• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

INTERAKSI SOSIAL KELUARGA POLIGAMI SUKU KARO

(Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)

SKRIPSI Oleh:

ROSALINA LANASARI SEMBIRING 030901041

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(2)

ABSTRAK

Dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga, seperti :terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Untuk itu perlu kiranya dilakukan penelitian agar diketahui bagaimana interaksi sosial dan konflik dalam rumah tangga yang berpoligami. Idealnya dalam rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang, tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki, saling mencintai, tidak ada persesuaian dengan istri pertama, dan meneruskan hubungan kekeluargaan. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Adanya anggapan dari masyarakat (pelaku poligami) bahwa poligami membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi sosial keluarga yang berpoligami etnis Karo dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya poligami di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dengan Unit analisis penelitian ini adalah suami yang melakukan poligami, istri yang dipolgami dan anak di keluarga yang berpoligami Lokasi penelitian terletak di desa Kutarakyat, Kec. Naman Teran, Kab. Karo.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan bagi semua agama karena atas berkat

dan rahmat-Nya yang senantiasa menyertai dan memberkati penulis dalam

menyelesaikan perkuliahan dan juga pada saat penyusunan skripsi yang berjudul :

“Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo (Studi Kasus di Desa Kutarakyat, Kec. Naman)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menghadapi berbagai

hambatan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman,

kepustakaan dan materi penulis. Namun, berkat pertolongan Tuhan Yang Maha

Kuasa yang memberi ketabahan, kesabaran, dan kekuatan kepada penulis dan juga

para teman-teman yang selalu memberikan motivasi, dukungan pada saat-saat

penulis mengalami kesulitan. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak

menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi serta dukungan doa dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi,

(4)

3. Ibu Rosmiani, MA, selaku seketaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Beliau merupakan dosen

wali sekaligus sebagai dosen pembimbing penulis yang telah banyak

memberikan bantuan dan masukan selama penulisan skripsi.

4. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen Sosiologi dan

dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai

materi selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU.

5. Secara khusus dan teristimewa kepada kedua orang tuaku yang tercinta

Ayahanda P. Sembiring dan Ibunda K br. Tarigan yang telah melahirkan dan

membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu

memberikan didikan dan disiplin sejak penulis masih kecil, nasehat,

memberikan motivasi dan memberikan perhatian yang besar bagi penulis

dalam penyelesaian skripsi ini. Ananda minta maaf karena ananda tidak bisa

menepati janji.

6. Teristimewa untuk suamiku tercinta Ruslan Effendi Sitepu, yang selalu

bersabar menunggu penulis di saat kepergian penulis dalam penyelesaian

skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan untuk cinta dan kasih sayangmu

yang telah mengajari dan membimbing penulis untuk bisa menjadi orang yang

penyabar, bijaksana, dan selalu kuat dalam menghadapi segala masalah.

Skripsi inilah buah dari kesabaran kita, dan inilah awal hidup kita yang baru

dalam menggapai mimpi dan harapan.

7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayah dan ibu mertua : B.

Sitepu dan R. br. Ginting yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan

(5)

8. Kepada seluruh informan penelitian ini yang telah banyak meluangkan

waktunya dan memberi informasi yang sesuai dengan permasalahan

penelitian, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian, dan penulis

dapat menyusun laporan penelitian yang berbentuk skripsi ini.

9. Kepada semua sanak famili, teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan

satu persatu, yang telah banyak memberikan dukungan semangat serta doa

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran begitu juga

waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun demikian penulis menyadari

skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu dengan segala kerendahan hati

penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun dari para pembaca.

Medan, Juni 2008

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ...………. i

Kata Pengantar ……… ii

Daftar Isi ………... v

Daftar Tabel ..………..… viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ……….……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………..… 8

1.3. Tujuan Penelitian ………... .. 9

1.4. Manfaat Penelitian………..9

1.4.1. Manfaat Teoritis……….9

1.4.2. Manfaat Praksis………..9

1.5. Defenisi Konsep ... ………..10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... ………..12

2.1. Interaksi Sosial ... ………..12

BAB III. METODE PENELITIAN………27

3.1. Jenis Penelitian ... ………..27

3.2. Lokasi Penelitian ... ………..27

3.3. Unit Analisis dan Informan Penelitian ... ………..28

3 .4. Teknik Pengumpulan Data ... ………..29

3.5. Interpretasi Data ... ………..30

3.6. Jadwal Kegiatan ... ………..32

(7)

BAB IV. DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN……...34

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….34

4.1.1. Sejarah Singkat………..34

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah………..35

4.1.2.1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis………...35

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah……….35

4.1.3. Komposisi Penduduk……….36

4.1.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku…………..36

4.1.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama.……….36

4.1.3.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan………..36

4.1.3.4. Mata Pencaharian………..36

4.1.4. Sarana dan Prasarana………..37

4.1.4.1. Sarana

4.2.3. Profil Informan Anak dalam Keluarga Poligami……….44

(8)

4.2.3.2. Rosa br

(9)

DAFTAR TABEL

halaman

1. Tabel 4.1 Persentase Penduduk Menurut

Suku………...36

2. Tabel 4.2 Persentase Penduduk Menurut

Agama………...36

3. Tabel 4.3 Penduduk Berdasarkan Tingkat

Pendidikan………...36

4. Tabel 4.4 Mata Pencaharian

Penduduk………..36

5. Tabel 4.5 Sarana

Kesehatan………....37

6. Tabel 4.6 Sarana

Ibadah……….37

7. Tabel 4.7 Sarana

Pendidikan………...37

8. Tabel 4.8 Hubungan Ayah dengan

Anak………53

9. Tabel 4.9 Hubungan antara Anak dengan Ibu

Tiri………...57

(10)

ABSTRAK

Dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga, seperti :terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Untuk itu perlu kiranya dilakukan penelitian agar diketahui bagaimana interaksi sosial dan konflik dalam rumah tangga yang berpoligami. Idealnya dalam rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang, tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki, saling mencintai, tidak ada persesuaian dengan istri pertama, dan meneruskan hubungan kekeluargaan. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Adanya anggapan dari masyarakat (pelaku poligami) bahwa poligami membawa dampak positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi sosial keluarga yang berpoligami etnis Karo dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya poligami di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dengan Unit analisis penelitian ini adalah suami yang melakukan poligami, istri yang dipolgami dan anak di keluarga yang berpoligami Lokasi penelitian terletak di desa Kutarakyat, Kec. Naman Teran, Kab. Karo.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan,

perkawinan juga adalah sarana terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan

ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Maka untuk menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi-sendi

dasar dari susunan masyarakat, suami-istri harus memikul suatu tanggung jawab

serta kewajiban (Rizki, 2007 : 1).

Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kesatuan cinta kasih antara

dua insan manusia yang berlainan jenis kelamin, hubungan antara dua insan

manusia ini dinyatakan dalam ikatan rumah tangga. Hubungan sebelum memasuki

kehidupan rumah tangga memiliki aturan dan norma-norma yang dikeluarkan

secara lisan maupun tulisan oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari

penuturan ini bertujuan untuk mengumumkan status barunya kepada orang lain

sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah

menurut hukum, agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban

untuk dijalankan oleh keduanya sehingga pria itu bertindak sebagai suami,

sedangkan wanita bertindak sebagai istri.

Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala bidang, termasuk

dalam perkawinan. Suatu perkawinan mempunyai tujuan membentuk keluarga

(12)

agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan

mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Ada berbagai jenis bentuk perkawinan dalam masyarakat yaitu perkawinan

monogami, poligami, poliandri, dan perkawinan kelompok (group marriage).

