• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

PENGEMBANGAN POLA KEMITRAAN MASYARAKAT DESA HUTAN MENDUKUNG STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BERWAWASAN LINGKUNGAN

KEMENTERIAN/LEMBAGA:

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

Peneliti:

1. Ir. Retno Maryani, M.Sc

2. Ir. Ismatul Hakim, M.Sc

3. Iis Alviya, SP, MSE

4. Mimi Salminah, S.Hut

5. Virni Budi Arifanti, S.Hut, M.Sc

INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

2012

(2)

KEMENTERIAN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM

DAN KEBIJAKAN

Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan perekayasa Tahun Anggaran 2012

Laporan

Pengembangan Pola Kemitraan Masyarakat Desa Hutan

Mendukung Strategi Pembangunan Daerah Berwawasan

Lingkungan

Bogor, September 2012

Disahkan Oleh : Kepala Pusat

Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc NIP. 19640118 199003 2 002

Disusun Oleh : Ketua Tim Peneliti

Ir. Retno Maryani, M.Sc NIP. 19630312 198903 2 002

(3)

1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ... 1 DAFTAR TABEL ... 3 DAFTAR GAMBAR ... 4 EKSEKUTIF SUMMARY ... 5 BAB I PENDAHULUAN ... 8 A. Latar Belakang ... 8 B. Pokok Permasalahan ... 10

C. Maksud dan Tujuan Kegiatan ... 11

D. Metodologi Pelaksanaan ... 12

1. Lokus Kegiatan ... 12

2. Fokus Kegiatan ... 12

3. Ruang Lingkup ... 12

4. Bentuk Kegiatan ... 12

BAB II. PELAKSANAAN KEGIATAN ... 13

A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ... 13

1. Perkembangan Kegiatan ... 13

2. Kendala dan Hambatan Pelaksanaan Kegiatan ... 14

B. Pengelolaan Administrasi Manajerial ... 14

1. Perencanaan Anggaran ... 14

2. Mekanisme pengelolaan anggaran ... 15

3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset ... 18

4. Kendala dan Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial ... 18

BAB III. METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA ... 19

A. Metode Pencapaian Target Kinerja ... 19

1. Kerangka Rancangan Metode Penelitian ... 19

2. Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Kinerja... 20

3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian ... 21

a. Profil Hutan di Kabupaten Sumbawa dan Madu Hutan Sumbawa ... 21

b. Sistem pemanenan madu hutan Sumbawa ... 27

(4)

2 d. Peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha bagi

kelompok tani hutan ... 34

e. Jejaring kerjasama petani madu dengan mitra usaha ... 37

B. Potensi Pengembangan Ke Depan ... 41

1. Kerangka Pengembangan Ke Depan ... 41

2. Strategi Pengembangan Ke Depan ... 42

BAB IV. SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN ... 43

A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program ... 43

1. Kerangka Sinergi Koordinasi ... 43

2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi ... 44

3. Perkembangan Sinergi Koordinasi ... 44

B. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa ... 45

1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil Litbangyasa ... 45

2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa ... 45

3. Perkembangan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa ... 46

BAB V. PENUTUP ... 47

A. Kesimpulan ... 47

1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran ... 47

2. Metode Pencapaian Target Kinerja ... 47

3. Potensi Pengembangan Ke Depan ... 47

4. Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program ... 48

5. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa ... 48

B. Saran ... 49

1. Keberlanjutan Pemanfaatan Hasil Kegiatan ... 49

(5)

3

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ... 13

Tabel 2. Rincian anggaran biaya penelitian ... 15

Tabel 3. Rincian anggaran biaya termin I (30%) ... 16

Tabel 4. Rincian anggaran biaya termin II (50%) ... 16

Tabel 5. Rincian anggaran biaya termin III (20%) ... 17

Tabel 6. Hubungan fungsi hutan dan potensi madu ... 21

Tabel 7. Produksi Madu (Kg) Kabupaten Sumbawa ... 25

(6)

4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta administrasi Kabupaten Sumbawa ... 22

Gambar 2. Sentra Jaringan Madu Hutan Sumbawa di Desa Batudulang, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa ... 23

Gambar 3. Koperasi Jaringan Madu Hutan Sumbawa di Desa Batudulang, Kec. Batulanteh, Kab. Sumbawa ... 23

Gambar 4. Dehumidifier ... 30

Gambar 5. Bangunan penurun kadar air madu di sumbawa ... 32

Gambar 6. Produk turunan madu ... 34

Gambar 7. Penyampaian materi kepada petani madu hutan ... 36

Gambar 8. Pelatihan pengembangan usaha madu hutan ... 37

Gambar 9. Kemasan madu Sumbawa yang dipasarkan melalui MLM AMWAY ... 38

(7)

5

EKSEKUTIF SUMMARY

Berbagai program yang telah dilakukan Pemerintah untuk pengembangan masyarakat desa hutan namun masih dianggap belum memadai dan belum menyentuh akar permasalahan yang ada di masyarakat desa hutan. Laporan BPS (2005) menyebutkan sekitar 25% dari 40 juta penduduk yang tinggal di sekitar hutan tergolong miskin. Para pakar berpendapat bahwa kelestarian sumberdaya hutan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah hutan tersebut. Hasil hutan tersebut berpotensi menggerakkan roda perekonomian wilayah serta menyelamatkan hutan dari ancaman kehancuran.

Madu merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat dari hutan disamping produk susu kuda liar, kopi, serta biji kemiri yang menjadi andalan setempat. Madu alam dari hutan Sumbawa merupakan contoh nyata dimana hasil hutan non-kayu bersimbiosis dengan kesehatan dan kelestarian hutan serta lingkungan. Hasil survei Dinas Kehutanan Sumbawa yang dilakukan pada tahun 2008 menyatakan potensi tersebut diperkirakan mencapai 125 ton pertahun, sedangkan produksinya mencapai 40 ton per tahun dengan nilai nominal sebesar tiga milyar rupiah. Apabila didayagunakan, potensi tersebut dapat mengurangi beban belanja pemerintah melalui adanya aktivitas perputaran modal yang dibutuhkan dalam pembangunan perekonomian daerah.

Penelitian ini menetapkan pengembangan informasi pasar madu hutan serta penguatan kapasitas petani dalam usaha madu hutan sebagai target kinerja yang akan dicapai. Penelitian ini menerapkan beberapa metode untuk mencapai target tersebut, yaitu observasi dan wawancara dengan berbagai pihak, serta pelatihan dan pelaksanaan fokus group diskusi.

(8)

6

Hingga saat ini, permasalahan utama untuk memenuhi standar kualitas madu yang menjadi syarat dalam SNI 2004, adalah tingginya kadar air yang menyebabkan terjadinya proses fermentasi pada madu sehingga mempercepat turunnya kualitas madu. Untuk menanggulangi hal tersebut, Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) telah melakukan pendampingan kepada para petani madu hutan dalam hal teknik pemanenan serta prosesing madu hutan secara higienis. Untuk menurunkan kadar air madu, JMHS telah mendapat bantuan alat penurun kadar air “dehumidifier” dari Balai Penelitian Kehutanan Mataram

Salah satu bentuk peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha yang dilakukan dalam penelitian adalah berupa pelatihan yang ditujukan kepada kelompok petani madu untuk meningkatkan kualitas produk usaha madu mereka selama 3 hari di Kabupaten Sumbawa. Dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kontinuitas produksi madu hutan di Kabupaten Sumbawa, maka pada tahap pertama penelitian ini dilaksanakan pelatihan bagi petani madu hutan yang potensial untuk dapat dijadikan anggota JMHS.

Untuk mendukung pemasaran madu hutan, JMHS bekerja sama dengan Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) di level nasional. Dalam hal pendanaan, JMHS telah dibantu melalui program Coorporate Social

Responsibility (CSR) BNI.

Pada akhir kegiatan dilaksanakan temu bisnis madu hutan yang dimaksudkan untuk memperluas jejaring pasar petani. Temu bisnis ini dilakukan dengan mengundang industri yang menggunakan bahan baku madu, yang meliputi industri makanan dan obat-obatan tradisional serta kosmetika. Hasil temu bisnis antara lain mengungkap bahwa pada dasarnya peluang pasar madu hutan masih sangat luas baik di dalam maupun di luar negeri. PT Amway sebagai distributor madu hutan saat ini mengharapkan dapat memenuhi pasar madu hutan di luar negeri seperti Malaysia, Australia dan Singapura. Selain itu banyak diversifikasi produk madu hutan yang potensial untuk dikembangkan, antara lain sebagai

(9)

7

aksesoris, hiasan maupun produk lilin madu untuk diolah dan dikembangkan lebih lanjut.

