• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian

BAB III. METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA

A. Metode Pencapaian Target Kinerja

3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian

a. Profil Hutan di Kabupaten Sumbawa dan Madu Hutan Sumbawa

Luas hutan Kabupaten Sumbawa mencapai 516.242 ha yang terdiri dari hutan lindung (243.765,53 ha), hutan produksi terbatas (177.669,51 ha), hutan produksi tetap (58.379,30 ha), taman buru (22.537,90 ha), cagar alam (2.165,25 ha), wisata alam (5.725 ha) dan taman laut (6.000 ha). Sebanyak 45,21% merupakan hutan lindung yang berfungsi sebagai perlindungan ekosistem. Keberadaan hutan lindung tersebut sangat erat kaitannya dengan produksi madu hutan di wilayah Sumbawa, karena sebagai besar kawasan hutan lindung merupakan sumber produksi madu hutan yang sangat potensial (Tabel 6). Potensi hutan Sumbawa mencapai 125 ton per tahun (Julmansyah, 2010).

Tabel 6. Hubungan fungsi hutan dan potensi madu Tipologi Hutan Status dan Fungsi

Hutan

Potensi Madu (perkiraan) Hutan dengan asosiasi

tanaman tertentu

Hutan lindung

Sumber madu dengan potensi besar

Hutan tropic lembab (± 1000 mdpl)

Hutan lindung

Hutan berduri Hutan lindung dan

hutan produksi Hutan tropic kering Hutan produksi

Sumber madu dengan potensi rendah

Hutan mangrove Hutan dan luar

kawasan

Secara administratif wilayah Kabupaten Sumbawa dapat dilihat pada Gambar 1.

22

Gambar 1. Peta administrasi Kabupaten Sumbawa (Sumber: Indrajaya, 2011)

Salah satu kawasan yang sangat potensial untuk pengembangan madu hutan di Kabupaten Sumbawa adalah Kecamatan Batu Lanteh. Lokasi kecamatan Batulanteh yang terletak di tengah hutan menjadi salah satu faktor bagi sebagian besar penduduk di daerah tersebut untuk menjadikan madu hutan sebagai salah satu mata pencaharian disamping berkebun. Hampir seluruh petani madu hutan di wilayah tersebut tergabung dalam koperasi hutan lestari yang berafiliasi dengan jaringan madu hutan sumbawa (JMHS). Jaringan madu hutan Sumbawa merupakan perkumpulan para petani madu hutan di Kabupaten Sumbawa. Sampai saat ini sekitar 400 petani madu hutan telah menjadi anggota JMHS. Data JMHS tahun 2010 menyebutkan bahwa pendapatan selama setahun dalam usaha madu hutan ini kurang lebih Rp 167.805.000.

23

Gambar 2. Sentra Jaringan Madu Hutan Sumbawa di Desa Batudulang, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa

Gambar 3. Koperasi Jaringan Madu Hutan Sumbawa di Desa Batudulang, Kec. Batulanteh, Kab. Sumbawa

Madu merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan Provinsi NTB. Di NTB terdapat dua jenis madu. Pertama, madu

24

budidaya yang terdiri dari Apis cerana, dan Apis melifera. Madu bidudaya banyak terdapat di Pulau Lombok. Upaya pengembangan yang coba dilakukan di Pulau Sumbawa belum berhasil. Kedua, madu alam atau madu hutan atau Apis dorsata. Madu hutan ini kebanyakan berada di Pulau Sumbawa dan menyebar dari Kabupataen Sumbawa Barat di ujung barat Pulau Sumbawa sampai dengan kabupaten Bima di ujung timur Pulau Sumbawa. Dari data Dinas Kehutanan Provinsi NTB (2010) didapatkan informasi bahwa volume produksi madu dari NTB pada tahun 2009 mencapai 66.500 liter. Namun tidak terdapat data yang pasti tentang volume produksi madu hutan atau yang dikenal dengan sebutan madu sumbawa.

