• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nikah misyar dalam pandangan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nikah misyar dalam pandangan Hukum Islam"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

Zulkifli NIM : 105043101315

KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

Zulkifli NIM. 105043101315

Pembimbing:

Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada

Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dengan Konsentrasi Perbandingan

Mazhab Fikih.

Jakarta, 14 Desember 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH., MA., MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

NIP. 196511191998031002 : (...)

Sekertaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si

NIP. 197412132003121002 : (...)

Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

NIP. 196511191998031002 : (...)

Penguji I : Dr. Ahmad Tholabi, MA

NIP: 197608072003121001 : (...)

Penguji II : Hj. Rosdiana, MA

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 22 Muharram 1433 H 20 Desember 2011 M

(5)

i

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber dari kenikmatan hidup

yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi Asma-Nya sehingga

penulis diberikan kekuatan yang begitu melimpah dari kekuatan fisik hingga

psikis untuk tetap menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “NIKAH MISYAR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM”

Salawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi

Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan pengikutnya yang telah

membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup

manusia, dan pencerahan atas kegelapan manusia yang dijadikan sebagai sebuah

pembelajaran bagi umat muslim hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi syarat akhir untuk mencapai

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Progam Studi Perbandingan Mazhab dan

Hukum, Konsentrasi Perbandingan Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan

motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

(6)

ii

2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku ketua Progam Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang

rela meluangkan waktu, memberikan ilmu dan masukan-masukan yang

sangat bermanfaat bagi penulis dalam mengerjakan skripsi, dan Bapak

Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku sekretaris Progam Studi

Perbandingan Mazdhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga

dan pikirannya untuk mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yang

berguna.

4. Segenap karyawan Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta dan tak lupa Segenap karyawan Perpustakaan Umum wilayah

Jakarta Barat dan Jakarta Selatan yang telah memberikan bantuan berupa

bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.

5. Kedua orang tua saya, ayahanda Zainal Abidin Sirait dan Ibunda Nasriyah

Marpaung yang sangat penulis hormati dan cintai, selalu memberikan

kasih sayang yang begitu melimpah kepada penulis, yang telah

(7)

iii kasih sayangnya kepada mereka.

6. Sahabat-sahabat PMF angkatan 2005, Dermawan, Teddy Bear, Zulfahmi,

Inayatullah, Faisal Kurniawan, dan yang lainnya, yang tak bisa penulis

sebutkan semua.

7. Teman-teman seperjuangan, Afud, Afank, Anton, Anwar, Ferly, Makin,

Riza, Deol, Gengsar, Aris, Roji, Derry, Eddy, Basiruddin, Grossy, Ady

O’o, dan anak-anak Wek-wek, FKDU Jakarta, yang tak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril

maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah

SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai

amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan

mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua

pihak. Amin.

Jakarta, 20 Desember 2011 M

(8)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan perumusan Masalah ... 9

C. Kajian Pustaka ... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : LANDASAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN ... 16

A. Defenisi dan Dasar Hukum Perkawinan ... 16

B. Filosofi Perkawinan ... 23

C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang ... 25

BAB III : FENOMENA PERKAWINAN MISYAR ... 31

A. Pengertian dan Seputar Perkawinan Misyar ... 35

B. Prinsip dan Tujuan Dalam Perkawinan Misyar ... 39

C. Alasan-alasan Dalam Perkawinan Misyar ... 45

(9)

v

B. Nikah Misyar Menurut Pandangan Hukum Islam ... 52

BAB V : PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang syamil (universal). Agama yang mencakup

semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini,

yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh

nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil. Itulah Islam, agama yang

memberi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai

bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana

memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam

menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan

sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan

tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,

begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan

pesona. Islam mengajarkannya.

Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam

upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah

seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab

itulah Rasulullah SAW mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah

jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya Agama Islam

(11)

berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk

dikembangkan dalam pembentuk keluarga. Dalam hubungan perkawinan,

sangwanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat. Disini martabat

keduanya tidaklah berbeda.1 Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang

sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga, karena itu perkawinan sangat

dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan.

Melalui “nikah” kebutuhan naluriah yang pokok dari manusia (yang

mengharuskan dan mendorong adanya hubungan antar pria dan wanita)

tersalurkan secara terhormat sekaligus memenuhi dan panggilan moral yang

ditegakkan oleh agama. Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan

ketetapan ilahi atas segala makhluk. Mendambakan pasangan merupakan

fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa,

oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan

wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya

perkawinan dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi

ketenteraman atau sakinah.

Islam dan undang-undang perkawinan merupakan informasi dan

pengetahuan tentang nikah, sebagai suatu upaya untuk meningkatkan

kesadaran nikah, disamping merupakan upaya preventif terhadap

berkembangnya bentuk pasangan diluar nikah, juga membantu penanganan

1

Ali Yafie, Menggas Fiqih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah,

(12)

dalam masalah kesejahteraan keluarga dan ketertiban masyarakat.2

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan

menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqon gholidon

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3Hal

tersebut sesuai dengan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 yang

menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.4

Menurut Robert L. Suteherland dalam bukunya “Introductory Sociology”

mendefinisikan bahwa perkawinan adalah bentuk hubungan khusus (khas)

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang didalamnya terdapat

hak dan kewajiban bersama.5Dan menurut Prof Subekti SH mendefinisikan

bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan dalam waktu yang lama.7 Sedangkan menurut Sulaiman

Rasyid dalam bukunya "Fiqh Islam" mendefinisikan bahwa perkawinan yaitu

akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban beserta

bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

2

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisa dan Undang-undang No.1 Tahun 1994 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta, 1999

3

Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 1992, h. 114 4

UU Perkawinan (UU RI No. 1 Tahun 1994) Beserta Pebnjelasannya, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, h. 8

5

(13)

antara keduanya bukan muhrim.6

Dari beberapa pendapat di atas dapat kita fahami bahwa hakekat nikah

bersifat lahiriyah (eksoteris). Tetapi kemudian dimasukkan unsur-unsur

esoteris (batiniah) dan sekaligus dengan tujuan agar perkawinan tidak terikat

didalam seks saja. Seperti di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam pasal

1 UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Sehingga negara yang berdasarkan

Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahiriyah atau jasmaniah. Tetapi unsur batin maupun rohani

juga mempunyai peranan yang sangat penting untuk membentuk keluarga

yang bahagia yang pula merupakan tujuan perkawinan.