Melalui pendekatan action research, penelitian ini berhasil mengidentifikasi kelembagaan sebagai faktor kunci yang diperlukan untuk memperkuat usaha petani madu hutan. Penguatan kelembagaan dilakukan melalui peningkatan kapasitas serta pemahaman petani terhadap jaringan usaha. Tahap pertama kegiatan penelitian ini berhasil membangun komunikasi dan koordinasi berbagai pihak di tingkat kabupaten. Diharapkan keberhasilan tersebut akan mempermudah sinergi di tingkat wilayah atau propinsi dan bahkan di tingkat nasional, sehingga terbangun kesamaan pandangan dan persepsi yang diperlukan untuk memperkuat kelembagaan di tingkat lokal.

(10)

8

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang penting bagi kehidupan mahluk di bumi. Hutan memiliki nilai ekologis, antara lain sebagai pengatur tata air, iklim mikro, penyerap CO2, habitat bagi flora dan fauna,

disamping nilai ekonomis baik yang sudah dimanfaatkan maupun yang potensial untuk dikembangkan. Hasil hutan kayu, non-kayu dan jasa lingkungan tersebut perlu dikelola secara arif dan bijaksana, agar masyarakat luas menikmati berbagai manfaat tersebut sekaligus meningkat kesejahteraannya khususnya bagi yang tinggal di sekitar hutan. Masyarakat di sekitar wilayah hutan berpotensi untuk mempercepat pembangunan daerah, namun demikian terkendala oleh keterbatasan sarana prasarana, informasi, dan sumberdaya manusia, disamping keterbatasan akses memanfaatkan sumberdaya hutan. Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) mengindikasikan bahwa persentase keluarga miskin yang tinggal di desa hutan lebih dari dua kali persentase keluarga miskin di Indonesia. Dengan jumlah desa hutan sekitar 26,6% dari jumlah seluruh desa di Indonesia, atau sebesar 58% dari desa tertinggal yang ada, maka angka tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat desa hutan masih sangat rendah. Dilain pihak, Kementerian Kehutanan melaporkan wilayah hutan yang terdegradasi mencapai seluas 40 juta hektar, wilayah ini potensial untuk ditingkatkan produktivitasnya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

Peningkatan produktivitas wilayah hutan dan pelestarian sumberdaya alam dilakukan antara lain melalui pola kemitraan dan pemberdayaan masyarakat luas maupun yang berada di sekitar wilayah hutan. Skema pendekatan partisipatori tersebut antara lain dilaksanakan dalam bentuk pengembangan program Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Rakyat,

(11)

9

Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat. Berbagai program yang telah dilakukan Pemerintah untuk pengembangan masyarakat desa hutan masih dianggap belum memadai dan belum menyentuh akar permasalahan yang ada di masyarakat desa hutan. Laporan BPS (2005) menyebutkan sekitar 25% dari 40 juta penduduk yang tinggal di sekitar hutan tergolong miskin. Keterbatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan akses terhadap informasi pasar diduga merupakan penyebab utama sulitnya mengentaskan kemiskinan di sekitar hutan. Dikhawatirkan, kemiskinan yang berkepanjangan akan memperparah kerusakan sumberdaya hutan melalui berlangsungnya praktek illegal

logging, perambahan hutan, maupun pembakaran hutan, yang akan

mengakibatkan bencana alam.

Visi pembangunan nasional dituangkan di dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Arah pembangunan ekonomi hingga tahun 2025 diwujudkan di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan visi “Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. Pola pikir paling mendasar yang ditekankan dalam konsep MP3EI dalam merespon permasalahan kemiskinan adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi membutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan Swasta (dalam semangat Indonesia

Incorporated). Perlu dipahami bahwa kemampuan pemerintah melalui

ABPN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan sangat terbatas sehingga dinamika ekonomi suatu negara pada akhirnya akan tergantung pada dunia usaha yang mencakup BUMN, BUMD, dan swasta domestik dan asing.

Kegiatan penelitian dan pengembangan berperan untuk menjembatani terciptanya Indonesia Incorporated, melalui komunikasi antar sektor yang seringkali tidak terjalin karena batasan birokrasi. Kegiatan penelitian mendorong peluang bagi masyarakat untuk bersinergi dengan sektor dan

(12)

10

berpartisipasi membangun wilayah. Pola kemitraan berbasis „tripartit‟ yang melibatkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah dikembangkan untuk mempercepat pembangunan melalui upaya mendorong komponen pelaku berinteraksi secara langsung dalam berbagai kegiatan pembangunan. Pendekatan ini membuka lebar peluang berusaha dan informasi pasar dengan cara antara lain menekan hambatan birokrasi. Di sektor kehutanan, upaya yang diperlukan adalah memperkuat jejaring usaha dan manajemen di tingkat kelompok tani hutan. Penguatan kelembagaan di tingkat petani di berbagai daerah terbukti mendorong perbaikan produktivitas sumberdaya dan nilai tambah usaha hasil hutan termasuk hasil kayu, non-kayu serta jasa lingkungan.

B. Pokok Permasalahan

Para pakar berpendapat bahwa kelestarian sumberdaya hutan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah hutan tersebut. Semakin sejahtera masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, semakin lestari hutan dan sumberdaya di dalamnya. Pada kenyataannya, desa-desa yang berada di dalam hutan digambarkan minim infrastruktur, terbelakang pendidikan masyarakatnya dan terperangkap ke dalam kemiskinan, di tengah melimpahnya sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kesempatan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan non-kayu yang diberikan kepada warga desa hutan masih terbatas untuk menopang ekonomi keluarga. Hasil hutan tersebut berpotensi menggerakkan roda perekonomian wilayah serta menyelamatkan hutan dari ancaman kehancuran, karena adanya penebangan kayu yang tak terkendali, perambahan serta kebakaran hutan.

Madu alam dari hutan Sumbawa merupakan contoh nyata dimana hasil hutan non-kayu bersimbiosis dengan kesehatan dan kelestarian hutan serta lingkungan. Laporan tahun 2008 menyebutkan bahwa 45% dari luas hutan yang ada di pulau Sumbawa termasuk sebagai hutan lindung,

(13)

11

mengingat kondisi topografi, kelerengan serta curah hujan yang ada. Kelompok hutan ini merupakan penghasil utama madu alam yang merupakan ikon perdagangan antar pulau, antar daerah bahkan antar kampung (Julmansyah, 2010). Madu merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat dari hutan disamping produk susu kuda liar, kopi, serta biji kemiri yang menjadi andalan setempat.

Potensi madu hutan di pulau Sumbawa belum diketahui secara pasti, demikian juga dengan produksinya. Hasil survei Dinas Kehutanan Sumbawa yang dilakukan pada tahun 2008 menyatakan potensi tersebut diperkirakan mencapai 125 ton pertahun, sedangkan produksinya mencapai 40 ton per tahun dengan nilai nominal sebesar tiga milyar rupiah. Apabila didayagunakan, potensi tersebut dapat mengurangi beban belanja pemerintah melalui adanya aktivitas perputaran modal yang dibutuhkan dalam pembangunan perekonomian daerah. Taksiran potensi yang merupakan prediksi sektor perdagangan tersebut dikhawatirkan tidak akan tercukupi dari kondisi aktual di lapangan. Kandungan potensi madu hutan terdapat pada pohon madu yang dalam bahasa lokal disebut dengan Boan. Pohon ini merupakan habitat berkembangnya Apis dorsata, yang menyediakan nectar bagi lebah hutan. Gangguan terhadap hutan yang dilakukan melalui penebangan pohon dan pembukaan lahan mengganggu ketersediaan nektar dan terbentuknya koloni Apis dorsata. Dengan demikian, kesehatan dan kelestarian hutan merupakan prasyarat bagi usaha madu hutan yang berkelanjutan.

C. Maksud dan Tujuan Kegiatan

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperkuat peran hasil hutan non-kayu sebagai andalan pembangunan daerah guna mewujudkan kelestarian pengelolaan hutan. Tujuan penelitian yang akan dicapai adalah memperkuat jejaring usaha madu hutan Sumbawa melalui penyediaan informasi pasar dan kerjasama antara kelompok tani dengan mitra usaha.

(14)

12

D. Metodologi Pelaksanaan

1. Lokus Kegiatan

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sumbawa, propinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi ini dikelompokkan sebagai koridor 5 di dalam Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang meliputi wilayah Bali dan Nusa Tenggara.

2. Fokus Kegiatan

Fokus penelitian ini merupakan Kegiatan Pendukung 3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan meliputi:

a. Penyediaan informasi pasar bagi kelompok petani hutan;

b. Penyediaan informasi paket teknologi pengembangan usaha produk wanatani atau agroforestry;

c. Peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha bagi kelompok petani hutan; serta

d. Memfasilitasi terbangunnya kerjasama antara kelompok tani hutan dengan mitra usaha.