Madu sumbawa adalah madu yang diperoleh dari hasil pemanenan madu di hutan-hutan alam di wilayah pulau Sumbawa. Lebah hutan Apis dorsata merupakan lebah raksasa yang belum dapat didomestikasi. Lebah ini berbeda dengan lebah ternak dengan jenis Apis mellifera maupun Apis

cerana yang banyak diternakkan. Pakan (nectar) Apis dorsata tersebar di

kawasan hutan alam yang jauh dari input-input atau treatment yang berpotensi merusak potensi organik (Anonim, 2011).

Apis dorsata hanya berkembang di Asia seperti; India, Philipina, China

dan Indonesia. Madu dari spesies ini dikenal sebagai madu alam atau madu hutan. Di Indonesia spesies lebah madu tersebut hanya terdapat di pulau Sumatera, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sarang Apis dorsata dibangun secara tunggal dengan sisiran sarang hanya selembar. Sarang tersebut digantung dicabang pohon dan tebing batuan sekitar 20 m di atas permukaan tanah. Satu pohon dihuni paling sedikit 10 sarang. Produksi madunya dalam setahun dapat menghasilkan 15 - 25 kg madu per koloni. Di dalam sebuah sarang, koloni terdiri atas tiga anggota yaitu seekor lebah ratu, ratusan lebah jantan dan ribuan lebah pekerja. Sampai sekarang, lebah ini tidak dapat dibudidayakan. Menurut Hadisoesilo dan Kuntadi (2007), lebah hutan dapat ditemukan pada ketinggian 0 – 2000 m

25

di atas permukaan laut, baik di dalam hutan primer maupun hutan sekunder.

Klasifikasi Apis dorsata adalah sebagai berikut : Phylum : Arthopoda Subphyllu : Mandibulata Klas : Insekta Subklas : Pterygota Ordo : Hymenoptera Subordo : Clistogastra Subfamili : Apoidae Famili : Apidea Genus : Apis

Spesies : Apis dorsata

Kondisi lebah madu sumbawa yang unik karena berada di hutan dan tidak dapat diternakkan ini menjadi sebuah potensi yang dapat dimanfaatkan baik dalam rangka penjagaan ekosistem hutan maupun lebih jauh untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemanenan madu hutan tersebut. Sejauh ini produksi madu hutan di Kabupaten Sumbawa adalah sebagai berikut.

Tabel 7. Produksi Madu (Kg) Kabupaten Sumbawa Wilayah Jumlah Produksi Madu (Kg)

Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 s/d Maret Tahun 2012 Batudulang 8.094 11.533 4.818 5.351 498 Punik 7.930 2.777 1.730 Semongkat 3.190 2.798 1.525 Sampa 1.810 2.781 1.352 Seseng 9.183 645 627 Dusun Beru 7.325 239 417 Gapit 2.400 2.500 3.200 Batubangka 1.005 242 152

26

Wilayah Jumlah Produksi Madu (Kg) Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 s/d Maret Tahun 2012 Brang Rea 943 823 Batu Rasak 1.333 Lantung 520 Ropang 754 Total 8.094 44.376 17.743 17.784 498

Produksi madu hutan ini terancam terus merosot oleh karena meluasnya usaha pertambangan emas dan mangaan yang dikelola secara individual maupun melalui pengembang usaha. Di lain pihak, permintaan produk madu hutan terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi untuk mengembangkan produk turunan madu selain untuk pangan dan minuman, juga untuk bahan dasar kosmetika, pengobatan dan jamu-jamuan, serta untuk keperluan asesoris atau hiasan.