Dari keempat bentuk perkawinan ini, perkawinan monogami dianggap paling

ideal yang sesuai untuk dilakukan. Perkawinan monogami adalah perkawinan

antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dimana pada prinsipnya bahwa

suami mempunyai satu istri saja dan juga sebaliknya. Walaupun perkawinan

monogami merupakan perkawinan yang paling sesuai untuk dilakukan tetapi tak

jarang ada masyarakat yang melakukan perkawinan poligami, bahkan oleh publik

figure. Sehingga istilah poligami semakin mencuat, menjadi perbincangan di berbagai media massa atau media elektronik juga di berbagai diskusi maupun

seminar. Tanggapan dari berbagai kalangan juga berbeda-beda; pemerintah, kaum

agamawan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan masyarakat umum

(awam), ada yang setuju dan menerima praktek poligami dengan berbagai

persyaratan serta sebagian masyarakat lainnya menolaknya.

Poligami berasal dari Bahasa Yunani, kata ini terdiri dari kata poh atau

polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan, maka kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang

banyak (Rizki, 2007 : 3). Perkawinan poligami pasti mengundang reaksi dari

berbagai pihak terutama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Reaksi tersebut bisa

saja berimplikasi buruk atau bisa juga tidak menjadi masalah. Dari berbagai

alasan seseorang untuk poligami pasti ada dampak bagi keutuhan rumah tangga,

(13)

yang dilahirkan itu akan merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan

merasa secara tidak langsung dididik dalam suasana keluarga yang selalu dihiasi

dengan pertengkaran orang tuanya.

Prof. Kholer dalam (Muhammad Thalib, 2004 : 25) memberikan kritik

terhadap asas monogami, katanya: “ikatan monogami adalah sesuatu hal yang

ideal namun dalam realita hidup sering berlawanan dengan kenyataan, bahkan

senantiasa berakibat kurang baik. Akan tetapi jika kedua belah pihak mengalami

sengketa, walaupun dalam jangka pendek maka suami dapat melakukan hal-hal

yang merugikan istri. Bahkan istri sering kali tidak berdaya berbuat apapun

menghadapi suaminya, karena istri tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap

kekayaan harta suami. Sekiranya suami seorang pemabuk dan pemboros,

misalnya, maka bisa saja istri dipaksa ikut mempertanggungjawabkan akibat

buruknya, yaitu mengurangi jatah biaya hidup yang diberikan suaminya untuk

diberikan lagi kepadanya, sekalipun ia sendiri dan anak-anaknya serba dalam

kekurangan”.

Poligami adalah alternatif terbaik jika dipandang dari segi baiknya, karena

menurut Prof. Kholer dalam (Muhammad Thalib, 2004 : 24) mengatakan

negara-negara yang memiliki Undang-undang perkawinan monogami, ternyata

melapangkan jalan bagi terjadinya prostitusi, dan hasil perkawinan monogami

berjalan dengan semu, penuh kebohongan, penipuan dan kemunafikan. Usaha

untuk menjamin supaya berlangsung seumur hidup dengan membuat

undang-undang untuk itu, ternyata gagal.

Sistem patrilinial khususnya dalam pernikahan pada masyarakat Karo

(14)

laki-lakinya untuk kepentingan kekerabatan. Perempuan hampir tidak memiliki

hak dan perlindungan hukum, perempuan selalu dianggap sebagai mahluk yang

lemah atau kelas rendah. Kondisi tersebut membuat kedudukan perempuan selalu

ada pada sub-ordinansi pria.

Menurut catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada 2004,

menurut Nasyaruddin dalam

poligami. Pada 2005, angka itu naik menjadi 879 kasus dan pada 2006 melonjak

menjadi 983 kasus. Pada 2004, Pengadilan Agama mengeluarkan 800 izin

poligami dari 1016 permohonan. Pada 2005, 803 ijin dari 989 permohonan, dan

pada tahun 2006 sebanyak 776 ijin dari 1148 permohonan.

Berdasarkan data itu, ia melanjutkan, poligami yang seringkali dikatakan

dilakukan untuk mengatasi jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki,

sama sekali tidak beralasan. "Dari jumlah perempuan yang 49,2 persen itu, banyak

didominasi oleh janda cerai dan yang ditinggal mati suaminya. Jadi, kalau mau

poligami, lebih baik dengan janda-janda itu, jangan dengan perempuan belum

menikah. Uji materi UU Perkawinan diajukan oleh M. Insa dalam

berpoligami seperti harus ada izin istri dan Pengadilan Agama, merugikan hak

konstitusionalnya guna beribadah dan membentuk keluarga melalui poligami yang

sah.

Fenomena poligami mengundang reaksi dari berbagai kalangan.

Alasan-alasan seseorang untuk melakukan poligami juga beraneka ragam, tetapi pada

dasarnya poligami adalah keinginan seseorang untuk mencapai kehidupan yang

(15)

termasuk pada masyarakat Karo (yang menjadi objek penelitian) telah

melunturkan nilai-nilai monogami yang dianggap ideal selama ini. Secara umum

perkawinan bagi orang Karo diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan,

meminang, pengesahan dan upacara pensakralan. Perkawinan masyarakat Karo

bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin

dengan orang yang diluar merga-nya, dengan kekecualian pada merga

Perangin-angin dan merga Sembiring (Darwin Prinst, 2004 : 71). Perkawinan pada

masyarakat Karo merupakan ideal apabila seorang laki-laki menikahi putri dari

(16)

Bagan : Pernikahan Yang Ideal Pada Masyarakat Karo

Kakek dan Nenek (Bulang ras Nini)

Menikah

Poligami bukan hal yang baru dan tabu bagi masyarakat Karo. Poligami

biasanya terjadi karena : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki,

saling mencintai, tidak ada kecocokan lagi antara suami dengan istri pertama, dan

meneruskan hubungan kekeluargaan (Darwin Prinst, 2004 : 76).

Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai dalam poligami,

tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam suku Karo. Perkawinan

poligami yang terus terjadi sejak lama sampai sekarang antara orang Karo dengan

orang Karo, maupun orang Karo dengan suku lainnya. Masyarakat Karo

tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan poligami,

sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini

mengindikasikan, bahwa faktor budaya Karo yang memberikan kesempatan untuk

Paman dan Bibik

(Mama ras Mami)

Anak Perempuan

Anak Laki-Laki

Anak Perempuan Ayah dan Ibu

(Nande ras Bapa)

(17)

dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama. Hal ini sesuai dengan pendapat

Kaare Svalastoga (1989 : 92-93) yang menyatakan bahwa; "syarat umum untuk

terciptanya hubungan positif antara interaksi dan kesenangan adalah kondisi

saling menambah kesenangan yang diperoleh kedua belah pihak yang terlibat

dalam proses interaksi”.

Dari hasil pra-penelitian di desa Kutarakyat ada terdapat 10 keluarga

poligami, 3 diantaranya hidup dalam satu rumah serta 7 keluarga lagi berbeda

tempat tinggal antara istri yang satu dan istri yang lainnya. Tiga keluarga poligami

yang hidup dalam satu rumah ini, bisa dikatakan terdapat suatu interaksi sosial

yang positif, dimana ada kerja sama antara satu istri dengan istri yang lain, anak

dengan ibu tirinya dan sebaliknya. Interaksi ini bisa tercapai karena adanya suatu

kesepahaman antara istri-istri, anak dan suami. Tujuh keluarga poligami lainnya

tidak terdapat interaksi sosial yang positif, hal ini terjadi adanya ketidakadilan

suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan

sebagainya. Selain itu, dengan terjadinya perkawinan poligami maka keluarga

yang semula hanya terdiri dari satu keluarga ini saja terbentuk menjadi dua atau

lebih keluarga inti, dimana seorang suami menjadi suami atau kepala rumah

tangga yang sama untuk beberapa keluarganya, karena itu perkawinan poligami

dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi keluarga, karena jika

semula suami hanya mempunyai tanggung jawab pada satu keluarga saja maka

setelah ia berpoligami ia akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk

istri-istri dan anak-anaknya (Rizki, 2007 : 11).

