• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perkawinan Masyarakat Karo

Perkawinan suku Karo mempunyai tata cara yang khas, namun pada prinsipnya diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (perkawinan), dan upacara pensakralan. Perkawinan pada masyarakat

Karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang dari luar marganya (merganya), dengan kekecualian pada merga Perangin-angin dan Sembiring. Sifat religius dari perkawinan pada masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang kawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya (Darwin Prinst, 2004 : 71).

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh negara atau lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah. Jadi keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi juga orangtuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-keluarganya. Kita sering mendengar dari masyarakat bahwa kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Banyak aturan-aturan yang harus dijalankan, aturan yang berhubung dengan adat-istiadat yang mengandung sifat relegio-magis (Soekanto,1981 : 100-101).

Pada umumnya di Indonesia suatu perkawinan didahului dengan lamaran (ngelamar). Akibatnya lamaran ini pada umumnya bukan perkawinan, akan tetapi pertunangan dahulu. Pertunangan baru terikat apabila (seringkali) dan pihak laki-laki sudah diberikan panjer, peningset (Jawa-tengah-timur)., tanda kong narit

(Aceh), Penyangyang (Jawa-Barat), Ngating Manuk (Karo), di tanganan Pagingsangan (Bali) namanya pertunangan Masawen, artinya meletakkan suatu tanda larangan dengan memberikan sirih. Jelaslah bahwa pemberian panjer adalah suatu perbuatan religio-magis (Soekanto,1981 : 101).

Dalam pernikahan adat Karo, seorang laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sudah sah sebagai suami-istri di saat dilangsungkannya pertemuan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk membicarakan mengenai biaya pernikahan dan tanggal pernikahannya (dalam bahasa Karo sering disebut dengan ngembah belo selambar). Dalam susunan keturunan pihak bapak, pihak laki-laki harus memberikan junjung, sinamot, pangolin, boli, tuhor (Batak), beli (Maluku), belis (Timor), jujur (Tapanuli Selatan, Sumatera Selatan), dan tukur (Karo), yang Bahasa Belanda disebut “bruidschat”. Dengan membayar jujur istri masuk dalam klan suaminya, sehingga anak-anaknya dilahirkan sebagai warga klan sang suami. Dalam lingkungan susunan kekeluargaan ini terdapat juga keadaan dimana suami tak membayar jujur. Perkawinan ini disebut anggap (Gayo), semendo ambil anak, nangkon (Sumatera Selatan), kawin ambil piara (Ambon). Maksud anggap ini (“inlifhuwelijk”) adalah supaya lelaki itu (kadang-kadang) menjadi anaknya. Sedangkan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi keturunan dari klan bapak-perempuan. Hal ini terjadi, misalnya di Lampung jika orang tua hanya mempunyai anak-anak perempuan saja dengan maksud supaya keturunannya tidak terputus (Soekanto,1981 : 102-103S).

Perkawinan pada masyarakat Karo yang sesuai dengan adat (arah adat) peranan orang tua sangat dominan, artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan

calon mempelai (petandaken), meminang (maba belo selambar). Apabila ada kecocokan pada waktu maba belo selambar dan diterima, maka kedua belah pihak terikat dalam status pertunangan. Pada waktu pertunangan ini sebagai tanda tidak diberikan cincin sebagai tanda ikatan, tetapi disini harus disetujui dan disaksikan oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu: senina, anak beru, dan kalimbubu. Ketiga ini disebut dengan rakut sitelu, dan menjadi jaminan yang paling kuat menurut adat Karo.

2.2.1. Sistem Perkawinan Masyarakat Karo

Dalam buku Darwin Prinst (2004 : 75) yang berjudul “ Adat Karo” ada dua sistem perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

a. Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan.

Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luar merga-nya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo, atau Ginting dengan Sembiring.

b. Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring

Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama asal submarganya (lineagea) berbeda. Misalnya dalam merga Peranginangin, antara Bangun dan Sebayang atau Kuta Buluh dan Sebayang. Demikian juga dengan Sembiring, antara Brahmana dan Meliala, antara Pelawi dan Depari, dan sebagainya.

Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga-nya tidak dikenal kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dan Tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian. Karena tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling kawin, dengan adanya eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga bukan sebgai hubungan genealogis dan asal-usul merga tidak sama.

2.2.2. Syarat Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 75) ada beberapa syarat perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

- Tidak berasal dari satu merga, kecuali merga Peranginangin dan Sembiring, - Bukan menurut adat dilarang untuk berkawin erturang (bersaudara),

sipemeren, erturang impal.

- Sudah dewasa, dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli). Sedangkan untuk perempuan hal ini diukur dengan telah akil balik, telah mengetahui adat (meteh tutur), dan sebagainya.

-2.2.3. Fungsi Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Ada beberapa fungsi perkawinan bagi masyarakat Karo, yaitu : - Melanjutkan hubungan kekeluargaan,

- Menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan,

- Melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki-laki dan perempuan, - Menjaga kemurnian suatu keturunan,

- Menghindarkan berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain, dan - Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan.

2.2.4. Jenis-Jenis Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 78-82) dilihat dari status dari pihak yang kawin maka perkawinan pada masyarakat karo dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu :

a. Gancih abu (ganti tikar)

Gancih abu yaitu bila seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai istri. Hal ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi kepentingan anak yang telah dilahirkan pada perkawinan pertama dan menjaga keutuhan harta dari perkawinan yang pertama.

b. Lako Man (turun ranjang)

Lako man yaitu bila seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang awalnya adalah istri saudaranya atau bapaknya yang telah meninggal dunia. Ada beberapa jenis dari perkawinan lako man, yaitu :

- Perkawinan mindo nakan

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri saudara ayahnya.

- Perkawinan mindo cina

Adalah suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang menurut tutur adalah neneknya.

- Kawin mindo ciken

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri ayah/saudaranya, yang telah dijanjikan terlebih dahulu. - Iyan

Pada zaman dahulu bila seseorang mempunyai dua orang istri dan salah satu diantaranya tidak/belum mempunyai putra (keturunan), di pihak salah seorang saudara suami itu belum mempunyai istri, lalu istri yang tidak berputra itulah dialihkan/disahkan menjadi istrinya, dengan harapan tetap terpeliharanya hubungan kekeluargaan dengan pihak wanita, dan adanya harapan dengan suami baru itu, ia akan memperoleh keturunan.

- Ngalih

Adalah lako man istri abang (Kaka). - Ngianken

Adalah lako man kepada istri adik (agi)

c. Piher Tendi/Erbengkila Bana

Adalah perkawinan antara orang yang menganut tutur si wanita memanggil bengkila kepada suaminya.

2.2.5. Faktor-Faktor Penyebab Poligami bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 76) ada beberapa faktor poligami bagi masyarakat Karo, yaitu :

- Tidak memperoleh keturunan laki-laki, - Saling mencintai,

- Tidak adanya persesuaian dengan istri pertama, dan - Meneruskan hubungan kekeluargaan.

Dokumen terkait