Produksi madu hutan umumnya dilakukan oleh warga desa yang meneruskan tradisi para leluhur. Diperlukan keahlian khusus dan prosedur tertentu untuk dapat memanen madu dari sarang lebah Apis dorsata yang menggantung pada pohon boan setinggi lebih dari 20 meter. Umumnya panen madu dilakukan secara berkelompok, dengan melibatkan warga desa mengingat pohon madu dianggap milik kolektif warga. Penjualan madu hutan dilakukan masing-masing, dan umumnya belum terorganisir. Keadaan ini dimanfaatkan oleh tengkulak yang menjembatani penawaran harga antara petani dengan pembeli. Akibatnya, jaringan pemasaran hasil hutan madu menjadi panjang dan masing-masing pihak pada setiap tahapan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Rantai perdagangan yang panjang ini harus diputus guna meningkatkan posisi tawar petani, melalui pemberian harga dasar yang layak di tingkat petani pemungut madu.

27

Jaringan Madu Hutan Sumbawa atau JMHS dibentuk untuk menjembatani pemasaran produk madu hutan alam yang berasal dari pulau Sumbawa dan sekitarnya. Kelompok tani yang dibina JMHS masih terbatas pada satu desa, yaitu desa Batudulang kecamatan Batulanteh. Masih banyak petani yang belum terjaring sebagai anggota jaringan, dan anggota yang ada belum sepenuhnya merasakan manfaat dari adanya jaringan, serta belum sepenuhnya memahami cara bekerjanya jaringan. Standar kualitas produk yang dipersyaratkan oleh pembeli belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh para anggota. Keterbatasan tersebut membuka peluang bagi perantara untuk mengambil keuntungan dengan cara menekan harga di tingkat petani.

b. Sistem pemanenan madu hutan Sumbawa

Hingga saat ini, permasalahan utama untuk memenuhi standar kualitas madu yang menjadi syarat dalam SNI 2004, adalah tingginya kadar air yang menyebabkan terjadinya proses fermentasi pada madu sehingga mempercepat turunnya kualitas madu.

Menurut Kuntadi (2002), Madu berasal dari nektar yang telah diturunkan kadar airnya oleh lebah pekerja melalui proses penguapan, baik sebelum maupun sesudah disimpan di dalam sel sarang. Sel sarang akan ditutup setelah madu menjadi matang dengan kadar air sekitar 21 %. Dengan demikian, persentase luas sarang madu yang telah ditutup pada saat pemanenan dilakukan, sangat menentukan tingkat kadar air madu tersebut.

Kegiatan lebah mulai dari mengumpulkan nektar hingga menutup sarangnya menjadi hal yang perlu mendapat perhatian, terutama dalam kaitannya dengan berapa lama waktu yang tepat dalam memanen madu dimana kadar air madu telah mencapai standar kadar air yang diharapkan. Jika diketahui waktu panen yang efektif, maka kegiatan pasca panen yaitu penurunan kadar air madu tidak diperlukan lagi.

28

Namun demikian, perlakuan paska panen juga merupakan bagian penting untuk mendapatkan kualitas madu yang diharapkankan. Selama ini para petani madu melakukan pemanenan dengan cara peras. Cara ekstraksi madu dengan sistem peras ini ternyata menghasilkan madu dengan tingkat kejernihan yang rendah dan cenderung mudah basi karena tercampur dengan anakan lebah, lilin, dan serbuksari. Saat ini pengelola JMHS sedang mengenalkan cara panen dengan sistim tiris yang merupakan alternatif teknik ekstraksi madu yang memanfaatkan gravitasi dan penyaringan agar kontaminan tidak terbawa dalam madu.

Pemanenan madu hutan sangat tergantung kepada musim. Dengan demikian produksi madu tiap tahun sangat fluktuatif. Keberadaan pohon Boan, pohon yang setiap tahun bersarang lebah madu hutan dengan jumlah sarang lebih dari 3 buah, menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil pemetaan GPS yang dilakukan JMHS, terdapat 136 pohon Boan di Desa Batudulang kecamatan Batu Lanteh yang merupakan pusat produksi madu hutan di Kabupaten Sumbawa. Panen madu biasanya dilakukan setiap bulan kecuali bulan Januari – Pebruari. Panen raya terjadi pada bulan September dan Nopember. Satu pohon dapat menghasilkan 1 s/d 30 liter madu hutan.