Dalam penelitian ini ada beberapa alasan yang membuat peneliti merasa

(18)

dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga,

seperti : terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah

tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Selain itu, idealnya dalam

rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis

diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang,

tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang

sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan,

tidak mendapat anak laki-laki yang akan menjadi generasi penerus marga, dan

tidak ada kecocokan lagi dengan istri pertama. Hal ini yang membuat peneliti

merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat

menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Selanjutnya, adanya

anggapan dari masyarakat (pelaku poligami) bahwa poligami membawa dampak

positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah interaksi sosial keluarga yang berpoligami pada etnis Karo di

Desa Kutarakyat, Kec. Naman?

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya poligami di Desa Kutarakyat,

Kec. Naman?

1.3.Tujuan Penelitian

(19)

1. Untuk mengetahui bagaimana Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa

Kutarakyat, Kec. Naman.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Poligami Suku

Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menghambat Interaksi Keluarga

Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan

penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu Sosiologi, dan

2. Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan

penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut sistem

patriarki dan instansi terkait yang menangani masalah keluarga poligami.

1.4.2. Manfaat Praksis

1. Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan

penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu Sosiologi, dan

2. Hasil penelitian diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan

penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang menganut sistem

poligami.

(20)

Menurut Gillin dan Gillin interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan

sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan,

antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan

kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial yang akan dilihat dalam

penelitian ini adalah bagaimana interaksi antara suami dengan istri pertama,

bagaimana interaksi antara istri yang satu dengan istri yang lainnya,

bagaimana interaksi orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya dan juga

bagaimana interaksi antara keluarga luas dari pihak masing-masing.

2. Keluarga

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah,

ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh negara atau

lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah atau adopsi. Jadi keluarga

dalam penelitian ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

3. Anak

Anak merupakan generasi penerus dalam sebuah keluarga/rumah tangga, yang

harus dibina agar nanti dapat diharapkan menjadi pewaris yang berpotensi.

Hidup lebih teratur dan serasi sesuai norma dan nilai tata susila yang berlaku

dalam masyarakat. Disamping itu, diharapkan menjadi keturunan yang lebih

ulet, tabah, serta berguna bagi keluarga, masyarakat, bahkan bangsanya.

4. Suku Karo

Suku Karo adalah satu suku bangsa Batak yang mendiami dataran tinggi

(21)

Tanah Air, dan yang menjadi objek penelitian penulis adalah keluarga

masyarakat Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

4. Laki-laki

Laki-laki adalah anak dari sebuah keluarga yang akan menjadi penerus marga

(clan) yang sistem kekerabatannya menganut sistem patriarkhi. 5. Perkawinan

Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian

diantara dua pihak yaitu suami dan istri untuk hidup bersama, berumahtangga

dengan landasan, adat dan Negara (Rizki, 2007 : 14).

6. Poligami

Poligami adalah suatu perkawinan antara seorang pria dengan beberapa orang

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Interaksi Sosial

Interaksi sosial berasal dari bahasa Latin: Con atau Cum yang berarti

bersama-sama, dan tango berarti menyentuh, jadi pengertian secara harfiah adalah

bersama-sama menyentuh. Interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang

yang berkomunikasi saling mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan (Zainul,

1997 : 98). Interaksi sangat penting dilihat adalah pengaruh timbal-balik,

contohnya : apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai saat mereka saling

menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan seterusnya.

Interaksi yang dilakukan oleh manusia mempunyai syarat-syarat agar

interaksi terjadi dengan baik, yaitu kontak komunikasi. Kontak pada dasarnya

merupakan aksi dari individu atau kelompok agar mempunyai makna bagi

pelakunya dan kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok yang lain.

Penangkapan makna tersebut yang menjadi pangkal tolak untuk memberikan

reaksi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Alvin dan Helen Gouldner (dalam

Taneko, 1990 : 110), interaksi itu adalah suatu aksi diantara orang-orang, jadi

tidak memperdulikan secara berhadapan muka secara langsung ataukah melalui

simbol-simbol seperti bahasa, tulisan yang disampaikan dari jarak ribuan

kilometer jauhnya. Semua itu tercakup dalam konsep interaksi selama hubungan

itu mengharapkan adanya satu atau lebih bentuk respon. Komunikasi muncul

(23)

Oleh karena komunikasi itu timbul apabila seseorang individu memberi

tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran itu, lalu seseorang itu

mewujudkannya dengan perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan reaksi

terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Selanjutnya Zainul Pelly (1997 :

99-100) kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, yang bersifat positif

mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada

suatu pertentangan atau tidak menghasilkan suatu interaksi.

Menurut Gillin dan Gillin (2001 : 35) interaksi sosial merupakan

hubungan- hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara

orang-perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial yang akan

dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana interaksi antara suami dengan istri

pertama, bagaimana interaksi antara istri yang satu dengan istri yang lainnya,

bagaimana interaksi orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya dan juga

bagaimana interaksi antara keluarga luas dari pihak-pihak masing-masing.

Selanjutnya Kimbal Young dan Reymond W. Mack dalam (Soekanto,

1990 : 60-61), menyatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan

sosial, oleh karena tanpa interaksi tak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Proses sosial merupakan suatu kontinuitas dalam arti bahwa interaksi dimulai

dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi

pertikaian dan berakhir pada akomodasi. Untuk menelaah proses-proses interaksi

tersebut dalam bentuk kelangsungan misalnya apa yang terjadi pada kaum

transmigrasi dari Jawa datang untuk menetap di suatu daerah yang telah ada

(24)

Zainul Pelly yang berjudul Pengantar Sosiologi (1997 : 101-113) mengatakan

proses sosial dapat menjelma dalam berbagai bentuk dan dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa, yaitu :

2.1.1. Kooperasi (co-operation)

Co-operation berasal dari bahasa Latin yang berarti co = bersama-sama, dan operasi = bekerja. Jadi kooperasi adalah bentuk kerjasama dimana satu sama

lain saling membantu guna mencapai tujuan. Kerjasama dapat kita jumpai pada

semua kelompok manusia, kebiasaan-kebiasaan demikian dimulai sejak masa

kanak-kanak terutama dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok

kekerabatan. Atas dasar itu anak tersebut akan mengembangkan

bermacam-macam pola kerjasama setelah menjadi dewasa. Kerjasama tersebut dilakukan

selain dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang bersahabat saja, juga pada

zaman modern ini kerjasama dapat pula dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak

bersahabat atau bertentangan.

Kerjasama timbul karena adanya oreintasi orang-orang terhadap

kelompoknya (in-groupnya), orang-perorangan yang menjadi anggota in-group

mengadakan kerjasama untuk memperkuat kelompoknya. Kelompok in-group itu

terdapat we-feeling atau persamaan kita dan dengan mengadakan kerjasama ini

perasaan dari anggota in-group semakin kuat, sehingga apabila ada pihak luar

yang ingin menganggu ketenangan in-group maka semua anggota kelompok

bersama-sama menghadapi ancaman tersebut guna mempertahankan kebutuhan

kelompoknya.