4. Bentuk Kegiatan

Kegiatan penelitian ini dilakukan dalam bentuk sebagai berikut:

i. Observasi lapangan disertai dengan pengumpulan data sekunder dan data primer melalui wawancara

ii. Pelatihan teknik panen madu hutan yang hiegenis dan lestari

iii. Pembuatan dokumentasi video panen madu hutan hiegenis dan lestari, serta penyusunan informasi teknis

iv. FGD temu usaha petani dengan mitra v. Penyusunan laporan kegiatan penelitian

(15)

13

BAB II. PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

1. Perkembangan Kegiatan

Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi penyusunan proposal, pengelolaan administrasi, survey lapang untuk memperoleh data dan informasi yang terkait dengan pengembangan madu hutan Sumbawa, pelatihan untuk petani madu hutan, pembuatan film dan leaflet, dan penyusunan laporan akhir seperti yang terlihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

No Tahapan Kegiatan Deskripsi Singkat Tahapan Kegiatan Alokasi Waktu (minggu) 1 Bulan ke-1 (Proposal dan Administrasi)

Perbaikan proposal dan

pengurusan administrasi pengelolaan PKPP 2012 4 2 Bulan ke-2 sd 4 (Penelitian Lapangan )

Pengumpulan data dan informasi tentang potensi dan kendala pengembangan usaha kelompok tani hutan di Kabupaten Sumbawa - NTB (informasi pasar, teknologi, dan kebijakan yang terkait pengembangan usaha kelompok tani di sekitar kawasan hutan) 12 3 Bulan ke-5 (Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat)

Pelatihan tingkat petani sesuai kebutuhan untuk pengembangan usaha di tingkat petani, serta pelatihan dalam rangka temu bisnis antar stakeholder terkait dalam usaha pengembangan usaha kelompok tani hutan

4

4 Bulan ke-6 sd 7 (Analisis Data)

Melakukan analisis dan review data, penyusunan bahan leaflet /film/policy brief.

Mendiseminasikan lealet /film /policy brief kepada stakeholder

(16)

14

terkait termasuk para petani 5 Bulan ke-8

(Finalisasi Laporan)

Penyusunan laporan akhir 4

2. Kendala dan Hambatan Pelaksanaan Kegiatan

Secara umum kegiatan penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai rencana, dengan tanpa adanya kendala dan hambatan yang berarti. Kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana penjadwalan yang sudah disusun dan dukungan pendanaan yang tepat waktu. Selain itu, keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari keberhasilan tim peneliti dalam membangun komunikasi dengan berbagai pihak, serta kerjasama dan dukungan petani madu hutan dalamberbagai kegiatan.

B. Pengelolaan Administrasi Manajerial

1. Perencanaan Anggaran

Jumlah anggaran yang dialokasikan dalam kegiatan ini adalah sebesar Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Anggaran tersebut didistribusikan dalam bentuk: belanja gaji dan upah (honor) sebesar Rp 117.000.000; belanja bahan habis pakai Rp 10.930.200; belanja perjalanan Rp 75.374.800; dan biaya lain-lain seperti honor narasumber dan biaya pelatihan pengembangan madu sebesar Rp 46.695.000. Rincian perencanaan anggaran dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

(17)

15

Tabel 2. Rincian anggaran biaya penelitian

2. Mekanisme pengelolaan anggaran

Anggaran biaya pada sebesar Rp 250 juta tersebut (Tabel 2), diterima oleh tim pelaksana kegiatan dalam tiga termin. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan dilaksanakan mengikuti tahapan ketersediaan

No. Tolak Ukur Jml

Pelaksana Jml Jam/Bln Honor/ Jam (Rp) Honor/ Bln (Rp) Jml Bln Total Biaya

A. Belanja Gaji Upah 117,000,000

Honor kerja Peneliti

Madya 1 60

50,000 3,000,000 8 24,000,000 1 Honor kerja Peneliti Muda 2 80 40,000 6,400,000 8 51,200,000 2

Honor kerja Peneliti

Pertama 1 80 35,000 2,800,000 8 22,400,000 3 Honor Pembantu Peneliti 1 80 20,000 1,600,000 8 12,800,000

Honor Pejabat Pelaksana

Teknis 1 550,000 4 2,200,000

Honor Pembantu Pejabat

Pelaksana Teknis 1 450,000 4 1,800,000 Honor Sekretaris Peneliti 1 300,000 4 1,200,000

Honor Pemegang Uang

Muka 1 350,000 4 1,400,000

B

Belanja Bahan Habis

Pakai Volume Satuan

Nilai

Satuan 10,930,200

1 Fotocopy 1 paket 3,180,200 3,180,200

2 ATK 1 paket 7,000,000 7,000,000

3 Penggandaan Laporan 15 Eks 50,000 750,000

C Belanja Perjalanan 75,374,800 1 Perjalanan panjang dalam rangka pelaksanaan penelitian di NTB 10 OT 7,337,480 73,374,800 2 Perjalanan pendek dalam rangka konsultasi dengan tenaga ahli 8 OT 250,000 2,000,000

D Belanja Lain-lain Jml Volume Satuan

Nilai Satuan 46,695,000 1 Narasumber 7 1 OJ 800,000 5,600,000 2 Diskusi/FGD 2 Paket 7,567,500 35,135,000 3 Pembahasan 1 paket 4 ,960,000 4,960,000 4 Pembuatan Leaflet 200 5,000 1,000,000 Total 250,000,000

(18)

16

dana. Alokasi biaya per termin dapat dilihat pada Tabel 3, 4, dan 5 berikut.

Tabel 3. Rincian anggaran biaya termin I (30%)

No. Tolak Ukur Jml

Pelaksana Jml Jam/Bln Honor/Jam (Rp) Honor/Bln (Rp) Total Biaya A Belanja Perjalanan 46,069,800 1 Perjalanan panjang dalam rangka pelaksanaan penelitian di NTB 6 OT 7,678,300 46,069,800

B Belanja Lain-lain Jml Volume Satuan

Nilai Satuan 32,000,000 1 Narasumber 5 1 OJ 800,000 4,000,000 2 Pelatihan/FGD 1 Paket 28,000,000 28,000,000 Total 78,069,800

Pada termin 1 tersebut, pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik dan realisasi total anggaran yang digunakan melebihi anggaran yang tersedia (30%), yaitu sebesar Rp 78.069.800. Anggaran tersebut dialokasikan untuk kegiatan perjalanan dalam rangka pengumpulan data dan informasi dan pelaksanaan kegiatan pelatihan di tingkat masyarakat.

Tabel 4. Rincian anggaran biaya termin II (50%)

No. Tolak Ukur Jml

Pelaksana Jml Jam/Bln Honor/ Jam (Rp) Honor/ Bln (Rp) Jml Bln Total Biaya

A. Belanja Gaji Upah 68,000,000

1

Honor kerja Peneliti

Madya 1 60

50,000 3,000,000 5 15,000,000 2

Honor kerja Peneliti

Muda 2 80 40,000 6,400,000 5 32,000,000

3

Honor kerja Peneliti

Pertama 1 80 35,000 2,800,000 4 11,200,000 4 Honor Pembantu Peneliti 1 80 20,000 1,600,000 2 3,200,000 5 Honor Pejabat Pelaksana Teknis 1 550,000 4 2,200,000 6 Honor Pembantu Pejabat Pelaksana Teknis 1 450,000 4 1,800,000 7 Honor Sekretaris Peneliti 1 300,000 4 1,200,000 8 Honor Pemegang Uang Muka 1 350,000 4 1,400,000 B

Belanja Bahan Habis

Pakai Volume Satuan

Nilai

Satuan 10,930,200

(19)

17

No. Tolak Ukur Jml

Pelaksana Jml Jam/Bln Honor/ Jam (Rp) Honor/ Bln (Rp) Jml Bln Total Biaya 2 ATK 1 paket 7,000,000 7,000,000 3 Penggandaan Laporan 15 Eks 50,000 750,000 C Belanja Perjalanan 28,305,000 1 Perjalanan panjang dalam rangka pelaksanaan penelitian di NTB 4 OT 6,826,250 27,305,000 2 Perjalanan pendek dalam rangka konsultasi dengan tenaga ahli 4 OT 250,000 1,000,000

D Belanja Lain-lain Jml Volume Satuan

Nilai Satuan 14,695,000 1 Narasumber 2 1 OJ 800,000 1,600,000 2 Diskusi/FGD 1 Paket 7,135,000 7,135,000 3 Pembahasan 1 paket 4,960,000 4,960,000 4 Pembuatan Leaflet 200 5,000 1,000,000 Total 121,930,200

Pada anggaran biaya termin II (Tabel 4), anggaran sebesar 50% (Rp125.000.000) dapat terserap 100% dan kegiatan dapat terlaksana dengan baik.