Petani madu pada umumnya masih menggunakan cara tradisional dalam hal pemanenan madu di hutan alam yaitu perburuan dilakukan pada malam hari dengan cara pengasapan pada sarang lebah untuk mengusir lebah dari sarangnya, tapi sesungguhnya tidak mengurangi keganasan lebah hutan. Untuk mengindari sengatan lebah hutan pawang biasanya sesaat setelah pengasapan, ranting pohon di potong segera, untuk menghidari kembalinya lebah ke sarangnya. Teknik pemanenan seperti ini sesungguhnya tidak menguntungkan karena : Koloni lebah cenderung hijrah setelah dipanen dan menghambat perkembangan populasi koloni. Peralatan panen juga masih cukup sederhana yaitu tali untuk memanjat dan menurunkan sarang, parang untuk memotong cabang, ember sebagai

29

tempat hasil perburuan. Pemerasan pun masih dilakukan dengan sederhana menggunakan tangan.

Untuk menanggulangi hal tersebut, JMHS telah melakukan pendampingan kepada para petani madu hutan dalah hal teknik pemanenan serta prosesing madu hutan. Jika sebelumnya para petani melalukan teknik pemanenan dengan cara mengambil semua bagian sarang serta peras tangan yang berpotensi terjadinya kontaminasi, maka JMHS telah melakukan pelatihan agar para petani melakukan dengan cara mengambil sebagian sarang yang mengandung madu saja serta sistem tiris dengan menggunakan saringan standar berukuran 8 – 32 lubang per cm2. Untuk mengatur kadar air madu, JMHS telah mendapatkan bantuan alat penurun kadar air “The Home” dari Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Madu yang telah memenuhi standar kadar air ( + 18%) disimpan dalam dirigen tertutup atau dikemas dalam botol berukuran 1 liter, 60 ml dan 30 ml yang kemudian ditempelkan label JMHS secara sederhana. Kemasan belum dilakukan penyegelan sehingga tutup botol sangat mudah terbuka.

Kriteria hiegenis atau kebersihan dan kesehatan merupakan syarat utama, yang ditunjukkan melalui penggunaan peralatan khusus dan streil untuk melaksanakan pemanenan dan penyaringan madu. Selain itu, kelestarian pohon madu atau boan disertai dengan tanaman penghasil nektar bagi pakan lebah merupakan syarat pokok yang akan menjamin kelestarian pasokan produk madu.

Sistem pemanenan madu hutan yang kurang higienis menyebabkan produk madu hutan yang dihasilkan di Kabupaten Sumbawa baru terserap 60%. Hal tersebut karena konsumen mensyaratkan madu hutan yang dipanen dengan sistem tiris sehingga tingkat kehigienisannya terjaga. Untuk mendukung agar petani dapat melaksanakan system pemanenan yang higienis, penelitian ini telah menghasilkan leaflet tentang teknik pemanenan madu hutan yang higienis sesuai standar SNI. Leaflet tersebut didistribusikan kepada JMHS sebagai lembaga perwakilan petani

30

madu hutan sekaligus fasilitator petani. Leaflet tersebut akan digunakan sebagai panduan bagi p.etani madu baru atau calon petani madu yang akan bergabung dalam JMHS. Dengan demikian diharapkan supply madu hutan dapat memenuhi kebutuhan pasar.

c. Teknologi pengembangan usaha madu Sumbawa

Kendala yang sering dihadapi petani madu hutan pada umumnya adalah tingkat kadar air madu yang dipanen melebihi 25%, sedangkan kadar air yang dipersyaratkan pada heather honey (Calluna) kurang dari 22%,

bakers honey 25% dan standar SNI sebesar 22% (Bogdanov dan Peter,

2002; SNI, 2004; Martin, 2005). Hal tersebut menyebabkan madu hutan menjadi lebih cepat rusak karena mengalami fermentasi. Untuk mengatasi hal tersebut JMHS telah mendapat bantuan alat penurun kadar air “dehumidifier” (Gambar 4) yang diletakkan dalam „Rumah Madu‟ (Bangunan untuk menurunkan kadar air) (Gambar 5) dari Balai Penelitian Kehutanan Mataram.

