menikah. Tetapi, di Indonesia secara umum di dalam
Undang-Undang tidak mengatur mengenai Perkawinan di bawah umur. Hanya
23
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 7.
24
Ahmad Sofian, Perlindungan Anak Di Indonesia Dilema & Solusinya, (Medan: PT.
Sofmedia, 2012), h. 130.
25
saja di Indonesia mengatur tentang batasan minimum usia perkawinan di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari uraian di atas dapat
diambil satu pengertian bahwa perkawinan di bawah umur adalah perkawinan
yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua mempelai yang batasan usia
menikah tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
Apabila batasan usia menikah belum cukup umur maka diperlukan dispensasi
kawin dari Pengadilan Agama dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan, pada dasarnya
harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi bahtera rumah
tangga. Gunanya untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan.
2. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Pakistan.
Perkawinan di bawah umur di dalam hukum keluarga di Pakistan
dikeluarkan pada tahun 1937 dan 1939 di dalam Undang-Undang tentang Child Marriage Restraint Act (Undang-Undang Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. Namun, tahun 1961 Undang-Undang ini di amandemen ke
dalam Muslim Family Law Ordinance (MFLO) No.8 tahun 1961 diatur ke dalam batas minimum usia menikah pada Pasal 2, 4, yang berbunyi :
4. Whoever, being a male above eigthteen years of age, contracts a child marriage shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both.
Pasal 2 dan 4 di atas, dalam UU itu didefinisikan bahwa anak (child) adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16
tahun bagi perempuan. Adapun perkawinan anak (perkawinan di bawah umur)
ialah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki atau perempuan berusia
anak-anak sebagaimana didefinisikan sebagai seseorang, baik laki-laki maupun
perempuan, yang berusia di bawah 18 tahun. Nampaknya UU ini membedakan
anatara “child” dan “minor”. Selanjutnya pada pasal 4 mengatur bahwa seorang
laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang akan melakukan akad nikah dengan
seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, diancam dengan penjara paling
lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya.26
Selanjutnya di dalam Pasal 5 dan 6 dari Child Marriage Restraint Act
tahun 1929 sebagaimana diubah dengan MFLO tahun 1961:
5.Whoever performs, conducts or directs any child marriage, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both, unless he proves that he had reason to believe that the marriage was not a child marriage. 6. (1). Where a minor contracts a child marriage, any person having change of the minor, whether as parent or guardian or in any other capcity, lawful or unlawful, who does any act to promote the marriage or permits it to be solemnized, or negligently fails to prevent it from being solemnized, shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one thousand rupees, or with both; provided that no woman shall be punishable
26 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
with imprisonment. (2) for the purpose of this section, it shall be presumed, unless and until the contrary is proved, that where a minor has contracted a child marriage, the person having charge of such minor has negligently failed to prevent the marriage from being solemnized.27
Artinya: “ seorang laki-laki berumur lebih dari 18 tahun yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun, dianam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu Rupee atau kedua-duanya, kecuali ia mempunyai bukti-bukti yang meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya bukanlah perkawinan di bawah umur (child marriage). Kemudian jika seseorang dalam kategori “minor”
(berumur kurang dari 18 tahun) melakukan akad nikah dengan seorang di bawah umur, maka orang tua anak itu atau walinya, yang mendorong terjadinya perkawinan itu, atau karena kelalaian mereka, diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan, atau denda paling banyak seribu Rupee, atau kedua-duanya, dengan pengecualian bahwa wanita tidak dihukum penjara, jika perkawinan anak itu dilangsungkan juga, padahal Pengadilan telah memperingatkan para wali untuk tidak melangsungkan perkawinan itu, baik atas inisiatif pengadilan sendiri ataupun atas pengaduan pihak-pihak tertentu, maka para orang tua atau wali itu diancam dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda 1000 Rupee atau kedua-duanya.28
Berbeda dengan Indonesia, di Pakistan hukum keluarga lebih melindungi
kepada hak-hak perempuan di dalam Undang-Undangnya. Tidak hanya pelaku
perkawinan di bawah umur saja yang terkena sanksi melainkan kepada pihak
yang menyelenggarakan, memerintahkan, atau memimpin pernikahan di bawah
umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua
atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas atau berhak menurut hukum atau
tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau
lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap
27 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analisis, h.242-243.
28 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan
(terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut
melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara
maksimal 3 bulan. Semua ini diatur ke dalam Child Marriage Restraint Act 1929
dan Amandemennya (Ordonansi MFLO No. 8 Tahun 1961).29
Kesimpulan sikap hukumnya adalah bahwa walaupun di dunia Islam
berbeda-beda dalam menentukan batasan usia menikah tetapi hukum
mensyaratkan kedewasaan ketika menikah. Jadi, perkawinan di bawah umur
ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang batasan usianya tidak
sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di Negara tersebut yang pada
hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara mental
dan kedewasaan.Dan di Pakistan perkawinan di bawah umur memiliki kekuatan
hukum bagi pelaku dan yang mendukung perkawinan tersebut, baik hukuman
kurungan maupun denda atau kedua-duanya.
