• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Melangsungkan Perkawinan di Luar negeri .

Kita Perlu mengetahui bahwa ada Yurisprudensi Mahkamah Agung ( MA) yaitu MA, yaitu putusan MA No. 1400 K/ Pdt/ 1986. Putusan MA tersebut menyatakan bahwa Kantor catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan Perkawinan Beda Agama. Selain adanya Yurisprudensi tersebut sekarang pencatatan Perkawinan beda Agama juga sudah diatur Pasal 35 huruf A Jo Pasal

34 Undang- Undang 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang mengatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan juga dilakukan Pencatatan ( Pada kantor catatan Sipil). Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan Perkawinan yang dilakukan oleh antar umat yang berbeda agama26 Pengaturan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Juga di bahas di Pasal 35 Huruf A Jo Pasal 34 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan

Pasal 34 Undang- Undang Administrasi Penduduk

1. Perkawinan yang Sah Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan

2. Berdasarkan Laporan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register Akta Perkawinan dengan Menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan

3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri

4. Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang Beragama Islam kepada KUA Kecamatan

5. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat 2 wajib disampaikan kepada KUA Kecamatan kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 hari

6. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak memerlukan penerbitan Kutipan akta pencatatan sipil

7. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap UPTD Instansi Pelaksana

Pasal 35 Undang- Undang Administrasi Penduduk

1. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi

2. Perkawinan yang ditetapkan Oleh Pengadilan

3. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga asing yang bersangkutan

Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang- Undang Administrasi Penduduk yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat beragama yang berbeda agama. Penjelasan35 huruf a tersebut menyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 34 Undang- Undang Administrasi kependudukan berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dapat dilihat dalam

penjelasan Pasal 35 a Undang-undang Administrasi kependudukan yaitu perkawinan yang dilakukan antar umat berbeda agama. Mengenai ke mana perkawinan beda agama harus di catatkan? Apakah dicatatkan ke KUA? Atau KCS ( Kantor Catatan Sipil)? Karena tidak dijelaskan secara tegas dan spesifik Jika Perkawinan beda agama antara Pasangan agama Non Islam dan Non Islam jelas pencatatannya di KCS. Akan tetapi bagaimana perkawinan salah satu mempelainya yang satu beragama Islam dan yang satunya beragama Islam, Apakah Perkawinan beda Agama seperti itu dapat di catatkan ke KUA Kecamatan? Untuk Itu kita dapat merujuk pada pengaturan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ( PP No. 9 /1975).

Dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 9/1975 dikatakan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan Pegawai Pencatat. Melihat dari Pasal tersebut, dapat dilangsungkan bahwa hanya perkawinan yang di langsungkan menurut agama Islam yang dicatatkan pada KUA. Ini berarti perkawinan beda agama, jika dilakukan dengan penetapan pengadilan, dicatatkan di kantor catatan sipil. Namun demikian, perkawinan yang dapat dicatatkan adalah perkawinan yang sesuai hukum agama dan kepercayaannya itu Sebagaimana diketahui bahwa masalah perkawinan bukan sekedar merupakan masalah pribadi dari mereka yang hendak melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi juga merupakan masalah yang berkaitan dengan keagamaan yang erat sekali hubungan dengan kerohanian seseorang. Sebagai Masalah keagamaan, karena setiap agama mempunyai aturan sendiri- sendiri

tentang Perkawinan, maka pada prinsip Perkawinan diatur dan tunduk pada ketentuan- ketentuan dari ajaran agama yang dianut.

Di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena perkawinan ini juga menyangkut hubungan antar manusia, maka perkawinan dapat dianggap juga sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya di mana pun juga pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan- peraturan hukum adalah dibidang hukum perkawinan27. Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini, pergaulan manusia tidak dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang lingkupnya kecil dan sempit, seperti pembatasan golongan , suku , ras dan agama. Namun, hubungan antar manusia telah berkembang begitu pesatnya, sehingga menembus dinding- dinding yang sebelumnya menjadi pemisah bagi kelangsungan hubungan mereka. Adakalanya apa yang terjadi di lingkungan masyarakat belum sepenuhnya diatur secara tegas oleh perangkat peraturan- peraturan yang sudah ada, dalam kaitannya dengan masalah perkawinan dapat diambil sebagai contoh masalah perkawinan beda agama.