Seperti kita ketahui keterkaitan seorang terhadap lawan jenisnya oleh

syari'at diarahkan kepada sebuah lembaga yang disebut pernikahan. Pada

awalnya nikah hanya merupakan konsep sederhana yaitu konsep menyatukan

)

عمجلا

(

yaitu menyatukan dua orang berlainan jenis dengan satu ikatan

tertentu dan dengan rukun dan syarat tertentu pula jika kemudian muncul

model syigar, mut'ah ataupun muhallil, dikarenakan adanya perkembangan

permasalahan yang berdampak pada perkembangan pemikiran.

Seperti halnya dengan praktek kawin misyar, secara prinsipil tidak jauh

berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan

rukun dari nikah bisa terdapat pula pada pernikahan misyar, dan juga seorang

laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak pindah atau bersama laki-laki

6

(14)

dirumahnya (laki-laki).7Biasanya kawin semacam ini terjadi pada istri kedua

dan laki-laki yang melaksanakan kawin semacam ini sudah mempunyai istri

yang lebih dulu tinggal bersama di rumahnya.

Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban

terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan

nafkah memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain (istri pertama).

“Diskon” itu hanya diperoleh oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang

sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi dan

melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat

diharapkan).

Padahal kewajiban yang paling pokok bagi seorang suami adalah

memberikan nafkah kepada istrinya, sedangkan bagi istri, pemberian itu

adalah hak yang mesti harus diterima.8Karena dalam ikatan perkawinan akan

menimbulkan status dan peranan, sehingga akan menimbulkan hak dan

kewajiban yang berupa nafkah.9 Apabila nafkah diberikan sebagaimana

mestinya, tidak dikurangi maka akan dapat mendatangkan keharmonisan dan

kebahagiaan dalam rumah tangga.

Beberapa kenyataan penting tentang kelebihan laki-laki dibanding

perempuan, yakni laki-laki bertanggung jawab, atas seluruh kehidupan

7

Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 394

8

Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001, h. 259.

9 Moh Rifa’i,

(15)

perempuan. Pertama hingga mencapai usia dewasa, perempuan menjadi

tanggung jawab ayahnya, atau orang lain yang bertindak sebagai walinya.

Jika setelah dewasa ia dapat memperoleh penghasilan sendiri, barulah ia

membiayai dirinya sendiri. Tetapi jika tidak, maka ayah dan walinya yang

wajib menanggung kehidupannya.

Kedua dalam pernikahan seorang wanita sama sekali tidak dibebani

kewajiban memberi mas kawin. Ketiga seorang wanita apabila telah

bersuami, seluruh kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan suaminya,

walaupun ia seorang wanita kaya. Keempat prialah yang berkewajiban

menanggung seluruh kebutuhan keluarga, prialah yang dituntut untuk

menyediakan tempat tinggal dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan

oleh anak-anaknya.10 Pemberian nafkah adalah kewajiban suami, misalnya

menyediakan tempat tinggal terpisah.

Para ulama madzhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang

meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar

kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak.

Karena itu, suami yang baik tertentu akan selalu berupaya memenuhi

kewajibannya, sebab dapat menambah rasa cinta kasih, melahirkan

kebahagiaan, menegakkan ketaatan, dan menaburkan kesetiaan terhadap

isteri. Tentu saja dia akan lebih mengutamakan nafkah keluarga sebelum

(16)

merasa keberatan memberikan hadiah, baik berupa barang maupun tambahan

nafkah, kepada istrinya.11

Sehingga sebagai orang memprotes bahwa nikah model ini bertentangan

dengan apa yang telah diterapkan oleh Allah SWT, sesuai dengan ketetapan-

Nya. Kaum laki-laki mempunyai hak untuk mengawasi wanita dan

bertanggung jawab atas diri wanita beserta seluruh anggota keluarga. Dalam

pelaksanaan model ini, seorang laki-laki tidak dituntut memberikan nafkah

kepada wanita dan tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi

para istrinya.12Seperti pendapatnya Ibnu Hazm, apabila terjadi perkawinan,

maka wajib nafkah, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya

semenjak adanya akad, baik ia berniat akan membentuk rumah tangga

ataupun tidak, meskipun isteri masih kanak-kanak, baik perempuan itu nusyuz

kepada suaminya ataupun tidak, baik si isteri itu miskin atau kaya, masih

punya ayah maupun yatim, merdeka ataupun budak, menurut

kemampuannya.13

Berangkat dari pemahaman di atas menarik untuk mengkaji sebuah

perkawin misyar. Yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Nikah

Misyar Dalam Pandangan Hukum Islamyang mana bahwa seorang suami

dapat bebas dari kewajiban terhadap istrinya untuk memberikan hak yang

10

Shalah Abdul Qadir al-Bakriy, Al-Qur‟an dan Pembinaan Insan, Bandung: Al-Ma’arif, 1983, h. 305

11

Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Niscaya Menjadi Kaya, h. 263 12

Yusuf al-Qardawi, Hadyul Islam Fatawa Muashirah, h. 405 13

(17)

sama dibanding istri yang lain.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berhubung karena judul skripsi ini amat luas, maka penulis membatasi

pembahasannya sekitar permasalahan proses terjadinya perkawinan misyar

dan latar belakang timbulnya perkawinan misyar, serta syarat dalam

melakukakan pernikahan misyar.

Dari pembatasan masalah ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor apa saja yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah misyar?

2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar?

C. Kajian Pustaka

Pembahasan seputar perkawinan sebenarnya sudah banyak dibahas

sebelumnya, namun mengenai kewajiban suami untuk memberi nafkah tidak

banyak yang membahasnya. Demikian juga mengenai suami diberi

keringanan dalam hal pemberian nafkah kepada istrinya yang merupakan inti

dari kawin misyar, sebagaimana fatwa Yusuf Qardawi yang memperbolehkan

kawin misyar dalam kitabnya “Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu”.

