• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Perkawinan Beda Agama"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PEMBAHASAN & ANALISA

PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hasil Penelitian

1. Periode sebelum Kemerdekaan. ( Sejarah Undang – Undang Perkawinan sebelum Masa Kemerdekaan)

(2)

Di atas telah disinggung bahwa sebelum berlakunya undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia masih belum ada keseragaman dalam melangsungkan perkawinan campuran khususnya Perkawinan beda agama. Pelaksanaannya berdasarkan hukum dan golongan masing-masing. Karena itu perkawinan campuran merupakan perkawinan antara sistem hukum. Sehingga untuk mengatur perkawinan harus diberlakukan beberapa landasan hukum dan ketentuan -ketentuan perundang-undangan yang berbeda , antara lain:

Keanekaragaman masyarakat di Indonesia, akhirnya melahirkan pula keanekaragaman

1. Bagi orang- orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah dilebur dengan hukum adat;

2. Bagi orang- orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat. 3. Bagi orang- orang Indonesia asli yang beragama kristen

berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) Stb. 1933 No. 74;

4. Bagi orang- orang Timur Asing China dan Warga Negara Indonesia keturunan China berlaku ketentuan- ketentuan KUH Perdata dengan sedikit Perubahan;

5. Bagi orang orang-orang Timur Asing lainya dan Warga Negara Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat merdeka; dan

(3)
(4)

Prosedur perkawinan beda agama yang diatur dalam Pasal 7 ayat (!) Gemengde Huwelijken Regeling (GHR), bahwa untuk menyelenggarakan suatu perkawinan Campuran, sebelumnya harus sudah terbukti si calon istri telah memenuhi syarat untuk dapat kawin yang persyaratannya ditentukan bagi calon istri Kristen umur yang cukup untuk kawin dan izin kawin kalau belum cukup umur, sedangkan bagi wanita islam yang akan melangsungkan Perkawinan Campuran harus dipenuhi dengan adanya wali dan saksi.

b) Periode kemerdekaan Sampai dengan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai Dengan sebelum lahirnya Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia masih belum memiliki Undang-undang perkawinan sendiri dan pengaturan Perkawinan di Indonesia masih menggunakan Undang-undang Perkawinan buatan Belanda.

16

Perundang-undangan atau pengaturan perkawinan buatan Belanda secara yuridis harus memiliki legitimasi yang kuat, yakni konstitusi negara. Karena dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah berdasarkan 3 (tiga) konstitusi, maka perlu dikemukakan dasar berlakunya perundang-undangan buatan Belanda, dalam hal ini termasuk perundang-undangan perkawinan berdasarkan ketiga konstitusi yang pernah berlaku, UUD 1945,17 UUD RIS 194918, UUD Sementara

16 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang

Perkawinan,Yogyakarta:Liberty,Cet.Ke-4, 1999, hlm. 2-3.

17 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945: Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih

langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

18 Pasal 192 ayat (1) UUD RIS Tahun 1949: Peraturan – peraturan undang-undang dan ketentuan

tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak

(5)

1950,19 serta Dekrit Presiden 1959 ,20. Pemberlakuan Perundang-undangan Perkawinan buatan kolonial Belanda yang memperoleh legitimasi secara konstitusional tersebut pada dasarnya hanya bersifat sementara agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam bidang hukum perkawinan. Berdasarkan dasar pemberlakuan tersebut untuk selanjutnya akan dikemukakan perundang-undangan perkawinan buatan Belanda yang berlaku di Indonesia Hingga 1974. Dengan berpedoman pada pasal 66 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijiken Stb. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Maka peraturan- peraturan tentang perkawinan yang berlaku sebelum adanya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-undang ini. Timbul suatu permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan

selama dan sekedar peraturan dan ketentuan - ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah

oleh undang- undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha atas kausa konstitusi ini.

19 Pasal 142 UUDS 1950: Masih tetap berlaku peraturan-peraturan undang-undang yang sudah

ada pada tanggal 17 Agustus 1950, selama dan sekedar peraturan-peraturan itu tidak dicabut,

(6)

Nomor 1 Tahun 1974, di mana pasal 57 menegaskan bahwa,” yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak ber -kewarganegaraan Indonesia”

Dengan melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat , bahwa perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan kantor catatan sipil ternyata memberikan wadah bagi pencatatan perkawinan beda agama, maka anggapan masyarakat tentang perkawinan beda agama sudah sah , menurut hukum negara dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya masing-masing diserahkan kepada kehendak para pihak yang bersangkutan

Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan begitu juga dengan perkawinan beda agama. Dalam Perkawinan beda agama, syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh pihak -pihak yang akan melaksanakan perkawinan tanpa adanya perbedaan agama dari masing-masing pihak. Setelah terpenuhi syarat-syarat dari perkawinan tersebut, maka kantor catatan sipil kan melakukan proses pencatatan akta perkawinannya.