(25)

Persaingan adalah suatu bentuk perjuangan sosial secara damai; yang

terjadi apabila dua belah pihak berlomba atau berbuat untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Gillin dan Gillin dalam Pelly (1997 : 105) mengatakan persaingan

dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana orang-perorangan atau

kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui

bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari publik (baik

perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara-cara usaha mencari

perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa

menggunakan ancaman kekerasan. Persaingan dapat berupa :

- Mendapatkan status dalam masyarakat (kepangkatan)

- Mendapatkan jodoh

- Mendapatkan kekuasaan

- Mendapatkan nama baik (harum)

- Bidang ekonomi yaitu terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah

konsumen.

Dalam persaingan yang bersifat pribadi (perseorangan) dimana

orang-perorangan secara langsung bersaing, misalnya memperoleh kedudukan tertentu di

dalam suatu organisasi, memperebutkan jodoh dan lain sebagainya.

2.1.3. Conflict atau Pertikaian/Pertentangan

Kompetisi atau kerjasama dapat menjurus ke konflik hal ini terjadi

karena timbul emosi, rasa benci dan rasa marah, sehingga pihak-pihak yang

bersangkutan ingin menyerang, melukai, merusak atau memusnahkan pihak yang

lain. Biasanya konfllik timbul karena adanya kepentingan yang bertentangan

(26)

kedudukan dan perebutan kekuasaan, yang apabila terjadi antara kelompok

biasanya mempunyai dasar ekonomis, sebab konflik tidak saja terjadi diantara

orang-perorangan, tetapi juga terjadi diantara kelompok-kelompok manusia.

Menurut Soerjono Soekanto (dalam Zainul, 1997 : 107) pertentangan

adalah proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha

memenuhi tujuannya dengan jelas menentang pihak lawan dengan ancaman

dan/atau kekerasan. Pada umumnya pertentangan merupakan proses dissisiatif

(persaingan yang tajam), akan tetapi adakalanya pertentangan tersebut mempunyai

fungsi di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat yang positif. Pertentangan

mempunyai beberapa bentuk antara lain :

- Pertentangan pribadi, yaitu sejak dimulai berkenalan sudah saling tidak

menyukai, apabila dikembangkan maka akan timbul rasa saling membenci

dimana masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawannya.

- Pertentangan sosial, yaitu pertentangan yang bersumber dari ciri-ciri badaniah

dan juga karena perbedaan kepentingan kebudayaan.

- Pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu yang disebabkan karena

perbedaan kepentingan, misalnya buruh dengan majikan.

Dari pertentangan atau konflik tersebut maka akan tumbuh solidaritas dari

in-group, mereka bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya, terjadi keretakan persatuan suatu kelompok, hancurnya harta benda dan korban manusia,

serta takluknya salah satu pihak.

2.1.4. Akomodasi (Accomodation)

Tujuan akhir daripada konflik biasanya menghancurkan pihak lawan, akan

(27)

terlibat dalam konflik menimbulkan kerugian, sehingga kedua belah pihak ingin

menghentikannya, atau pihak yang merasa dirinya kurang kuat mengalah untuk

menghindarkan dari kemusnahannya.

Konflik dihentikan dan kedua belah pihak berusaha menyesuaikan

keadaan yang memungkinkan kerjasama. Proses penyelesaian ini disebut dengan

akomodasi. Proses akomodasi adalah suatu usaha manusia untuk meredakan suatu

pertentangan yaitu usaha untuk mencapai suatu kestabilan. Ada beberapa cara kita

untuk melihat bentuk akomodasi yang umum, yaitu :

- Gencatan senjata atau penundaan pertempuran,

- Kompromi, suatu kompromi bisa terjadi bila pihak-pihak yang berkonflik

relatif sama derajatnya, bersedia saling memberi dan mengambil (take and

give),

- Toleransi adalah suatu cara akomodasi bila suatu kompromi tidak diwujudkan

dalam hal ini tidak ada pihak-pihak yang mengalah dan pihak-pihak terus

mempertahankan pendiriannya masing-masing akan tetapi bersedia

menghormati pendirian orang lain,

- Konsiliasi dengan toleransi belum berarti adanya pergaulan sesama

pihak-pihak yang berkonflik, mungkin mereka tidak bergaul satu sama lainnya,

- Konversi adalah suatu keadaan apabila ada sesuatu pihak melepaskan

pendiriannya dan menerima pendirian pihak lain,

- Arbitrasi adalah suatu cara akomodasi dimana konflik didamaikan oleh pihak

ketiga dan pihak-pihak tunduk kepada keputusannya. Pihak ketiga ini dipilih

(28)

- Mediasi (mediation) dijalankan oleh pihak ketiga juga tetapi keputusannya

tidak mengikat seperti halnya arbitrasi, kedudukannya sebagai penasehat

belaka dan tidak mempunyai wewenang memberi keputusan.

- Rasionalisasi berarti memberi keterangan atau alasan yang kedengarannya

rasional untuk membenarkan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak

rasionil, karena mengakui alasan yang sebenarnya dapat menimbulkan

konflik.

Akomodasi tidak dapat secara sempurna untuk mengatasi

pertentangan-pertentangan, akan tetapi akomodasi tetap diperlukan karena manusia mempunyai

kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, hal inilah yang senantiasa perlunya

akomodasi untuk menyelesaikan suatu pertentangan atau konflik.

Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai dalam poligami,

tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam suku Karo. Perkawinan

poligami yang terus terjadi sejak lama sampai sekarang antara orang Karo dengan

orang Karo, maupun orang Karo dengan suku lainnya. Masyarakat Karo

tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan poligami,

sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini

mengindikasikan, bahwa faktor budaya Karo yang memberikan kesempatan untuk

berpoligami dan mendambakan keharmonisan menempati posisi penting yang

dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama.

2.2. Perkawinan Masyarakat Karo

Perkawinan suku Karo mempunyai tata cara yang khas, namun pada

prinsipnya diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang,

(29)

Karo bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus

kawin dengan orang dari luar marganya (merganya), dengan kekecualian pada

merga Perangin-angin dan Sembiring. Sifat religius dari perkawinan pada masyarakat Karo terlihat, dengan adanya perkawinan maka tidak hanya mengikat

kedua belah pihak yang kawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga

kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka. Dengan demikian,

perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan

wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnya (Darwin Prinst,

2004 : 71).

Keluarga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari

ayah, ibu, dan anak dan diikat oleh ikatan perkawinan yang sah oleh negara atau

lembaga norma (adat) serta ada hubungan darah. Jadi keluarga dalam penelitian

ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Perkawinan adalah

suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan

bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan

(perempuan dan laki-laki), akan tetapi juga orangtuanya, saudara-saudaranya dan

keluarga-keluarganya. Kita sering mendengar dari masyarakat bahwa kawin

sesungguhnya keluarga dengan keluarga. Banyak aturan-aturan yang harus

dijalankan, aturan yang berhubung dengan adat-istiadat yang mengandung sifat

relegio-magis (Soekanto,1981 : 100-101).

Pada umumnya di Indonesia suatu perkawinan didahului dengan lamaran

(ngelamar). Akibatnya lamaran ini pada umumnya bukan perkawinan, akan tetapi

pertunangan dahulu. Pertunangan baru terikat apabila (seringkali) dan pihak

(30)

(Aceh), Penyangyang (Jawa-Barat), Ngating Manuk (Karo), di tanganan

Pagingsangan (Bali) namanya pertunangan Masawen, artinya meletakkan suatu tanda larangan dengan memberikan sirih. Jelaslah bahwa pemberian panjer adalah

suatu perbuatan religio-magis (Soekanto,1981 : 101).

Dalam pernikahan adat Karo, seorang laki-laki dan perempuan dapat

dikatakan sudah sah sebagai suami-istri di saat dilangsungkannya pertemuan

antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk membicarakan mengenai

biaya pernikahan dan tanggal pernikahannya (dalam bahasa Karo sering disebut

dengan ngembah belo selambar). Dalam susunan keturunan pihak bapak, pihak

laki-laki harus memberikan junjung, sinamot, pangolin, boli, tuhor (Batak), beli

(Maluku), belis (Timor), jujur (Tapanuli Selatan, Sumatera Selatan), dan tukur

(Karo), yang Bahasa Belanda disebut “bruidschat”. Dengan membayar jujur istri

masuk dalam klan suaminya, sehingga anak-anaknya dilahirkan sebagai warga

klan sang suami. Dalam lingkungan susunan kekeluargaan ini terdapat juga

keadaan dimana suami tak membayar jujur. Perkawinan ini disebut anggap

(Gayo), semendo ambil anak, nangkon (Sumatera Selatan), kawin ambil piara

(Ambon). Maksud anggap ini (“inlifhuwelijk”) adalah supaya lelaki itu

(kadang-kadang) menjadi anaknya. Sedangkan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi

keturunan dari klan bapak-perempuan. Hal ini terjadi, misalnya di Lampung jika

orang tua hanya mempunyai anak-anak perempuan saja dengan maksud supaya

keturunannya tidak terputus (Soekanto,1981 : 102-103S).

Perkawinan pada masyarakat Karo yang sesuai dengan adat (arah adat)

peranan orang tua sangat dominan, artinya bahwa pihak orang tualah yang

(31)

calon mempelai (petandaken), meminang (maba belo selambar). Apabila ada

kecocokan pada waktu maba belo selambar dan diterima, maka kedua belah pihak

terikat dalam status pertunangan. Pada waktu pertunangan ini sebagai tanda tidak

diberikan cincin sebagai tanda ikatan, tetapi disini harus disetujui dan disaksikan

oleh kedua belah pihak keluarga, yaitu: senina, anak beru, dan kalimbubu. Ketiga

ini disebut dengan rakut sitelu, dan menjadi jaminan yang paling kuat menurut

adat Karo.

2.2.1. Sistem Perkawinan Masyarakat Karo

Dalam buku Darwin Prinst (2004 : 75) yang berjudul “ Adat Karo” ada

dua sistem perkawinan pada masyarakat Karo, yaitu :

a. Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan.

Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu

mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan dilarang

menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan menikah dengan

orang dari luar merga-nya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo, atau

Ginting dengan Sembiring.

b. Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring

Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas.

Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin atau

Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama asal submarganya (lineagea) berbeda. Misalnya dalam merga Peranginangin,

antara Bangun dan Sebayang atau Kuta Buluh dan Sebayang. Demikian juga dengan Sembiring, antara Brahmana dan Meliala, antara Pelawi dan Depari, dan

(32)

Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga-nya tidak dikenal

kecuali antara Sebayang dan Sitepu atau antara Sinulingga dan Tekang yang

disebut sejanji atau berdasarkan perjanjian. Karena tempo dulu mereka telah

mengadakan perjanjian tidak saling kawin, dengan adanya eleutherogami terbatas

ini menunjukkan bahwa merga bukan sebgai hubungan genealogis dan asal-usul

merga tidak sama.

2.2.2. Syarat Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 75) ada beberapa syarat perkawinan pada

masyarakat Karo, yaitu :

- Tidak berasal dari satu merga, kecuali merga Peranginangin dan Sembiring,

- Bukan menurut adat dilarang untuk berkawin erturang (bersaudara),

sipemeren, erturang impal.

- Sudah dewasa, dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak

dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan untuk

bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk laki-laki, hal ini

diukur dengan sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan

bertani, dan sudah mengetahui adat berkeluarga (meteh mehuli). Sedangkan

untuk perempuan hal ini diukur dengan telah akil balik, telah mengetahui adat

(meteh tutur), dan sebagainya.

-2.2.3. Fungsi Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Ada beberapa fungsi perkawinan bagi masyarakat Karo, yaitu :

(33)

- Menjalin hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada hubungan

kekeluargaan,

- Melanjutkan keturunan dengan lahirnya anak laki-laki dan perempuan,

- Menjaga kemurnian suatu keturunan,

- Menghindarkan berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain, dan

- Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan.

2.2.4. Jenis-Jenis Perkawinan bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 78-82) dilihat dari status dari pihak yang

kawin maka perkawinan pada masyarakat karo dapat dibagi menjadi beberapa,

yaitu :

a. Gancih abu (ganti tikar)

Gancih abu yaitu bila seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai istri. Hal

ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi

kepentingan anak yang telah dilahirkan pada perkawinan pertama dan menjaga

keutuhan harta dari perkawinan yang pertama.

b. Lako Man (turun ranjang)

Lako man yaitu bila seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang awalnya adalah istri saudaranya atau bapaknya yang telah

meninggal dunia. Ada beberapa jenis dari perkawinan lako man, yaitu :

- Perkawinan mindo nakan

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang

(34)

- Perkawinan mindo cina

Adalah suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan

yang menurut tutur adalah neneknya.

- Kawin mindo ciken

Adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan bekas istri ayah/saudaranya, yang telah dijanjikan terlebih dahulu.

- Iyan

Pada zaman dahulu bila seseorang mempunyai dua orang istri dan salah

satu diantaranya tidak/belum mempunyai putra (keturunan), di pihak salah

seorang saudara suami itu belum mempunyai istri, lalu istri yang tidak berputra

itulah dialihkan/disahkan menjadi istrinya, dengan harapan tetap terpeliharanya

hubungan kekeluargaan dengan pihak wanita, dan adanya harapan dengan suami

baru itu, ia akan memperoleh keturunan.

- Ngalih

Adalah lako man istri abang (Kaka).

- Ngianken

Adalah lako man kepada istri adik (agi)

c. Piher Tendi/Erbengkila Bana

Adalah perkawinan antara orang yang menganut tutur si wanita memanggil

bengkila kepada suaminya.

2.2.5. Faktor-Faktor Penyebab Poligami bagi Masyarakat Karo

Menurut Darwin Prinst (2004 : 76) ada beberapa faktor poligami bagi

masyarakat Karo, yaitu :

(35)

- Tidak memperoleh keturunan laki-laki,

- Saling mencintai,

- Tidak adanya persesuaian dengan istri pertama, dan

- Meneruskan hubungan kekeluargaan.

2.3. Jenis-Jenis Hubungan Keluarga

Menurut Robert R. Bell dalam T.O. Ihromi (1999 : 91) mengatakan ada 3

jenis hubungan keluarga, yaitu :

a. Keluarga dekat (conventional kin).

Kerabat dekat terdiri dari atas individu yang terikat dalam keluarga melalui

hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua-anak,

dan antar suadara (siblings).

b. Kerabat jauh (discretionary kin).

Kerabat jauh terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui

hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih

lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak

menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. Hubungan yang terjadi di

antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya

kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman-bibi,

keponakan dan sepupu.

c. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin).

Seseorang yang dianggap karena adanya hubungan yang khusus, misalnya

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam sebuah metode penelitian

maka diperlukan suatu metode penelitian yang dapat menjawab permasalahan

yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan

pendekatan kualitatif. Esensi studi kasus, tendensi sentral dari semua jenis studi

kasus, adalah mencoba menjelaskan keputusan-keputusan tentang mengapa studi

tersebut dipilih, bagaimana mengimplementasikannya, dan apa hasilnya

(Schrarman, 1971). Dengan itu studi kasus adalah suatu inkuori empiris yang

melihat :

- Menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan, bilamana:

- Batas-batas fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan dimana;

- Multi sumber bukti dimanfaatkan (Yin, 1984 : 1b).