Sayyid Sabiq dalam buku “Fiqh al-Sunnah”, menerangkan panjang lebar mengenai hukum kewajiban memberi nafkah, namun mengenai keringanan

memberi nafkah tersebut tidak menyinggungnya. Secara garis besarnya ia

menyatakan tentang hukum pemberian nafkah ini bahwa para ahli fiqh

(18)

istri tersebut berbuat durhaka.14 Demikian juga Ibnu Hazm dalam buku “fiqih

wanita” karangan Syekh Kamil Muhammad „Uwaidah mengatakan seorang

suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sejak selesainya

pelaksanaan akad nikah, baik si istri berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau miskin, memiliki orang tua atau yatim, masih gadis maupun sudah janda,

merdeka maupun budak belian, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.

Abu Sulaiman, para sahabatnya dan Sufyan ats-Tsauri mengatakan:

“Pemberian nafkah merupakan kewajiban suami atas wanita yang masih gadis

dan sejak pelaksanaan akad nikah dengannya, demikian lanjut Ibnu Hazm.15

Dan dalam bukunya “Perkawinan Terlarang” Dr. Muhammad Fu’ad

Syakir, mengatakan bahwa perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin

cepat dan mudahnya gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di

dunia ini. Pada hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang

laki-laki dengan akad yang benar, mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja

sang istri harus mengalah dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan

tempat tinggal, atau tempat yang disiapkan oleh suaminya, dan dari hak

nafkah, yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya.16

Dari beberapa buku yang telah penulis kaji, mengungkapkan bahwa

nafkah adalah kewajiban bagi seorang laki-laki terhadap istri. Tetapi dalam

14

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1982, h. 65 15 Syaikh Kamil Muhammad ’Uwaidah,

Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, h. 404

16

(19)

kawin misyar tidak ada tuntutan bagi suami untuk memberikan nafkah pada

istrinya, dimana hal semacam ini diperbolehkan sehingga permasalahan ini

menarik untuk dikaji.

D. Tujuan dan Manfaat

Dengan mengacu pada latar belakang diatas tersebut ada beberapa pokok

permasalahan yang akan penulis bahas dalam bentuk skripsi, namun dari

beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas pada pokok

permasalahan dibawah ini :

1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kawin misyar.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kawin misyar.

Adapun kegunaan dari hasil penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a) Aspek Teoritis

Hasil studi diharapkan dapat dipergunakan untuk memperkaya

khazanah hukum perkawinan, terutama dalam perkawinan misyar.

b) Aspek Praktis

Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi sebuah acuan bagi

pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk pedoman lebih lanjut maupun

sebagai bahan penyuluhan dalam bidang perkawinan, terutama dalam

(20)

E. Metode Penelitian

Untuk menghasilkan suatu karya ilmiah, perlu menggunakan pendekatan

yang tepat dan sistimatis, sebagai pegangan dalam penulisan skripsi dan

pengolahan data untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan

metode yaitu:

1. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang valid, penulis menggunakan metode

library research (penelitian kepustakaan) yang bertujuan untuk

mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan semacam material

yang terdapat diruang perpustakaan, misalnya: buku-buku,

naskah-naskah, catatan dan kataloq. Pada hakikatnya data yang diperoleh

dengan jalan penelitian kepustakaan dijadikan fondasi dan alat utama

bagi praktek penelitian ditengah lapangan.17 Data-data tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Yaitu sumber data yang memberikan informasi dan data secara

langsung, adapun sumber data primer yang penulis gunakan adalah:

Yusuf Qardawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu.

17

(21)

b. Sumber Data Skunder

Yaitu sumber data yang berupa kitab fiqih, hadits, tafsir karya para

ulama serta literatur lainnya yang berhubungan tentang nikah misyar.

Diantaranya adalah:

a) Abdul Ar-Rahman Al-jaziri, Kitab al-fiqh „ala al-Mazahib

al-Arba‟ah, Juz IV.

b) Ali Ansori, Al-Mizan al Kubra, Juz II.

c) Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary, Fath al-Mu‟in.

d) Muhammad Jawad Al-Mugniyah, Al-Fiqh „Ala al-Mazahib al-Khamsah.

e) Najamudin Amin Al-kurdi. Tanwir al-Qalb.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mempermudah dalam memperoleh data pada pembahasan ini,

maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara

membaca dan menalaah buku-buku atau sumber tentang hukum Islam dan

kitab-kitab hukum Islam yang ada hubungannya tentang diperbolehkannya

kawin misyar.

Teknik ini dalam teori penelitian dikenal sebagai sebagian dari

(22)

3. Teknik Pengolahan Data

Dalam menganalisa data-data yang dapat dari literatur yang ada,

penulis menggunakan pengelolaan dengan tahapaan-tahapan sebagai

berikut:

a. Editng: Pemeriksaan kembali data yang didapat dengan cermat dan teliti, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesuaian, keselarasan,

relevansi dan keseragaman antara yang satu dengan yang lainnya.

b. Organizing: pengorganisasian data dengan cara menyusun dan mensistimasikan serta mengklasifikasikan data-data yang didapat.

c. Analyzing: mengadakan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data yang menggunakan kaedah-kaedah dan teori dan dalil berkenaan

dengan kebolehan kawin misyar secara jelas dan lengkap.

4. Metode Analisa Data

Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif

untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan. Agar fakta dan analisa

menjadi tepat, maka sifat penelitian ini adalah deskriptik-analitik yang bertjuan menggambarkan secara integral tema-tema umum seperti kawin

misyar. Sedangkan data yang digunakan terdiri dari data primer dan

sekunder. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan penelitian

dengan menggunakan penelitian pustaka (librery research), yaitu menalaah

(23)

penelitian yang kemudian dijadikan sebagai sumber data.

Dalam menganalisis data tersebut penulis menggunakan pendekatan

normatif, yaitu dengan cara mendekati masalah dengan melihat apakah

boleh atau tidak, sesuai atau tidak menurut norma berdasarkan

prinsip-prinsip hukum Islam khususnya berkaitan dengan hukum Islam

khususnya dalam bidang muamalah karena kajian ini menggunakan

pendekatan normatif, maka alat analisis utama yang dipergunakan

al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam kemudian

didukung dengan sumber-sumber hukum Islam yang lain yang berkaitan

dengan perkawinan Islam.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syaari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penyusunan hasil penelitian ini, maka

pembahasannya dikelompokkan dalam lima bab, yang penjelasannya adalah

sebagai berikut:

Bab I : Bab Pertama adalah berisi pendahuluan skripsi yang terdiri dari

latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

(24)

Bab II : Bab kedua landasan filosofis perkawinan, meliputi defenisi

perkawinan, dasar hukum dan, filosofi nikah dan macam-macam

perkawinan yang terlarang.

Bab III : Bab ketiga berisi fenomena tentang kawin misyar yang meliputi

pengertian dan seputar nikah misyar, prinsip dan tujuan dalam

perkawinan misyar serta alasan-alasan dalam pernikahan misyar.

Bab IV : Bab keempat adalah nikah misyar dalam pandangan hukum

Islam yang meliputi kontroversi pendapat mengenai nikah misyar

dan nikah misyar menurut hukum Islam.

(25)

16

A. Defenisi dan Dasar Hukum Pernikahan 1. Definisi Nikah

Kata nikah dari bahasa Arab حاكن yang merupakan bentuk masdar dari

fiil madhi حكن yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti

kawin, menikah.1

Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh „Ala Mazahib al-Arba‟ah menyebutkan ada 3 makna nikah:2

a) Menurut bahasa

Artinya: “Bersenggama atau bercampur”.

b) Menurut syar’i

Para ulama berbeda pendapat tentang makna syar’i ini. Pendapat

pertama menyatakan bahwa nikah arti hakekatnya adalah watha’

(bersenggama).

Pendapat kedua menyatakan bahwa makna hakekat dari nikah adalah

akad, sedangkan arti majaznya adalah watha’.

1

Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998, h. 1943

2

(26)

Pendapat ketiga menyatakan bahwa makna hakekat dari adalah musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.

c) Makna fiqih

Menurut ahli fiqh nikah berarti akad nikah yang ditetapkan oleh

syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang

-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya.

Berdasarkan pendapat para imam mazhab pengertian nikah sebagai

berikut:

Golongan Hanafiyah mendefenisikan nikah:

“Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan dengan

sengaja”.

Golongan asy-Syafi’iyah mendefenisikan nikah sebagai:

“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan watha‟ dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan

keduanya”.

Golongan Malikiyah mendefenisikan nikah sebagai:

“Nikah adalah suatu akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri

(27)

Golongan Hanabilah mendefenisikan nikah sebagai:

“Nikah adalah suatu akad dengan mempergunakan lafadz-lafadz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan

wanita”.3

Pengertian nikah tersebut diatas hanya melihat dari satu segi saja,

yaitu kebolehan hokum dalam hubungan kelamin antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang semula dilarang menjadi

diperbolehkan, padahal setiap perbuatan hokum mempunyai tujuan

dan akibat ataupun pengaruhnya seperti yang ditulis oleh Muhammad

Abu Ishrah bahwa nikah atau ziwaj itu ialah:

“Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberikan batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.4

Sedangkan pengertian nikah menurut istilah, ada beberapa ndangan

dari beberapa ahli, antara lain:

1) Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga

berarti aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria

dan wanita.5

3

Abdurrahman al-jaziri, Al-fiqh al-Mazahibil Arba‟ah, Juz IV, Mesir, 1969, h. 395 4

Dirjen Bimbingan Islam Depag RI, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985, h. 48-49

5

(28)

2) Menurut Prof. Dr. H Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut

istilah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan

wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.6

3) Taqiyudin Abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut,

yaitu akad yang terkenal yang mengandung kebenaran rukun dan

syarat.7

4) Menurut Muhammad Rifa’i nikah adalah suatu akad yang

menghalalkan pergaulan secara sah antara laki-laki dan perempuan

yang bukan mahrimnya dan menimbulkan hak dan kewajiban antara

keduanya.8

5) Menurut Muhammad Yunus perkawinan adalah akad antara calon

suami dengan calon istri untuk memenuhi hajat sejenisnya menurut

yang diatur oleh syariat.9

6) Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan

menurut hokum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsyaqan

gholizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.10 Hal tersebut sesuai dengan UU perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

6

Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 741 7

Taqiyudin Ali Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hism ad-Dimasyqi asy-Syafi’i,

Kifayatul Akhyar, Juz 2, Semarang, Toha Putra, h. 36 8Muhammad rifa’i,

Ilmu Fiqh Islam Lengkap, h. 453 9

Muhammad Yunus, Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Hidyakarya Agung, 1983 h. 1 10

(29)

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11

2. Dasar Hukum Nikah

Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup

dan perkembangannya. Untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan

suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum. Adapun

dasar perkawinan dalam Islam adalah firman Allah dalam kitab suci

al-Qur’an diantaranya.

Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:







































“Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS an-Nuur 32)

Dan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21:







































“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Rum 21)

11

(30)

Disamping ayat-ayat di atas ada juga hadist nabi yang berisi

anjuran-anjuran perkawinan diantaranya bahwa perkawinan itu dianjurkan bagi

orang-orang yang telah dianggap mampu dan mempunyai kesanggupan

memilihara diri dari kemungkinan-kemungkinan melakukan perbuatan

yang tercela (terlarang). Maka perkawinan lebih baik baginya.

Sabda Nabi SAW:

“Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda

kepada kamu: Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu sekalian yang mampu kawin, kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menundukkan pandangan) dan memilihara farji, barang siap yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginkannya)

berpuasalah, karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya

perkawinan tersebut di atas, maka hukum asal perkawinan adalah sunnah.

Sedangkan menurut kesepakan ulama, bahwa perkawinan merupakan

suatu yang disunnahkan.

Dan menurut pendapat sebagian serjana hukum Islam, asal hukum

melakukan nikah (perkawinan) adalah ibahah. Namun berdasarkan illatnya

atau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya serta tujuan

12

(31)

melaksankannya, maka maka melakukan perkawinan itu dapat beralih

hukumnya menjadi sunnah, wajib, makruh, haram dan boleh (mubah).

