• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Al-Ikhwan Al-Muslimun dan Perkembangannya

5. Perkembangan Al-Ikhwan Al-Muslimin

5.1. Al-Ikhwan Al-Muslimun dan Revolusi Mesir 1952

Al-Ikhwan Al-Muslimun tercatat sebagai salah satu organisasi politik yang terlibat dalam peristiwa penggulingan kekuasaan monarki terakhir di Mesir tersebut.

Ikhwan bekerjasama dengan elemen “Perwira Bebas” (Free Officers), sejumlah elite menengah militer, yang menjadi aktor utama dalam peristiwa revolusi 1952. Pada awalnya Hasan Al Banna, Mursyid Am Ikhwan yang pertama, melakukan kontak dengan sejumlah perwira militer. Perkembangan menunjukkan kontak ini menyentuh beberapa tokoh militer yang kemudian akan melibatkan Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan sebuah rencana revolusi yang tengah digagas oleh sejumlah elemen dalam tubuh militer Mesir.

Kontak pertama Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan para perwira militer dimulai pada tahun 1940, melalui sosok Anwar Sadat, seorang anggota junta militer. Kontak tersebut melahirkan kontak lain antara Sadat dengan Aziz Al-Misri, mantan Panglima Angkatan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir yang sudah berstatus sebagai tentara purnawirawan. Kontak tersebut juga berhasil menghubungkan Ikhwan Al-Muslimun dengan Abdul Mun’im Abdul Rauf, perantara yang menggantikan peran Anwar Sadat dalam menghubungkan opsir militer dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun. Abdul Rauf adalah anggota dewan tertinggi Perwira Bebas dan menjadi pendukung utama pengaruh Al-Ikhwan Al-Muslimun di organisasi militer tersebut.

Dalam merekrut para perwira militer Mesir agar menjadi anggota Ikhwan, Abdul Rauf dibantu oleh Mahmud Labib, seorang purnawirawan militer. Labib mengundurkan diri dari militer pada tahun 1936 setelah kiprahnya dalam operasi militer Mesir di Sudan. Kemudian ia diketahui bekerjasama dengan Hasan Al-Banna sejak awal 1941. Ia menjadi penasihat Hasan Al-Banna dalam aktivitas kepanduan (unit organisasi yang bergerak dalam aspek keamanan dan paramiliter) Al-Ikhwan Al-Muslimun sampai tahun 1947, kemudian ia diangkat menjadi deputi militer Ikhwan dan dikirim ke Palestina untuk membantu melatih dan merekrut sukarelawan di sana. Dalam perang Palestina, Mahmud Labib menjadi kepala teknis “divisi sukarelawan” dan wakil Hassan Al-Banna dalam masalah perang. Kontak Labib yang

paling penting dengan dengan Perwira Bebas dilakukan pada tahun 1944 dengan tokoh militer Gamal Abdul Nasser.

Kedekatan hubungan Gamal Abdul Nasser dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun diikuti oleh perwira-perwira lain dalam tubuh militer diantaranya adalah Rasyad Muhanna, Kamaluddin Husain dan Husain Asy-Syafi’i. Dalam proses perekrutan perwira militer, Abdul Mun’im Abdul Rauf tetap menjadi figur penting. Abdul Rauf membawa para perwira yang berhasil direkrut kepada Mahmud Labib untuk “diinjeksi dan diindoktrinasi dengan prinsip-prinsip Ikhwan”, kemudian disusul dengan pengambilan sumpah di sebuah ruangan gelap demi “mengamankan” kesetiaan para perwira militer terhadap Al-Ikhwan Al-Muslimun. Sumpah yang mereka ikrarkan menandakan akses mereka ke dalam tubuh biro rahasia Al-Ikhwan Al-Muslimun.53