C. Faktor Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur Di Indonesia dan Pakistan 1. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Indonesia
Pernikahan dini (di bawah umur) merupakan praktik pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau keduanya berusia masih muda
dalam pandangan kekinian. Praktik pernikahan ini dipandang perlu memperoleh
29
Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”, artikel diakses pada 23
perhatian yang jelas. Di Indonesia khususnya perkawinan di bawah umur sudah
marak terjadi di beberapa daerah.
Bentuk perkawinan di bawah umur ini hanyalah sepenggal realitas social
yang dihadapi masyarakat saat ini. Pada kalangan remaja, pernikahan di usia dini
(bawah umur) ini dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari seks bebas.
Ada juga yang melakukannya karena terpaksa dan karena hamil di luar nikah.
Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan pergaulan
remaja yang mulai permisif (suka memperbolehkan atau mengizinkan) dan nyaris
tanpa batas mengakibatkan tingginya perkawinan di bawah umur.30
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional tahun 2015, di
Indonesia masih banyak terjadi pernikahan pada anak dan remaja. Sebanyak 38%
anak perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun sudah menikah.
Sementara persentase laki-laki yang menikah di bawah umur hanya
3,7%.31Ternyata, ada beberapa penyebab yang mendorong mereka melakukan
pernikahan di bawah umur, diantaranya:
1. Faktor Pergaulan bebas
2. Faktor Ekonomi
30 Umi Nurhasanah, “Perkawinan Usia Muda Dan Perceraian Di Kampung Kota Baru
Kecamatan PadangRatu Kabupaten Lampung Tengah”, artikel diakses pada 16 April 2016 dari Jurnal
Sosiologi http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articel/view/164.
31Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari
3. Faktor Pendidikan
4. Dorongan Orang tua
5. Faktor Adat
Perkawinan di bawah umur juga berdampak buruk untuk kesehatan
reproduksi wanita. Seperti survey yang dilakukan oleh Deputi Keluarga Sejahtera
dan Pembangunan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), Sudibyo Alimoeso menyebutkan batas usia minimal dalam
UU Perkawinan saat ini menjadi peluang terjadinya pernikahan dini.
“Dari segi masalah kesehatan reproduksi pada ibu, organ-organ
reproduksi belum siap dan bahkan cenderung membuat angka kematian ibu
melahirkan meningkat, selain itu juga akan melahirkan bayi dengan kualitas
kesehatan yang rendah. Serta meningkatkan angka perceraian yang mencapai
50% dan itu menimbulkan persoalan baru”.32
Perkawinan di bawah umur memang cukup besar di Negara Indonesia.
Walaupun di dalam hukum Islam tidak adanya batasan usia untuk menikah tetapi
tingkat kedewasaan seseorang harus sudah terpenuhi. Namun, nyatanya
perkawinan di bawah umur mempunyai sisi negative, sebagai berikut:
32“Pernikahan Dini
1. Dari sisi kesehatan, kehamilan atau melahirkan anak di bawah usia 20 tahun
lebih rentan bagi kematian bayi dan ibunya, melahirkan yang sehat menurut
ilmu kedokteran adalah antara usia 20-35 tahun.
2. Dari segi fisik, pasangan usia belia masih belum mampu dibebani suatu
pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik untuk mendatangkan
pendapatan yang mencukupi kebutuhan keluarga.
3. Dari segi mental, pasangan yang masih belia masih belum siap bertanggung
jawab secara moral mengenai apa saja yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Dari segi pendidikan, usaha pendewasaan usia pernikahan dimaksudkan buat
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi yang lebih berguna buat
menyiapkan masa depannya.
5. Dari segi kependudukan, perkawinan usia dini adalah masa yang tingkat
kesuburannya tinggi sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang
kesejahteraan.
6. Dari segi kelangsungan rumah tangga, pernikahan dini lebih rentan dan rawan
perceraian mengingat mereka belum stabil, tingkat kemandiriannya masih
rendah.33
Kesimpulannya, Di Indonesia bentuk perkawinan di bawah umur
bermacam-macam sebabnya salah satunya kurangnya factor pendidikan
33
Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia; Modul Pelatihan
untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi dalam Perspektif Pluralisme, Cet-1, (Jakarta: LKAJ, 2003),
dikalangan anak Indonesia menyebabkan pergaulan bebas yang membuat anak
Indonesia banyak yang melakukan hubungan seks sebelum waktunya.Sebab dari
itu banyak yang melakukan perkawinan di bawah umur dan menciptakan angka
perceraian cukup tinggi.
2. Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur Di Pakistan
Pakistan adalah Negara yang tinggi akan perkawinan di bawah umur.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional 2015 dimana 34,8%
anak perempuan usia di bawah 18 tahun yang menikah, dengan laki-laki 15,2 %
menikah di bawah usia 15 tahun.34Perkawinan di bawah umur di Pakistan diatur
kedalam UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child Marriage Restraint Act) sebagaimana diamandemen oleh Ordonansi No. 8 Tahun 1961 (MFLO). Di mana didalam Undang-Undang tersebut memberikan hukuman
terhadap pelaku perkawinan dibawah umur dengan hukuman penjara paling lama
satu bulan atau denda setinggi-tingginya seribu rupee atau kedua-keduanya.35
Seperti Kasus yang terjadi di Paksitan yang dilansir Emirates, menurut Mehr Raiz kepolisian Pakistan yang menangkap enam orang yang diduga
melakukan perkawinan di bawah umur.
34Ini Penyebab Maraknya Pernikahan Dini, Liputan6.com, 16 April 2016, Diakses dari
http://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini.
35Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
“Polisi telah menangkap enam orang yang diduga mengatur pernikahan
bocah laki-laki usia tujuh tahun dan bocah perempuan usia enam tahun itu. Yang
di lakukan oleh kedua orang tua dari dua bocah Pakistan, berusia tujuh dan enam
tahun ini. Terungkap sebuah video kedua bocah di bawah umur itu
dinikahkan.Dengan itu kepala polisi setempat, Mehr Riaz Hussain menangkap
enam orang yang diduga mengatur pernikahan bocah tersebut.Mereka didakwa
melakukan pernikahan di bawah umur, dan dihukum penjara selama enam bulan,
serta denda 50 ribu rupee”.36
Meskipun pelarangan perkawinan di bawah umur (Child Marriage) itu
telah diberlakukan sejak tahun 1929 di Pakistan, problemnya masih berlangsung
hingga sekarang. Masalah ini terkait dengan sejumlah masalah kemasyarakatan
dan adat yang telah mengakar dalam masyarakat, seperti adat barter perkawinan,
adat kawin paksa atau adat perkawinan yang diatur sepenuhnya oleh orang tua,
adat penyerahan perempuan dan anak-anak sebagai akibat konflik antar suku,dan
lain-lain.
Menurut Dewan Ideologi Islam (CII) salah satu lembaga keagamaan dan
konstitusional yang paling berpengaruh di Pakistan, mengumumkan bahwa
gadis-gadis di Pakistan hanya boleh menikah ketika mereka sudah mencapai
36“Di Pakistan, Orangtua Dibui Nikahkan Anak di Bawah Umur”,
Viva.co.id, 16 April 2016,
diakses dari
masa pubertas. Dan perkawinan di bawah umur di Pakistan bisa dihapuskan
apabila mengimplementasikan hukuman dengan baik, seperti yang dilansir dari
the Guardian, menurutnya “…Jika hukum ini diimplementasikan dengan baik,
maka hak-hak anak perempuan di Pakistan untuk tetap bersekolah dan menikah
setelah mereka dewasa akan terpenuhi.Budaya atau adat Pakistan yang
membolehkan pernikahan anak dikenal dengan sebutan vani atau swara, dimana
anak-anak perempuan dinikahkan untuk mengurangi risiko kejahatan dari
anggota keluarga mereka yang laki-laki...”37
Jadi, Perkawinan di bawah umur di Pakistan marak terjadi karena faktor
adat yang cukup tinggi. Walaupun, di Pakistan sudah melakukan pembaharuan
hukum keluarga mengenai perkawinan anak tetapi kenyataannya sampai
sekarang perkawinan di bawah umur masih marak terjadi.
37
“Dewan Ideologi Islam Pakistan Larang Keras Pernikahan anak”, Republika.co.id, 20 Mei
2016, diakses dari
BAB III
SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN PAKISTAN
A. Pembentukan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan 1. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, Negara ini
memiliki letak geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini
dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada diantara dua samudera (Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik) dan dua benua (benua Asia dan Australia)
Indonesia juga memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan
Internasional. Letak Astronomis wilayah Indonesia yaitu 6O LU – 11O. 08‟LS
dan 95o BT-141O. 45‟ BT.38 Indonesia terdiri dari 360 suku bangsa, mereka
mendiami pulau dan memiliki adat dan kebudayaannya sendiri. Pada tanggal 01
Juli 2015 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 255.461.700 jiwa.39 Indonesia
adalah Negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
a. Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial
Sejarah hukum keluarga di Indonesia dimulai pada zaman Prakolonia
yang juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan. Pada masa ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya masyarakat.
38
M. Thayeb, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk kelas SD kelas V, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.8.