Keanekaragaman (Pluralitas) masyarakat di Indonesia yang menyatu dalam pergaulan hidup bersama serta ditunjang dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang, yang menyebabkan terkikisnya jurang pemisah dalam interaksi antar manusia dengan manusia yang lain. Semakin luas dan terbukanya hubungan antar manusia tersebut mempunyai dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, Dalam pergaulan hidup masyarakat tersebut sering kali

27 Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah- Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Alumni, 1978,hlm. 18. Dikutip dari buku hukum perkawinan beda agama Karangan

mereka mengadakan perbuatan hukum, antara lain saling mengingatkan diri dalam suatu perkawinan, tidak terkecuali perkawinan beda agama yang sampai saat ini di Indonesia, masih tetap berlangsung, terutama pada masyarakat kota yang heterogen. Namun, dalam kenyataannya ternyata perkawinan beda agama sejak dahulu hingga sekarang masih menimbulkan persoalan baik di bidang sosial, agama maupun di bidang hukum, meskipun dalam perkembangan dewasa ini terdapat peraturan yang mengaturnya secara tegas dam jelas. Walaupun demikian, bagi mereka yang sudah tidak terbendung cintanya yang sudah terlalu mendalam, mereka ini berupaya mencari cara untuk melangsungkan perkawinannya baik dengan cara penundukan hukum ke dalam salah satu agama pasangannya , atau tetap mempertahankannya agamanya masing-masing ataupun mereka melakukan perkawinan beda agama dengan tata cara kedua hukum agama pasangan mereka masing-masing, serta ada pula yang melangsung perkawinannya di luar negeri.Mudiarti Trisnaningsih dalam bukunya Relavansi kepastian hukum dalam mengatur perkawinan beda Agama di Indonesia, membagi perkawinan beda agama dalam praktiknya terdapat beberapa bentuk tahu model kasus. Berdasarkan hasil wawancara secara terbatas terhadap beberapa pasangan suami istri yang memilih tetap berpegang pada agama masing-masing maka ditemukan beberapa cara yang mereka lakukan beserta alasan atau motivasi yang secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut28 : Dalam kenyataannya di masyarakat kita dapat dibuktikan secara empiris memang demikian halnya, bahwa dalam praktiknya perkawinan beda agama dilakukan berdasarkan Otoritas agama, catatan sipil dan yang disahkan di luar negeri.

28 Mudiarti Trisnaningsih, Relavansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agama di Indonesia,Bandung: CV.Utomo, 2007, hlm.58

1. Berdasarkan Otoritas Agama

A. Pihak laki- laki beragama Islam dan pihak perempuan beragama Katolik yang melangsungkan perkawinan secara Katolik, Alasan Pihak laki- laki bahwa Tuhan Allah tidak mungkin menghukum umatnya yang berkehendak baik dan berbuat baik.

B. Pihak laki- laki yang beragama Katolik dan pihak perempuan ber-agama Islam yang melangsungkan perkawinan secara Katolik Alasan Jika Pihak perempuan bahwa agama Katolik tidak memperkenankan Poligami dan Perceraian

C. Pihak Laki- Laki beragama Islam dan Pihak perempuan beragama Katolik yang melangsungkan perkawinan secara Islam. Alasan Pihak Perempuan adalah bahwa perempuan harus turut suami.

D. Pihak laki- laki yang beragama Katolik dan pihak perempuan beragama Islam yang melangsungkan perkawinan secara Islam. Alasan Pihak laki- laki demi praktisnya saja agar disetujui oleh kedua orang tua dari Pihak perempuan.

2. Berdasarkan Catatan Sipil

A. Pihak Laki- laki beragama Islam dan Pihak perempuan beragama Kristen yang melangsungkan perkawinan di

catatan sipil , Alasan mereka karena ingin mempertahankan agama masing-masing dan tetap melangsungkan perkawinan

B. Pihak laki- Laki beragama Katolik dan pihak perempuan beragama Islam yang melangsungkan perkawinan di Catatan Sipil, Alasan mereka karena masing-masing orang tua melarang untuk menikah dengan tata cara agama salah satu pihak

3. Berdasarkan Pencatatan Perkawinan di Luar Negeri

A. Pihak laki- laki beragama Islam dan pihak perempuan beragama Kristen yang akan melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia. Alasan mereka karena ingin mempertahankan agama masing-masing dan tetap melangsungkan perkawinan

B. Pihak laki- laki- beragama Kristen dan pihak perempuan beragama Islam yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia, Alasan mereka karena ingin mempertahankan agama masing-masing dan tetap melangsungkan perkawinannya

Tetapi sebagian warga masyarakat yang aspirasinya kurang mendapat respons yang memadai dari Pembuat Undang- undang atau dengan kata lain, hak warga negara Untuk menentukan Pilihan hidup dalam perkawinan khususnya yang beda agama, belum mendapatkan kepastian Hukum. Karena

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan hukum Positif yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia ternyata menampilkan sifat ganda.