Gambar 4. Dehumidifier

Dehumidifier (Gambar 4) merupakan alat yang berfungsi menurunkan

kelembaban udara dengan menggunakan listrik untuk mengkondensasi air dari udara. Alat menurunkan kadar air madu berdasarkan prinsip

31

hubungan keseimbangan antara Rh udara dan kadar air madu. Dimana antara kedaunya terjadi keseimbangan, semakin tinggi kelembaban nisbi (Rh) lingkungan maka semakin tinggi pula kadar air madu (Martin, 1958 dalam Siregar, 2002). Rh udara diturunkan lebih rendah daripada Rh keseimbangan kadar air awal madu agar kandungan air madu menguap mencapai kadar yang diinginkan (Febrinda, 1993 dalam Siregar, 2002). Alat ini diletakkan pada ruang dehumidifikasi berukuran 4,5 x 2 x 2,5 m3, dilengkapi dengan air conditioner (AC) dan exhaust fan. Ruangan ini harus ditutup selama proses penurunan kadar air madu. Prinsip kerja alat penurun kadar air ini yaitu:

 merubah molekul udara yang lembab menjadi tetesan air menggunakan koil pendingin dan kipas kecil.

 Ini terjadi akibat tekanan udara yang tinggi karena menurunnya suhu udara. Kandungan air di udara mengental dan menjadi tetesan air yang jatuh di satu wadah yang disebut collecting bucket atau wadah penampung (Merk itech).

32

Keterangan : (1) Rak penyimpan madu, (2) Meja Penyaringan madu, (3) AC dan Dehumidifier, (4) Pembotolan madu, (5) Exhouse Fan, (6) Ruang Penyangga

Gambar 5. Bangunan penurun kadar air madu di sumbawa (A : bangunan tampak depan, B: lay out bangunan)

Selain itu, untuk membantu pengembangan usaha madu hutan, JMHS juga mendapat bantuan bangunan outlet untuk display pemasaran madu hutan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Mataram – Kementerian Kehutanan. Meskipun demikian bangunan outlet tersebut belum difungsikan mengingat masih harus dilakukan pembenahan khususnya kelengkapan outlet. Sedangkan Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa secara kontinyu melakukan pendampingan dan penyuluhan kepada para petani

2,5 m 0,6 m 2 m 1,5 m 0,6 m 0,8 m 1b 1a 2 5 3 4 6 0,5 m mm 4 3 m

A

B

33

usaha madu hutan untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu (madu) tersebut secara lestari dalam kerangka hutan kemasyarakatan (HKm). Hal ini bertujuan agar kelestarian sumberdaya hutan di Kabupaten Sumbawa tetap terjamin, mengingat hutan lindung di kawasan Batu Lanteh merupakan sumber mata air bagi pesawahan yang ada di Kabupaten Sumbawa serta sumber air bersih yang dikelola PDAM untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Sumbawa.

Dalam rangka mengembangkan usaha madu hutan Sumbawa, diperlukan pengembangan produk turunan madu untuk mendukung industry kosmetik, pangan maupun obat-obatan. Beberapa produk turunan madu yang dapat dikembangkan adalah beewax, beepollen, beebread, atau

lipbalm.