1) Melakukan perkawinan hukumnya wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

kawin dikwatirkan akan tergelincirnya dalam perbuatan zina

seandainya ia tidak kawin, maka hukum perkawinan bagi orang

tersebut adalah wajib.

2) Melakukan perkawinan hukumnya sunnah

Orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk

melangsungkan perkawinan, akan tetapi kalau tidak kawin kawin

tidak dikwatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan

perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

3) Melakukan perkawinan hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta

tanggung jawab atas kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga,

sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya

dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan baginya adalah

haram.

4) Melakukan perkawinan hukumnya makruh

Jika seseorang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniyahnya

telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak. Tetapi

(32)

membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka

makruh untuknya melakukan perkawinan.

5) Melakukan perkawinan hukumnya mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya,

tetapi apabila tidak melakukannya tidak kwatir melakukan

perbuatan zina dan apabila melakukannya juga tidak akan

menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan

untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga

kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.

B. Filosofi Pernikahan

Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga

mereka dapat berhubungan satu sama lain dari sejak manusia diciptakan oleh

Allah SWT, yakni antara Adam as dengan Siti Hawa. Dari sini dapat

dipahami bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk saling berpasangan,

sehingga Allah SWT menetapkan jalan yang sah untuk itu, yakni melalui

pranata yang dimaksud pernikahan.

Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi

setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktifitas kemanusiaan dengan

makna luas dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW

(nikah merupakan bahagian aktifitasku) meski demikian, aktifitas ibadah

tersebut tidak mutlak harus dilakukan secara paksa. Pernikahan yang

(33)

bersetubuh, berimpikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh

bahkan haram.

Aqad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan

bagi kedua belah pihak (suami istri), di mana status kepemilikan akibat aqad

tersebut bagi si lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan

segala yang terkait dengan itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti

oleh lainnya yang dalam term fiqih disebut “Milku al-Intifa”, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu benda (istri), yang

untuk dirinya sendiri.

Bagi perempuan (istri) sebagaimana si suami ia pun berhak

memperoleh kenikmatan biologis yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus

untuk dirinya sendiri, dalam hal ini si istri boleh menikmati secara biologis

atas diri sang suami bersama perempuan lainnya (istri suami yang lain).

Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara para istri.13

Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang bersifat umum dan

berlaku bagi semua mahluk termasuk di dalamnya hewan dan

tumbuh-tumbuhan serta keberadaan malam berganti siang. Sebagaimana Allah

berfirman:











“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Q.S Adz Dzariyaat: 49)

13

(34)

























“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari

apa yang tidak mereka ketahui”. (Q.S Yasiin: 36 )

Pada kedua ayat di atas disebutkan “segala sesuatu berpasang

-pasangan”, yang berarti meliputi semua mahluk ciptaan Allah. Firman Allah

tersebut secara real dapat disaksikan melalui alam raya ini dan segala yang

ada. Bentuk pasang-pasangan ciptaanNya merupakan realisasi keseimbangan

kehidupan dunia yang mengikuti sunnatullah.

Syariat nikah berupa anjuran dan beberapa keutamaannya merupakan

realita yang tidak ada perdebatan didalamnya. Nikah pada sisi sunnatullah

yang dilakukan para Nabi dan Rasul dalam upaya penyebaran dan

penyampaian Risalah Ilahiyah. Nikah pada sisi yang lain, berfungsi sebagai

penyambung keturunan agar silsilah keluarga tidak terputus yang berarti

terputusnya mata rantai sejarah dan hilangnya keberadaan status sosial

seseorang.14

C. Macam-macam Perkawinan Yang Terlarang

1. Nikah Syighar

Yang dimaksud dengan nikah syigar yaitu seorang wali

mengawinkan putrinya dengan seorang laki dengan syarat agar

14

(35)

laki tadi menikahkan putrinya kepada laki-laki tersebut dengan tanpa

mahar.15 Al-syighar adalah istilah Arab yang berarti mempunyai seekor

anjing sewaktu ia lewat melintas. Inilah sebabnya mengapa kata yang

sama dikenakan pada bentuk pernikahan yang tak diinginkan ini karena

ada persamaan dengan menjemput seorang wanita tanpa membayar mas

kawin (mahar) pada waktu menikahnya.16

Mahar merupakan hak seorang wanita dan merupakan harta

pribadinya, bukan semata hadiah dari pengantin laki-laki untuk dinikmati

oleh orang tua pihak perempuan atau untuk mendapatkan keuntungan

yang tak layak dengan menukar anak atau saudara perempuan untuk

dinikahi kepada lelaki lain sebagai hadiah (bagi satu sama lain) tanpa

membayar mas kawin.

Pada masa sebelum Islam, syighar diakui sebagai suatu bentuk

perkawinan yang kemudian dilarang oleh Nabi saw setelah datangnya

Islam, karena bentuk perkawinan ini menghalangi wanita dari haknya

sendiri.17

Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan syighar itu

pokoknya tidak diakui, karena hukumnya batal. Tetapi Abu Hanifah

berpendapat, kawin Syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan

yang bersangkutan wajib mendapatkan mahar yang sepadan dari

masing-masing suaminya karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak

15

Sayyid Sabig, Fiqh Sunnah (Bandung: Al-ma’arif, 1990, cet ke-7),h. 76 16

Abdurrahman I. Doi, Pernikahan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) h. 6

17

(36)

perempuannya sebagai mahar tidaklah tepat, sebab wanita itu bukanlah

sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama mereka. Dalam

perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukan pada akad

nikahnya sebagaimana kalau suatu perkawinan dengan persyaratan

memberikan minuman khamar atau babi, maka akad nikahnya disini

tidaklah batal dan bagi perempuannya berhak atas mahar mitsl.18

Para ulama berbeda pendapat tentang sebab-sebab dilarangnya

perkawinan semacam ini karena tidak adanya mahar dan menjadikan

kelamin sebagai hak bersama, dimana kelamin masing-masing perempuan

dijadikan sebagai pembayaran mahar yang satu kepada yang lainnya,

padahal perempuannya sendiri tidak ikut memperoleh faedah karena

maharnya tidak diterima sedangkan yang menikmati faedah dari mahar

tersebut adalah walinya. Hal ini berarti mendzhalami kedua perempuan

tersebut dan merampas hak mahar dari perkawinannya.