Dalam perang Palestina, hubungan antara Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan Perwira Bebas berkaitan dengan suplai persenjataan dan pelatihan militer untuk para sukarelawan. Dalam operasi militer ini Gamal Abdul Nasser menjadi figur utama sebagaimana Kamaluddin Husain yang mewakili barisan sukarelawan. Kedekatan hubungan Ikhwan dengan militer semakin menguat pada operasi ini, bagi perwira militer peran aktif sukarelawan Ikhwan di Palestina dan kesiapan mereka bertempur sampai mati berhasil menimbulkan sikap simpati. Setelah revolusi, junta militer memasukkan sukarelawan Al-Ikhwan Al-Muslimun dalam “Pemakaman Palestina” sebuah monumen yang memasukkan daftar para sukarelawan Ikhwan Al-Muslimun yang gugur dalam perang Palestina.

Pada bulan Desember 1950, gerakan Perwira Bebas terbuka kedoknya dan sebagian dari mereka ditangkap sebelum pemberitaan resmi tentang “intervensi mereka dalam masalah politik”. Komandan pasukan Mesir di Palestina, Fuad Sadiq, 53

Richard Paul Mithcell, “Masyarakat Al-Ikhwan Al-Muslimun : Gerakan Dakwah Al-Ikhwan Di Mata Cendekiawan Barat”, Era Intermedia : Solo, 2005, Hal 182

orang yang direncanakan menjadi panglima revolusi, menjadi sasaran tuduhan dan hampir diajukan ke pengadilan. Pada akhir 1950, Raja Farouk diduga menerima laporan bahwa 33 persen dari perwira miter mempunyai hubungan dengan Al-Ikhwan Al-Muslimun. Hampir terungkapnya rencana para perwira militer menyebabkan hubungan Al-Ikhwan Al-Muslimun dan Perwira Bebas semakin dekat. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, Gamal Abdul Nasser merencanakan penyelundupan senjata yang disembunyikan di rumah milik Muhammad Al-Asymawi, ayah dari Hasan Al-Asymawi, teman dekat Nasser di organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun.

Pertanyaan yang kemudian kita ajukan adalah mengapa Ikhwan Al-Muslimun mau terlibat dan mendukung revolusi yang dijalankan oleh militer tersebut? Pertanyaan ini akan terjawab ketika melihat latar belakang yang menyebabkan Revolusi 1952 bisa dilihat dari kondisi sosial-politik Mesir saat itu. Kekuasaan Monarki Absolut Raja Farouk hanya menjadi pemerintahan boneka yang selalu melindungi kekuasaan kolonial Inggris yang telah lama berada di Mesir. Raja Farouk tidak bisa bersikap tegas pada pendudukan asing pasukan Inggris yang masih bercokol di Zona Terusan.54

Hubungan antara Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan Perwira Bebas menjadi semakin intens pada waktu-waktu menjelang pelaksanaan rencana revolusi. Hal ini ditandai dengan munculnya tiga nama sebagai perantara Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan Perwira Bebas yang menyampaikan bahwa revolusi membutuhkan dukungan Ikhwan dan sudah dekat waktunya. Nama pertama adalah Shalah Syadi, anggota senior kepolisian Mesir yang menjadi anggota Al-Ikhwan Al-Muslimun dan teman dekat Nasser serta pendukung Hudhaibi. Nama kedua adalah Hasan Al-Asymawi, Pada titik inilah Ikhwan memiliki alasan untuk mendukung upaya penggulingan kekuasaan ynag korup.

54

yang juga teman dekat Nasser maupun Hudhaibi, dan menjadi penadah persenjataan yang disembunyikan di rumah ayahnya pada tahun 1950. Nama ketiga adalah Abdurrahman As-Sanadi, kepala biro rahasia Al-Ikhwan Al-Muslimun dan teman dekat Nasser.

Pembakaran pada tanggal 26 Januari 1952 merupakan titik tolak perubahan rencana para Perwira Bebas. Revolusi yang direncanakan akan dilakukan pada tanggal 25 Maret diundur dan baru dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 1952, setelah upaya istana yang gagal untuk memenangkan orang pilihannya menjadi Kepala Perhimpunan Perwira. Sikap resmi organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun ketika itu terhadap Revolusi 1952 dapat dilihat dari tindakan Hasan Al-Hudhaibi, Mursyid Am Kedua Ikhwan, yang tidak memberikan pernyataan sikap apapun mengenai peristiwa revolusi. Richard Paul Mitchell menilai sikap yang diambil oleh Hudhaibi tersebut merupakan sikap kehati-hatian karena perencanaan dan situasi yang mengitari pemberontakan (revolusi) Perwira Bebas telah dibebankan “di atas punggung Ikhwan” dengan kata lain Al-Ikhwan Al-Muslimun telah dijadikan sebagai kendaraan revolusi.55

Al-Ikhwan Al-Muslimun memiliki peranan signifikan dalam proses revolusi tersebut. Al-Ikhwan Al-Muslimun melakukan berbagi tindakan politik untuk memastikan proses Revolusi Militer ini dapat berjalan sempurna. Diantaranya adalah menjaga fasilitas-fasilitas negara, melakukan agitasi politik terhadap massa untuk mendukung kudeta, menjaga stabilitas dan keamanan agar tidak terjadi kekacauan, membantu melindungi para perwira militer jika kudeta gagal, dan menghalau adanya agresi militer oleh tentara pendudukan Inggris di Zona Terusan.56

Dr. Muhammad Sayid Al Wakil menganalisa enam faktor yang menyebabkan Al-Ikhwan Al Muslimun mendukung revolusi ini, yaitu : Pertama, Raja Farouk 55

Ibid, hal. 168

56

mengangkat administratur kolonial Inggris dalam pemerintahan Mesir. Kedua, membekali pasukan mujahidin Mesir untuk Palestina dengan senjata yang rusak. Ketiga, Mengadakan perjanjian damai dengan Israel dan menarik mundur pasukan Mesir dari Palestina. Keempat, selama masa pemerintahannya menyebarkan pengaruh negatif kebudayaan Barat dan kerusakan moral. Kelima, Raja Farouk terlibat dalam

skandal-skandal seks dan moralitas. Keenam, dianggap terlibat dan

bertanggungjawab pada peristiwa pembunuhan pendiri gerakan Ikhwan Al-Muslimun, Imam Hasan Al-Banna.57

Akhir dari Revolusi Militer 1952 adalah dimana gerakan Perwira Bebas akhirnya bisa mengambil alih kekuasaan politik dari pihak Istana dan naiknya Jenderal Muhammad Neguib ke pucuk kekuasaan sebagai Presiden Mesir. Raja Farouk yang telah turun tahta akhirnya melarikan diri ke luar negeri untuk mencari perlindungan dan suaka politik. Bentuk pemerintahan negara Mesir diubah yang awalnya berbentuk Monarki Absolut akhirnya berubah menjadi Republik Presidensil. Kemudian pada masa transisi pemerintahan ini kelompok Perwira Bebas mentransormasi dirinya menjadi Dewan Revolusi (Revolutionary Command Council) yang memiliki kekuasaan politik untuk mengontrol dan memerintah Mesir secara efektif. Pada titik ini pihak militer memegang kendali penuh kekuasaan di Mesir dan menjadi awal dari rezim otoritarianisme militer di Mesir.

Dukungan dari pihak militer yang pada awalnya membantu pelatihan bagi unit kepanduan Al-Ikhwan Al-Muslimun, terlibatnya beberapa tokoh militer dalam pembentukan biro rahasia Nizam Khas, sampai akhirnya terjadi kerjasama dan kolaborasi antara Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan Perwira Bebas dalam Revolusi Mesir 1952. Tetapi kemudian pola hubungan ini berubah ketika pasca revolusi dan pemerintahan rezim militer telah berkuasa. Rezim militer akhirnya melihat Al-57

Cahyadi Takariawan, “Al-Ikhwan Al-Muslimun : Bersama Mursyid ‘Am Kedua”, Tiga Lentera Utama : Yogyakarta, 2002, Hal 58-59

Ikhwan Al-Muslimun sebagai faktor ancaman yang berpeluang menjadi oposisi politik. Pada titik inilah hubungan Ikhwan dengan militer akhirnya memburuk. Apa yang terjadi selanjutnya adalah tekanan dari pihak militer kepada organisasi Ikhwan dan berujung kepada pemberangusan gerakan Ikhwan oleh rezim militer.