Tabel 5. Rincian anggaran biaya termin III (20%)

No. Tolak Ukur

Jml Pelaksan a Jml Jam/ Bln Honor/ Jam (Rp) Honor/Bln (Rp) Jml Bln Total Biaya

A. Belanja Gaji Upah I 49,000,000

1

Honor kerja Peneliti

Madya 1 60 50,000 3,000,000 3 9,000,000 2

Honor kerja Peneliti

Muda 2 80 40,000 6,400,000 3 19,200,000

3

Honor kerja Peneliti

Pertama 1 80 35,000 2,800,000 4 11,200,000 4 Honor Pembantu Peneliti 1 80 20,000 1,600,000 6 9,600,000 B Belanja Perjalanan 1,000,000 1 Perjalanan pendek dalam rangka konsultasi dengan tenaga ahli 4 OT 250,000 1,000,000 Total 50,000,000

(20)

18

Anggaran biaya pada termin III sebesar Rp 50.000.000 dialokasikan untuk pembayaran honor pelaksana kegiatan dan biaya perjalanan pendek dengan rincian seperti yang terlihat pada Tabel 5.

3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset

Aset yang dihasilkan berupa dokumen leaflet tentang teknik pemanenan madu hutan yang higienis serta film tentang potensi madu hutan sumbawa. Kedua aset tersebut telah didistribusikan kepada JMHS dan koperasi hutan lestari yang rencananya akan dijadikan panduan pelaksanaan pembinaan secara kontinyu kepada para petani baru calon anggota JMHS.

4. Kendala dan Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial

Secara umum tidak ada kendala dan hambatan pengelolaan administrasi manajerial yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan kegiatan penelitian. Kerjasama dan komunikasi yang terbuka antara pihak manajemen dengan peneliti menentukan kelancaran penelitian ini.

(21)

19

BAB III. METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA

A. Metode Pencapaian Target Kinerja 1. Kerangka Rancangan Metode Penelitian

 Mengidentifikasi produk atau komoditas andalan berbasis kemitraan Dilakukan dengan cara observasi dan penggalian informasi dari

instansi pemerintah, pelaku usaha (Koperasi Madu Hutan) serta masyarakat desa hutan. Kunjungan lapangan dilakukan ke desa penghasil madu yaitu desa Batudulang, kecamatan Batu Lanteh di Kabupaten Sumbawa yang berjarak dua jam perjalanan dari ibukota kabupaten.

 Mengumpulkan data sekunder dan informasi pola kemitraan dan kelembagaan madu hutan Sumbawa serta potensi dan kendala pengembangan usaha madu hutan di Sumbawa. Ditelusuri melalui data sekunder dan wawancara dengan berbagai pihak yang meliputi pihak Dinas Kehutanan di tingkat kabupaten dan propinsi, BPDAS, Bappeda serta BPS, pengurus Koperasi Madu Hutan, pengurus Jaringan Madu Hutan Sumbawa atau JMHS, serta kelompok tani desa hutan.

 Melakukan pelatihan dan Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai stakeholder terkait pengembangan usaha madu hutan dalam rangka pemantapan jejaring kerja sama usaha. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 29 sd 31 Mei 2011 di Kabupaten Sumbawa dengan melakukan pelatihan usaha madu hutan kepada para petani potensial yang belum menjadi anggota koperasi atau jaringan madu hutan sumbawa. Pelatihan melibatkan 30 petani madu hutan sebagai peserta, dan mengundang pembicara dari Dinas Perdagangan, Bappeda, Dinas Kehutanan, BPK Mataram serta pembicara dari JMHS.

(22)

20

 Melakukan diskusi dengan stakeholder terkait tentang potensi pengembangan madu hutan Sumbawa untuk industri pangan, obat dan kosmetik. Selain itu diskusi dilakukan dalam rangka membangun jejaring kerjasama usaha madu hutan Sumbawa yang integratif dari mulai hulu sampai ke hilir. Diskusi dihadiri oleh perwakilan petani hutan, perwakilan pemda Sumbawa, perwakilan industri sebagai konsumen madu, perwakilan JMHS atau fasilitator petani madu, serta tim peneliti Puspijak.

2. Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Kinerja

 Terkumpulnya data dan informasi tentang kondisi biofisik wilayah Sumbawa yang meliputi kondisi hutan, produk hasil hutan dan status hasil hutan madu sebagai produk unggulan daerah.

 Terkumpulnya informasi tentang kelompok tani desa hutan dan keterkaitannya dengan usaha madu

 Terkumpulnya data dan informasi tentang kemitraan usaha madu hutan dan jejaringnya

 Tersedianya informasi pasar dan teknologi, dana dan kebijakan yang terkait pengembangan usaha madu hutan

 Terselenggaranya pelatihan dan FGD dengan berbagai stakeholder dalam rangka meningkatkan perkembangan usaha kelompok tani hutan.

 Teridentifikasinya peluang memperkuat pola kemitraan / jejaring kerjasama usaha dan peluang usaha melalui pengembangan pola kemitraan.

(23)

21

3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian

a. Profil Hutan di Kabupaten Sumbawa dan Madu Hutan Sumbawa

Luas hutan Kabupaten Sumbawa mencapai 516.242 ha yang terdiri dari hutan lindung (243.765,53 ha), hutan produksi terbatas (177.669,51 ha), hutan produksi tetap (58.379,30 ha), taman buru (22.537,90 ha), cagar alam (2.165,25 ha), wisata alam (5.725 ha) dan taman laut (6.000 ha). Sebanyak 45,21% merupakan hutan lindung yang berfungsi sebagai perlindungan ekosistem. Keberadaan hutan lindung tersebut sangat erat kaitannya dengan produksi madu hutan di wilayah Sumbawa, karena sebagai besar kawasan hutan lindung merupakan sumber produksi madu hutan yang sangat potensial (Tabel 6). Potensi hutan Sumbawa mencapai 125 ton per tahun (Julmansyah, 2010).

Tabel 6. Hubungan fungsi hutan dan potensi madu Tipologi Hutan Status dan Fungsi

Hutan

Potensi Madu (perkiraan) Hutan dengan asosiasi

tanaman tertentu

Hutan lindung

Sumber madu dengan potensi besar

Hutan tropic lembab (± 1000 mdpl)

Hutan lindung

Hutan berduri Hutan lindung dan

hutan produksi Hutan tropic kering Hutan produksi

Sumber madu dengan potensi rendah

Hutan mangrove Hutan dan luar

kawasan

Secara administratif wilayah Kabupaten Sumbawa dapat dilihat pada Gambar 1.

(24)

22

Gambar 1. Peta administrasi Kabupaten Sumbawa (Sumber: Indrajaya, 2011)

Salah satu kawasan yang sangat potensial untuk pengembangan madu hutan di Kabupaten Sumbawa adalah Kecamatan Batu Lanteh. Lokasi kecamatan Batulanteh yang terletak di tengah hutan menjadi salah satu faktor bagi sebagian besar penduduk di daerah tersebut untuk menjadikan madu hutan sebagai salah satu mata pencaharian disamping berkebun. Hampir seluruh petani madu hutan di wilayah tersebut tergabung dalam koperasi hutan lestari yang berafiliasi dengan jaringan madu hutan sumbawa (JMHS). Jaringan madu hutan Sumbawa merupakan perkumpulan para petani madu hutan di Kabupaten Sumbawa. Sampai saat ini sekitar 400 petani madu hutan telah menjadi anggota JMHS. Data JMHS tahun 2010 menyebutkan bahwa pendapatan selama setahun dalam usaha madu hutan ini kurang lebih Rp 167.805.000.

(25)

23

Gambar 2. Sentra Jaringan Madu Hutan Sumbawa di Desa Batudulang, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa

Gambar 3. Koperasi Jaringan Madu Hutan Sumbawa di Desa Batudulang, Kec. Batulanteh, Kab. Sumbawa

Madu merupakan salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan Provinsi NTB. Di NTB terdapat dua jenis madu. Pertama, madu

(26)

24

budidaya yang terdiri dari Apis cerana, dan Apis melifera. Madu bidudaya banyak terdapat di Pulau Lombok. Upaya pengembangan yang coba dilakukan di Pulau Sumbawa belum berhasil. Kedua, madu alam atau madu hutan atau Apis dorsata. Madu hutan ini kebanyakan berada di Pulau Sumbawa dan menyebar dari Kabupataen Sumbawa Barat di ujung barat Pulau Sumbawa sampai dengan kabupaten Bima di ujung timur Pulau Sumbawa. Dari data Dinas Kehutanan Provinsi NTB (2010) didapatkan informasi bahwa volume produksi madu dari NTB pada tahun 2009 mencapai 66.500 liter. Namun tidak terdapat data yang pasti tentang volume produksi madu hutan atau yang dikenal dengan sebutan madu sumbawa.