2. Nikah Misyar

Perkawinan seperti ini telah menjadi sebuah fenomena yang serius

dalam beberapa negara Islam pada masa sekarang ini, disebabkan oleh

perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, asal-usul perkawinan

ini telah ada pada masa terdahulu yang sering disebut sebagai perkawinan

misyar.

Perkawinan misyar adalah pengaruh dari semakin cepatnya

gerakan transportasi antar negara dan daerah-daerah di dunia. Pada

18

(37)

hakekatnya perkawinan misyar dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan

akad yang benar, mencukupi rukun da syaratnya, hanya saja sang istri

harus mengalah dari beberapa haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal

(tempat yang disiapkan oleh suaminya) dan dari hak nafkah, yaitu

pembagian yang adil antara istri yang satu dengan yang lainnya. Seorang

istri yang dikawini misyar harus rela tinggal dengan orang tua bersama

keluarganya, jika sang suami tidak mengadakan perjalanan ke daerah

tempat istri berada, yang semestinya sang suami harus mendatanginya satu

hari dalam seminggu atau beberapa hari dalam sebulan.

Perkawinan misyar terjadi karena realita dan keterjepitan kondisi

pada sebagian kelompok masyarakat, seperti Saudi Arabia yang

mengeluarkan fatwa membolehkan perkawinan ini, berbeda dengan

perkawinan temporal lainnya, perkawinan misyar adalah perkawinan yang

sah, mencukupi rukun akad yang disyariatkan oleh Islam, seperti: ijab, qabul, saksi dan wali, hanya saja laki-laki mensyaratkan kepada perempuan untuk menyatakan bahwa dia tidak akan menuntut hak-haknya

yang berhubungan dengan tanggungan laki-laki sebagai suaminya.

Contoh persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dan diterima oleh

istri adalah suami boleh melakukan perkawinan dengan perempuan lain

tanpa sepengetahuan istri, sementara dia tidak menthalaq istrinya dan

suami tidak tertuntut untuk memberikan nafkah, atau menyediakan tempat

tinggal yang layak baginya, sementara istri berdiam di rumah orang

(38)

menyepakati hal tersebut, pada saat sang suami berkunjung ke daerah atau

kota tempat tinggal istri, sang suami mempunyai hak untuk berdiam

bersamanya dan berinteraksi sebagaimana layaknya suami istri selama

tinggal di daerah tersebut. Pada posisi ini perempuan, yang nota bene

adalah seorang istri tidak berhak mensyaratkan kepada suami untuk tinggal

lebih dari waktu yang diinginkannya, atau meminta hak-hak seperti istri

lain.

3. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki

-laki dan wanita, dengan mahar yang telah disepakati, disebut dalam akad

sampai pada batas waktu yang telah ditentukan19, nikah mut’ah merupakan

perkawinan yang bersifat sementara atau perkawinan yang mempunyai

jangka waktu, seperti kawin satu hari, satu minggu, satu bulan dan

seterusnya.20 Nikah seperti ini tidak memerlukan wali dan saksi, dan

wanita dapat menikahkan dirinya sendiri dengan pria calon suaminya.21

Pernikahan semacam ini merupakan suatu bentuk perkawinan

terlarang yang dijalani dalam tenpo yang singkat untuk mendapatkan

perolehan yang ditetapkan. Mut’ah diperkenankan pada masa awal

pembentukan ajaran Islam, sebelum syariat Islam ditetapkan secara

lengkap. Mut’ah diperbolehkan pada hari-hari permulaan sewaktu

seseorang melakukan perjalanan atau ketika orang-orang sedang

19Ja’far Murthada Al

-Amili, Nikah Mut‟ah Dalam Islam, (Kajian Ilmiah Dari Berbagai

Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad Jawad, (Jakarta: Yayasan As-sajjad, 1992), h. 17 20

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah....h. 57 21

(39)

bertempur melawan musuh. Alasan mengapa diperkenankan adalah bahwa

orang-orang yang baru memeluk Islam tengah mulai masa transisi dari

Jahiliyah menuju Islam. pada masa Jahiliyah, perzinahan merupakan hal

yang sangat wajar sehingga tidak dianggap suatu dosa. Diperkenankannya

nikah mut’ah pada masa terdahulu karena orang-orang yang berjuang di

medan tempur belum mempunyai keteguhan iman dan mencoba

melakukan zina semasa perang itu. Sedangkan yang kuat imannya

menahan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa

nafsunya.22

Setelah syariat Islam mencapai kesempurnaan, maka mut’ah pun

diharamkan. Izin sementara keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi

SAW itu segera diharamkan setelah pembukaan kota Mekkah, dan

diharamkan untuk selama-lamanya.

22

(40)

31

A. Defenisi Nikah Misyar

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kata nikah berasal dari bahasa

arab حاكن yang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi حكن yang

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti kawin, menikah.1

Sedangkan kata misyar berasal dari bahasa Arab راس yang merupakan

bentuk isim alat dari kata راس yang artinya perjalanan.2 Pengertian misyar

menurut istilah, sepengetahuan penulis belum ada yang membahasnya.

Pengertian misyar ini hanya ditemukan dalam kitab Zawajul Misyar

Haqiqatuhu wa Hukmuhu, karangan Yusuf Qardawi, yang mendefenisikan

misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah atau negeri tertentu) dan

tidak menetap dalam waktu yang lama.3

4

“Yaitu pernikahan dimana seseorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri

lain di rumah yang dinafkahinya.”