(a) (b) (c)

34

(g) (h) Gambar 6. Produk turunan madu

(a) lipbalm, (b) makanan dan minuman, (c) lilin lebah (beeswex), (d) lilin hias, (e) lip care honey. (f) body cream spa, (g) lilin aroma terapi, dan (h) sabun mandi

Dalam koloni Apis dorsata, beebread/bee pollen biasanya disimpan dalam jumlah besar pada bagian mulut sisir mereka, yaitu antara madu dan bagian induk dan biasanya dipotong sebelum memotong ruang madu. Roti Lebah (bee bread) dari Koloni Apis dorsata adalah hasil dari lebah menggunakan sekresi saliva, yang kaya akan enzim untuk fermentasi yang dikumpulkan serbuk sari sebelum menyimpan menjadi sisir. Beeollen atau bee bread umumnya digunakan oleh ibu-ibu sebagai lulur untuk menghilangkan flex dan diduga dapat meningkatkan stamina tubuh. Untuk mendukung pengembangan usaha madu hutan tersebut diperlukan dukungan paket teknologi pengolahan madu hutan menjadi produk turunannya.

d. Peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha bagi kelompok tani hutan

Dalam kegiatan ini bentuk peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha yang dilakukan adalah berupa pelatihan yang ditujukan kepada kelompok petani madu untuk meningkatkan kualitas produk usaha madu mereka. Pelatihan ini dilaksanakan selama 3 (tiga hari yaitu pada tanggal 29 – 31 Mei 2012 di Kabupaten Sumbawa.

35

Pelatihan yang diikuti oleh 30 peserta petani madu ini menunjukkan antusiasme mereka untuk bergabung serta ke dalam jaringan usaha dan berhasil menginformasilan persyaratan yang harus dipenuhi produk madu hutan untuk bisa masuk ke dalam jaringan pasar nasional. Kegiatan pelatihan ini terdiri atas pemaparan materi dan praktek lapang.

Pemaparan materi disampaikan oleh beberapa narasumber antara lain Kepala Kesatuan Pengelolaan (KPH) Hutan Batu Lanteh tentang Pengelolaan lahan kering, ketua JMHS tentang pengembangan jaringan usaha, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa tentang Penguatan Kelembagaan, dan Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Mataram tentang tentang teknik penurunan kadar air madu. Banyak pengetahuan dan informasi bura yang diperoleh para petani dalam pelatihan tersebut, antara lain adalah informasi proses pemanenan madu yang higienis persyaratan pasar yang harus dipenuhi agar produk madu mereka diterima oleh pasar. Umumnya para petani peserta yang berasal dari 8 desa di Kecamatan Batulanteh tersebut belum memahami informasi tersebut sebelumnya, sehingga diskusi yang hangat terjalin selama pelatihan, terutama menyangkut persyaratan untuk menjadi anggota JMHS serta keuntungan yang diperoleh dari keanggotaan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan tindak lanjut untuk dapat membangun dan mendampingi desa yang akan membentuk kelompok agar kelompok baru tersebut dapat memenuhi persyaratan kualitas produk madu JMHS.

36

Gambar 7. Penyampaian materi kepada petani madu hutan

Pelaksanaan field trip atau kunjungan lapang dalam pelatihan ini bertujuan untuk melihat dan mempraktekan secara langsung proses pemanenan, penirisan, penurunan kadar air, dan pengemasan madu. Dari kegiatan ini diharapkan para petani madu dapat mempraktekan keahlian yang diperolehnya di desa masing-masing.

37

( c ) (d)

(e) (f) Gambar 8. Pelatihan pengembangan usaha madu hutan

(a) Kunjungan lapang ke Desa Batu Dulang, (b) Pertemuan di Koperasi JMHS, (c) Persiapan pengambilan madu, (d) Penirisan madu, (e) Tempat penurunan kadar air madu, (f) Pengemasan madu

e. Jejaring kerjasama petani madu dengan mitra usaha

Untuk mendukung pemasaran madu hutan, JMHS bekerja sama dengan Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) di level nasional. Melalui JMHI, JMHS telah menandatangani kontrak jual beli madu dengan PD. Dian Niaga yang berfungsi memasarkan madu dengan merek JMHS baik di dalam maupun di luar negeri. Dari tahun 2008 s/d 2010 telah dilakukan kontrak jual beli dengan PT Dian Niaga sebanyak 9.622 ton madu. Besarnya kontrak antara JMHS dengan PT Dian Niaga dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