(7)

Nomor 9 Tahun 1975. Sedangkan Peraturan yang lama masih ordonansi perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 masih terjadi silang pendapat, boleh atau tidaknya dijadikan dasar untuk pelaksanaan perkawinan beda agama. Mengenai adanya silang pendapat tentang boleh atau tidaknya bagi pelaksanaan perkawinan beda agama, apabila ditelusuri Peraturan Perkawinan Campuran yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda ini, yang memiliki tujuan untuk mengatasi masalah perkawinan yang timbul antara seseorang dengan yang lainnya , akibat adanya pengelompokan golongan penduduk yang diciptakan pemerintah zaman Kolonial Hindia Belanda dahulu. Pengelompokan tersebut diasarkan pada Pasal 163 IS (Inische Staatsregeling). Menurut Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda terjadi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : (1) golongan Eropa, (2) golongan Bumi Putra, (3) Golongan Timur Asing. Di samping itu, diberlakukannya GHR oleh pemerintah Hindia Belanda tidak terlepas dari keanekaragaman hukum perkawinan yang dicipatakan nya.

Untuk menyesuaikan diri dengan dengan keanekaragaman hukum perkawinan yang ada, GHR tersebut mengalami beberapa perubahan dan tambahan melalui berbagai peraturan yang dimuat dalam beberapa Staatsblad (Penetapan raja pada tanggal 29 Desember 1896 No. 23=Stn. 1901/343, 1902/311, 1907/205, 1918/30, 159, 160 dan 161, 1919/81 dan 816, 1931/168 jo. 423).

(8)

sementara memang sangat sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu. Di mana dunia perdagangan sangat pesat dan menyebabkan terjadinya proses asimilasi masyarakat dalam bidang hukum perkawinan misalnya terjadi perkawinan antara orang Bumi putra dengan orang Arab, antara orang Bumi Putra dengan Orang Tionghoa, antara orang Bumi Putra dengan Orang Eropa dan lain- lain sebagainya. Sesuai dengan tujuan pembuatan Peraturan Perkawinan Campuran maka bunyi Pasal 1 GHR tersebut, ternyata membawa akibat dengan timbulnya dua pendapat atau aliran yang saling bertolak belakang yaitu (1) aliran yang setuju dimasukkan nya perkawinan beda agama ke dalam perkawinan campuran, (2) aliran yang tidak setuju di masukanya perkawinan beda agama ke dalam perkawinan campuran.

Para sarjana, Seperti Nederburgh, Lemaire, Kollewijn, Gow Giok Siong, Wirjono Prodjodikoro, dan Sunaryati Hartono berpendapat bahwa perkawinan beda agama termasuk ke dalam perkawinan campuran. Pendapat mereka didasarkan pada penfasiran secara luas bunyi Pasal 1 GHR. Selain itu, mereka juga mendasari pendapat tersebut berdasarkan Yurisprudensi Indonesia mengenai Perkawinan Campuran, di mana menurut Yurisprudensi Indonesia itu, Perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran. Yurisprudensi tersebut dapat dilihat pada Putusan MA RI No. 245 K/ 1953 tanggal 16 Februari 1953 yang menyatakan sebagai berikut

(9)

Perkawinan Campuran Stb. 1898-158 yang dalam Pasal 7 ayat (3) menentukan bahwa dalam hal ini harus ada keterangan dari kepala Kantor Urusan Agama di tempat, bahwa tidak ada halangan untuk perkawinan itu perkawinan itu Keterangan Kepala Kantor Urusan Agama ini dapat dianggap selaku pengganti pada wali Mujbir yang termasuk di atas, sedangkan menurut Pasal 7 ayat (2) pemberian keterangan ini tidak boleh ditolak berdasarkan atas perbedaan agama, kebangsaan ataupun keturunan”.21

Berdasarkan Yurisprudensi tersebut, para sarjana kelompok pertama ini menyetujui bahwa perkawinan beda agama termasuk ke dalam Perkawinan Campuran. Menurut mereka, Perlakuan Hukum ( Perkawinan beda Agama terhadap masing-masing golongan penduduk terdapat perbedaan yang bagi golongan Bumi Putera dan Timur Asing Bukan Tionghoa, agama dan tempat tinggal merupakan faktor penentu dalam melaksanakan perkawinan tersebut. Sedangkan, bagi golongan Eropa dan Tionghoa , agama dan tempat tinggal bukanlah merupakan Faktor penentu bagi dilangsungkannya perkawinan beda agama.

(10)

nyatakan sebagai berikut : “Perkawinan antara seseorang Pria bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas Permintaan kedua belah Pihak suami istri tersebut dapat diteguhkan dengan melakukan segala aturan ordonansi ini, sehingga perkawinan itu seluruhnya takluk pada ordonansi ini”22. Dari ketentuan Pasal 75 di atas , kiranya HOCI tersebut telah memberikan peluang bagi diadakannya perkawinan beda agama, sekaligus juga memberikan peluang bagi si Istri untuk tidak mutlak mengikuti status hukum suaminya.

2. Periode Setelah Berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. ( Sejarah Undang – Undang Perkawinan setelah Berlakunya Undang – Undang Perkawinan)

Kalau sebelum berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan beda agama dimungkinkan adanya melalui Perkawinan Campuran (GHR) maupun HOCI yaitu dengan cara memberikan pengertian secara luas, maka dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pengertian campuran tidak mungkin lagi diperluas pengertiannya dengan memasukkan perkawinan beda agama. Pengertian Perkawinan Campuran dalam Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah dipersempit sedemikian rupa, sehingga yang dimaksud Perkawinan Campuran yaitu hanya perkawinan antara dua orang yang di Indonesia Tunduk kepada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak ber-kewarganegaraan Indonesia.

(11)

Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan dan Pasal 1 GHR di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan lebih sempit dari pada pengertian Campuran menurut GHR. Sedangkan Pengertian Perkawinan Campuran menurut Undang- Undang Perkawinan lebih sempit dari pada pengertian Campuran menurut Undang-Undang Perkawinan adalah “Perkawinan Campuran yang disebabkan oleh Perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia” sedangkan Perkawinan Campuran menurut ketentuan GHR adalah “ perkawinan antara orang- orang yang di Indonesia tunduk pada hukum – hukum yang berlainan”, dengan tidak ada pembatasan dipertegas dalam Pasal 7 ayat (2) GHR. Dengan demikian, Perkawinan Campuran yang dimaksud dalam Pasal 1 GHR bukanlah termasuk Perkawinan Campuran yang dimaksudkan oleh Pasal 57 Undang-undang Perkawinan. Lebih tegasnya, Pasal 57 Tersebut, baik secara tertulis ( tersurat) maupun secara tersurat maupun implisit ( tersirat) sama sekali tidak mengatur perkawinan beda agama.

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan Campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam Undang- Undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Dinas kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak mau mencatatakan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Ada pula Dinas pendudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan menurut hukum suami, sehingga istri mengikuti status hukum suami.

(12)

hukum masing-masing agama atau kepercayaannya artinya, jika perkawinan kedua suami istri adalah sama , tidak ada kesulitan. Tetapi, jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaannya itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaannya calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaannya dari calon lainnya.

Dalam Praktiknya di Indonesia, Perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu pihak cara baik dari hukum agama atau kepercayaannya si suami atau calon istri. Artinya salah satu calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau hukum agama atau kepercayaan pasangannya. Hal ini sejalan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, 23tercakup di dalamnya kesamaan hak asai untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama undang- undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang dijaminnya Oleh Negara Kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing24. Di samping kekosongan hukum, dalam kenyataan hidup di Indonesia masyarakat yang bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan beda Agama.

23 Pasal 27 UUD NRI

(13)

Berdasarkan Pasal 56 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama Warga Negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di mana perkawinan itu Berlangsung. Di sisi lain, Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Bila memang perkawinan beda agama tidak diperbolehkan, maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam undang-undang hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang termasuk hukum positif nasional. Oleh sebab itu kaedah- kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung dalam undang-undang karena menyangkut masyarakat umum.

Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan beda agama tersebut Pasal 10 Undang – Undang Hak Asasi Manusia tersebut menyatakan:

1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah

2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan .

(14)

Perkawinan setiap warga negaranya dengan tujuan ada perlindungan nantinya bagi mereka yang melakukan perkawinan itu. Selain dari jiwa Pasal 27 Undang – Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ semua warga negara bersamaan dengan kedudukan dalam hukum “. Di sini warga negara, sekalipun berlainan agamanya. Namun, bukan negara yang menentukan cara perkawinan tersebut. Negara Hanya memberikan Pengakuan.

(15)

beragama Kristen. Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, penerimaan perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar asas- asas Hak Asasi Manusia. Dan apabila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan dampak sosial baru.

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita- cita negara hukum. Salah satu tujuan fundamental dari pembangunan hukum adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum. Di sini Menurut saya negara harus benar – benar secara serius menjamin hak- hak dasar warga negara. Dan demikian Juga dengan Hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakuinya perkawinan ini antara lain harus sebagai bentuk harmonisasi ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang Hak Asasi Manusia terhadap peraturan perundang-undangan lainya . Negara bertugas dan berwenang mengatur dan memberikan pelayanan kenegaraan kepada seluruh warga negara yang berkeyakinan agama apa pun. Termasuk menyelenggarakan perkawinan beda agama.

(16)

hukum), karena perbedaan agama adalah sifat dan ciri khas dari negara berdasarkan hukum dan Pancasila. Tidak ada pengaturan mengenai perkawinan beda agama di dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipahami dan merupakan cerminan bangsa Negara Kita betapa alotnya pembicaraan untuk memutuskan Pasal 2 ayat (1) tersebut.

Pasal 10 ayat (1). Undang – Undang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang di maksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang sah dari aspek agama dan aspek administrasi.

B. Analisis

(17)

Terdapat dua ( dua) catatan Penting berkaitan dengan Legalitas Perkawinan diatur dalam UU No. 1. Tahun 1974 pertama, berkaitan dengan sah nya perkawinan yang dilakukan di Indonesia, dan Kedua adalah sahnya Perkawinan yang dilakukan di Luar Indonesia. Kedua cara ini sama-sama memiliki kekuatan hukum yang sama atas sahnya suatu Perkawinan , meskipun memiliki dasar yang berbeda dan tentunya pula membawa konsekuensi yang berbeda pula.

1) Perkawinan di Indonesia Pasal 2 ayat 1

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu

Pasal 2 ayat 2

Tiap-tiap perkawinan di catat menurut perundang-undangan yang berlaku.

2) Perkawinan di Luar Indonesia Pasal 56 ayat 1

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara warganegara Indonesia atau seseorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar Undang- Undang ini.

(18)

Dalam waktu 1 ( satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan Tempat Tinggal Mereka.

Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 56 ayat (1) dan (2), secara tegas dikatakan bahwa sahnya Perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan Agama. Sedangkan Pencatatan merupakan aspek administratif demi ketertiban sebagai warga negara. Pada sisi lain, perkawinan di luar Indonesia yang hanya memperhatikan aspek keperdataannya saja, maka artinya sahnya Perkawinan hanya semata-mata berdasarkan kesepakatan dan seterusnya dicatat secara administratif.

2. Keabsahan Perkawinan di Indonesia

Pengaruh agamawi lebih terasa lagi kalau mempelajari Pasal 2 UU Perkawinan yang secara redaksional menyatakan :

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(19)

satu kalau melangsungkan perkawinan, pasti akan berbeda dengan pemeluk agama lain, sehingga keanekaragaman tata cara melangsungkan perkawinan tak terhindarkan lagi. Berangkat dari tata cara melangsungkan perkawinan bagi masing-masing warga negara, karena memiliki keyakinan agama yang tidak sama, keseragaman itu menjadi langka. Ujung-Ujungnya , tujuan Unifikasi UU Perkawinan ternyata hanya sebatas Pada kulitnya saja, sedang substansi perkawinan tetap beragam. Aura Pasal 2 UU Perkawinan yang sarat dengan Unsur agamawi ini, menyiratkan banyak problematika, sampai-sampai memancing debat berkepanjangan dan tidak menghasilkan satunya kata bulat dalam solusi. Tambahan Model pelangsungan kawin sesuai aturan ayat dalam pasal tersebut, tidak lain adalah pola pelangsungan kawin orang Islam yang sejak dulu mula selalu mengawali acaranya dengan ijab qobul lalu setelah usai, dicatat oleh petugasnya. Konsekuensinya setelah model tersebut dituang dalam aturan hukum nasional, maka segenap warga negara Indonesia, tanpa melihat agamanya , proses pelangsungan kawin wajib mengikuti apa yang tergaris seperti urutan kedua ayat Pasal 2 UU Perkawinan tersebut.

(20)

hanya tercapai pada kulitnya saja, yakni berupa bahwa setiap orang yang menyandang atribut warga negara Indonesia kalau kawin harus tunduk pada Undang- Undang yang sama. Sebatas ini saja unifikasi tersebut dapat direalisasikan, sedang substansi perkawinan tidak mungkin diseragamkan, khususnya menyangkut prosedur seperti yang ditetapkan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan di Atas. Penggaris bawahan substansi keabsahan perkawinan adalah lebih penting dari keseragaman prosedur. Ini merupakan salah satu konsekuensi kentalnya unsur agamawi dan Struktur UU Perkawinan. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab tidak utuhnya capaian UU Perkawinan guna salah satu penyebab tidak utuhnya capaian UU Perkawinan guna mewujudkan unifikasi. Memang sangat sulit untuk menghadirkan UU mewujudkan unifikasi. Memang sangat sulit untuk menghadirkan UU Perkawinan yang benar – benar capaian unifikasinya utuh dalam substansi, dan ini merupakan akibat dari sifat kompromistis, sebagai ajang menampung aspirasi banyak kepentingan.

Ketidakseragaman nampak pula kalau menyimpak Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan yang menegaskan bahwa tiap- tiap perkawinan dicatat sesuai peraturan perundangan. Kejelasan tidak seragamnya pencatatan ini akan nampak mana kala membaca Pasal 2 PP No. 9/1975 yang menetapkan

1. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang sebagaimana dimaksud dalam Undang Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

(21)

agama Islam , dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Ini

(22)

tahu bagaimana kedudukan hukum setiap warganya, selain pencatatan tersebut juga perlu bagi yang berangkutan yang mana salinanya diperlukan sebagai alat bukti diri pribadi. Dengan adanya pencatatan setiap perkawinan ke dalam register umum, pihak yang kawin, yaitu suami dan istri , akan memperoleh salinanya yang dapat difungsikan selaku alat bukti fakta hukum menyangkut kedudukannya dalam tatanan sosial.