39
Arsyad Umar, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas IV, (Jakarta: Erlangga, 2007), h.10.
Hukum tidak bisa terlepas dari budaya masayarakat dan agama. Seperti yang
dijelaskan dalam beberapa literature, jauh sebelum datangnya penjajah dari
Eropa, masyarakat Indonesia telah mengenal beberapa macam hukum seperti
hukum adat dan hukum Islam (pasca datangnya Islam). Hukum adat misalnya,
telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam datang.
Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang
kemudian terjadi adaptasi serta adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat
setempat, sehingga pada perkembangannya ajaran Islam dan budaya lokal
menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan budaya baru (perpaduan
antara tradisi local dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa
daerah seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan
yang terkenal “hukum adat bersendikan Syara‟ dan Syara‟ bersendikan
kitabullah (Al-Qur‟an).40
Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan hukum Islam sebelum
datangnya penjajah hingga datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan
klasik yang terbentuk kala itu, seperti lembaga tahkim, kemudian dalam perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan Serambi atau juga
Peradilan Mesjid dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian
menjadi Peradilan Agama hingga sekarang. Hal ini telah menunjukan pengaruh
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya
kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata, terutama dalam bidang
hukum perkawinan atau keluarga.41
b. Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial
Zaman Kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke
Indonesia, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia
yaitu Jepang.Hasil dari penjajahan kolonialis Belanda telah mengusik
keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum
yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary law), maupun hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh masyarakat
pribumi yang dikuasai oleh pemerintah kolonialis Belanda, hingga
diberlakukanlah sistem Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda
atau sering disebut sebagai Hukum Barat berupa hukum sipil (civil law).42
Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan roda
kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam instruksi Gubernur
Jenderal yang ditunjukan kepada para Bupati, khususnya disebelah utara pantai
Jawa, yang intinya adalah agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk
41
Ali Sodikin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah,Metodologi dan Impementasinya di Indonesia,
(Yogyakarta: Beranda, 2012), h.182.
42 A Qodri Azizy,Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”,
menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam.
Bahkan, konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari 1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No.152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama), walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut paham
reception in complex, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya.43Melalui kantor dagang Belanda
(VOC), dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC
bagi orang Indonesia. resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer,
yang merupakan legislasi Hukum Islam pertama Indonesia.44
Berdasarkan Stbl Nomor 55 tahun 1982, Compendium Freijer yang sebagian diperbaharui itu kemudian dicabut secara berangsur-angsur pada abad
ke-19. Dengan demikian, berakhirlah riwayat hukum perkawinan Islam yang
tertulis dan dicukupkan dengan menumpang pada pasal 131 ayat [2] sub b IS
[indische Staatsregeling] yang merupakan kelanjutan dari Pasal 75 redaksi lama
Regelings Regrement [RR] tahun 1854, yang hanya mengatur masalah pendaftaran perkawinan, sedangkan dasar perkawinan adalah hukum adat.
43
Amrullah Ahmad,dkk,Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), h.55.
44
Idris Ramulyo, Azaz-azaz Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta:
Dengan dicabutnya Compendium Frijer tanggal 3 Agustus 1828, secara tekstual
hukum perkaiwnan yang berlaku adalah Hukum Adat, kecuali agama Kristen
berlaku HOCI [Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java Minahasa an Amboina] yakni UU Perkawinan Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon.45
Pada waktu pemerintahan Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596
melalui VOC, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap
dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum
(keluarga) islam telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui
sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan
kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana
mestinya. Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan
membawa serta hukum negaranya untuk menyelesaikan masalah diantara
mereka sendiri.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun
1800-1811.Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan
Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan
mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun, melihat
kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat
dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C Van Den Berg bahwa
45
Yayan Sopyan,Islam-Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama
mereka, yaitu Islam.
c. Hukum Keluarga Pasca Kemerdekaan
Masa awal kemerdekaan, keinginan membuat hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berciri khas ke-Indonesiaan tetap ada [UU No.
22/1946]. Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.Uniknya,
justru UU inilah yang pertama kali dibuat oleh bangsa Indonesia.sayangnya UU
perkawinan ini hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura saja. Kemudian
Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia
merdeka ini diperluas wilayah berlakunya untuk Indonesia dengan UU No. 32
Tahun 1954, yakni Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Keberadaan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini adalah sebagai kelanjutan
dari Stbl. No. 198 Tahun 1895.46
Sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun 1929
jo. Stbl. No.467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl. No.
98 Tahun 1933. Aulawi mencatat seyogianya Undang-undang UU No. 22 Tahun
1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi karena keadaan belum
memungkinkan maka diberlakukan untuk Jawa dan Madura. Kemudian
diberlakukan di seluruh Indonesia pada tahun 1954 dengan diundangkannya UU
46
Arso Sosroatmodjo & A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.II, (Jakarta: