• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang

Dalam dokumen Nikah misyar dalam pandangan Hukum Islam (Halaman 34-40)

























“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari

apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S Yasiin: 36 )

Pada kedua ayat di atas disebutkan “segala sesuatu berpasang

-pasangan”, yang berarti meliputi semua mahluk ciptaan Allah. Firman Allah

tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya ini dan segala yang ada. Bentuk pasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah.

Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada sisi sunnatullah yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan penyampaian Risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial seseorang.14

C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang

1. Nikah Syighar

Yang dimaksud dengan nikah syigar yaitu seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki dengan syarat agar

14

Abbas, Ahamad Sudirman, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandinagn Antar Madzhab), Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006, cet. 1, h. 2-7

laki tadi menikahkan putrinya kepada laki-laki tersebut dengan tanpa mahar.15 Al-syighar adalah istilah Arab yang berarti mempunyai seekor anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang sama dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas kawin (mahar) pada waktu menikahnya.16

Mahar merupakan hak seorang wanita dan merupakan harta pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin laki-laki untuk dinikmati oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan yang tak layak dengan menukar anak atau saudara perempuan untuk dinikahi kepada lelaki lain sebagai hadiah (bagi satu sama lain) tanpa membayar mas kawin.

Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi saw setelah datangnya Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari haknya sendiri.17

Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan syighar itu pokoknya tidak diakui, karena hukumnya batal. Tetapi Abu Hanifah berpendapat, kawin Syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan yang bersangkutan wajib mendapatkan mahar yang sepadan dari masing-masing suaminya karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak

15

Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah (Bandung: Al-ma’arif, 1990, cet ke-7),h. 76 16

Abdurrahman I. Doi, Pernikahan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) h. 6

17

perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab wanita itu bukanlah sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akad nikahnya sebagaimana kalau suatu perkawinan dengan persyaratan memberikan minuman khamar atau babi, maka akad nikahnya disini tidaklah batal dan bagi perempuannya berhak atas mahar mitsl.18

Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab dilarangnya perkawinan semacam ini karena tidak adanya mahar dan menjadikan kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing perempuan dijadikan sebagai pembayaran mahar yang satu kepada yang lainnya, padahal perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena maharnya tidak diterima sedangkan yang menikmati faedah dari mahar tersebut adalah walinya. Hal ini berarti mendzhalami kedua perempuan tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinannya.

2. Nikah Misyar

Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius dalam beberapa negara Islam pada masa sekarang ini, disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal-usul perkawinan ini telah ada pada masa terdahulu yang sering disebut sebagai perkawinan misyar.

Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepatnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia. Pada

18

hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun da syaratnya, hanya saja sang istri harus mengalah dari beberapa haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal (tempat yang disiapkan oleh suaminya) dan dari hak nafkah, yaitu pembagian yang adil antara istri yang satu dengan yang lainnya. Seorang istri yang dikawini misyar harus rela tinggal dengan orang tua bersama keluarganya, jika sang suami tidak mengadakan perjalanan ke daerah tempat istri berada, yang semestinya sang suami harus mendatanginya satu hari dalam seminggu atau beberapa hari dalam sebulan.

Perkawinan misyar terjadi karena realita dan keterjepitan kondisi pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Saudi Arabia yang mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini, berbeda dengan perkawinan temporal lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang sah, mencukupi rukun akad yang disyariatkan oleh Islam, seperti: ijab, qabul, saksi dan wali, hanya saja laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya.

Contoh persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dan diterima oleh istri adalah suami boleh melakukan perkawinan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istri, sementara dia tidak menthalaq istrinya dan suami tidak tertuntut untuk memberikan nafkah, atau menyediakan tempat tinggal yang layak baginya, sementara istri berdiam di rumah orang tuanya, perkawinan ini dilaksanakan di rumah orang tuanya yang

menyepakati hal tersebut, pada saat sang suami berkunjung ke daerah atau kota tempat tinggal istri, sang suami mempunyai hak untuk berdiam bersamanya dan berinteraksi sebagaimana layaknya suami istri selama tinggal di daerah tersebut. Pada posisi ini perempuan, yang nota bene adalah seorang istri tidak berhak mensyaratkan kepada suami untuk tinggal lebih dari waktu yang diinginkannya, atau meminta hak-hak seperti istri lain.

3. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki -laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad sampai pada batas waktu yang telah ditentukan19, nikah mut’ah merupakan perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya.20 Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.21

Pernikahan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang dijalani dalam tenpo yang singkat untuk mendapatkan

perolehan yang ditetapkan. Mut’ah diperkenankan pada masa awal

pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara lengkap. Mut’ah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang

19Ja’far Murthada Al-Amili, Nikah Mut‟ah Dalam Islam, (Kajian Ilmiah Dari Berbagai Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992), h. 17

20

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah....h. 57 21

Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003, cet ke-I), h. 52

bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari Jahiliyah menuju Islam. pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal yang sangat wajar sehingga tidak dianggap suatu dosa. Diperkenankannya

nikah mut’ah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di medan tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya menahan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa nafsunya.22

Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka mut’ah pun

diharamkan. Izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi SAW itu segera diharamkan setelah pembukaan kota Mekkah, dan diharamkan untuk selama-lamanya.

22

31

Dalam dokumen Nikah misyar dalam pandangan Hukum Islam (Halaman 34-40)

Dokumen terkait