(23)

struktur masyarakat yang bersangkutan, juga agama yang dipeluk oleh rakyatnya. Asas- Asas yang mendasari baik UU perkawinan maupun BW, sudah barang tentu juga berbeda, kendati ada beberapa prinsip yang mungkin sama. Maklum manusia di mana pun dan sampai kapan pun , akan memiliki ciri- ciri yang secara universal diakui secara simetris oleh setiap bangsa yang mengakibatkan citranya sebagai umat tetap sama. Falsafah Pancasila sebagai landasan hidup bangsa, oleh karenanya akan selalu dipergunakan sebagai sumber hukum tertinggi, maka sewaktu membuat hukum perkawinan, pemerintahan Indonesia konsisten pada falsafi yang dimiliki dengan konsekuensi UU Perkawinan yang diterbitkan dengan unsur agamawi. Sebagaimana umum memahami bahwa UU Perkawinan jelas merupakan salah satu penjabaran lanjut dari konstitusi. Kendati agama yang ada dan dipeluk anak Bangsa beraneka ragam, terbukti pemerintah berhasil menciptakan aturan perkawinan yang sifatnya kompromistis tanpa menafikan bobot martabat hidup berkelompok ini suatu pilihan yang tentu saja wajib, dipertanggung jawabkan dengan segala konsekuensi oleh segenap pihak.

(24)

suami istri berdasarkan hukum negara asing di mana perkawinan itu dilangsungkan , saat kembali ke tanah air, ditanggapi oleh beberapa kalangan pendapat yang berbeda- beda menyangkut keabsahannya. Begitulah Konsekuensi yang bermunculan sehubungan dengan hadirnya Pasal 2 UU Perkawinan tanpa dapat dicegah. Sampai kapan Persoalan ini mendapatkan solusi yang dapat diterima seluruh masyarakat , sulit untuk diprediksi. Harus diakui bahwa UU Perkawinan tidak memiliki ketentuan yang khusus untuk mengatur suatu perkawinan yang pihaknya berbeda agama. Menatap Pasal 2 UU Perkawinan, ternyata banyak mengunggah masalah yang tak kunjung usai telaahnya, meski sudah bermacam kiat diajukan untuk memberikan solusi. Tak banyak beda, baik di bagian Hulu maupun hilir Pasal 2 UU Perkawinan ini, persoalan terus mengular panjang tanpa kejelasan sampai kapan mendapatkan pemecahan yuridis yang diajukan, setiap kali tidak dapat diterima kalau disorot dari segi agama, demikian juga sebaliknya. Wacana Pasal 2 UU Perkawinan dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan, tak jarang mengguncang ruang- ruang seminar ataupun semiloka. Adu berbagai pendapat kian seru sekali gaungnya tanpa dapat dicegah, namun tetap saja tidak ditemukan satu pun kata untuk disepakat.

(25)

sendiri untuk menakar soal keabsahannya , Batu Ukur dalam Pasal 2 UU Perkawinan sudah barang tertentu tidak tepat kalau dikenakan pada jenis perkawinan warga Indonesia yang di langsungkan di luar negeri, akibat adanya unsur asing yang tersemat di dalamnya .

3. Hukum Perkawinan Pasangan Beda Agama di Indonesia Dan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Pada dasarnya, Hukum Perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan beda agama. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya25. Namun yang menjadi permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama . Akan tetapi , pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda Agama Di Indonesia. Guru besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof Wahyono Dharmabrata , menjelaskan ada 4 cara untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Indonesia.

1. Meminta Penetapan Pengadilan

2. Perkawinan dilakukan oleh masing- masing agama 3. Penundukan terhadap salah satu hukum agama 4. Melangsungkan Perkawinan di Luar negeri .

(26)

34 Undang- Undang 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang mengatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan juga dilakukan Pencatatan ( Pada kantor catatan Sipil). Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan Perkawinan yang dilakukan oleh antar umat yang berbeda agama26 Pengaturan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Juga di bahas di Pasal 35 Huruf A Jo Pasal 34 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan

Pasal 34 Undang- Undang Administrasi Penduduk

1. Perkawinan yang Sah Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan

2. Berdasarkan Laporan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register Akta Perkawinan dengan Menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan

3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri

4. Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penduduk yang Beragama Islam kepada KUA Kecamatan

(27)

5. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat 2 wajib disampaikan kepada KUA Kecamatan kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 hari

6. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak memerlukan penerbitan Kutipan akta pencatatan sipil

7. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap UPTD Instansi Pelaksana

Pasal 35 Undang- Undang Administrasi Penduduk

1. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi

2. Perkawinan yang ditetapkan Oleh Pengadilan

3. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga asing yang bersangkutan