Dewan Revolusi yang saat itu dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser menghancurkan Al-Ikhwanul Al-Muslimun sampai tingkat yang tidak terbayangkan. Gamal Abdul Nasser memenjarakan Mursyid ‘Am Ikhwan, Ustadz Hasan Al Hudhaibi, memerintahkan pengrusakan dan pembakaran kantor pusat Ikhwan Al-Muslimun, menangkapi dan menyiksa para aktivis Ikhwan, menyatakan Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagi organisasi terlarang, menyita aset-aset strategis organisasi, menghukum mati tokoh-tokoh Ikhwan diantaranya adalah Syaikh Sayyid Quthb, dan menjadikan Al-Ikhwan Al-Muslimun sebagai gerakan kontra revolusioner yang menjadi lawan politik yang harus dimusnahkan dalam pemerintahan baru.

5.2. Gerakan Bawah Tanah Al-Ikhwan Al-Muslimun

Kondisi pasca pelarangan organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun pada tahun 1954 memberikan tekanan yang besar pada seluruh anggota Al-Ikhwan Al-Muslimun. Mereka yang dapat melarikan diri, hidup dalam tekanan akan risiko penangkapan atau dimatai-matai. Hasan Al-Ashmawi, salah seorang anggota Majelis Syura Ikhwan, adalah salah seorang anggota Ikhwan yang dapat melarikan diri dan beraktivitas secara bawah tanah. Ashmawi menggambarkan bagaimana dia selalu diikuti oleh dinas rahasia Mesir dan bagaimana para anggota Ikhwan lainnya ditangkap satu demi satu. Zaynab Al-Ghazali juga menggambarkan bagaimana anggota Ikhwan di luar penjara melakukan kontak dengan sangat terbatas sekali.Dengan tertutupnya kemungkinan untuk bertemu dalam ruang-ruang publik, hubungan personal menjadi satu-satunya ikatan yang tersisa.Selain itu ibadah shalat Jum’at juga digunakan sebagai kesempatan untuk bertukar informasi diantara anggota

Ikhwan.Dengan menggunakan beberapa masjid para anggota Ikhwan mencoba kembali untuk membangun jejaring komunikasi.58

Penangkapan dan intimidasi terhadap Ikhwan berlangsung hingga tahun 1957.Tidak terdapatnya tanda-tanda dari keberadaan organisasi ataupun aktivitas sekecil apapun. Kondisi saat itu dipenuhi dengan kekhawatiran akan ketidakadilan rezim Nasser terhadap Ikhwan dan kekerasan dari penangkapan paksa dan penyiksaaan terhadap Ikhwan. Pola komunikasi antara anggota Ikhwan di seluruh Mesir terputus akibatnya hilangnya sentral kepemimpinan organisasi. Hal ini diperburuk dengan adanya penyiksaan dan pembunuhan terhadap sejumlah anggota Ikhwan, mengingat sejumlah 29 orang anggota Ikhwan dibunuh dalam rentang Oktober 1954 sampai dengan April 1955.

Reaksi perlawanan mulai bangkit di antara anggota Ikhwan pada tahun 1957 tetapi mencapai momentumnya pada tahun 1958. Ahmad Abdul Majid, salah seorang pimpinan kelompok ini yang kemudian menamakan jejaringnya sebagai ‘Organisasi 1965 memberikan penggambaran yang lebih detail. Majid menceritakan sekitar tahun 1957-58, dua unit kelompok Ikhwan bergabung yang satu dipimpin oleh Abdul Fattah Ismail dan satunya lagi oleh Ali Ashmawi dan Ahmad Abdul Majid.Para pimpinan unit ini bertemu dan memutuskan untuk melakukan reorganisasi gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun.Kemudian mereka mengadakan kontak dengan Mursyid ‘Am Ikhwan, Hasan Al-Hudhaibi.59

Menurut Zaynab Ghazali, Abdul Fattah mengadakan kontak dengan Hasan Hudhaibi untuk meminta izinnya untuk melakukan reorganisasi terhadap pecahan-pecahan kelompok Ikhwan di luar penjara. Ghazali menilai bahwa Hudhaibi tidak memberikan tanggapan apapun terhadap rencana itu.Abdul Majid berpendapat

58

Barbara He Zollner, The Muslim Brotherhood : Hasan Al Hudaybi And Ideology, Routledge Studies In Political Islam, London, 2009, Hal 38

59

menjawab pernyataan Ghazali, menyatakan bahwa Hudhaibi memberikan perhatian penuh terhadap rencana itu. Pendapat lain diberikan Raif yang mengatakan Abdul Fattah membutuhkan dukungan dari Mursyid Am untuk melancarkan rencana reorganisasinya. Ditambah lagi kita harus melihat posisi Hudhaibi yang berada dalam pengawasan ketat aparat rezim militer sehingga dia tidak bisa memberikan dukungannya secara terbuka.

Menurut Abdul Majid, sebuah komite yang terdiri dari empat orang kemudian dibentuk untuk melaksanakan rencana tersebut. Anggota dari komite tersebut adalah : 1. Abdul Fattah Ismail, 2. Syaikh Muhammad Fathi Rifai, 3. Ali Ashmawi, dan 4. Ahmad Abdul Majid. Kemudian Abdul Majid memberikan penjelasan lebih rinci mengenai pembagian kerja diantara keempat orang tersebut :

1. Abdul Fattah Ismail (Pedagang) : bertanggung-jawab terhadap wilayah Damietta, Kufr Al-Shaykh dan wilayah Delta Timur. Melakukan kontak dengan Hasan Al-Hudhaibi, Sayyid Qutb, Staikh Muhammad Fathi Rifai, berkomunikasi dengan anggota Ikhwan di Alexandria dan Bahriyya kemudian juga melakukan tugas pencarian dana.

2. Syaikh Muhammad Fathi Rifai (Dosen Universitas Al-Azhar) : bertanggung-jawab terhadap wilayah Delta Tengah termasuk Al-Daqhaliyya, Al-Gharbiyya, Al-Manufiyya, kemudian menyusun program pendidikan untuk anggota Ikhwan.

3. Ahmad Abdul Majid (Pegawai Dinas Rahasia Militer) : bertanggung-jawab terhadap wilayah Mesir Atas (As Said), bertanggung jawab juga dalam propaganda.

4. Ali Ashmawi (Manajer Perusahaan Konstruksi Sambulkis) : bertanggung-jawab untuk wilayah Kairo dan Giza, kemudian juga bertanggung-bertanggung-jawab dalam pendidikan olahraga dan jasmani bagi anggota Ikhwan.60

Daftar nama ini menarik untuk diperhatikan, daftar ini menjelaskan bahwa jejaring organisasi telah mapan dibangun untuk kepemimpinan Ikhwan di bawah Mursyid Am, Hasan Al-Hudhaibi dan Sayyid Qutb. Di tengah aktivitas bawah tanahnya mereka juga membangun komunikasi dengan anggota Ikhwan di pengasingan. Para aktivis Ikhwan di luar negeri, terutama mereka yang berada di Saudi Arabia, menjadi penggalan dana bagi aktivitas bawah tanah Ikhwan di Mesir. Daftar ini juga menjelaskan bahwa kebangkitan organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun tidak hanya melibatkan kelompok-kelompk kecil di wilayah Kairo dan Alexandria, tetapi jejaringnya juga tersebar di seluruh Mesir dan kemudian bersatu di bawah jejaring Organisasi 1965.