Hasil pengamatan dituangkan dalam sebuah catatan lapangan yang

(37)

penelaahannya terhadap suatu kasus dilakukan secara mendalam, mendetail, dan

komprehensif (Faisal, 1995 : 22).

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Keluarga Poligami Suku

Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman, Kab. Karo.

Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah :

1. Peneliti menemukan adanya keluarga poligami suku Karo di Desa Kutarakyat,

Kec. Naman yang menjadi obyek penelitian.

2. Peneliti dapat beradaptasi dengan masyarakat Karo yang menetap di Desa

Kutarakyat, Kec. Naman sehingga dapat memperoleh informasi yang sesuai

dengan permasalahan penelitian.

3.3. Unit Analisis dan Informan

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat

Karo yang menetap di Desa Kutarakyat, Kec. Naman, Kab. Karo, Prop. Sumatera

Utara. Informan penelitian ini meliputi beberapa macam, seperti: (1) informan

kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi

pokok yang diperlukan dalam penelitian; (2) informan utama, yaitu mereka yang

terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti….(Bagong, 2005 : 108).

Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini adalah :

1. Informan kunci

• Anak yang lahir dari hasil keluarga poligami.

(38)

Informan utama dalam penelitian ini adalah keluarga poligami (istri

maupun suami) masyarakat Karo yang menetap di Desa Kutarakyat, Kec. Naman,

dengan karakteristik sebagai berikut :

- Menetap sekurang-kurangnya minimal 5 tahun di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

- Istri yang sudah dimadu minimal 5 tahun.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Mengumpulkan data adalah pekerjaan yang sukar, karena apabila

diperoleh data yang salah, tentu saja kesimpulannya pun salah pula, dan hasil

penelitiannya menjadi palsu (Arikunto, 2002 : 24). Adapun teknik pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data

pertama di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun langkah-langkah dalam

pengumpulan data primer ini adalah dengan cara :

- Observasi Langsung

Di dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula dengan

pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan

menggunakan seluruh alat indera. Jadi, mengobservasi dapat dilakukan melalui

penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Apa yang dikatakan

ini adalah pengamatan langsung (Arikunto, 2002 : 133). Observasi langsung

adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi,

dalam arti bahwa pengamatan tidak menggunakan “media-media transparan”

(39)

langsung melihat atau mengamati Interaksi Keluarga Poligami Suku Karo di Desa

Kutarakyat, Kec. Naman.

- Wawancara Mendalam (depth interview)

Interview yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh

informasi dari terwawancara (Arikunto, 2002 : 132). Wawancara mendalam

(depth interview) yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada informan yang telah ditentukan. Wawancara dilakukan dengan proses

tanya jawab secara langsung dengan informan mengenai memahami Interaksi

Keluarga Poligami Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan,

guna mendapatkan suatu landasan teori yang kuat untuk mendukung penulisan ini

dari berbagai literatur seperti buku-buku serta dokumen-dokumen yang

berhubungan dengan penelitian ini.

3.5. Interpretasi dan Analisa Data

Data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan

obyektivitas (kesesuaian dengan kebenaran) dan relevansi dengan masalah yang

diteliti. Temuan dalam penelitian tersebut kemudian direduksi (diedit),

diinterpretasikan atau ditafsirkan, dan diorganisasikan. Keseluruh komponen

analisis data dapat digambarkan.

(40)

SIKLUS ANALISIS DATA

Sumber: Pinta, 2006 : 37

Hasil pengumpulan data selanjutnya direduksi, yang mencakup kegiatan

mengikthtisarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin dan

memilah-milahnya ke dalam satuan konsep, kategori, atau tema tertentu. Seperangkat hasil

reduksi data kemudian diorganisasikan ke dalam suatu bentuk (display data). Ini

sangat dibutuhkan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan

kesimpulan, tujuan akhirnya adalah untuk memahami Interaksi Keluarga Poligami

Suku Karo di Desa Kutarakyat, Kec. Naman.

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke

dalam pola kategori dan satuan uraian, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dianalisa untuk selanjutnya (Moleong, 1993 : 103). Analisis data ditandai dengan

pengolahan dan penafsiran data yang di peroleh dari setiap informasi baik secara

pengamatan, wawancara ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah

kemudian tahap selanjutnya adalah mereduksi data yaitu melalui pembuatan

abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti. Langkah selanjutnya

Data Collection

Data Display

Conclusion Drawing

and Verifying Data

(41)

adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilanjutkan dengan

pengolahan atau analisa dan penulisan laporan hasil penelitian.

3.6. Jadwal Kegiatan

Tabel 3.1

Jadwal Kegiatan Penelitian

3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian terutama disebabkan karena terbatasnya

Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III

Pra Penelitian:

- Penyusunan Proposal

- Perbaikan Proposal

Persiapan:

- Pengurusan Izin

- Persiapan Instrumen Penelitian

Penelitian:

- Observasi

- Wawancara

Pasca Penelitian:

- Analisis Data

(42)

kegiatan penelitian ilmiah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah terbatasnya

waktu yang dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan

padatnya aktivitas informan. Hal tersebut dapat dimengerti karena umumnya

informan adalah bekerja di sektor pertanian. Rendahnya perekonomian keluarga

pada masyarakat Karo, khususnya pada masyarakat Karo yang berada di Desa

Kutarakyat, Kec. Naman sehingga membuat mereka mempunyai aktifitas kerja

yang padat, oleh sebab itu waktu yang informan luangkan kepada peneliti relatif

singkat. Ini yang membuat peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang

tepat untuk melakukan wawancara dengan informan.

Walaupun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha

semaksimal mungkin dalam mengumpulkan informasi dari informan, serta

(43)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1.1. Sejarah Singkat

Kecamatan Naman Teran merupakan salah satu dari 17 kecamatan yang

ada di Kabupaten Karo dengan Ibukota Kecamatan di Desa Naman yang berjarak

20 km dari Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten dan 97 km dari Medan ibukota

propinsi. Kecamatan Naman Teran dibentuk atas dasar Perda No.04 tahun 2005,

dimana Kecamatan Simpang Empat dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu

Kecamatan Simpang Empat (sebagai kecamatan induk), Kecamatan Naman Teran

(hasil pemekaran) dan Kecamatan Merdeka (hasil pemekaran). Kecamatan Naman

Teran dengan luas ± 87,82 km2 berada pada ketinggian rata-rata 1300-1600 m di

atas permukaan laut dengan temperatur 160C-170C dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut :

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Merdeka  Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tiganderket

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Payung dan Simpang

Empat

Kecamatan Naman Teran berasal dari Kecamatan Simpang Empat dimana

pada sejak pra-kemerdekaan yang disebut dengan istilah kerajaan yang dipimpin

oleh seorang raja yang disebut Sibayak Lingga yang kekuasaannya meliputi :

(44)

 Urung Tigapancur diperintah oleh Raja Urung merga Sembiring

Gurukinayan

 Urung Siempat Teran yang diperintah oleh Raja urung merga Karo-Karo

Sitepu.

Dari wilayah urung Siempat Teran inilah sebagian besar menjadi Kecamatan

Naman Teran yang telah diresmikan sejak tanggal 29 Desember 2006 lalu.