(28)

penjelasan Pasal 35 a Undang-undang Administrasi kependudukan yaitu perkawinan yang dilakukan antar umat berbeda agama. Mengenai ke mana perkawinan beda agama harus di catatkan? Apakah dicatatkan ke KUA? Atau KCS ( Kantor Catatan Sipil)? Karena tidak dijelaskan secara tegas dan spesifik Jika Perkawinan beda agama antara Pasangan agama Non Islam dan Non Islam jelas pencatatannya di KCS. Akan tetapi bagaimana perkawinan salah satu mempelainya yang satu beragama Islam dan yang satunya beragama Islam, Apakah Perkawinan beda Agama seperti itu dapat di catatkan ke KUA Kecamatan? Untuk Itu kita dapat merujuk pada pengaturan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ( PP No. 9 /1975).

(29)

tentang Perkawinan, maka pada prinsip Perkawinan diatur dan tunduk pada ketentuan- ketentuan dari ajaran agama yang dianut.

Di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena perkawinan ini juga menyangkut hubungan antar manusia, maka perkawinan dapat dianggap juga sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya di mana pun juga pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan- peraturan hukum adalah dibidang hukum perkawinan27. Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini, pergaulan manusia tidak dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang lingkupnya kecil dan sempit, seperti pembatasan golongan , suku , ras dan agama. Namun, hubungan antar manusia telah berkembang begitu pesatnya, sehingga menembus dinding- dinding yang sebelumnya menjadi pemisah bagi kelangsungan hubungan mereka. Adakalanya apa yang terjadi di lingkungan masyarakat belum sepenuhnya diatur secara tegas oleh perangkat peraturan- peraturan yang sudah ada, dalam kaitannya dengan masalah perkawinan dapat diambil sebagai contoh masalah perkawinan beda agama.

Keanekaragaman (Pluralitas) masyarakat di Indonesia yang menyatu dalam pergaulan hidup bersama serta ditunjang dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang, yang menyebabkan terkikisnya jurang pemisah dalam interaksi antar manusia dengan manusia yang lain. Semakin luas dan terbukanya hubungan antar manusia tersebut mempunyai dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, Dalam pergaulan hidup masyarakat tersebut sering kali

27 Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah- Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,

(30)

mereka mengadakan perbuatan hukum, antara lain saling mengingatkan diri dalam suatu perkawinan, tidak terkecuali perkawinan beda agama yang sampai saat ini di Indonesia, masih tetap berlangsung, terutama pada masyarakat kota yang heterogen. Namun, dalam kenyataannya ternyata perkawinan beda agama sejak dahulu hingga sekarang masih menimbulkan persoalan baik di bidang sosial, agama maupun di bidang hukum, meskipun dalam perkembangan dewasa ini terdapat peraturan yang mengaturnya secara tegas dam jelas. Walaupun demikian, bagi mereka yang sudah tidak terbendung cintanya yang sudah terlalu mendalam, mereka ini berupaya mencari cara untuk melangsungkan perkawinannya baik dengan cara penundukan hukum ke dalam salah satu agama pasangannya , atau tetap mempertahankannya agamanya masing-masing ataupun mereka melakukan perkawinan beda agama dengan tata cara kedua hukum agama pasangan mereka masing-masing, serta ada pula yang melangsung perkawinannya di luar negeri.Mudiarti Trisnaningsih dalam bukunya Relavansi kepastian hukum dalam mengatur perkawinan beda Agama di Indonesia, membagi perkawinan beda agama dalam praktiknya terdapat beberapa bentuk tahu model kasus. Berdasarkan hasil wawancara secara terbatas terhadap beberapa pasangan suami istri yang memilih tetap berpegang pada agama masing-masing maka ditemukan beberapa cara yang mereka lakukan beserta alasan atau motivasi yang secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut28 : Dalam kenyataannya di masyarakat kita dapat dibuktikan secara empiris memang demikian halnya, bahwa dalam praktiknya perkawinan beda agama dilakukan berdasarkan Otoritas agama, catatan sipil dan yang disahkan di luar negeri.

(31)

1. Berdasarkan Otoritas Agama

A. Pihak laki- laki beragama Islam dan pihak perempuan beragama Katolik yang melangsungkan perkawinan secara Katolik, Alasan Pihak laki- laki bahwa Tuhan Allah tidak mungkin menghukum umatnya yang berkehendak baik dan berbuat baik.

B. Pihak laki- laki yang beragama Katolik dan pihak perempuan ber-agama Islam yang melangsungkan perkawinan secara Katolik Alasan Jika Pihak perempuan bahwa agama Katolik tidak memperkenankan Poligami dan Perceraian

C. Pihak Laki- Laki beragama Islam dan Pihak perempuan beragama Katolik yang melangsungkan perkawinan secara Islam. Alasan Pihak Perempuan adalah bahwa perempuan harus turut suami.