Komunikasi diantara anggota Ikhwan yang berada di dalam dan luar penjara menjadi sangat penting untuk rencana ini. Sejumlah sumber menyatakan bagaimana proses pertukaran informasi itu terjadi. Beberapa sumber diantaranya didapat dari Zaynab Al-Ghazali, Abdul Majid dan Raif, dan Fu’ad Alam.Seluruh sumber itu bersepakat bahwa para istri dan saudari dari para anggota Ikhwan memainkan peranan penting dalam menjaga jalur komunikasi.Mereka adalah tulang punggung bagi dari jejaring komunikasi yang dibangun melalui hubungan personal. Banyak dari para wanita ini saling mengenal satu dengan lainnya dimana mereka menjadi anggota dari Akhwat Muslimat, sayap kewanitaan dari organisasi Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin oleh Zaynab Al-Ghazali.

60

Struktur organisasi dari Al-Akhwat Al-Muslimat telah dipertahankan setelah peristiwa Oktober 1954.Al-Akhwat Al-Muslimat tidak dilihat sebagai ancaman berarti terhadap sistem politik sehingga memungkinkan mereka untuk dapat melanjutkan aktivitasnya. Zaynab Al-Ghazali kemudian melakukan kontak dengan saudari-saudari Sayyid Qutb, Amina dan Hamida Qutb, dengan istri dan puteri Al-Hudhaibi, Khalidah dan Aliyyah dan Tahiyyah Sulayman, kemudian istri dari Munir Al-Dilla yaitu Amal Ashmawi. Para akhwat ini dapat disebut sebagai unit pendukung bagi para anggota Ikhwan yang ditawan. Para akhwat ini tidak hanya memainkan peran pasif sebagai mediator antara para tahanan dengan anggota Ikhwan yang di luar penjara, melampaui itu mereka juga terlibat aktif dalam pencarian dana dan pendistribusian dana bagi keluarga dan saudara anggota Ikhwan yang dipenjara.

Dengan jejaring komunikasi yang telah terbangun, akhirnya komite Organisasi 1965 dapat melakukan kontak dengan Sayyid Qutb dan menanyakan padanya untuk melakukan reformasi pada gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun dengan menyusun sebuah program pendidikan untuk anggota Ikhwan. Pengalaman Qutb selama dipenjara dan semakin menguatnya radikalisasi dalam ide-idenya menjadikan gagasan yang dilontarkannya menjadi latar belakang ideologi yang menggerakkan Organisasi 1965.Melihat hal ini bisa jadi karya besar yang ditulis oleh Sayyid Qutb yaitu Ma’alim Fi Thariq ditulis dalam rangka memenuhi bimbingan ideologis dan spiritual bagi anggota dari Organisasi 1965.61

Rancangan naskah dari Ma’alim Fi Thariq diselundupkan keluar melalui rumah sakit penjara berkat peran dari Amina dan Hamida Qutb. Menurut Al-Ghazali dan Abdul Majid, Hasan Al-Hudhaibi telah akrab dengan ide dan gagasan yang ditulis oleh Sayyid Qutb, kemudian diapun sepakat dengan garis besar pemikiran Qutb walaupun ada beberapa aspek yang tidak disepakatinya. Kemudian Sayyid Qutb

61

menjadi pemimpin spiritual bagi Organisasi 1965, walaupun Qutb hanya bersedia mengambil peran itu ketika dia telah dilepaskan dari penjara pada tahun 1964.Qutb juga bersedia mengambil peran itu apabila Hasan Al-Hudhaibi telah dimintakan pendapatnya mengenai rencana tersebut, Hudhaibi pun memberikan persetujuannya atas rencana tersebut.