Madu sumbawa adalah madu yang diperoleh dari hasil pemanenan madu di hutan-hutan alam di wilayah pulau Sumbawa. Lebah hutan Apis dorsata merupakan lebah raksasa yang belum dapat didomestikasi. Lebah ini berbeda dengan lebah ternak dengan jenis Apis mellifera maupun Apis

cerana yang banyak diternakkan. Pakan (nectar) Apis dorsata tersebar di

kawasan hutan alam yang jauh dari input-input atau treatment yang berpotensi merusak potensi organik (Anonim, 2011).

Apis dorsata hanya berkembang di Asia seperti; India, Philipina, China

dan Indonesia. Madu dari spesies ini dikenal sebagai madu alam atau madu hutan. Di Indonesia spesies lebah madu tersebut hanya terdapat di pulau Sumatera, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sarang Apis dorsata dibangun secara tunggal dengan sisiran sarang hanya selembar. Sarang tersebut digantung dicabang pohon dan tebing batuan sekitar 20 m di atas permukaan tanah. Satu pohon dihuni paling sedikit 10 sarang. Produksi madunya dalam setahun dapat menghasilkan 15 - 25 kg madu per koloni. Di dalam sebuah sarang, koloni terdiri atas tiga anggota yaitu seekor lebah ratu, ratusan lebah jantan dan ribuan lebah pekerja. Sampai sekarang, lebah ini tidak dapat dibudidayakan. Menurut Hadisoesilo dan Kuntadi (2007), lebah hutan dapat ditemukan pada ketinggian 0 – 2000 m

(27)

25

di atas permukaan laut, baik di dalam hutan primer maupun hutan sekunder.

Klasifikasi Apis dorsata adalah sebagai berikut : Phylum : Arthopoda Subphyllu : Mandibulata Klas : Insekta Subklas : Pterygota Ordo : Hymenoptera Subordo : Clistogastra Subfamili : Apoidae Famili : Apidea Genus : Apis

Spesies : Apis dorsata

Kondisi lebah madu sumbawa yang unik karena berada di hutan dan tidak dapat diternakkan ini menjadi sebuah potensi yang dapat dimanfaatkan baik dalam rangka penjagaan ekosistem hutan maupun lebih jauh untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemanenan madu hutan tersebut. Sejauh ini produksi madu hutan di Kabupaten Sumbawa adalah sebagai berikut.

Tabel 7. Produksi Madu (Kg) Kabupaten Sumbawa Wilayah Jumlah Produksi Madu (Kg)

Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 s/d Maret Tahun 2012 Batudulang 8.094 11.533 4.818 5.351 498 Punik 7.930 2.777 1.730 Semongkat 3.190 2.798 1.525 Sampa 1.810 2.781 1.352 Seseng 9.183 645 627 Dusun Beru 7.325 239 417 Gapit 2.400 2.500 3.200 Batubangka 1.005 242 152

(28)

26

Wilayah Jumlah Produksi Madu (Kg) Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 s/d Maret Tahun 2012 Brang Rea 943 823 Batu Rasak 1.333 Lantung 520 Ropang 754 Total 8.094 44.376 17.743 17.784 498

Produksi madu hutan ini terancam terus merosot oleh karena meluasnya usaha pertambangan emas dan mangaan yang dikelola secara individual maupun melalui pengembang usaha. Di lain pihak, permintaan produk madu hutan terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi untuk mengembangkan produk turunan madu selain untuk pangan dan minuman, juga untuk bahan dasar kosmetika, pengobatan dan jamu-jamuan, serta untuk keperluan asesoris atau hiasan.

Produksi madu hutan umumnya dilakukan oleh warga desa yang meneruskan tradisi para leluhur. Diperlukan keahlian khusus dan prosedur tertentu untuk dapat memanen madu dari sarang lebah Apis dorsata yang menggantung pada pohon boan setinggi lebih dari 20 meter. Umumnya panen madu dilakukan secara berkelompok, dengan melibatkan warga desa mengingat pohon madu dianggap milik kolektif warga. Penjualan madu hutan dilakukan masing-masing, dan umumnya belum terorganisir. Keadaan ini dimanfaatkan oleh tengkulak yang menjembatani penawaran harga antara petani dengan pembeli. Akibatnya, jaringan pemasaran hasil hutan madu menjadi panjang dan masing-masing pihak pada setiap tahapan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Rantai perdagangan yang panjang ini harus diputus guna meningkatkan posisi tawar petani, melalui pemberian harga dasar yang layak di tingkat petani pemungut madu.

(29)

27

Jaringan Madu Hutan Sumbawa atau JMHS dibentuk untuk menjembatani pemasaran produk madu hutan alam yang berasal dari pulau Sumbawa dan sekitarnya. Kelompok tani yang dibina JMHS masih terbatas pada satu desa, yaitu desa Batudulang kecamatan Batulanteh. Masih banyak petani yang belum terjaring sebagai anggota jaringan, dan anggota yang ada belum sepenuhnya merasakan manfaat dari adanya jaringan, serta belum sepenuhnya memahami cara bekerjanya jaringan. Standar kualitas produk yang dipersyaratkan oleh pembeli belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh para anggota. Keterbatasan tersebut membuka peluang bagi perantara untuk mengambil keuntungan dengan cara menekan harga di tingkat petani.

b. Sistem pemanenan madu hutan Sumbawa

Hingga saat ini, permasalahan utama untuk memenuhi standar kualitas madu yang menjadi syarat dalam SNI 2004, adalah tingginya kadar air yang menyebabkan terjadinya proses fermentasi pada madu sehingga mempercepat turunnya kualitas madu.

Menurut Kuntadi (2002), Madu berasal dari nektar yang telah diturunkan kadar airnya oleh lebah pekerja melalui proses penguapan, baik sebelum maupun sesudah disimpan di dalam sel sarang. Sel sarang akan ditutup setelah madu menjadi matang dengan kadar air sekitar 21 %. Dengan demikian, persentase luas sarang madu yang telah ditutup pada saat pemanenan dilakukan, sangat menentukan tingkat kadar air madu tersebut.

Kegiatan lebah mulai dari mengumpulkan nektar hingga menutup sarangnya menjadi hal yang perlu mendapat perhatian, terutama dalam kaitannya dengan berapa lama waktu yang tepat dalam memanen madu dimana kadar air madu telah mencapai standar kadar air yang diharapkan. Jika diketahui waktu panen yang efektif, maka kegiatan pasca panen yaitu penurunan kadar air madu tidak diperlukan lagi.

(30)

28

Namun demikian, perlakuan paska panen juga merupakan bagian penting untuk mendapatkan kualitas madu yang diharapkankan. Selama ini para petani madu melakukan pemanenan dengan cara peras. Cara ekstraksi madu dengan sistem peras ini ternyata menghasilkan madu dengan tingkat kejernihan yang rendah dan cenderung mudah basi karena tercampur dengan anakan lebah, lilin, dan serbuksari. Saat ini pengelola JMHS sedang mengenalkan cara panen dengan sistim tiris yang merupakan alternatif teknik ekstraksi madu yang memanfaatkan gravitasi dan penyaringan agar kontaminan tidak terbawa dalam madu.

Pemanenan madu hutan sangat tergantung kepada musim. Dengan demikian produksi madu tiap tahun sangat fluktuatif. Keberadaan pohon Boan, pohon yang setiap tahun bersarang lebah madu hutan dengan jumlah sarang lebih dari 3 buah, menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil pemetaan GPS yang dilakukan JMHS, terdapat 136 pohon Boan di Desa Batudulang kecamatan Batu Lanteh yang merupakan pusat produksi madu hutan di Kabupaten Sumbawa. Panen madu biasanya dilakukan setiap bulan kecuali bulan Januari – Pebruari. Panen raya terjadi pada bulan September dan Nopember. Satu pohon dapat menghasilkan 1 s/d 30 liter madu hutan.

Petani madu pada umumnya masih menggunakan cara tradisional dalam hal pemanenan madu di hutan alam yaitu perburuan dilakukan pada malam hari dengan cara pengasapan pada sarang lebah untuk mengusir lebah dari sarangnya, tapi sesungguhnya tidak mengurangi keganasan lebah hutan. Untuk mengindari sengatan lebah hutan pawang biasanya sesaat setelah pengasapan, ranting pohon di potong segera, untuk menghidari kembalinya lebah ke sarangnya. Teknik pemanenan seperti ini sesungguhnya tidak menguntungkan karena : Koloni lebah cenderung hijrah setelah dipanen dan menghambat perkembangan populasi koloni. Peralatan panen juga masih cukup sederhana yaitu tali untuk memanjat dan menurunkan sarang, parang untuk memotong cabang, ember sebagai

(31)

29

tempat hasil perburuan. Pemerasan pun masih dilakukan dengan sederhana menggunakan tangan.