D. Pihak laki- laki yang beragama Katolik dan pihak perempuan beragama Islam yang melangsungkan perkawinan secara Islam. Alasan Pihak laki- laki demi praktisnya saja agar disetujui oleh kedua orang tua dari Pihak perempuan.

2. Berdasarkan Catatan Sipil

(32)

catatan sipil , Alasan mereka karena ingin mempertahankan agama masing-masing dan tetap melangsungkan perkawinan

B. Pihak laki- Laki beragama Katolik dan pihak perempuan beragama Islam yang melangsungkan perkawinan di Catatan Sipil, Alasan mereka karena masing-masing orang tua melarang untuk menikah dengan tata cara agama salah satu pihak

3. Berdasarkan Pencatatan Perkawinan di Luar Negeri

A. Pihak laki- laki beragama Islam dan pihak perempuan beragama Kristen yang akan melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia. Alasan mereka karena ingin mempertahankan agama masing-masing dan tetap melangsungkan perkawinan

B. Pihak laki- laki- beragama Kristen dan pihak perempuan beragama Islam yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia, Alasan mereka karena ingin mempertahankan agama masing-masing dan tetap melangsungkan perkawinannya

(33)

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan hukum Positif yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia ternyata menampilkan sifat ganda.

Pertama, adanya pengaturan bahwa sahnya perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan yang dimaksud dengan perkawinan campuran, karena adanya perbedaan kewarganegaraan- nya hal ini menyebabkan sulit untuk menyelenggarakan perkawinan beda agama. Kedua adanya anggapan bahwa sahnya perkawinan dapat didasarkan hukum negara lain, meskipun tidak berdasarkan agama, hal ini menyebabkan dimungkinkannya terselenggaranya tersebut kemudian memunculkan praktik pura- pura pindah gana untuk memudahkan proses perkawinan di dalam negeri dan praktik perkawinan di luar negeri bagi warga negara yang mampu secara finansial

(34)

dan setelah melaksanakan perkawinan, mencatatkan perkawinannya di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggalnya.

Perkawinan beda agama di Luar Indonesia tidak akan menimbulkan masalah bagi mereka yang mampu Finansialnya tetapi berbeda dengan pasangan perkawinan beda agama, akan menimbulkan masalah bagi yang kurang mampu finansialnya maka secara tidak langsung, Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang perkawinan melakukan diskriminasi antara sih kaya dan sih Miskin bagi Pasangan Perkawinan beda Agama. Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip- Prinsip HAM itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu Komponen HAM yang di jamin oleh UUD NRI sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang, kebebasan agama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah- masalah agama.

(35)

bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini prinsip atau asas utama yang dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak bebas adalah kehendak yang lahir dari niat suci tanpa paksaan, penipuan, tekanan apa-pun dan dari siapa-pun terhadap calon suami dan atau calon istri, Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan menurut undang – Undang HAM hanya dipandang dari aspek perdatanya saja. Di sini , tidak ada unsur agama yang dikedepankan dalam sebuah perkawinan. Sementara perkawinan yang diatur oleh Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda, bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut artinya , antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia. Padahal Pasal 3 ayat (3) Undang- Undang HAM menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia dijamin undang- undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, pihak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh dikurangi atau direduksi Oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini.

(36)

diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang- Undang karena menyangkut masyarakat secara umum.

Sayangnya Undang- Undang HAM sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang Perkawinan , yaitu sah dari aspek agama dan sah dari aspek administrasi. Sebagai sebuah ikatan lahir batin yang suci, perkawinan tidaklah dapat dibatasi atas dasar perbedaan agama. Bila tidak, negara dapat dikatakan turut campur mengatur masalah- masalah pribadi seseorang. Saat ini telah berkembang pendapat di dalam masyarakat agar negara tidak mengintervensikan kehidupan beragama di Indonesia. Dalam hal ini negara hanya mencatatkan setiap perkawinan yang didaftarkan.

(37)

Dari pernyataan- pernyataan tersebut terlihat ada perbedaan antara konsepsi perkawinan berdasarkan Undang- Undang HAM dan pengaturan perkawinan berdasarkan Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di sisi lain, Undang- Undang HAM hanya mensyaratkan faktor kehendak bebas calon suami/istri, sementara di sisi lain Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menetapkan persyaratan yang tidak hanya sekedar kehendak bebas calon suami/istri perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui negara sebagai salah satu hak dari setiap warga negara. Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sendiri sudah menyatakan bahwa perkawinan sudah merupakan ikatan lahir batin. Oleh sebab itu, negara tidak boleh ikut campur dalam hal batin warga negaranya karena merupakan lingkup hak asasi warga negara.