Pada awalnya Desa Kutarakyat pertama kali dihuni oleh marga Sitepu,

Tarigan, dan Ginting. Merekalah yang membuka hutan dan menjadikannya

sebagai desa untuk permukiman masyarakat. Namun sebelum desa tersebut diberi

nama Kutarakyat, sebelumnya desa tersebut bernama Toraja.

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah

4.1.2. 1. Kondisi Iklim dan Letak Geografis

Kondisi iklim di desa Kutarakyat Kecamatan Naman Teran adalah sejuk

dan dingin karena terletak di ketinggian 700-1.420 meter di atas permukaan laut.

4.1.2.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah Batas-Batas Wilayah Desa Kutarakyat :

1. Sebelah Timur : Desa Kebayaken 2. Sebelah Barat : Desa Kuta Gugung 3. sebelah Utara : Hutan Negara

4. sebelah Tenggara : Desa Sigarang-garang

Luas wilayah administratif dari desa Kutarakyat adalah sekitar14,21 km2 atau

sekitar 16,18 % dari luas keseluruhan dari Kecamatan Naman Teran.

(45)

Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Tabel 4.1

Persentase Penduduk Menurut Suku

No. Suku Jumlah Persentase (%)

1. Karo 1500 85

2. Jawa 178 10

3. Batak Toba 87 5

Jumlah 1765 100

Sumber : Kepala DesaKutarakyat, 2007

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama Tabel 4.3

Persentase Penduduk Menurut Agama

No. Agama Jumlah Persentase (%)

1. Kristen Protestan 794 45

2. Islam 706 40

3. Katolik 265 15

Jumlah 1765 100

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tabel 4.4

Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Sekolah

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

Mata Pencaharian

Tabel 4.5

Mata Pencaharian Penduduk

No. Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1. Bertani 1500 85

2. PNS, ABRI/POLRI 177 10

3. Pegawai swasta 88 5

Jumlah 1765 100

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.1.4. Sarana dan Prasarana 4.1.4.1. Sarana Kesehatan

(46)

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. Puskesmas 1

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.1.4.2. Sarana Ibadah

Tabel 4.7

No. Sarana Tempat Ibadah Jumlah

1. Gereja 1

2. Mesjid 1

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.1.4.3. Sarana pendidikan

Tabel 4.8

No. Sarana Pendidikan Jumlah

1. Taman Kanak-kanak 1

2. Sekolah Dasar 1

Sumber : Kepala Desa Kutarakyat, 2007

4.2. PROFIL INFORMAN

Untuk mendapatkan data mengenai Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku

Karo maka peneliti melakukan wawancara terhadap anggota keluarga yang

(47)

4.2.1. Profil Informan Suami Keluarga Poligami 4.2.1.1. N. Sitepu

Pria berumur 45 tahun, memiliki 6 orang anak yang bekerja sebagai petani

dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. N. Sitepu seorang yang penganut agama

Islam, tinggal di Kutarakyat, telah memiliki 2 orang istri yang telah melakukan

pernikahan pertamanya saat berumur 24 tahun. N. Sitepu lebih sering tinggal

bersama istri kedua, hal ini juga menjadi landasan baginya untuk mengatakan

bahwa ia sendiri belum dapat bersikap adil. Dia lebih memilih tinggal ditempat

istri kedua karena lebih nyaman. Hal ini telah mengakibatkan kurang akur kedua

istrinya walaupun tidak pernah terjadi pertengkaran yang muncul. Walaupun

demikian N. Sitepu tidak pernah mencoba untuk membagi waktu untuk mencoba

menciptakan keadilan diantara kedua istrinya. Untuk anak-anaknya sendiri tidak

pernah meminta keadilan atas tindakannya sebagai kepala rumah tangga dari dua

orang istri. N. Sitepu juga mengetahui bahwa masyarakat setempat menganggap

bahwa pelaku poligami seperti dia kurang baik. Namun baginya poligami tidak

ada salahnya untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari yang diberikan istri

pertama.

4.2.1.2. J. Sitepu

Seorang penganut agama Islam yang memiliki 5 orang anak dari kedua

istrinya. Pria berumur 53 tahun ini mempertahankan hidupnya dengan bertani. J.

Sitepu mengaku tidak memiliki niat untuk melakukan pernikahan untuk ke-3

(48)

kecocokan dengan istri pertama. Hal ini ditandai dengan tidak adanya persetujuan

dari istri pertama saat ia melakukan pernikahan kedua. Dia tidak adil dalam

hubungan keluarga berpoligami, dan tidak pernah mencoba untuk menciptakan

keadilan. Hal ini didasari pilihannya yang memilih tinggal bersama istri kedua

yang dianggap memberikan perhatian yang lebih baik padanya. Setelah

pernikahan keduanya beliau sangat jarang mengunjungi rumah istri pertamanya

yang ia nikahi melalui tata cara agama dan adat.

4.2.1.3. B. Sitepu

Pria berumur 51 tahun ini memiliki 5 orang anak, yang memiliki pekerjaan

sebagai petani dalam pemenuhan hidupnya. B. Sitepu merupakan penganut agama

Kristen yang memiliki 2 istri, yang menikahi istri pertamanya saat ia berumur 25

tahun. Pria ini tidak memiliki niat untuk menambah istri lagi karena keluarga yang

dibinanya saat ini kurang baik, karena ia tidak dapat berlaku adil dengan kedua

istrinya. Ia menikahi istri keduanya disebabkan adanya perhatian yang diberikan si

istri saat masih gadis ketika ia berada di ladang. Pria ini tidak pernah dituntut oleh

anak-anaknya untuk berlaku adil namun kedua istrinya setiap kali bertemu pasti

bertengkar. B. Sitepu menikahi istrinya baik secara adat maupun agama. Kini dia

lebih sering di rumah istri pertama karena ia ingin memperbaiki hubungan yang

kurang harmonis antara dia dan anggota keluarga dari istri pertamanya.

4.2.1.4. Menen Sitepu

Pria berumur 69 tahun yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

bertani. Pria beragama Kristen ini memiliki anak sebanyak 13 orang, memiliki 2

orang istri dan melakukan pernikahan pertamanya saat berusia 25 tahun. Dia

(49)

laki-laki yang dimiliki istri pertama saat ingin melakukan pernikahan istri kedua.

Bahkan istri pertamanya juga ikut mendukung pernikahan kedua tersebut. Menen

Sitepu mengatakan jika dia telah bertindak dengan adil atas kedua istrinya, dengan

cara ia sering berkunjung ke rumah istri pertama, karena ia kini tinggal bersama

dengan istri kedua yang telah ia bangun sebelumnya. Kedua istrinya juga tidak

pernah berkelahi, anak-anaknya juga tidak pernah menuntut keadilan untuk

bertindak adil darinya. Adapun yang melatarbelakangi ia memilih tinggal bersama

istri kedua karena anak laki-lakinya telah menikah dan tinggal bersama istri

pertama. Bagi masyarakat Karo dilarang seorang menantu perempuan untuk

berbicara dengan mertua pria. Awal saat memiliki 2 istri Menen Sitepu tinggal

satu rumah dengan anak-anak dan kedua istrinya, dan sampai saat ini hubungan

keluarganya sangat harmonis. Hal inilah yang menjadi landasan baginya

menyayangkan pria lain di daerah tersebut yang melakukan pernikahan poligami

yang tidak dapat bertindak adil.