Untuk menanggulangi hal tersebut, JMHS telah melakukan pendampingan kepada para petani madu hutan dalah hal teknik pemanenan serta prosesing madu hutan. Jika sebelumnya para petani melalukan teknik pemanenan dengan cara mengambil semua bagian sarang serta peras tangan yang berpotensi terjadinya kontaminasi, maka JMHS telah melakukan pelatihan agar para petani melakukan dengan cara mengambil sebagian sarang yang mengandung madu saja serta sistem tiris dengan menggunakan saringan standar berukuran 8 – 32 lubang per cm2. Untuk mengatur kadar air madu, JMHS telah mendapatkan bantuan alat penurun kadar air “The Home” dari Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Madu yang telah memenuhi standar kadar air ( + 18%) disimpan dalam dirigen tertutup atau dikemas dalam botol berukuran 1 liter, 60 ml dan 30 ml yang kemudian ditempelkan label JMHS secara sederhana. Kemasan belum dilakukan penyegelan sehingga tutup botol sangat mudah terbuka.

Kriteria hiegenis atau kebersihan dan kesehatan merupakan syarat utama, yang ditunjukkan melalui penggunaan peralatan khusus dan streil untuk melaksanakan pemanenan dan penyaringan madu. Selain itu, kelestarian pohon madu atau boan disertai dengan tanaman penghasil nektar bagi pakan lebah merupakan syarat pokok yang akan menjamin kelestarian pasokan produk madu.

Sistem pemanenan madu hutan yang kurang higienis menyebabkan produk madu hutan yang dihasilkan di Kabupaten Sumbawa baru terserap 60%. Hal tersebut karena konsumen mensyaratkan madu hutan yang dipanen dengan sistem tiris sehingga tingkat kehigienisannya terjaga. Untuk mendukung agar petani dapat melaksanakan system pemanenan yang higienis, penelitian ini telah menghasilkan leaflet tentang teknik pemanenan madu hutan yang higienis sesuai standar SNI. Leaflet tersebut didistribusikan kepada JMHS sebagai lembaga perwakilan petani

(32)

30

madu hutan sekaligus fasilitator petani. Leaflet tersebut akan digunakan sebagai panduan bagi p.etani madu baru atau calon petani madu yang akan bergabung dalam JMHS. Dengan demikian diharapkan supply madu hutan dapat memenuhi kebutuhan pasar.

c. Teknologi pengembangan usaha madu Sumbawa

Kendala yang sering dihadapi petani madu hutan pada umumnya adalah tingkat kadar air madu yang dipanen melebihi 25%, sedangkan kadar air yang dipersyaratkan pada heather honey (Calluna) kurang dari 22%,

bakers honey 25% dan standar SNI sebesar 22% (Bogdanov dan Peter,

2002; SNI, 2004; Martin, 2005). Hal tersebut menyebabkan madu hutan menjadi lebih cepat rusak karena mengalami fermentasi. Untuk mengatasi hal tersebut JMHS telah mendapat bantuan alat penurun kadar air “dehumidifier” (Gambar 4) yang diletakkan dalam „Rumah Madu‟ (Bangunan untuk menurunkan kadar air) (Gambar 5) dari Balai Penelitian Kehutanan Mataram.

Gambar 4. Dehumidifier

Dehumidifier (Gambar 4) merupakan alat yang berfungsi menurunkan

kelembaban udara dengan menggunakan listrik untuk mengkondensasi air dari udara. Alat menurunkan kadar air madu berdasarkan prinsip

(33)

31

hubungan keseimbangan antara Rh udara dan kadar air madu. Dimana antara kedaunya terjadi keseimbangan, semakin tinggi kelembaban nisbi (Rh) lingkungan maka semakin tinggi pula kadar air madu (Martin, 1958 dalam Siregar, 2002). Rh udara diturunkan lebih rendah daripada Rh keseimbangan kadar air awal madu agar kandungan air madu menguap mencapai kadar yang diinginkan (Febrinda, 1993 dalam Siregar, 2002). Alat ini diletakkan pada ruang dehumidifikasi berukuran 4,5 x 2 x 2,5 m3, dilengkapi dengan air conditioner (AC) dan exhaust fan. Ruangan ini harus ditutup selama proses penurunan kadar air madu. Prinsip kerja alat penurun kadar air ini yaitu:

 merubah molekul udara yang lembab menjadi tetesan air menggunakan koil pendingin dan kipas kecil.

 Ini terjadi akibat tekanan udara yang tinggi karena menurunnya suhu udara. Kandungan air di udara mengental dan menjadi tetesan air yang jatuh di satu wadah yang disebut collecting bucket atau wadah penampung (Merk itech).

(34)

32

Keterangan : (1) Rak penyimpan madu, (2) Meja Penyaringan madu, (3) AC dan Dehumidifier, (4) Pembotolan madu, (5) Exhouse Fan, (6) Ruang Penyangga

Gambar 5. Bangunan penurun kadar air madu di sumbawa (A : bangunan tampak depan, B: lay out bangunan)

Selain itu, untuk membantu pengembangan usaha madu hutan, JMHS juga mendapat bantuan bangunan outlet untuk display pemasaran madu hutan dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Mataram – Kementerian Kehutanan. Meskipun demikian bangunan outlet tersebut belum difungsikan mengingat masih harus dilakukan pembenahan khususnya kelengkapan outlet. Sedangkan Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa secara kontinyu melakukan pendampingan dan penyuluhan kepada para petani

2,5 m 0,6 m 2 m 1,5 m 0,6 m 0,8 m 1b 1a 2 5 3 4 6 0,5 m mm 4 3 m

A

B

(35)

33

usaha madu hutan untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu (madu) tersebut secara lestari dalam kerangka hutan kemasyarakatan (HKm). Hal ini bertujuan agar kelestarian sumberdaya hutan di Kabupaten Sumbawa tetap terjamin, mengingat hutan lindung di kawasan Batu Lanteh merupakan sumber mata air bagi pesawahan yang ada di Kabupaten Sumbawa serta sumber air bersih yang dikelola PDAM untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Sumbawa.

Dalam rangka mengembangkan usaha madu hutan Sumbawa, diperlukan pengembangan produk turunan madu untuk mendukung industry kosmetik, pangan maupun obat-obatan. Beberapa produk turunan madu yang dapat dikembangkan adalah beewax, beepollen, beebread, atau

lipbalm.

(a) (b) (c)

(36)

34

(g) (h) Gambar 6. Produk turunan madu

(a) lipbalm, (b) makanan dan minuman, (c) lilin lebah (beeswex), (d) lilin hias, (e) lip care honey. (f) body cream spa, (g) lilin aroma terapi, dan (h) sabun mandi

Dalam koloni Apis dorsata, beebread/bee pollen biasanya disimpan dalam jumlah besar pada bagian mulut sisir mereka, yaitu antara madu dan bagian induk dan biasanya dipotong sebelum memotong ruang madu. Roti Lebah (bee bread) dari Koloni Apis dorsata adalah hasil dari lebah menggunakan sekresi saliva, yang kaya akan enzim untuk fermentasi yang dikumpulkan serbuk sari sebelum menyimpan menjadi sisir. Beeollen atau bee bread umumnya digunakan oleh ibu-ibu sebagai lulur untuk menghilangkan flex dan diduga dapat meningkatkan stamina tubuh. Untuk mendukung pengembangan usaha madu hutan tersebut diperlukan dukungan paket teknologi pengolahan madu hutan menjadi produk turunannya.

d. Peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha bagi kelompok tani hutan

Dalam kegiatan ini bentuk peningkatan kapasitas manajemen pengembangan usaha yang dilakukan adalah berupa pelatihan yang ditujukan kepada kelompok petani madu untuk meningkatkan kualitas produk usaha madu mereka. Pelatihan ini dilaksanakan selama 3 (tiga hari yaitu pada tanggal 29 – 31 Mei 2012 di Kabupaten Sumbawa.

(37)

35

Pelatihan yang diikuti oleh 30 peserta petani madu ini menunjukkan antusiasme mereka untuk bergabung serta ke dalam jaringan usaha dan berhasil menginformasilan persyaratan yang harus dipenuhi produk madu hutan untuk bisa masuk ke dalam jaringan pasar nasional. Kegiatan pelatihan ini terdiri atas pemaparan materi dan praktek lapang.