4. Perkawinan Beda Agama Masih Terdapat Kekosongan Hukum ( Rechtsvacuum)

(38)

Selanjutnya, penjelasan Umum Nomor 5 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa apabila mengenai suatu hal Undang-Undang ini tidak ada mengaturnya dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada. Sementara Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengemukakan bahwa dengan berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam peraturan pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum mengatur perkawinan beda gama secara jelas dan terinci jalan keluarnya harus bersandar pada ketentuan pasal 66 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 , yaitu ketentuan peraturan perkawinan campuran yang diatur dalam GHR, yang juga mengatur keabsahan perkawinan beda Agama di Indonesia. Ketentuan tersebut itu yang menjadi pegangan para hakim di pengadilan untuk mengabulkan pemohon agar dapat melangsungkan perkawinan beda agama dalam penetapannya . Hal itu telah dikemukakan di muka , yaitu masih adanya pilihan hukum ( choice of law) bagi pasangan perkawinan beda agama.

5. Perkawinan Beda Agama di Indonesia yang dilangsungkan oleh Warga Negara Indonesia di Luar Negeri dan Akibat Hukumnya

(39)

dilangsungkan di luar negeri Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia dengan warga negara Asing sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak Melanggar Undang- Undang Perkawinan Kita.

(40)

menurut hukum yang berlaku di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi Warga Negara Indonesia Tidak melanggar Undang- Undang ini.

Mengenai tata cara perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri, yaitu merujuk pada Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal ini menyatakan bahwa Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia Adalah Sah apabila :

1. Perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara perkawinan itu dilangsungkan

2. Bagi Warga negara Indonesia Tidak melanggar ketentuan Undang – undang Perkawinan . Pasal 56 ayat (2) Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya menerima laporan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri. Bahwa di dalam surat Pelaporan Perkawinan Bukan Merupakan Akta Perkawinan.

(41)

negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang Asing, maka pencatatan dilakukan Perwakilan Republik Indonesia. Oleh Perwakilan Republik Indonesia, perkawinan itu dicatatkan dalam Register Akta Perkawinan, lalu terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Kalau Pasangan tadi sudah kembali ke Indonesia suami Istri yang sudah menikah harus melapor ke dinas kependudukan dan Catatan Sipil Paling Lambat 30 hari setelah Tiba di Indonesia

6. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Kehidupan Beragama

Akumulasi dari berbagai pemikiran dan perkembangan pemikiran HAM dalam Kurun waktu lama tersebut, sekurangnya tercatat 3 (tiga) hak dasar yang seyogyanya mendapat Perlindungan secara sungguh, yaitu29:

1. Hak kebebasan

Adalah Hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi. Termasuk di antara lain hak atas hidup , kebebasan dalam memilih jodoh, kebebasan dalam memilih pasangan , kebebasan beragama

2. Hak Demokrasi.

Adalah Hak berdasarkan keyakinan atas kedaulatan rakyat. Termasuk di dalamnya antara lain: Kebebasan untuk memilih wakil rakyat, hak untuk menentukan pemimpin agama, kebebasan pers, dan hak berkumpul dan berserikat.

(42)

3. Hak Sosial

Adalah hak berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan pihak- pihak dalam masyarakat.

Sedangkan pada waktu bersamaan, HAM sebagai landasan dari kebebasan, keadilan dan kedamaian yang – yang dibutuhkan oleh Manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, telah menjadikan HAM tidak steril di dalam konstelasi Politik. Oleh karena perlu dirumuskan secara jelas konsepsi HAM yang dapat menampilkan karakateristik sebagai berikut.

1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, atau diwarisi. HAM adalah sesuatu yang dimiliki karena kemanusiaan, sehingga otomatis manusia mempunyai hak asasi.

2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras agama, etnis, pandangan politik atau asal – usul Sosial

3. HAM tidak dapat dilanggar , sehingga tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM meskipun negara tetap membuat hukum yang tidak melindungi.

(43)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian menemukan keterkaitan konsep “sederhana” yang mendukung sustainabilitas desain Masjid Al-Irsyad Satya Kota Baru Parahyangan sekaligus juga menggarisbawahi

Penelitian di Jordan tahun 2010 tentang Anticipatory Grief pada orangtua yang hidup dengan anak yang terdiagnosis kanker menyatakan orang tua yang anak memiliki anak

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inkuiri terhadap hasil belajar siswa materi pencemaran lingkungan di kelas VII semester

Kecamatan Tualang merupakan salah satu wilayah administratif Kabupaten Siak dan merupakan wilayah kemenangan pasangan Syamsuar- Alfedri dalam pemilihan kepala Daerah

Aplikasi pembelajaran TIK berbasis multimedia ini dirancang berdasarkan beberapa pertimbangan antar lain, pemakai ( user ) yaitu siswa sekolah dasar yang berpengaruh pada

Laboratorium komputer adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah yang berhubungan dengan ilmu komputer dan memiliki beberapa komputer dalam

Intinya,ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk tembang macapat DJDU PXGDK GLLQJDW GDQ OHELK ³ membumi ´ 6HEDE sebaik apa pun ajaran itu

Indeks Saham Syariah Indonesia adalah salah satu acuan bagi investor di pasar modal syariah dalam mengukur kinerja keseluruhan saham syariah di