38

Tabel 8. Kontrak Madu JMHS dengan PD. Dian Niaga

No Tahun Jumlah (Kg) Bulan Kontrak

1 2008 632 Pebruari 2 2008 500 Agustus 3 2008 2000 Agustus 4 2008 2000 Desember 5 2009 990 April 6 2009 1500 Oktober 7 2010 2000 April TOTAL 9.622 Sumber : JMHS 2010

Sedangkan berdasarkan wawancara perwakilan PD Dian Niaga, pada tahun 2012 telah terserap sebanyak 0,5 ton madu hutan Sumbawa. PAda tahun 2012, Madu hutan Sumbawa menjadi pemasok utama madu hutan ke PD Dian Niaga mengingat madu hutan yang dihasilkan Pulau Kalimantan tidak mengalami panen akibat cuaca ekstrim.

Berdasarkan wawancara dengan ketua JMHS, rata-rata kontrak pembelian madu oleh PD Dian Niaga setiap tahun adalah sebanyak 6 ton dengan harga Rp 75.000 / kg dalam wadah dirigen plastik. PD Dian Niaga sendiri memasarkan madu sumbawa melalui kerjasama dengan MLM – AMWAY (Gambar 9) selain untuk diekspor.

Gambar 9. Kemasan madu Sumbawa yang dipasarkan melalui MLM AMWAY

39

Sampai saat ini, JMHS masih kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar terhadap madu hutan, mengingat produksi panen madu sangat fluktuatif sangat tergantung kondisi alam terutama cuaca/musim. Untuk memperbesar kapasitas produksi, bahkan JMHS menerima madu hutan yang dipanen di luar Sumbawa, seperti dari Kabupaten Bima dan sekitarnya, dengan menetapkan SOP dan standar pemanenan dan prosesing madu yang baku. Berdasarkan wawancara dengan anggota JMHS, mereka mengharapkan dapat menambah keanggotaan petani penghasil madu agar kapasitas produksi dapat meningkat. Oleh karena itulah, pada tahap pertama penelitian ini dilaksanakan pelatihan kepada petani madu hutan yang potensial untuk dapat dijadikan anggota JMHS. Perkembangan usaha madu hutan melalui JMHS di Kabupaten Sumbawa telah mendapat banyak perhatian, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam hal pendanaan, JMHS telah dibantu melalui program Coorporate Social Responsibility (CSR) BNI. Bahkan BNI telah menawarkan kepada JMHS untuk memberikan bantuan kredit usaha untuk memperbesar skala usaha JMHS. Tetapi JMHS tidak mau mengambil peluang tersebut mengingat JMHS belum dapat memenuhi permintaan pasar secara kontinyu.

Pada akhir kegiatan dilaksanakan temu bisnis madu hutan yang dimaksudkan untuk memperluas jejaring pasar petani. Temu bisnis ini dilakukan dengan mengundang industri yang menggunakan bahan baku madu, yang meliputi industri makanan dan obat-obatan tradisional serta kosmetika. Hasil temu bisnis antara lain mengungkap bahwa pada dasarnya peluang pasar madu hutan masih sangat luas baik di dalam maupun di luar negeri. PT Amway sebagai distributor madu hutan saat ini mengharapkan dapat memenuhi pasar madu hutan di luar negeri seperti Malaysia, Australia dan Singapura. Selain itu banyak diversifikasi produk madu hutan yang potensial untuk dikembangkan, antara lain sebagai aksesoris, hiasan maupun produk lilin madu untuk diolah dan dikembangkan lebih lanjut.

40

Gambar 10. Temu bisnis antara JMHS dengan mitra usaha

Di sisi lain, pengembangan madu hutan Sumbawa menghadapi beberapa kendala. Dari hasil diskusi terungkap bahwa produk madu hutan memiliki segmen pasar tersendiri dibandingkan dengan madu hasil budidaya. Madu hutan umumnya lebih mahal dibanding madu budidaya, dan harga

Dokumen terkait