1

Atabik Ali, Muhammad Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, hlm. 1943 2

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Jogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krepyak, 1998, hlm. 504

3

Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005,hlm. 25

4

(41)

Perkawinan misyar telah dipraktekan di Arab Saudi dan Mesir. Dan

telah diresmikan di Arab Saudi melalui fatwa yang telah dikeluarkan oleh

Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dan diresmikan sementara di Mesir oleh Mufti

Mesir Syeikh Muhammad Sayyed Tantawi pada tahun 1999.5

Perkawinan misyar adalah sebuah ijtihad yang unik. Perkawinan misyar

dikategorikan sebagai hubungan perkawinan resmi (terpenuhi syarat dan

rukun nikah) antara laki-laki dan perempuan yang mana mereka tidak tinggal

bersama, dan dimana pihak laki-laki tidak bertanggung jawab secara finansial

terhadap pasangan misyarnya.

Rukun pertama akad nikah adalah ijab dan qabul (serah terima) dari orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Kedua terpenuhi syiar dan pemberitahuan tentang pernikahan, sehingga bisa dibedakan dengan

perbuatan zina dan hubungan dengan wanita simpanan (gundik) yang

biasanya dilakukan secara tersembunyi. Adapun batas minimal dari

pemberitaan yang dianjurkan syara’ menurut tiga madzhab terkemuka Maliki,

Syafi’i dan Hambali adalah terdapatnya saksi dan hadirnya seorang wali.

Ketiga, perkawinan tersebut tidak dibatasi dengan waktu tertentu, namun laki-laki dan wanita harus menanamkan niat untuk terus melanjutkan ikatan

perkawinan. Keempat, pemberian mahar (mas kawin) sang suami terhadap istri, banyak sedikit meski setelah itu istri memberi keringanan sebagian atau

keseluruhan dari mas kawin suaminya, jika ia rela dengan hal itu.

Sebagaimana Allah berfirman:

5

(42)













“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

akibatnya”. (Q.S An-Nisa: 4)

Bahkan seandainya seorang perempuan dinikahi dengan tanpa

menyebutkan mahar, maka akad tersebut sah, dan perempuan tersebut berhak

memperoleh mahar mitsli.6 Jika telah terdapat emapat perkara tersebut, yaitu

ijab dan qabul dari yang memiliki hak, pemberitaan meski dikalangan

terbatas, tidak adanya pembatasan waktu, dan mas kawin meskipun setelah

itu sang istri memberi keringan. Maka secara syar’i sahlah pernikahan

tersebut. Namun keringan hak tersebut tidak berlaku dalam hal hubungan

biologis, yang tidak boleh disyaratkan dalam akad, karena hal itu merupakan

syarat yang menafikan maksud dari suatu akad, sehingga membatalkan akad

nikah itu sendiri.7

Para ahli fiqh tidak mempunyai alasan untuk membatalkan akad

(ikatan) perkawinan semacam ini (kawin misyar) yang telah memenuhi rukun

dan syarat sahnya perkawinan. Maka kedua suami istri harus menghormati

syarat-syarat yang sudah disepakati itu semua adalah bagian dari janji yang

harus ditepati sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

6

Mahar mitsil adalah mahar yang disesuaikan dengan umur si perempuan, kecantikannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya, kegadisannya dan ukuran lain yang menyebabkan perbedaan maskawin. H.A.S Al-Hamdani, Risalah Nikah, ter. Agus Salim “Hukum Perkawinan” Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hlm. 138

7

(43)

Namun sebagian ulama fiqh berpendapat bahwa syarat-syarat semacam itu

tidak mengikat, artinya, akad (ikatan pernikahan) tetap sah sekalipun

syaratnya batal. Selain dikemukakan Imam Abu Hanifah dan disinggung

dalam riwayat Imam Ahamd, pendapat itu pulalah yang terpilih dalam kitab

al-Mugni’ dan lainnya.

Disebutkan pula jenis syarat yang kedua, yaitu: masalah tidak adanya

maskawin dan nafkah, atau berlaku tidak adil (memberikan bagian yang telah

banyak atau sedikit) kepada salah satu istri. Maka syarat seperti itu bathil

(tidak sah), namun perkawinan tetap sah. Syeikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah)

berkomentar “Persyaratan untuk tidak memberi nafkah tetapi menjadikan

sahnya ikatan perkawinan”. Syeikhul Islam berkata pula: “Lebih-lebih jika

sang suami mengalami kesulitan dalam memberikan nafkah materi dan si istri

merasa rela keadaan ini. Maka si istri tidak memiliki alasan untuk

menuntutnya setelah itu. Dan Ibnu Taimiyah lebih memiliki pendapat yang

menyatakan rusaknya (tidak sah) akad pernikahan, jika masyarakat untuk

tidak memberikan maskawin. Pendapat ini banyak diyakini oleh ulama salaf

(terdahulu). Ia juga memiliki pendapat yang menyebutkan tetapi sahnya

ikatan perkawinan jika terdapat persyaratn untuk tidak berhubungan biologis,

karena syarat seperti ini identik dengan syarat untuk mengabaikan apa yang

mesti diperoleh dalam pernikahan.8

8

(44)

B. Seputar Nikah Misyar

Rukun kawin misyar adalah ijab dan qabul yang dilakukan oleh orang yang memiliki hak untuk melaksanakannya. Disamping itu ijab dan qabul

diharapkan dapat diketahui oleh khalayak ramai agar dapat dibedakan antara

kawin yang dilaksanakan secara sah dan zina atau hubungan gelap.

Dalam hal pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai, agama

telah memberikan batasan minimum, yaitu adanya dua orang saksi dan wali

(menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad). Yang

perlu diperhatikan selanjutnya adalah masa perkawinan tidak boleh dibatasi

dengan waktu serta kedua mempelai harus mempunyai niat untuk

melanggengkan pernikahan mereka. Kemudian seorang laki-laki harus

membayar mas kawin, baik dalam jumlah yang banyak maupun sedikit,

meskipun setelah maskawin tersebut diserahkan kepada calon istrinya, boleh

si istri tanazul‟ menyerahkan kembali sebagian dari maskawin itu atau

bahkan keseleruhannya, sesuai dengan firman Allah SWT.













Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ 4:4)

Apabila ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita tanpa memberikan

(45)

tersebut mempunyai hak mahar misl (mahar yang disamakan). Dan setelah terpenuhinya empat perkara diatas, ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua mempelai, adanya pengiklanan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai

agar perkawinan tersebut diketahui oleh orang banyak atau hanya diketahui

oleh khalayak secara terbatas, perkawinan itu tidak dibatasi masanya, dan

terpenuhinya mahar, yang meskipun setelah akad si istri mengembalikannya

maka nikah tersebut menurut syara dianggap sah.

Adapun ketika dilaksanakannya akad nikah seorang wanita memberikan

keringanan, yaitu tidak meminta hak-haknya kecuali hak bersenggama, syarat

seperti ini tidak boleh ketika akad karena dapat menghilangkan tujuan

dilaksanakannya nikah maka akad tersebut adalah batal.

Menurut Yusuf Qardawi seorang ahli agama tidak mempunyai alasan

untuk melarang seorang wanita yang melaksanakan perkawinan dengan

model perkawinan ini (misyar), yaitu dengan melakukan tanazul dari sebagian hak-haknya, kalau niatnya benar-benar murni untuk kebaikan

dirinya sendiri, karena dia (wanita tersebut) adalah orang yang lebih

mengetahui mana yang terbaik bagi dirinya, dia adalah orang yang berakal,

baligh, pandai yang mengetahui mana yang dapat mendatangkan menfaat dan

mana yang dapat mendatangkan kerugiaan dan tidak masuk kedalam kategori

orang yang harus dilindungi, seperti anak kecil, orang gila, dan orang bodoh.

Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang rela untuk mengurangi

haknya diantaranya adalah tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih

9

(46)

bermanfaat bagi dirinya, seperti yang dilakukan oleh salah satu istri

Rasulullah Saw. Yaitu Saudah binti Zam’ah.

Ia adalah istri pertama yang dinikahi Rasulullah Saw setelah Khadijah r.a.

Saudah r.a. adalah perempuan yang sudah tua, dia merasa bahwa Nabi Saw.

Tidak akan memperlakukannya dengan mesra, sebagiamana sebelumnya. Ia

sangat khawatir kalau Nabi Saw. Menceraikannya, predikatnya sebagai

Ummul Mukminin akan hilang. Ia juga takut, kalau nantinya setelah hari

pembalasan, tidak bisa mendampingi (menjadi istri) Rasulullah Saw di surga.

Untuk itu, ia cepat-cepat memberikan tanazul (keringanan) untuk Nabi Saw. Dan diberikannya hak tersebut kepada istri Rasulullah Saw yang lain, yaitu

Aisyah r.a. dengan adanya keringanan ini, Rasulullah Saw sangat berterima

kasih dan menepatkan saudah r.a pada tempat yang sesuai dengan firman

Allah SWT.







“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka,,,”

(QS.an-Nisa’ 4:128)

Yusuf Qardawi menekankan lebih setuju kalau tanazul ini tidak disebutkan dalam akad, cukup antara kedua belah pihak saling mengerti dan

(47)

memenuhi syarat-syarat adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah

diperintahkan oleh Allah SWT.

Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak

layak dilakukan, tetapi apabila sudah terlanjur maka akadnya tetap sah dan

hanya syarat-syarat yang batal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah

diriwayatkan dari Imam Ahamad dalam kitab al-Muqni‟ dan lainnya.

Menurutnya, ada bentuk syarat lain, yaitu agar suami tidak perlu

memberikan mahar dan nafkah atau dia tidak meminta bagian lebih dibanding

istri lain (bagian lebih banyak atau sedikit). Syarat seperti ini batal akan tetapi

nikahnya tetap sah.

Ibnu Aqil berkata dalam kitab Mufrodat-nya:

Abu Bakar menyebutkan bahwa akad yang di dalamnya disebutkan syarat-syarat untuk tidak bersenggama, tidak memberikan nafkah atau apabila keduanya pisah, maka apa yang telah dinafkahkan suami akan diambil kembali masih tetap dianggap sah...10

Syekh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah) mempunyai pendapat tentang sahnya

syarat untuk tidak memberi nafkah. Ia berkata, “seumpama seorang suami

kesulitan ekonomi dan sang istri menerima hal itu, maka sang istri tidak

mempunyai hak untuk diberi nafkah”11

ia mengatakan bahwa akad akan batal

jika dalam akad disyaratkan untuk tidak membayar mahar. Pendapat ini

merupakan kesepakatan sebagian besar ulama salaf.

10

Yusuf Qardhawi, Zawajul Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, hlm. 11 11

(48)

Ketika mereka (wanita-wanita yang tidak bersuami) mendapati model

kawin misyar adalah salah satu solusi tentunya dengan memilih laki-laki yang

betul-betul baik budi pekertinya dan mereka sudah sama-sama ridha.

C. Prinsip dan Tujuan Pernikahan Misyar

1. Prinsip Dalam Perkawinan Misyar

Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu

diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup

manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.

Pada hakekatnya, nikah misyar tidak jauh berbeda dengan nikah biasa,

artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa

terdapat pula pada pernikahan misyar. Sehingga prinsip-prinsip

perkawinan misyar dengan pernikahan dalam Islam, yaitu:

a. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama

Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa tuhan

melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran

agama-agama mengatur perkawinan itu, memberi batasan dan rukun dan

syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun dan syarat tidak terpenuhi, batal

atau fasidlah perkawinan itu. Dengan demikian dalam perkawinan misyar

ada ketentuan lain disamping rukun dan syarat, seperti harus ada maha

Referensi

Dokumen terkait

Hasil studi Framingham menunjukkan bahwa penderita dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk terjadinya infark otak

Untuk melihat kelancaran produksi ASI ibu itu sendiri dapat dilihat dari indicator ibu dan bayi, indicator pada bayi meliputi frekuensi dan krakteristik BAK

Menurut (Bogdan & Taylor 5), metode kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D plasma dengan basal metabolik indek pada penderita kanker payudara di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi nasabah berdasarkan kondisi geografis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan produk pembiayaan di BMT

Kesimpulan yang didapatkan setelah reduksi data dan penyajian data merupakan kesimpulan awal yang masih bersifat sementara. Kesimpulan akan berubah bila tidak

Diabetes Mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah sebagai