Pemaparan materi disampaikan oleh beberapa narasumber antara lain Kepala Kesatuan Pengelolaan (KPH) Hutan Batu Lanteh tentang Pengelolaan lahan kering, ketua JMHS tentang pengembangan jaringan usaha, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa tentang Penguatan Kelembagaan, dan Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Mataram tentang tentang teknik penurunan kadar air madu. Banyak pengetahuan dan informasi bura yang diperoleh para petani dalam pelatihan tersebut, antara lain adalah informasi proses pemanenan madu yang higienis persyaratan pasar yang harus dipenuhi agar produk madu mereka diterima oleh pasar. Umumnya para petani peserta yang berasal dari 8 desa di Kecamatan Batulanteh tersebut belum memahami informasi tersebut sebelumnya, sehingga diskusi yang hangat terjalin selama pelatihan, terutama menyangkut persyaratan untuk menjadi anggota JMHS serta keuntungan yang diperoleh dari keanggotaan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan tindak lanjut untuk dapat membangun dan mendampingi desa yang akan membentuk kelompok agar kelompok baru tersebut dapat memenuhi persyaratan kualitas produk madu JMHS.

(38)

36

Gambar 7. Penyampaian materi kepada petani madu hutan

Pelaksanaan field trip atau kunjungan lapang dalam pelatihan ini bertujuan untuk melihat dan mempraktekan secara langsung proses pemanenan, penirisan, penurunan kadar air, dan pengemasan madu. Dari kegiatan ini diharapkan para petani madu dapat mempraktekan keahlian yang diperolehnya di desa masing-masing.

(39)

37

( c ) (d)

(e) (f) Gambar 8. Pelatihan pengembangan usaha madu hutan

(a) Kunjungan lapang ke Desa Batu Dulang, (b) Pertemuan di Koperasi JMHS, (c) Persiapan pengambilan madu, (d) Penirisan madu, (e) Tempat penurunan kadar air madu, (f) Pengemasan madu

e. Jejaring kerjasama petani madu dengan mitra usaha

Untuk mendukung pemasaran madu hutan, JMHS bekerja sama dengan Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI) di level nasional. Melalui JMHI, JMHS telah menandatangani kontrak jual beli madu dengan PD. Dian Niaga yang berfungsi memasarkan madu dengan merek JMHS baik di dalam maupun di luar negeri. Dari tahun 2008 s/d 2010 telah dilakukan kontrak jual beli dengan PT Dian Niaga sebanyak 9.622 ton madu. Besarnya kontrak antara JMHS dengan PT Dian Niaga dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

(40)

38

Tabel 8. Kontrak Madu JMHS dengan PD. Dian Niaga

No Tahun Jumlah (Kg) Bulan Kontrak

1 2008 632 Pebruari 2 2008 500 Agustus 3 2008 2000 Agustus 4 2008 2000 Desember 5 2009 990 April 6 2009 1500 Oktober 7 2010 2000 April TOTAL 9.622 Sumber : JMHS 2010

Sedangkan berdasarkan wawancara perwakilan PD Dian Niaga, pada tahun 2012 telah terserap sebanyak 0,5 ton madu hutan Sumbawa. PAda tahun 2012, Madu hutan Sumbawa menjadi pemasok utama madu hutan ke PD Dian Niaga mengingat madu hutan yang dihasilkan Pulau Kalimantan tidak mengalami panen akibat cuaca ekstrim.

Berdasarkan wawancara dengan ketua JMHS, rata-rata kontrak pembelian madu oleh PD Dian Niaga setiap tahun adalah sebanyak 6 ton dengan harga Rp 75.000 / kg dalam wadah dirigen plastik. PD Dian Niaga sendiri memasarkan madu sumbawa melalui kerjasama dengan MLM – AMWAY (Gambar 9) selain untuk diekspor.

Gambar 9. Kemasan madu Sumbawa yang dipasarkan melalui MLM AMWAY

(41)

39

Sampai saat ini, JMHS masih kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar terhadap madu hutan, mengingat produksi panen madu sangat fluktuatif sangat tergantung kondisi alam terutama cuaca/musim. Untuk memperbesar kapasitas produksi, bahkan JMHS menerima madu hutan yang dipanen di luar Sumbawa, seperti dari Kabupaten Bima dan sekitarnya, dengan menetapkan SOP dan standar pemanenan dan prosesing madu yang baku. Berdasarkan wawancara dengan anggota JMHS, mereka mengharapkan dapat menambah keanggotaan petani penghasil madu agar kapasitas produksi dapat meningkat. Oleh karena itulah, pada tahap pertama penelitian ini dilaksanakan pelatihan kepada petani madu hutan yang potensial untuk dapat dijadikan anggota JMHS. Perkembangan usaha madu hutan melalui JMHS di Kabupaten Sumbawa telah mendapat banyak perhatian, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam hal pendanaan, JMHS telah dibantu melalui program Coorporate Social Responsibility (CSR) BNI. Bahkan BNI telah menawarkan kepada JMHS untuk memberikan bantuan kredit usaha untuk memperbesar skala usaha JMHS. Tetapi JMHS tidak mau mengambil peluang tersebut mengingat JMHS belum dapat memenuhi permintaan pasar secara kontinyu.

Pada akhir kegiatan dilaksanakan temu bisnis madu hutan yang dimaksudkan untuk memperluas jejaring pasar petani. Temu bisnis ini dilakukan dengan mengundang industri yang menggunakan bahan baku madu, yang meliputi industri makanan dan obat-obatan tradisional serta kosmetika. Hasil temu bisnis antara lain mengungkap bahwa pada dasarnya peluang pasar madu hutan masih sangat luas baik di dalam maupun di luar negeri. PT Amway sebagai distributor madu hutan saat ini mengharapkan dapat memenuhi pasar madu hutan di luar negeri seperti Malaysia, Australia dan Singapura. Selain itu banyak diversifikasi produk madu hutan yang potensial untuk dikembangkan, antara lain sebagai aksesoris, hiasan maupun produk lilin madu untuk diolah dan dikembangkan lebih lanjut.

(42)

40

Gambar 10. Temu bisnis antara JMHS dengan mitra usaha

Di sisi lain, pengembangan madu hutan Sumbawa menghadapi beberapa kendala. Dari hasil diskusi terungkap bahwa produk madu hutan memiliki segmen pasar tersendiri dibandingkan dengan madu hasil budidaya. Madu hutan umumnya lebih mahal dibanding madu budidaya, dan harga yang lebih tinggi ini menjadi kendala bagi industri makanan dan minuman untuk menggunakannya, kecuali untuk pengembangan produk khusus. Selain itu, pasokan jumlah bahan baku serta karakteristik rasa dan warna yang bervariasi (karena tergantung pada alam) membatasi penggunaannya untuk industri.

Namun demikian, pertemuan ini berhasil menjalin kesepakatan untuk mencari terobosan teknologi dan terobosan manajerial yang memungkinkan industri untuk menyerap produk madu hutan alam. Untuk pengembangan pasar madu hutan Sumbawa, PT Kimia Farma membuka peluang kerjasama untuk memasarkan produk madu hutan Sumbawa di seluruh jaringan apotek kimia farma di seluruh Indonesia. Sedangkan PT Sido Muncul membuka peluang kerjasama pemasaran madu hutan Sumbawa melalui pengembangan produk madu premium yang dipasarkan melalui jaringan MLM Sido Muncul.

Selain pasar, jejaring kelembagaan pengembangan usaha madu hutan sangat bergantung pada kondisi kelembagaan petani madu hutan.

(43)

41

Kelembagaan petani madu yang terlah terbangun adalah Jaringan MAdu Hutan Sumbawa (JMHS). Sampai tahun 2012, JMHS memiliki anggota 3 koperasi hutan dan 2 kelompok tani hutan dengan jumlah anggota terlibat sampai mencapai 410 KK di desa-desa sekitar hutan.

Untuk mengembangkan supply madu hutan Sumbawa, JMHS berencana untuk memperluas keanggotaan. Perluasan anggota meliputi daerah Dompu, Bima, Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah. Perluasan anggota JMHS ini juga didukung oleh Pemda Kabupaten Sumbawa khususnya Dinas Kehutanan dan PErkebunana Kabupaten Sumbawa.

Dengan terintegrasinya antara petani madu, industry sebagai konsumen, Pemda sebagai regulator maupun fasilitator pengembangan usaha masyarakat diharapkan pengembangan usaha madu hutan Sumbawa dapat dilaksanakan dengan efektif. Kegiatan yang telah dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kemandirian dan mempreluas jejaring usaha madu hutan dari koperasi petani madu hutan atau dalam hal ini diwakili oleh JMHS. Untuk itu akan dilaksanakan koordinasi yang terus menerus antara Puspijak dengan JMHS dan pemda Kabupaten Sumbawa untuk pengembangan usaha madu hutan.