Pertemuan-pertemuan Organisasi 1965 tidak hanya ditujukan sebagai kelompok diskusi saja. Khususnya kondisi dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun menjadi subjek kajian penting dari pertemuan tersebut. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, pertanyaan tentang bagaimana membawa Al-Ikhwan Al-Muslimun kembali kepada kejayaannya menjadi titik utama dari pembicaraan. Tidak ada keraguan di sana ketika melihat Gamal Abdul Nasser sebagai penyebab utama dari kehancuran organisasi Ikhwan. Insiden yang ada seperti pembunuhan terhadap dua puluh dua orang anggota Ikhwan pada Juni 1957, meninggalkan kesan yang mendalam, baik bagi Sayyid Qutb dan anggota Ikhwan lainnya bahwa Gamal Abdul Nasser adalah seorang penguasa tiran dan anti-Islam. Ra’if menyatakan bahwa rencana untuk melakukan pembunuhan Presiden Nasser telah dibicarakan, tetapi dia menyatakan bahwa rencana ini bersifat spekulatif.Anggota dari Organisasi 1965 tidak cukup terlatih ataupun memiliki kekuatan persenjataan yang cukup untuk merencanakan realisasi rencana tersebut. Ramadhan berpendapat bahwa Abdul Majid dan Sayyid Qutb telah merencanakan ini secara serius yang akan dijalankan oleh pengikut lingkar dalam mereka yang berjumlah sekitar tujuh puluh orang.

Kemudian Sayyid Qutb dilepaskan dari penjara pada tahun 1964, fenomena akan kekecewaan dan kesedihan mengenai kondisi organisasi kemudian digantikan oleh semangat baru aktivisme Al-Ikhwan Al-Muslimun. Faksi baru yang berkembang di dalam Ikhwan mengarahkan perlawanan yang lebih massif kepada Gamal Abdul Nasser, dimana perlawanan ini diperkuat dengan intrepretasi radikal yang dikembangkan oleh Sayyid Qutb mengenai tatanan Islam. Kebangkitan dari

organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun kemudian tidak dapat dihentikan dengan adanya gelombang penangkapan oleh rezim Nasser yang tidak hanya menimpa Organisasi 1965 tetapi juga lingkar yang lebih luas dari organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun.

5.3. Ideologisasi Masjid sebagai Sarana Rekrutmen Masyarakat Umum Pada era Anwar Sadat (1970-1981) hubungan antara Ikhwan dengan pemerintahan mulai diperbaiki dengan adanya kebijakan yang memperbolehkan Ikhwan untuk membangun organisasinya secara publik. Ikhwan dinyatakan kembali sebagai organisasi legal walaupun tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas politik seperti mengikuti kampanye dan pemilu sebagai partai politik.62Pada masa ini gerakan Ikhwan mulai menata ulang kekuatan organisasinya dengan menjadikan sarana masjid dan universitas sebagai sarana strategis penyebaran pemikiran dan pengkaderan.Ikhwan mulai melakukan rekrutmen terhadap berbagai aktivis mahasiswa di berbagai universitas besar seperti Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo.Tindak lanjut dari rekrutmen ini adalah penguasaan serikat-serikat mahasiswa dan mendominasi perpolitikan kampus.63

Ikhwan kembali menjadikan masjid-masjid di seluruh Mesir sebagai basis dalam rekrutmen dan pengkaderan. Carrie Wickham menyebutkan hanya 30,000 dari 170,000 masjid di Mesir yang dikelola di bawah administrasi pemerintahan resmi, lainnya menjadi sarana gerakan Islam seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun dan gerakan lain untuk melakukan rekrutmen dan pengkaderan terhadap anggota baru. Wickham kemudian juga menjelaskan bagaimana masjid yang dikelola oleh Ikhwan tidak hanya menyediakan pelayanan untuk ibadah shalat saja tetapi juga mengadakan pelajaran agama untuk kaum pria dan wanita, program-program setelah sekolah untuk pelajar

62

Carrie Rosefsky Wickham, op.cit., Hal 125

63

Barbara He Zollner, The Muslim Brotherhood : Hasan Al Hudaybi And Ideology, Routledge Studies In Political Islam, London, 2009, Hal 48

dan perayaan-perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Masjid juga

Dokumen terkait