4.2.1.5. T. Ginting

Pria berusia 41 tahun ini memiliki 5 orang, beragama Kristen dan

memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Dia melakukan pernikahan

pertama saat berusia 26 tahun. Pria ini memiliki 3 orang istri namun 1 orang

diantaranya telah meninggal. T. Ginting mengatakan bahwa keluarga yang dia

bina kurang harmonis, hal ini dikarenakan istri keduanya selalu memarahi dan

melarang jika ia sering mengunjungi istri pertamanya. Seharusnya upaya inilah

yang harusnya mewujudkan keluarga berpoligami yang adil dan harmonis. Dia

melakukan pernikahan kedua dikarenakan istri pertama kurang dekat dengan

(50)

fungsinya dengan baik untuk merawat orang tuanya sebagai mertua. Adapun

faktor lainnya yang mendorong ia melakukan pernikahan kedua karena jarak yang

memisahkannya dengan istri pertama yang tinggal di daerah Tongkoh, dan T

Ginting harus tinggal di daerah Kutarakyat untuk mengelola lahan pertanian untuk

pemenuhan hidup mereka. Pria ini melakukan pernikahan kedua tanpa

sepengetahuan dan campur tangan istri dan keluarga karena takut akan larangan

keluarga dan agama yang dianutnya. Hingga saat ini kedua istrinya belum pernah

bertemu. T. Ginting takut akan terjadi perkelahian diantara keduanya. Untuk ke

depan T. Ginting tidak memiliki niat untuk melakukan pernikahan lagi.

4.2.2. Profil Informan Istri Keluarga Poligami 4.2.2.1. R. br Ginting

Wanita berusia 48 tahun yang memiliki 4 orang anak, menganut agama

Kristen Protestan dan bekerja sebagai petani dalam pemenuhan hidupnya. R. br

Ginting mengatakan bahwa suaminya adalah pria yang tidak bertanggung jawab

karena telah melakukan pernikahan kedua, tanpa seijin dan sepengetahuannya.

Walaupun suaminya telah lebih sering untuk tinggal bersamanya namun tetap ada

perasaan cemburu yang mendalam. Hal ini ditunjukkan kebencian yang mendalam

dimana saat bertemu dengan istri kedua suami R. br Ginting selalu berkelahi

dengannya. Berdasarkan pengalaman tersebut suami dari R. br Ginting tidak

pernah membawa istri keduanya ke rumah R. br Ginting karena pertemuan

keduanya selalu dibarengi perkelahian.

Adanya pengalaman R. br Ginting tersebut, dia berupaya agar

(51)

mendidik anak-anaknya dengan memberikan nasehat dan pengarahan, baik

berdasarkan agama maupun moral. R. br Ginting juga mengatakan dia prihatin

atas penderitaan yang dialami wanita yang juga telah dimadu suaminya, atas dasar

pengalaman yang sama. Wanita yang mengalami hal tersebut tentunya memiliki

pribadi yang lebih sensitif dan cenderung merasakan kurang diperhatikan dan

kasih sayang. Walaupun suaminya memilih untuk tinggal serumah dengan istri

pertamanya. Hal ini disebabkan para istri pertama tidak mau kehilangan

suaminya, dan untuk itu mereka harus memberikan perhatian yang lebih, kontrol

dan memberikan kesempatan kontrol yang lebih dalam rumah tangga maupun

keuangan asalkan suami tidak pergi menemui istri keduanya atau anak dari istri

kedua.

4.2.2.2. Nd. Bendahara br Bangun

Wanita berusia 65 tahun, beragama Kristen ini menghidupi keluarganya

dengan bertani. Ia adalah istri pertama yng sudah 40 tahun dipoligami. Pada

awalnya dia merasa kesal karena suaminya melakukan poligami, dimana istri

kedua suaminya tinggal serumah dengannya. Kini setelah suaminya membangun

rumah untuk istri kedua, suaminya juga tinggal bersama istri keduanya tersebut.

Walaupun suaminya telah melakukan poligami namun dari segi kewajiban sebagai

suami masih terpenuhi sepenuhnya bagi nande Bendahara. Hubungan mereka juga

cukup akur, namun hubungan nande Bendahara dengan istri kedua suaminya

kurang harmonis bahkan di setiap pertemuan kedua belah pihak selalu dibarengi

dengan perkelahian.

(52)

Nd. Wawan br. Bangun adalah seorang wanita yang berusia 40 tahun yang

bekerja sebagai petani di Kuta Rakyat, dia menafkahi keempat orang anaknya

dengan penghasilan dia sendiri, sejak suaminya menikah lagi, dia adalah tulang

punggung ekonomi keluarganya, sehingga di tidak sempat lagi mengurus dirinya

sendiri, seperti layaknya istri atau ibu dari anak orang lain yang berada dan

bertempat tinggal di Kuta Rakyat.. awal dari pernikahan suaminya dengan istri

keduanya adalah sewaktu mereka sama-sama bekerja upahan di ladang kami, dari

situlah awalnya mereka saling kenal dan mencintai….seperti pepatah orang Karo

“Katak Puru e pe, adi rusur kita tatap mejile nge pagi dung na” pepatah ini mempunyai makna seperti ini : “apabila kita melihat wanita satu orang dan dia

sering kita jumpai dan saling bercerita tentang masalah kita, maka suatu saat kita

akan sayang padanya”, begitulah awal terjadinya pertumbuhan benih-benih cinta

mereka.

4.2.2.4. Nd. Arus br. Ginting

Nd. Arus br Ginting adalah nenek yang telah berusia 63 tahun, memiliki 5

orang anak dan beberapa cucu. Walaupun Nd. Arus br Ginting telah berusia 63

tahun tetapi dia masih bekerja ke ladang untuk menafkahi dirinya dan anaknya

yang belum menikah. Semenjak suami dari Nd. Arus menikah lagi, dia tidak

pernah lagi balik ke rumah dan memberikan nafkah kepadanya. Pada awal dia

mengetahui suaminya menikah lagi, dia begitu sangat sedih. Tetapi sekarang dia

sudah merasa biasa-biasa saja. Dia tidak mempermasalahkan lagi kalau suaminya

mau kawin lagi atau tidak, karena sebelum dia menikah, dia sudah sering

meninggalkan kampung berhubung pekerjaan suaminya sebagai tabib.

Gambar

Tabel 4.1 Persentase Suku………………………………...36 Tabel 4.2 Persentase
Tabel  3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Tabel 4.1 Persentase Penduduk Menurut Suku
Tabel 4.8 Sarana Pendidikan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Analisis tingkat pengembalian nominal dan peluang usaha bagi hasil berbasis ekonomi konvensional Shorea leprosula dengan sistem bagi hasil 55% untuk investor dan

Sebagai wujud good governance saat ini pesantren Al-Ittifaq telah resmi sebagai klinik konsultasi agribisnis diantranya yang pertama sebagai Pusat Inkubator Agribisnis

Berdasar kendala yang dipaparkan, beberapa rencana yang dilakukan pada siklus II adalah (1) melakukan penataan ulang kelompok berdasarkan data yang diperoleh di siklus I; (2)

[r]

12.3 Sebarang bayaran yang dibuat oleh MBSB apabila pengemukaan Buku Akaun Simpanan-i oleh Pemegang Amanah bagi Akaun Simpanan Cheeky-i dan oleh penandatangan

Myös Grönfors korostaa muistiinpanojen laadun ja kirjaamisen tavan tärkeyttä (Grönfors 2015, 156). Siksi kirjoitin kenttämuistiinpanoni puhtaaksi tietokoneella heti..

Struktur baja dapat dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu : (a) struktur rangka (framed structure), di mana elemen-elemennya kemungkinan terdiri dari batang-batang tarik,

Menyusun teks lisan dan tulis untuk menyatakan dan menanyakan tentang keharusan melakukan suatu tindakan/kegiatan pada waktu yang akan datang, saat ini, atau waktu lampau, dengan