Pertama, adanya pengaturan bahwa sahnya perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan yang dimaksud dengan perkawinan campuran, karena adanya perbedaan kewarganegaraan- nya hal ini menyebabkan sulit untuk menyelenggarakan perkawinan beda agama. Kedua adanya anggapan bahwa sahnya perkawinan dapat didasarkan hukum negara lain, meskipun tidak berdasarkan agama, hal ini menyebabkan dimungkinkannya terselenggaranya tersebut kemudian memunculkan praktik pura- pura pindah gana untuk memudahkan proses perkawinan di dalam negeri dan praktik perkawinan di luar negeri bagi warga negara yang mampu secara finansial

Banyak persoalan- persoalan yang akan timbul dalam perkawinan beda agama, sehingga masyarakat mempunyai cara- cara tersendiri untuk mengatasi persoalan perkawinan beda agama. Bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan perkawinan di luar Indonesia dengan cara pindah agama pada salah satu pihak dapat ke agama calon suaminya atau sebaliknya ke agama calon istrinya agar perkawinan menjadi mudah dan sah untuk memperoleh pengakuan pemerintah maupun masyarakat, meskipun setelah itu mereka kembali ke agamanya masing-masing atau tetap menganut agama yang baru dianutnya. Selain pindah agama, bagi mereka dapat juga melakukan perkawinan melalui catatan sipil setelah memperoleh izin kawin dari Kantor Urusan Agama bagi pemeluk agama Islam, dan izin dari kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam, sedangkan bagi mereka yang mampu akan melaksanakan perkawinannya di luar Indonesia,

dan setelah melaksanakan perkawinan, mencatatkan perkawinannya di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggalnya.

Perkawinan beda agama di Luar Indonesia tidak akan menimbulkan masalah bagi mereka yang mampu Finansialnya tetapi berbeda dengan pasangan perkawinan beda agama, akan menimbulkan masalah bagi yang kurang mampu finansialnya maka secara tidak langsung, Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang perkawinan melakukan diskriminasi antara sih kaya dan sih Miskin bagi Pasangan Perkawinan beda Agama. Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip- Prinsip HAM itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu Komponen HAM yang di jamin oleh UUD NRI sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang, kebebasan agama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah- masalah agama.

Seacara filosofis , pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita- cita penegakan HAM di Indonesia. Pengaturan mengenai hak- hak dasar dalam bidang perkawinan tidak diselaraskan dengan peraturan perundangan-lainya. Pasal 10 ayat (2) Undang- Undang HAM secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua Pihak. Dalam hal ini prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak

bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini prinsip atau asas utama yang dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak bebas adalah kehendak yang lahir dari niat suci tanpa paksaan, penipuan, tekanan apa-pun dan dari siapa-pun terhadap calon suami dan atau calon istri, Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan menurut undang – Undang HAM hanya dipandang dari aspek perdatanya saja. Di sini , tidak ada unsur agama yang dikedepankan dalam sebuah perkawinan. Sementara perkawinan yang diatur oleh Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda, bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut artinya , antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia. Padahal Pasal 3 ayat (3) Undang- Undang HAM menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin undang- undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, pihak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh dikurangi atau direduksi Oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini.

Penolakan terhadap pencatatan yang dilakukan oleh pasangan beda agama merupakan sebuah tindakan diskriminasi berdasarkan agama. Di sisi lain, Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak memberikan secara tegas larangan mengenai perkawinan beda agama tidak diperbolehkan maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam undang-undang Hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk dalam hukum positif nasional. Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat

diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang- Undang karena menyangkut masyarakat secara umum.

Sayangnya Undang- Undang HAM sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang Perkawinan , yaitu sah dari aspek agama dan sah dari aspek administrasi. Sebagai sebuah ikatan lahir batin yang suci, perkawinan tidaklah dapat dibatasi atas dasar perbedaan agama. Bila tidak, negara dapat dikatakan turut campur mengatur masalah- masalah pribadi seseorang. Saat ini telah berkembang pendapat di dalam masyarakat agar negara tidak mengintervensikan kehidupan beragama di Indonesia. Dalam hal ini negara hanya mencatatkan setiap perkawinan yang didaftarkan.

Sementara, Perkawinan yang diatur oleh Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda. Bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Yang artinya antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia. Padahal Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang HAM menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, pihak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh direduksi oleh faktor agama.

Dari pernyataan- pernyataan tersebut terlihat ada perbedaan antara konsepsi perkawinan berdasarkan Undang- Undang HAM dan pengaturan perkawinan berdasarkan Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di sisi lain, Undang- Undang HAM hanya mensyaratkan faktor kehendak bebas calon suami/istri, sementara di sisi lain Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menetapkan persyaratan yang tidak hanya sekedar kehendak bebas calon suami/istri perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui negara sebagai salah satu hak dari setiap warga negara. Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sendiri sudah menyatakan bahwa perkawinan sudah merupakan ikatan lahir batin. Oleh sebab itu, negara tidak boleh ikut campur dalam hal batin warga negaranya karena merupakan lingkup hak asasi warga negara.

4. Perkawinan Beda Agama Masih Terdapat Kekosongan Hukum

Dokumen terkait