B. Potensi Pengembangan Ke Depan

1. Kerangka Pengembangan Ke Depan

Rencana pengembangan dari penelitian ini ke depan akan memfokuskan kepada diversifikasi hasil olahan madu Sumbawa, peningkatan kapasitas petani madu hutan dalam rangka penguatan kelembagaan, dan rekayasa alat untuk memenuhi standar panen madu hutan yang hiegenis dan lestari. Ke depan, kelembagaan petani madu hutan perlu difasilitasi dengan penyusunan rencana operasional tindak lanjut pemberian sertifikat

(44)

42

HAKI bagi Informasi Geografis pohon madu hutan yang diberikan pada pertengahan Mei 2012.

2. Strategi Pengembangan Ke Depan

Strategi untuk pengembangan jejaring kemitraan usaha madu hutan tersebut akan ditempuh dengan memanfaatkan hubungan antar lembaga yang sudah dibangun selama pelaksanaan penelitian, serta mengoperasionalkan renacana yang sudah dibangun antara pihak tim peneliti bersama dengan kelompok petani dan pemerintah daerah serta mitra usaha. Termasuk dalam rencana tersebut antara lain adalah:

- Memperluas jaringan kerjasama dengan pihak mitra

- Merekayasa dan mengembangkan alat panen madu yang hiegienis dan lestari

- Memperkuat kemampuan manajemen JMHS

- Menambah jumlah kelompok tani yang tergabung di dalam keanggotaan JMHS

(45)

43

BAB IV. SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program

1. Kerangka Sinergi Koordinasi

Sinergi dilakukan melalui komunikasi langsung maupun tidak langsung, baik secara tertulis maupun tidak tertulis misalnya hubungan telephon dan pertemuan langsung. Tatap muka dan diskusi dengan pihak terkait yang melibatkan Pemda Kabupaten Sumbawa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan di tingkat kabupaten dan propinsi, Bappeda di Kabupaten dan Propinsi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Koperasi Hutan Madu Lestari dan Jaringan Madu Hutan Sumbawa. Sedangkan untuk sinergi kelembagaan pengembangan usaha madu di Kabupaten Sumbawa sendiri telah diinisiasi melalui kelembagaan JMHS yang bekerjasama dengan berbaga lembaga / instansi seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, Kementerian Kehutanan di tingkat pusat, Bank BNI yang memebrikan bantuan dana, serta PD Dian Niaga sebagai partner pemasaran produk madu hutan. Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat dan memperluas sinergi jejaring kelembagaan yang telah terbentuk tersebut.

Koordinasi yang sudah terbangun pada tahap 1 dikembangkan ke tingkat wilayah atau propinsi, dan apabila memungkinkan ke tingkat nasional. Pihak-pihak yang terlibat di dalam koordinasi antara lain Bappeda di Kabupaten dan Propinsi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BP4K Kabupaten Sumbawa, Balai Penelitian Kehutanan Mataram, Koperasi Hutan Madu Lestari dan Jaringan Madu Hutan Sumbawa, PD Dian Niaga, dan masyarakat kelompok tani hutan, serta lembaga kementerian kehutanan di tingkat propinsi dan pusat.

(46)

44

2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi

Terselenggaranya pelatihan petani madu hutan serta temu bisnis dengan mitra yang dimaksudkan untuk memantapkan kelembagaan usaha petani. Indikator tersebut dapat dicapai melalui kerjasama pihak peneliti dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa serta pengurus JMHS. Penyelenggaraan pelatihan tersebut membuka peluang bagi terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang melibatkan berbagai pihak pihak, dimana masing-masing pihak berkontribusi sesuai perannya guna mensukseskan kegiatan yang telah dirancang.

3. Perkembangan Sinergi Koordinasi

 Terbangunnya komunikasi dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah yang terkait dengan usaha madu hutan dan pengembangannya. Lembaga tersebut meliputi Pemda Kabupaten Sumbawa, dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa, Bappeda propinsi, BP DAS Kehutanan Mataram, BPK Kehutanan Mataram, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sumbawa, serta JMHS dalam rangka memperoleh data dan informasi tentang perkembangan dan potensi pengembangan usaha madu hutan di Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian hutan.

 Tersusunnya agenda pelatihan pengembangan usaha madu hutan dan terselenggaranya pelatihan yang dilakukan pada tanggal 29 – 31 Mei 2012 dengan melibatkan pelaku kunci usaha madu hutan sumbawa.

 Tersusunnya dokumentasi pelatihan dalam bentuk laporan tertulis, video serta leaflet atau brosur

 Terselenggaranya pengembangan sinergi ke tingkat wilayah dan nasional melalui kegiatan temu usaha pada tanggal 18 September 2012 di Jakarta.

(47)

45

B. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa

1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil Litbangyasa

Hasil Litbangyasa akan diformulasikan dalam bentuk laporan kegiatan yang dapat dimanfaatkan sebagai kerangka acuan bagi Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta instansi terkait untuk mengembangkan Potensi Unggulan Daerah, melalui peningkatan kapasitas petani madu hutan, serta upaya menambah keanggotaan petani ke dalam jaringan usaha. Hasil penelitian berupa paket informasi dan teknologi akan dikemas dalam bentuk leaflet atau brosur dengan formulasi bahasa yang mudah mengerti oleh masyarakat. Leaflet atau brosur akan disebarkan kepada masyarakat kelompok tani hutan sebagai panduan mereka untuk mengembangkan usaha. Selain itu, hasil penelitian dalam bentuk informasi potensi produk petani desa hutan akan disampaikan kepada mitra usaha

Pemanfaatan hasil penelitian dilaksanakan dalam bentuk ekspose temu bisnis antara kelompok tani hutan dengan mitra usaha. Dalam kegiatan tersebut diundang stakeholder terkait diantaranya Pemda, lembaga penelitian, dan pengusaha.

2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa

 Meningkatnya kelompok tani hutan yang berusaha di bidang hasil hutan non-kayu khususnya madu

 Meningkatnya keanggotaan jaringan madu hutan sumbawa

 Terselenggaranya pelatihan usaha dan pemantapan kelembagaan jaringan usaha madu hutan dan hasil hutan non kayu lainnya secara teratur dan terencana

 Meningkatnya pemahaman petani desa hutan terhadap manfaat keterlibatan di dalam jaringan usaha dan pola kemitraan

(48)

46

 Terselenggaranya pengelolaan hutan lestari berbasis pola kemitraan usaha hasil hutan non-kayu

3. Perkembangan Pemanfaatan Hasil Litbangyasa

Sampai dengan tahap ini litbangyasa masih dalam tahap akhir kegiatan yang meliputi pelaporan. Adapun, pemanfaatan hasil dan perkembangannya akan dikemas dalam berbagai bentuk sesuai dengan sasaran pengguna agar dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yang antara lain akan dikemas bagi keperluan:

i. Gelar Teknologi yang diselenggarakan oleh Kementerian Ristek dan Badan Litbang Kehutanan khususnya Puspijak dan diikuti oleh praktisi serta akademisi dan peneliti, disamping kelompok usaha dan organisasi sosial.

ii. Rekomendasi kebijakan atau policy brief sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan khususnya di Kementerian Kehutanan agar dapat ditindaklanjuti dalam bentuk program atau kegiatan teknis yang dilaksanakan oleh Direktorat terkait.

iii. Kajian ilmiah maupun ilmiah populer sebagai materi pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kapasitas peneliti.

iv. Tulisan populer atau dalam bentuk visual yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas

Gambar

Tabel 1.  Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian  No  Tahapan Kegiatan  Deskripsi Singkat Tahapan
Tabel 3.  Rincian anggaran biaya termin I (30%)
Tabel 5.  Rincian anggaran biaya termin III (20%)
Tabel 6.  Hubungan fungsi hutan dan potensi madu  Tipologi Hutan  Status dan Fungsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Kinerja Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Ogan Ilir merupakan bentuk pertanggungjawaban kegiatan tahun anggaran 2016, yang

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272 / Kpts.II / 2003 tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka

Mata diklat teori yang akan dipelajari antara lain kebijakan penyuluhan kehutanan ; perencanaan penyuluhan kehutanan ; metode, materi dan alat bantu penyuluhan

Kehutanan Manokwari Melaksanakan penelitian di bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan,

(1) Pemegang izin penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pasal 3 yang berdasarkan laporan hasil evaluasi Kepala Dinas Provinsi yang membidangi urusan kehutanan tidak

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Kabupaten Morowali merupakan suatu instansi yang melakukan pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan pembangunan kehutanan dan

Saat ini telah banyak Pengendali Ekosistem Kehutanan Tingkat Terampil yang telah memenuhi syarat untuk dialih tingkatkan menjadi Pengendali Ekosistem Kehutanan

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272 / Kpts.II / 2003 tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka