Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
Zulkifli NIM : 105043101315
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Zulkifli NIM. 105043101315
Pembimbing:
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan
Mazhab Fikih.
Jakarta, 14 Desember 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH., MA., MM NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 196511191998031002 : (...)
Sekertaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si
NIP. 197412132003121002 : (...)
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
NIP. 196511191998031002 : (...)
Penguji I : Dr. Ahmad Tholabi, MA
NIP: 197608072003121001 : (...)
Penguji II : Hj. Rosdiana, MA
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 22 Muharram 1433 H 20 Desember 2011 M
i
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber dari kenikmatan hidup
yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi Asma-Nya sehingga
penulis diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga
psikis untuk tetap menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM”
Salawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan pengikutnya yang telah
membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup
manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah
pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Progam Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
ii
2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku ketua Progam Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang
rela meluangkan waktu, memberikan ilmu dan masukan-masukan yang
sangat bermanfaat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi, dan Bapak
Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku sekretaris Progam Studi
Perbandingan Mazdhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang
berguna.
4. Segenap karyawan Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta dan tak lupa Segenap karyawan Perpustakaan Umum wilayah
Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang telah memberikan bantuan berupa
bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.
5. Kedua orang tua saya, ayahanda Zainal Abidin Sirait dan Ibunda Nasriyah
Marpaung yang sangat penulis hormati dan cintai, selalu memberikan
kasih sayang yang begitu melimpah kepada penulis, yang telah
iii kasih sayangnya kepada mereka.
6. Sahabat-sahabat PMF angkatan 2005, Dermawan, Teddy Bear, Zulfahmi,
Inayatullah, Faisal Kurniawan, dan yang lainnya, yang tak bisa penulis
sebutkan semua.
7. Teman-teman seperjuangan, Afud, Afank, Anton, Anwar, Ferly, Makin,
Riza, Deol, Gengsar, Aris, Roji, Derry, Eddy, Basiruddin, Grossy, Ady
O’o, dan anak-anak Wek-wek, FKDU Jakarta, yang tak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril
maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah
SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai
amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan
mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua
pihak. Amin.
Jakarta, 20 Desember 2011 M
iv
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan perumusan Masalah ... 9
C. Kajian Pustaka ... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
E. Metode Penelitian ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II : LANDASAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN ... 16
A. Defenisi dan Dasar Hukum Perkawinan ... 16
B. Filosofi Perkawinan ... 23
C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang ... 25
BAB III : FENOMENA PERKAWINAN MISYAR ... 31
A. Pengertian dan Seputar Perkawinan Misyar ... 35
B. Prinsip dan Tujuan Dalam Perkawinan Misyar ... 39
C. Alasan-alasan Dalam Perkawinan Misyar ... 45
v
B. Nikah Misyar Menurut Pandangan Hukum Islam ... 52
BAB V : PENUTUP ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
1
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang syamil (universal). Agama yang mencakup
semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini,
yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh
nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil. Itulah Islam, agama yang
memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai
bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam
menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan
sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan
tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,
begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan
pesona. Islam mengajarkannya.
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam
upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah
seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab
itulah Rasulullah SAW mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah
jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya Agama Islam
berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk
dikembangkan dalam pembentuk keluarga. Dalam hubungan perkawinan,
sangwanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Disini martabat
keduanya tidaklah berbeda.1 Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang
sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga, karena itu perkawinan sangat
dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan.
Melalui “nikah” kebutuhan naluriah yang pokok dari manusia (yang
mengharuskan dan mendorong adanya hubungan antar pria dan wanita)
tersalurkan secara terhormat sekaligus memenuhi dan panggilan moral yang
ditegakkan oleh agama. Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan
ketetapan ilahi atas segala makhluk. Mendambakan pasangan merupakan
fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa,
oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan
wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya
perkawinan dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi
ketenteraman atau sakinah.
Islam dan undang-undang perkawinan merupakan informasi dan
pengetahuan tentang nikah, sebagai suatu upaya untuk meningkatkan
kesadaran nikah, disamping merupakan upaya preventif terhadap
berkembangnya bentuk pasangan diluar nikah, juga membantu penanganan
1
Ali Yafie, Menggas Fiqih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah,
dalam masalah kesejahteraan keluarga dan ketertiban masyarakat.2
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqon gholidon
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3Hal
tersebut sesuai dengan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 yang
menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.4
Menurut Robert L. Suteherland dalam bukunya “Introductory Sociology”
mendefinisikan bahwa perkawinan adalah bentuk hubungan khusus (khas)
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang didalamnya terdapat
hak dan kewajiban bersama.5Dan menurut Prof Subekti SH mendefinisikan
bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan dalam waktu yang lama.7 Sedangkan menurut Sulaiman
Rasyid dalam bukunya "Fiqh Islam" mendefinisikan bahwa perkawinan yaitu
akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban beserta
bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
2
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisa dan Undang-undang No.1 Tahun 1994 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta, 1999
3
Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 1992, h. 114 4
UU Perkawinan (UU RI No. 1 Tahun 1994) Beserta Pebnjelasannya, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, h. 8
5
antara keduanya bukan muhrim.6
Dari beberapa pendapat di atas dapat kita fahami bahwa hakekat nikah
bersifat lahiriyah (eksoteris). Tetapi kemudian dimasukkan unsur-unsur
esoteris (batiniah) dan sekaligus dengan tujuan agar perkawinan tidak terikat
didalam seks saja. Seperti di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam pasal
1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Sehingga negara yang berdasarkan
Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahiriyah atau jasmaniah. Tetapi unsur batin maupun rohani
juga mempunyai peranan yang sangat penting untuk membentuk keluarga
yang bahagia yang pula merupakan tujuan perkawinan.
Seperti kita ketahui keterkaitan seorang terhadap lawan jenisnya oleh
syari'at diarahkan kepada sebuah lembaga yang disebut pernikahan. Pada
awalnya nikah hanya merupakan konsep sederhana yaitu konsep menyatukan
)
عمجلا
(
yaitu menyatukan dua orang berlainan jenis dengan satu ikatantertentu dan dengan rukun dan syarat tertentu pula jika kemudian muncul
model syigar, mut'ah ataupun muhallil, dikarenakan adanya perkembangan
permasalahan yang berdampak pada perkembangan pemikiran.
Seperti halnya dengan praktek kawin misyar, secara prinsipil tidak jauh
berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan
rukun dari nikah bisa terdapat pula pada pernikahan misyar, dan juga seorang
laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki
6
dirumahnya (laki-laki).7Biasanya kawin semacam ini terjadi pada istri kedua
dan laki-laki yang melaksanakan kawin semacam ini sudah mempunyai istri
yang lebih dulu tinggal bersama di rumahnya.
Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban
terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan
nafkah memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain (istri pertama).
“Diskon” itu hanya diperoleh oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang
sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi dan
melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat
diharapkan).
Padahal kewajiban yang paling pokok bagi seorang suami adalah
memberikan nafkah kepada istrinya, sedangkan bagi istri, pemberian itu
adalah hak yang mesti harus diterima.8Karena dalam ikatan perkawinan akan
menimbulkan status dan peranan, sehingga akan menimbulkan hak dan
kewajiban yang berupa nafkah.9 Apabila nafkah diberikan sebagaimana
mestinya, tidak dikurangi maka akan dapat mendatangkan keharmonisan dan
kebahagiaan dalam rumah tangga.
Beberapa kenyataan penting tentang kelebihan laki-laki dibanding
perempuan, yakni laki-laki bertanggung jawab, atas seluruh kehidupan
7
Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 394
8
Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001, h. 259.
9 Moh Rifa’i,
perempuan. Pertama hingga mencapai usia dewasa, perempuan menjadi
tanggung jawab ayahnya, atau orang lain yang bertindak sebagai walinya.
Jika setelah dewasa ia dapat memperoleh penghasilan sendiri, barulah ia
membiayai dirinya sendiri. Tetapi jika tidak, maka ayah dan walinya yang
wajib menanggung kehidupannya.
Kedua dalam pernikahan seorang wanita sama sekali tidak dibebani
kewajiban memberi mas kawin. Ketiga seorang wanita apabila telah
bersuami, seluruh kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan suaminya,
walaupun ia seorang wanita kaya. Keempat prialah yang berkewajiban
menanggung seluruh kebutuhan keluarga, prialah yang dituntut untuk
menyediakan tempat tinggal dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan
oleh anak-anaknya.10 Pemberian nafkah adalah kewajiban suami, misalnya
menyediakan tempat tinggal terpisah.
Para ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang
meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar
kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak.
Karena itu, suami yang baik tertentu akan selalu berupaya memenuhi
kewajibannya, sebab dapat menambah rasa cinta kasih, melahirkan
kebahagiaan, menegakkan ketaatan, dan menaburkan kesetiaan terhadap
isteri. Tentu saja dia akan lebih mengutamakan nafkah keluarga sebelum
merasa keberatan memberikan hadiah, baik berupa barang maupun tambahan
nafkah, kepada istrinya.11
Sehingga sebagai orang memprotes bahwa nikah model ini bertentangan
dengan apa yang telah diterapkan oleh Allah SWT, sesuai dengan ketetapan-
Nya. Kaum laki-laki mempunyai hak untuk mengawasi wanita dan
bertanggung jawab atas diri wanita beserta seluruh anggota keluarga. Dalam
pelaksanaan model ini, seorang laki-laki tidak dituntut memberikan nafkah
kepada wanita dan tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi
para istrinya.12Seperti pendapatnya Ibnu Hazm, apabila terjadi perkawinan,
maka wajib nafkah, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya
semenjak adanya akad, baik ia berniat akan membentuk rumah tangga
ataupun tidak, meskipun isteri masih kanak-kanak, baik perempuan itu nusyuz
kepada suaminya ataupun tidak, baik si isteri itu miskin atau kaya, masih
punya ayah maupun yatim, merdeka ataupun budak, menurut
kemampuannya.13
Berangkat dari pemahaman di atas menarik untuk mengkaji sebuah
perkawin misyar. Yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Nikah
Misyar Dalam Pandangan Hukum Islam” yang mana bahwa seorang suami
dapat bebas dari kewajiban terhadap istrinya untuk memberikan hak yang
10
Shalah Abdul Qadir al-Bakriy, Al-Qur‟an dan Pembinaan Insan, Bandung: Al-Ma’arif, 1983, h. 305
11
Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, h. 263 12
Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, h. 405 13
sama dibanding istri yang lain.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berhubung karena judul skripsi ini amat luas, maka penulis membatasi
pembahasannya sekitar permasalahan proses terjadinya perkawinan misyar
dan latar belakang timbulnya perkawinan misyar, serta syarat dalam
melakukakan pernikahan misyar.
Dari pembatasan masalah ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah misyar?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar?
C. Kajian Pustaka
Pembahasan seputar perkawinan sebenarnya sudah banyak dibahas
sebelumnya, namun mengenai kewajiban suami untuk memberi nafkah tidak
banyak yang membahasnya. Demikian juga mengenai suami diberi
keringanan dalam hal pemberian nafkah kepada istrinya yang merupakan inti
dari kawin misyar, sebagaimana fatwa Yusuf Qardawi yang memperbolehkan
kawin misyar dalam kitabnya “Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu”.
Sayyid Sabiq dalam buku “Fiqh al-Sunnah”, menerangkan panjang lebar mengenai hukum kewajiban memberi nafkah, namun mengenai keringanan
memberi nafkah tersebut tidak menyinggungnya. Secara garis besarnya ia
menyatakan tentang hukum pemberian nafkah ini bahwa para ahli fiqh
istri tersebut berbuat durhaka.14 Demikian juga Ibnu Hazm dalam buku “fiqih
wanita” karangan Syekh Kamil Muhammad „Uwaidah mengatakan seorang
suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sejak selesainya
pelaksanaan akad nikah, baik si istri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau miskin, memiliki orang tua atau yatim, masih gadis maupun sudah janda,
merdeka maupun budak belian, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Abu Sulaiman, para sahabatnya dan Sufyan ats-Tsauri mengatakan:
“Pemberian nafkah merupakan kewajiban suami atas wanita yang masih gadis
dan sejak pelaksanaan akad nikah dengannya, demikian lanjut Ibnu Hazm.15
Dan dalam bukunya “Perkawinan Terlarang” Dr. Muhammad Fu’ad
Syakir, mengatakan bahwa perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin
cepat dan mudahnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di
dunia ini. Pada hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang
laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja
sang istri harus mengalah dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan
tempat tinggal, atau tempat yang disiapkan oleh suaminya, dan dari hak
nafkah, yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya.16
Dari beberapa buku yang telah penulis kaji, mengungkapkan bahwa
nafkah adalah kewajiban bagi seorang laki-laki terhadap istri. Tetapi dalam
14
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1982, h. 65 15 Syaikh Kamil Muhammad ’Uwaidah,
Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, h. 404
16
kawin misyar tidak ada tuntutan bagi suami untuk memberikan nafkah pada
istrinya, dimana hal semacam ini diperbolehkan sehingga permasalahan ini
menarik untuk dikaji.
D. Tujuan dan Manfaat
Dengan mengacu pada latar belakang diatas tersebut ada beberapa pokok
permasalahan yang akan penulis bahas dalam bentuk skripsi, namun dari
beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas pada pokok
permasalahan dibawah ini :
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kawin misyar.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar.
Adapun kegunaan dari hasil penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a) Aspek Teoritis
Hasil studi diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkaya
khazanah hukum perkawinan, terutama dalam perkawinan misyar.
b) Aspek Praktis
Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi sebuah acuan bagi
pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk pedoman lebih lanjut maupun
sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan, terutama dalam
E. Metode Penelitian
Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah, perlu menggunakan pendekatan
yang tepat dan sistimatis, sebagai pegangan dalam penulisan skripsi dan
pengolahan data untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan
metode yaitu:
1. Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan metode
library research (penelitian kepustakaan) yang bertujuan untuk
mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan semacam material
yang terdapat diruang perpustakaan, misalnya: buku-buku,
naskah-naskah, catatan dan kataloq. Pada hakikatnya data yang diperoleh
dengan jalan penelitian kepustakaan dijadikan fondasi dan alat utama
bagi praktek penelitian ditengah lapangan.17 Data-data tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Yaitu sumber data yang memberikan informasi dan data secara
langsung, adapun sumber data primer yang penulis gunakan adalah:
Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu.
17
b. Sumber Data Skunder
Yaitu sumber data yang berupa kitab fiqih, hadits, tafsir karya para
ulama serta literatur lainnya yang berhubungan tentang nikah misyar.
Diantaranya adalah:
a) Abdul Ar-Rahman Al-jaziri, Kitab al-fiqh „ala al-Mazahib
al-Arba‟ah, Juz IV.
b) Ali Ansori, Al-Mizan al Kubra, Juz II.
c) Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath al-Mu‟in.
d) Muhammad Jawad Al-Mugniyah, Al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Khamsah.
e) Najamudin Amin Al-kurdi. Tanwir al-Qalb.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mempermudah dalam memperoleh data pada pembahasan ini,
maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara
membaca dan menalaah buku-buku atau sumber tentang hukum Islam dan
kitab-kitab hukum Islam yang ada hubungannya tentang diperbolehkannya
kawin misyar.
Teknik ini dalam teori penelitian dikenal sebagai sebagian dari
3. Teknik Pengolahan Data
Dalam menganalisa data-data yang dapat dari literatur yang ada,
penulis menggunakan pengelolaan dengan tahapaan-tahapan sebagai
berikut:
a. Editng: Pemeriksaan kembali data yang didapat dengan cermat dan teliti, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesuaian, keselarasan,
relevansi dan keseragaman antara yang satu dengan yang lainnya.
b. Organizing: pengorganisasian data dengan cara menyusun dan mensistimasikan serta mengklasifikasikan data-data yang didapat.
c. Analyzing: mengadakan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data yang menggunakan kaedah-kaedah dan teori dan dalil berkenaan
dengan kebolehan kawin misyar secara jelas dan lengkap.
4. Metode Analisa Data
Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif
untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Agar fakta dan analisa
menjadi tepat, maka sifat penelitian ini adalah deskriptik-analitik yang bertjuan menggambarkan secara integral tema-tema umum seperti kawin
misyar. Sedangkan data yang digunakan terdiri dari data primer dan
sekunder. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan penelitian
dengan menggunakan penelitian pustaka (librery research), yaitu menalaah
penelitian yang kemudian dijadikan sebagai sumber data.
Dalam menganalisis data tersebut penulis menggunakan pendekatan
normatif, yaitu dengan cara mendekati masalah dengan melihat apakah
boleh atau tidak, sesuai atau tidak menurut norma berdasarkan
prinsip-prinsip hukum Islam khususnya berkaitan dengan hukum Islam
khususnya dalam bidang muamalah karena kajian ini menggunakan
pendekatan normatif, maka alat analisis utama yang dipergunakan
al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam kemudian
didukung dengan sumber-sumber hukum Islam yang lain yang berkaitan
dengan perkawinan Islam.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah berpedoman kepada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syaari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penyusunan hasil penelitian ini, maka
pembahasannya dikelompokkan dalam lima bab, yang penjelasannya adalah
sebagai berikut:
Bab I : Bab Pertama adalah berisi pendahuluan skripsi yang terdiri dari
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
Bab II : Bab kedua landasan filosofis perkawinan, meliputi defenisi
perkawinan, dasar hukum dan, filosofi nikah dan macam-macam
perkawinan yang terlarang.
Bab III : Bab ketiga berisi fenomena tentang kawin misyar yang meliputi
pengertian dan seputar nikah misyar, prinsip dan tujuan dalam
perkawinan misyar serta alasan-alasan dalam pernikahan misyar.
Bab IV : Bab keempat adalah nikah misyar dalam pandangan hukum
Islam yang meliputi kontroversi pendapat mengenai nikah misyar
dan nikah misyar menurut hukum Islam.
16
A. Defenisi dan Dasar Hukum Pernikahan 1. Definisi Nikah
Kata nikah dari bahasa Arab حاكن yang merupakan bentuk masdar dari
fiil madhi حكن yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti
kawin, menikah.1
Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh „Ala Mazahib al-Arba‟ah menyebutkan ada 3 makna nikah:2
a) Menurut bahasa
Artinya: “Bersenggama atau bercampur”.
b) Menurut syar’i
Para ulama berbeda pendapat tentang makna syar’i ini. Pendapat
pertama menyatakan bahwa nikah arti hakekatnya adalah watha’
(bersenggama).
Pendapat kedua menyatakan bahwa makna hakekat dari nikah adalah
akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’.
1
Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998, h. 1943
2
Pendapat ketiga menyatakan bahwa makna hakekat dari adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.
c) Makna fiqih
Menurut ahli fiqh nikah berarti akad nikah yang ditetapkan oleh
syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang
-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya.
Berdasarkan pendapat para imam mazhab pengertian nikah sebagai
berikut:
Golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah:
“Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan dengan
sengaja”.
Golongan asy-Syafi’iyah mendefenisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan watha‟ dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan
keduanya”.
Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah suatu akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri
Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah sebagai:
“Nikah adalah suatu akad dengan mempergunakan lafadz-lafadz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan
wanita”.3
Pengertian nikah tersebut diatas hanya melihat dari satu segi saja,
yaitu kebolehan hokum dalam hubungan kelamin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang semula dilarang menjadi
diperbolehkan, padahal setiap perbuatan hokum mempunyai tujuan
dan akibat ataupun pengaruhnya seperti yang ditulis oleh Muhammad
Abu Ishrah bahwa nikah atau ziwaj itu ialah:
“Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberikan batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.4
Sedangkan pengertian nikah menurut istilah, ada beberapa ndangan
dari beberapa ahli, antara lain:
1) Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga
berarti aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria
dan wanita.5
3
Abdurrahman al-jaziri, Al-fiqh al-Mazahibil Arba‟ah, Juz IV, Mesir, 1969, h. 395 4
Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985, h. 48-49
5
2) Menurut Prof. Dr. H Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut
istilah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan
wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.6
3) Taqiyudin Abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut,
yaitu akad yang terkenal yang mengandung kebenaran rukun dan
syarat.7
4) Menurut Muhammad Rifa’i nikah adalah suatu akad yang
menghalalkan pergaulan secara sah antara laki-laki dan perempuan
yang bukan mahrimnya dan menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya.8
5) Menurut Muhammad Yunus perkawinan adalah akad antara calon
suami dengan calon istri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut
yang diatur oleh syariat.9
6) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan
menurut hokum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqan
gholizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.10 Hal tersebut sesuai dengan UU perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
6
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 741 7
Taqiyudin Ali Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hism ad-Dimasyqi asy-Syafi’i,
Kifayatul Akhyar, Juz 2, Semarang, Toha Putra, h. 36 8Muhammad rifa’i,
Ilmu Fiqh Islam Lengkap, h. 453 9
Muhammad Yunus, Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidyakarya Agung, 1983 h. 1 10
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11
2. Dasar Hukum Nikah
Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup
dan perkembangannya. Untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan
suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum. Adapun
dasar perkawinan dalam Islam adalah firman Allah dalam kitab suci
al-Qur’an diantaranya.
Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
“Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS an-Nuur 32)
Dan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Rum 21)
11
Disamping ayat-ayat di atas ada juga hadist nabi yang berisi
anjuran-anjuran perkawinan diantaranya bahwa perkawinan itu dianjurkan bagi
orang-orang yang telah dianggap mampu dan mempunyai kesanggupan
memilihara diri dari kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan
yang tercela (terlarang). Maka perkawinan lebih baik baginya.
Sabda Nabi SAW:
“Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda
kepada kamu: Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu sekalian yang mampu kawin, kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan memilihara farji, barang siap yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginkannya)
berpuasalah, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya
perkawinan tersebut di atas, maka hukum asal perkawinan adalah sunnah.
Sedangkan menurut kesepakan ulama, bahwa perkawinan merupakan
suatu yang disunnahkan.
Dan menurut pendapat sebagian serjana hukum Islam, asal hukum
melakukan nikah (perkawinan) adalah ibahah. Namun berdasarkan illatnya
atau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya serta tujuan
12
melaksankannya, maka maka melakukan perkawinan itu dapat beralih
hukumnya menjadi sunnah, wajib, makruh, haram dan boleh (mubah).
1) Melakukan perkawinan hukumnya wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
kawin dikwatirkan akan tergelincirnya dalam perbuatan zina
seandainya ia tidak kawin, maka hukum perkawinan bagi orang
tersebut adalah wajib.
2) Melakukan perkawinan hukumnya sunnah
Orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
melangsungkan perkawinan, akan tetapi kalau tidak kawin kawin
tidak dikwatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.
3) Melakukan perkawinan hukumnya haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta
tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga,
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya
dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan baginya adalah
haram.
4) Melakukan perkawinan hukumnya makruh
Jika seseorang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniyahnya
telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak. Tetapi
membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka
makruh untuknya melakukan perkawinan.
5) Melakukan perkawinan hukumnya mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,
tetapi apabila tidak melakukannya tidak kwatir melakukan
perbuatan zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan
untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
B. Filosofi Pernikahan
Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga
mereka dapat berhubungan satu sama lain dari sejak manusia diciptakan oleh
Allah SWT, yakni antara Adam as dengan Siti Hawa. Dari sini dapat
dipahami bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk saling berpasangan,
sehingga Allah SWT menetapkan jalan yang sah untuk itu, yakni melalui
pranata yang dimaksud pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi
setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktifitas kemanusiaan dengan
makna luas dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW
(nikah merupakan bahagian aktifitasku) meski demikian, aktifitas ibadah
tersebut tidak mutlak harus dilakukan secara paksa. Pernikahan yang
bersetubuh, berimpikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh
bahkan haram.
Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan
bagi kedua belah pihak (suami istri), di mana status kepemilikan akibat aqad
tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan
segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti
oleh lainnya yang dalam term fiqih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang
untuk dirinya sendiri.
Bagi perempuan (istri) sebagaimana si suami ia pun berhak
memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus
untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara biologis
atas diri sang suami bersama perempuan lainnya (istri suami yang lain).
Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara para istri.13
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum dan
berlaku bagi semua mahluk termasuk di dalamnya hewan dan
tumbuh-tumbuhan serta keberadaan malam berganti siang. Sebagaimana Allah
berfirman:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Q.S Adz Dzariyaat: 49)
13
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S Yasiin: 36 )
Pada kedua ayat di atas disebutkan “segala sesuatu berpasang
-pasangan”, yang berarti meliputi semua mahluk ciptaan Allah. Firman Allah
tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya ini dan segala yang
ada. Bentuk pasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan
kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah.
Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan
realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada sisi sunnatullah
yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan
penyampaian Risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai
penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti
terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial
seseorang.14
C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang
1. Nikah Syighar
Yang dimaksud dengan nikah syigar yaitu seorang wali
mengawinkan putrinya dengan seorang laki dengan syarat agar
14
laki tadi menikahkan putrinya kepada laki-laki tersebut dengan tanpa
mahar.15 Al-syighar adalah istilah Arab yang berarti mempunyai seekor
anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang
sama dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena
ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas
kawin (mahar) pada waktu menikahnya.16
Mahar merupakan hak seorang wanita dan merupakan harta
pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin laki-laki untuk dinikmati
oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan
yang tak layak dengan menukar anak atau saudara perempuan untuk
dinikahi kepada lelaki lain sebagai hadiah (bagi satu sama lain) tanpa
membayar mas kawin.
Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk
perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi saw setelah datangnya
Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari haknya
sendiri.17
Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan syighar itu
pokoknya tidak diakui, karena hukumnya batal. Tetapi Abu Hanifah
berpendapat, kawin Syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan
yang bersangkutan wajib mendapatkan mahar yang sepadan dari
masing-masing suaminya karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak
15
Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah (Bandung: Al-ma’arif, 1990, cet ke-7),h. 76 16
Abdurrahman I. Doi, Pernikahan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) h. 6
17
perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab wanita itu bukanlah
sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam
perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akad
nikahnya sebagaimana kalau suatu perkawinan dengan persyaratan
memberikan minuman khamar atau babi, maka akad nikahnya disini
tidaklah batal dan bagi perempuannya berhak atas mahar mitsl.18
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab dilarangnya
perkawinan semacam ini karena tidak adanya mahar dan menjadikan
kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing perempuan
dijadikan sebagai pembayaran mahar yang satu kepada yang lainnya,
padahal perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena
maharnya tidak diterima sedangkan yang menikmati faedah dari mahar
tersebut adalah walinya. Hal ini berarti mendzhalami kedua perempuan
tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinannya.
2. Nikah Misyar
Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius
dalam beberapa negara Islam pada masa sekarang ini, disebabkan oleh
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal-usul perkawinan
ini telah ada pada masa terdahulu yang sering disebut sebagai perkawinan
misyar.
Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepatnya
gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia. Pada
18
hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan
akad yang benar, mencukupi rukun da syaratnya, hanya saja sang istri
harus mengalah dari beberapa haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal
(tempat yang disiapkan oleh suaminya) dan dari hak nafkah, yaitu
pembagian yang adil antara istri yang satu dengan yang lainnya. Seorang
istri yang dikawini misyar harus rela tinggal dengan orang tua bersama
keluarganya, jika sang suami tidak mengadakan perjalanan ke daerah
tempat istri berada, yang semestinya sang suami harus mendatanginya satu
hari dalam seminggu atau beberapa hari dalam sebulan.
Perkawinan misyar terjadi karena realita dan keterjepitan kondisi
pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Saudi Arabia yang
mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini, berbeda dengan
perkawinan temporal lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang
sah, mencukupi rukun akad yang disyariatkan oleh Islam, seperti: ijab, qabul, saksi dan wali, hanya saja laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya
yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya.
Contoh persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dan diterima oleh
istri adalah suami boleh melakukan perkawinan dengan perempuan lain
tanpa sepengetahuan istri, sementara dia tidak menthalaq istrinya dan
suami tidak tertuntut untuk memberikan nafkah, atau menyediakan tempat
tinggal yang layak baginya, sementara istri berdiam di rumah orang
menyepakati hal tersebut, pada saat sang suami berkunjung ke daerah atau
kota tempat tinggal istri, sang suami mempunyai hak untuk berdiam
bersamanya dan berinteraksi sebagaimana layaknya suami istri selama
tinggal di daerah tersebut. Pada posisi ini perempuan, yang nota bene
adalah seorang istri tidak berhak mensyaratkan kepada suami untuk tinggal
lebih dari waktu yang diinginkannya, atau meminta hak-hak seperti istri
lain.
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki
-laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad
sampai pada batas waktu yang telah ditentukan19, nikah mut’ah merupakan
perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai
jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan
seterusnya.20 Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan
wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.21
Pernikahan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan
terlarang yang dijalani dalam tenpo yang singkat untuk mendapatkan
perolehan yang ditetapkan. Mut’ah diperkenankan pada masa awal
pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara
lengkap. Mut’ah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu
seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang
19Ja’far Murthada Al
-Amili, Nikah Mut‟ah Dalam Islam, (Kajian Ilmiah Dari Berbagai
Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992), h. 17 20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah....h. 57 21
bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa
orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari
Jahiliyah menuju Islam. pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal
yang sangat wajar sehingga tidak dianggap suatu dosa. Diperkenankannya
nikah mut’ah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di
medan tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba
melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya
menahan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa
nafsunya.22
Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka mut’ah pun
diharamkan. Izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi
SAW itu segera diharamkan setelah pembukaan kota Mekkah, dan
diharamkan untuk selama-lamanya.
22
31
A. Defenisi Nikah Misyar
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kata nikah berasal dari bahasa
arab حاكن yang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi حكن yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah.1
Sedangkan kata misyar berasal dari bahasa Arab راس yang merupakan
bentuk isim alat dari kata راس yang artinya perjalanan.2 Pengertian misyar
menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya.
Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawajul Misyar
Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karangan Yusuf Qardawi, yang mendefenisikan
misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah atau negeri tertentu) dan
tidak menetap dalam waktu yang lama.3
4
“Yaitu pernikahan dimana seseorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri
lain di rumah yang dinafkahinya.”
1
Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, hlm. 1943 2
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 1998, hlm. 504
3
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005,hlm. 25
4
Perkawinan misyar telah dipraktekan di Arab Saudi dan Mesir. Dan
telah diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa yang telah dikeluarkan oleh
Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dan diresmikan sementara di Mesir oleh Mufti
Mesir Syeikh Muhammad Sayyed Tantawi pada tahun 1999.5
Perkawinan misyar adalah sebuah ijtihad yang unik. Perkawinan misyar
dikategorikan sebagai hubungan perkawinan resmi (terpenuhi syarat dan
rukun nikah) antara laki-laki dan perempuan yang mana mereka tidak tinggal
bersama, dan dimana pihak laki-laki tidak bertanggung jawab secara finansial
terhadap pasangan misyarnya.
Rukun pertama akad nikah adalah ijab dan qabul (serah terima) dari orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Kedua terpenuhi syiar dan pemberitahuan tentang pernikahan, sehingga bisa dibedakan dengan
perbuatan zina dan hubungan dengan wanita simpanan (gundik) yang
biasanya dilakukan secara tersembunyi. Adapun batas minimal dari
pemberitaan yang dianjurkan syara’ menurut tiga madzhab terkemuka Maliki,
Syafi’i dan Hambali adalah terdapatnya saksi dan hadirnya seorang wali.
Ketiga, perkawinan tersebut tidak dibatasi dengan waktu tertentu, namun laki-laki dan wanita harus menanamkan niat untuk terus melanjutkan ikatan
perkawinan. Keempat, pemberian mahar (mas kawin) sang suami terhadap istri, banyak sedikit meski setelah itu istri memberi keringanan sebagian atau
keseluruhan dari mas kawin suaminya, jika ia rela dengan hal itu.
Sebagaimana Allah berfirman:
5
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”. (Q.S An-Nisa: 4)
Bahkan seandainya seorang perempuan dinikahi dengan tanpa
menyebutkan mahar, maka akad tersebut sah, dan perempuan tersebut berhak
memperoleh mahar mitsli.6 Jika telah terdapat emapat perkara tersebut, yaitu
ijab dan qabul dari yang memiliki hak, pemberitaan meski dikalangan
terbatas, tidak adanya pembatasan waktu, dan mas kawin meskipun setelah
itu sang istri memberi keringan. Maka secara syar’i sahlah pernikahan
tersebut. Namun keringan hak tersebut tidak berlaku dalam hal hubungan
biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad, karena hal itu merupakan
syarat yang menafikan maksud dari suatu akad, sehingga membatalkan akad
nikah itu sendiri.7
Para ahli fiqh tidak mempunyai alasan untuk membatalkan akad
(ikatan) perkawinan semacam ini (kawin misyar) yang telah memenuhi rukun
dan syarat sahnya perkawinan. Maka kedua suami istri harus menghormati
syarat-syarat yang sudah disepakati itu semua adalah bagian dari janji yang
harus ditepati sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
6
Mahar mitsil adalah mahar yang disesuaikan dengan umur si perempuan, kecantikannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya, kegadisannya dan ukuran lain yang menyebabkan perbedaan maskawin. H.A.S Al-Hamdani, Risalah Nikah, ter. Agus Salim “Hukum Perkawinan” Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm. 138
7
Namun sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa syarat-syarat semacam itu
tidak mengikat, artinya, akad (ikatan pernikahan) tetap sah sekalipun
syaratnya batal. Selain dikemukakan Imam Abu Hanifah dan disinggung
dalam riwayat Imam Ahamd, pendapat itu pulalah yang terpilih dalam kitab
al-Mugni’ dan lainnya.
Disebutkan pula jenis syarat yang kedua, yaitu: masalah tidak adanya
maskawin dan nafkah, atau berlaku tidak adil (memberikan bagian yang telah
banyak atau sedikit) kepada salah satu istri. Maka syarat seperti itu bathil
(tidak sah), namun perkawinan tetap sah. Syeikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah)
berkomentar “Persyaratan untuk tidak memberi nafkah tetapi menjadikan
sahnya ikatan perkawinan”. Syeikhul Islam berkata pula: “Lebih-lebih jika
sang suami mengalami kesulitan dalam memberikan nafkah materi dan si istri
merasa rela keadaan ini. Maka si istri tidak memiliki alasan untuk
menuntutnya setelah itu. Dan Ibnu Taimiyah lebih memiliki pendapat yang
menyatakan rusaknya (tidak sah) akad pernikahan, jika masyarakat untuk
tidak memberikan maskawin. Pendapat ini banyak diyakini oleh ulama salaf
(terdahulu). Ia juga memiliki pendapat yang menyebutkan tetapi sahnya
ikatan perkawinan jika terdapat persyaratn untuk tidak berhubungan biologis,
karena syarat seperti ini identik dengan syarat untuk mengabaikan apa yang
mesti diperoleh dalam pernikahan.8
8
B. Seputar Nikah Misyar
Rukun kawin misyar adalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Disamping itu ijab dan qabul
diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara
kawin yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.
Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, agama
telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali
(menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad). Yang
perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan tidak boleh dibatasi
dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk
melanggengkan pernikahan mereka. Kemudian seorang laki-laki harus
membayar mas kawin, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit,
meskipun setelah maskawin tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh
si istri tanazul‟ menyerahkan kembali sebagian dari maskawin itu atau
bahkan keseleruhannya, sesuai dengan firman Allah SWT.
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ 4:4)
Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa memberikan
tersebut mempunyai hak mahar misl (mahar yang disamakan). Dan setelah terpenuhinya empat perkara diatas, ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua mempelai, adanya pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai
agar perkawinan tersebut diketahui oleh orang banyak atau hanya diketahui
oleh khalayak secara terbatas, perkawinan itu tidak dibatasi masanya, dan
terpenuhinya mahar, yang meskipun setelah akad si istri mengembalikannya
maka nikah tersebut menurut syara dianggap sah.
Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah seorang wanita memberikan
keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat
seperti ini tidak boleh ketika akad karena dapat menghilangkan tujuan
dilaksanakannya nikah maka akad tersebut adalah batal.
Menurut Yusuf Qardawi seorang ahli agama tidak mempunyai alasan
untuk melarang seorang wanita yang melaksanakan perkawinan dengan
model perkawinan ini (misyar), yaitu dengan melakukan tanazul dari sebagian hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk kebaikan
dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih
mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal,
baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan menfaat dan
mana yang dapat mendatangkan kerugiaan dan tidak masuk kedalam kategori
orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila, dan orang bodoh.
Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang rela untuk mengurangi
haknya diantaranya adalah tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih
9
bermanfaat bagi dirinya, seperti yang dilakukan oleh salah satu istri
Rasulullah Saw. Yaitu Saudah binti Zam’ah.
Ia adalah istri pertama yang dinikahi Rasulullah Saw setelah Khadijah r.a.
Saudah r.a. adalah perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi Saw.
Tidak akan memperlakukannya dengan mesra, sebagiamana sebelumnya. Ia
sangat khawatir kalau Nabi Saw. Menceraikannya, predikatnya sebagai
Ummul Mukminin akan hilang. Ia juga takut, kalau nantinya setelah hari
pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi istri) Rasulullah Saw di surga.
Untuk itu, ia cepat-cepat memberikan tanazul (keringanan) untuk Nabi Saw. Dan diberikannya hak tersebut kepada istri Rasulullah Saw yang lain, yaitu
Aisyah r.a. dengan adanya keringanan ini, Rasulullah Saw sangat berterima
kasih dan menepatkan saudah r.a pada tempat yang sesuai dengan firman
Allah SWT.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka,,,”
(QS.an-Nisa’ 4:128)
Yusuf Qardawi menekankan lebih setuju kalau tanazul ini tidak disebutkan dalam akad, cukup antara kedua belah pihak saling mengerti dan
memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak
layak dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya tetap sah dan
hanya syarat-syarat yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah
diriwayatkan dari Imam Ahamad dalam kitab al-Muqni‟ dan lainnya.
Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar suami tidak perlu
memberikan mahar dan nafkah atau dia tidak meminta bagian lebih dibanding
istri lain (bagian lebih banyak atau sedikit). Syarat seperti ini batal akan tetapi
nikahnya tetap sah.
Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufrodat-nya:
Abu Bakar menyebutkan bahwa akad yang di dalamnya disebutkan syarat-syarat untuk tidak bersenggama, tidak memberikan nafkah atau apabila keduanya pisah, maka apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil kembali masih tetap dianggap sah...10
Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai pendapat tentang sahnya
syarat untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata, “seumpama seorang suami
kesulitan ekonomi dan sang istri menerima hal itu, maka sang istri tidak
mempunyai hak untuk diberi nafkah”11
ia mengatakan bahwa akad akan batal
jika dalam akad disyaratkan untuk tidak membayar mahar. Pendapat ini
merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf.
10
Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 11 11
Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model
kawin misyar adalah salah satu solusi tentunya dengan memilih laki-laki yang
betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-sama ridha.
C. Prinsip dan Tujuan Pernikahan Misyar
1. Prinsip Dalam Perkawinan Misyar
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu
diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup
manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.
Pada hakekatnya, nikah misyar tidak jauh berbeda dengan nikah biasa,
artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa
terdapat pula pada pernikahan misyar. Sehingga prinsip-prinsip
perkawinan misyar dengan pernikahan dalam Islam, yaitu:
a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa tuhan
melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran
agama-agama mengatur perkawinan itu, memberi batasan dan rukun dan
syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun dan syarat tidak terpenuhi, batal
atau fasidlah perkawinan itu. Dengan demikian dalam perkawinan misyar
ada ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus ada maha