• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN EKSISTENSI PUTUSAN HAKIM AGAMA DAN TEORI IJTIHAD SERTA MUJTAHID DALAM FIQH

A. Perkembangan Kekuasaan dan Kedudukan Hakim Agama di Indonesia dan Yurisprudensi

1. Perkembangan Eksistensi Putusan Hakim Agama

Indonesia adalah Negara yang majemuk termasuk dalam hal agama, namun hanya agama Islam yang memiliki peradilan yang disebut Peradilan Agama yang dikhususkan untuk menyelesaikan perkara bagi umat Islam Indonesia.

Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan telah menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan perkara yang timbul. Sehingga Peradilan Islam pun telah dipraktekkan jauh sebelum datangnya Kolonial Belanda.

Campur tangan resmi Belanda dalam soal Pengadilan Agama mulai tampak pada tahun 1820 dengan dikeluarkan Regenten Instructie Stbl 1820 Nomor 201 yang menyebutkan: “Apabila ada perselisihan mengenai waris di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama.” Pada tahun 1882 Belanda secara resmi mengakui keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkan Keputusan Raja Belanda Nomor 24 tahun 1882 yang dimuat dalam Stbl 1882 No. 152 dan 153

1Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 162

tentang Pengadilan Agama di Jawa Madura. Wewenang yang ditetapkan adalah dalam bidang perkawinan, kewarisan, wakaf dan hadhanah. Yang kemudian dikenal dengan teori receptie in complexu.2

Kemudian terjadi perubahan politik Belanda yang berakhir pada pencabutan wewenang Pengadilan Agama oleh Gubernur Jendral melalui Keputusan Nomor 9 Tahun 1937.3 Yaitu dalam perkara waris, hadhanah dan wakaf, sehingga pada akhirnya Pengadilan Agama hanya menangani perkara perkawinan. Namun melalui Stbl 638 dan 639 tahun 1937 Belanda menetapkan pembentukan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan dan Timur dengan nama Kerapatan Qadhi untuk tingkat satu dan Kerapatan Qadhi Besar untuk tingkat banding.

Dampak pertama dari pencabutan wewenang ini adalah putusan Pengadilan Agama dianggap tidak kuat sehingga harus meminta pengukuhan Pengadilan Umum dalam bentuk executor verklaring. Dampak kedua adalah Belanda tidak lagi menanggung anggaran belanja, sehingga dengan tidak adanya anggaran, biaya perkara dibebankan sepenuhnya kepada pihak yang berperkara. Ini sangat menurunkan citra Pengadilan Agama di mata masyarakat.

Pengadilan Agama setelah kemerdekaan dipindahkan di bawah Departemen Agama pada tanggal 25 Maret 1946 berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 5/SD.4 Pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun

2 Ibid., h. 162 3 Ibid., h. 164 4 Ibid., h. 167

1957 yang menetapkan pembentukan Mahkamah Syari’ah tingkat satu di seluruh wilayah tingkat II dan Mahkamah Syari’ah Propinsi untuk pengadilan tingkat banding di setiap propinsi. Wewenang pun diperluas kembali dengan memasukkan perkara waris, wakaf dan hadhanah. Walaupun demikian, masih terdapat kelemahan bagi Pengadilan Agama. Pertama, perkara waris hanya dapat dilangsungkan oleh Pengadilan Agama jika pihak yang berperkara menginginkan demikian. Kedua, putusan Pengadilan Agama harus dikonfirmasikan kepada Pengadilan Umum.

Pada periode ini Peradilan Agama dan hakim agama belum dapat menunjukkan perannya sebagai lembaga dan aparat yang berwenang. Kondisi gedung yang menyedihkan, perangkat kerja yang tidak memadai dan struktur organisasi yang tidak selayaknya dengan peradilan kontemporer. Peran seorang hakim pun masih belum tetap karena selain sebagai hakim juga merangkap sebagai Mufti, Juru Dakwah dan jabatan yang lain yang mengganggu mekanisme jalannya Peradilan Agama.5

Sejak tahun 1948 hingga sekarang ada lima Undang-Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

1. Undang-undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.

2. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

3. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.

5

35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

4. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Amendeman Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 diatur dalam Pasal 3:

1. Kekuasaan kehakiman dijalankan tidak memandang kedudukan dalam masyarakat dari pihak yang berperkara.

2. Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk kepada Undang-Undang.

3. Pemegang kekuasaan pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan kehakiman, kecuali dalam hal tersebut diatur dalam UUD.

4. Perselisihan kekuasaan antara pemegang kekuasaan kehakiman dengan pemegang kekuasaan pemerintahan diputuskan sesuai yang diatur dalam UU. Dalam Konstitusi Republik Indonesia dijelaskan bahwa kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pelaksana konstitusi ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU ini ditetapkan 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu: Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Tiga pengadilan terakhir adalah peradilan khusus

yang mengurus perkara masyarakat Indonesia. Pengadilan Agama adalah pengadilan khusus yang mengurus kepentingan umat Islam dalam perkara sipil tertentu.

Masing-masing lingkungan pengadilan melaksanakan tugas peradilan dalam dua tingkat. Yaitu pengadilan tingkat pertama yang rata-rata terdapat pada daerah tingkat dua yaitu kotamadya atau kabupaten, yang namanya bagi Peradilan Islam adalah Pengadilan Agama. Kemudian selanjutnya adalah pengadilan tingkat dua atau tingkat banding yang terdapat di setiap propinsi dan berkedudukan di ibukota propinsi yang dikenal dengan Pengadilan Tinggi Agama. Yang pada akhirnya berakhir di Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi tingkat kasasi dan lembaga terakhir bagi pencari keadilan.

Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama dalam kurun waktu ini, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI dalam Simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di Jakarta bahwa hakim Peradilan Agama bukan lagi “Penghulu Rechter” zaman dahulu. Melainkan hakim Negara dengan tugas mengadili perkara-perkara tertentu yang masuk kewenangannya. Kemudian keluar Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun 1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, yang menyatakan bahwa kedudukan hakim agama akan sama apabila berstatus pegawai negeri.6

6

2. Yurisprudensi Dan Perkembangannya a. Yurisprudensi7

Yurisprudensi berawal dari tugas hakim yang tertera dalam Pasal 22 A.B (Aglemene Bepaligan van Wetveging) tentang tugas hakim bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili”. Dengan demikian, Hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (Judge Made Law), terutama terhadap kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi telah masuk pengadilan.

Kewenangan hakim untuk menetapkan hukum adalah demi keadilan, bukan hanya demi kepastian hukum, karena hakim bukan hanya sekedar corong undang-undang. Karena itu, dalam membuat putusan, hakim tidak hanya terpaku pada bunyi teks undang-undang apabila dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya, apabila hukum yang tercantum dalam undang-undang sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan tuntutan masyarakat, hakim dapat melakukan tindakan yang disebut contra legem, yaitu menyimpang dari bunyi teks undang-undang dengan memberikan pertimbangan hukum secara jelas dan tajam dari berbagai sudut pandang kehidupan hukum dan masyarakat.8

7

Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 8-12

Dalam kaitan dengan kedudukan yurisprudensi sebagai sumber dan pembentukan hukum, dikenal 3 (tiga) aliran.9 Pertama, aliran legisme, yang berpendapat bahwa yurisprudensi kurang penting, karena semua hukum sudah terdapat dalam undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Hakim hanya melakukan apa yang menjadi bunyi dan kehendak undang-undang belaka (wetstoepassing). Yaitu, suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas (proposisi major) kepada keadaan khusus (proposisi minor) untuk kemudian sampai kepada kesimpulan (conclusio).

Kedua, aliran freie rechtsbewegung dimana hakim sama sekali tidak terikat dengan undang-undang, karena pekerjaan hakim adalah rechtsschepping yaitu menciptakan hukum. Karena itu, menurut aliran ini, hakim wajib memahami yurisprudensi sebagai sumber hukum primer, sedangkan undang-undang merupakan sumber hukum sekunder.

Ketiga, aliran rechtsvinding yang merupakan jalan tengah dari dua aliran sebelumnya. Aliran ini berpandangan bahwa benar hakim dalam menjalankan tugasnya terikat dengan undang-undang, tapi tidak seketat aliran legisme. Dan hakim mempunyai kebebasan walaupun tidak sebebas aliran freie rechtsbewegung. Sehingga hakim dalam menjalankan tugasnya, mempunyai kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrij gebondenheid).

Dengan demikian, tugas hakim sebenarnya adalah menemukan hukum dalam arti menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman. Dan untuk itu, hakim

9

mempunyai wewenang untuk menafsirkan undang-undang (wetinterpretatie) dan komposisi yang mencakup analogi (abstraksi) dan membuat pengkhususan serta perluasan makna (rechtsverfijning).

Di samping tiga aliran di atas, A. Qodry Azizy menambahkan aliran yang disebut rechtsvinding-plus atau legal realisme-plus. Menurut Azizy tugas hakim sebagai penemu hukum harus mengikatkan tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya hukum yang ditemukan harus dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada hukum dan masyarakat tetapi terutama kepada Tuhan sebagai konsekuensi pasal 14 dan 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Nomor 4 Tahun 2004 yang menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.10

b. Hukum Yurisprudensi

Yurisprudensi berasal dari iuris prudential (Latin), Jurisprudentie (Belanda), Jurisprudence (Perancis), yang berarti “Ilmu Hukum”.

Dalam sistem Common Law, yurisprudensi diartikan sebagai “Suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain”. Putusan-putusan hakim yang lebih tinggi dalam sistem ini dan diikuti secara tetap sehingga menjadi bahagian dari ilmu pengetahuan hukum, disebut “Case Law” sedangkan dalam Civil Law adalah “Putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan tetap dan diikuti oleh para Hakim atau badan Peradilan lain dalam

10

memutus perkara atau kasus yang sama”. Sering pula kumpulan hukum itu disebut “RECHTERRECHT” atau hukum yang sering ditimbulkan melalui putusan-putusan hakim atau badan peradilan.11

Adapun alasan mengenai yurisprudensi dapat diterima sebagai sumber hukum, adalah (a) Adanya kewajiban Hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya; (b) Salah satu fungsi Pengadilan dalam pembaharuan dan pembangunan hukum ialah menciptakan sumber hukum baru; (c) Hal yang baik dalam mencari dan menegakkan keadilan.

Namun Prof. Subekti memiliki pandangan sendiri mengenai Yurisprudensi yaitu “Putusan-putusan hakim atau Peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap”. Jadi, tidak semua putusan hakim dapat dijadikan yurisprudensi, karena untuk masuk dalam kategori yurisprudensi harus melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.

Di kalangan praktisi sering membedakan antara “Yurisprudensi Tetap” dan “Yurisprudensi Tidak Tetap”. Walaupun demikian, belum ada definisi yang pastinya. Beberapa Hakim Agung mendefinisikan Yurisprudensi Tetap yaitu “Putusan-putusan

11Paulus Effendie Lotulung, Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1998), h. 7

hakim tingkat pertama, banding dan kasasi yang telah berkuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan tersebut telah diuji secara akademis oleh Majelis Yurisprudensi yang terdiri dari para Hakim Agung di Mahkamah Agung, dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat dan wajib diikuti oleh hakim-hakim dikemudian hari dalam memutus perkara yang sama”.

Berdasarkan proses diatas, maka tahapan-tahapan yang harus dilalui agar suatu putusan dapat menjadi yurisprudensi adalah:

1). Adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;

2). Atas perkara atau kasus yang diputus belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang jelas;

3). Memiliki muatan kebenaran dan keadilan;

4). Telah berulang kali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama;

5). Telah melalui uji eksaminasi atau notasi oleh tim yurisprudensi Hakim Agung Mahkamah Agung RI;

6). Telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi yurisprudensi tetap.

Pada dasarnya, dalam penyusunan suatu putusan hakim selalu memenuhi dua unsur atau sifat yaitu segi legalitas dan segi rasionalitas, yang kemudian menjadi Legal Reasioning. Suatu putusan yang bersifat legal apabila dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, sedangkan sifat rasionalitasnya terletak pada penalaran hukum yang menjadi motif sebenarnya dari hakim dalam menjatuhkan putusan (motivering).

Putusan hakim tidak saja harus memuat norma-norma hukum sebagai landasannya (asas legalitas), tetapi juga harus bisa menjadi aturan bagi penyelesaian konflik dalam perkara/kasus yang dihadapi. Oleh karena itu, norma hukum tertulis (undang-undang misalnya) tidak selalu lengkap, sebab akan selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakat yang lebih cepat dan selalu memerlukan pemecahan hukum yang “Up to date”.

Maka peranan putusan hakim yang memuat aturan bagi penyelesaian kasus tertentu (sebagai “fomula”), akan dapat menjadi acuan dan sumber referensi bagi penyelesaian kasus serupa di kemudian hari bila terjadi kekosongan hukum disebabkan karena belum ada peraturan hukumnya. Sehingga yurisprudensi secara nyata memberikan kontribusi dan partisipasi dalam pengembangan hukum.12

c. Fungsi Yurisprudensi:

1). Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa, maka dapat ditegakkan adanya standar hukum yang sama, dalam hal

12

undang-undang tidak mengatur atau belum mengatur pemecahan kasus yang bersangkutan.

2). Dengan adanya standar hukum yang sama itu, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat.

3). Dengan diciptakan rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan (predictable) dan ada transparansi.

4). Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan timbulnya disparitas dalam putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang sama. Seandainya pun timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lain dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik (kasus demi kasus).13

Menurut Yahya Harahap, Law standard Yurisprudensi mempunyai fungsi untuk:14

1. Menegakkan terwujudnya hukum. Ketika terjadi kekosongan hukum serta ketidakjelasan dan kelemahan hukum positif yang terkodifikasi, dapat dilengkapi oleh putusan hakim.

13

Ibid., h. 17

14

2. Menciptakan kesatuan kerangka hukum (unified legal frame work) dan kesatuan pendapat hukum (unified legal opinion). Dengan demikian, yurisprudensi langsung berfungsi mewujudkan keseragaman landasan hukum dan persepsi hukum.

3. Menciptakan kepastian penegakan hukum. Karena dalam kasus yang sama semua pihak akan merujuk kepada standar hukum yang telah tercipta.

4. Mencegah terjadinya disparitas putusan. Tegasnya, yurisprudensi yang telah membentuk kesatuan persepsi akan mencegah putusan yang bersifat disparitas.

d. Kedudukan Yurisprudensi

Dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi ini, perlu senantiasa diingat akan 3 (tiga) nilai dasar yang penting yaitu:

1. Nilai Filosofis, yang berarti bahwa putusan hakim harus mencerminkan dan berintikan rasa keadilan dan kebenaran;

2. Nilai Sosiologis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dengan tata nilai budaya maupun nilai hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat;

3. Nilai Yuridis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15

15

Mahkamah Agung dalam penyusunan Yurisprudensi Indonesia menetapkan kriteria seleksi dalam memilih putusan-putusan hakim yang dipublikasikan: pertama, putusan yang menarik perhatian masyarakat. Kedua, putusan yang mencerminkan pendekatan baru terhadap suatu masalah hukum. Ketiga, putusan yang melibatkan berbagai masalah hukum (complexitas yuridis). Keempat, putusan yang mempertegas suatu aspek hukum. Kelima, putusan yang mencerminkan arah perkembangan hukum nasional. Keenam, putusan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Ketujuh, putusan yang mencerminkan konsistensi pendirian Mahkamah Agung sebagai suatu lembaga tinggi Negara.16

Yurisprudensi telah menjadi bagian dari pertumbuhan dan pembentukan hukum di Indonesia. Bahkan ketika situasi politik dan perkembangan sosial bergerak dalam akselerasi yang cepat, pembentukan hukum melalui yurisprudensi menjadi keniscayaan untuk secara bersama-sama menyertai pembentukan hukum melalui legislasi. Jadi, pembentukan hukum melalui yurisprudensi menjadi kebutuhan hukum masyarakat, di samping telah menjadi bagian dari politik hukum nasional.

B. Pengertian Ijtihad, Mujtahid dan Persyaratan Menjadi Mujtahid 1. Pengertian Ijtihad

16

Ijtihad berasal dari kata

ﺪﻬ

artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Bentuk kata yang mengikuti wazan ifti’al (

لﺎ ا

) menunjukkan arti berlebih (Mubalaghoh) dalam perbuatan.

Menurut Imam al-Ghazali ijtihad secara bahasa artinya “mencurahkan segala kekuatan dan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu yang sulit dan mengandung beban”.

Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad: (1) daya dan kemampuan, (2) objek yang sulit dan berat. Ijtihad sebagai terminologi keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Akan tetapi, karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengacu kepada pengarahan kemampuan intelektual dalam memecah berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi oleh individu maupun umat secara menyeluruh.17

Para ahli Ushul Fiqh memberikan arti yang berbeda-beda dari sisi terminologi. Menurut Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fuhul 18, beliau mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

طﺎ ﻹا ﺔ ﺮ ﺑ ﱢ ﻤ ﱟ ﺮ ﻢﻜﺣ ﻴ ﻰ ﻮﻟا لﺬﺑ

.

Artinya:

17

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet I, h. 74-75

18

“Mencurahkan kemampuan guna mendapatan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).”

Imam as-Syaukani menjelaskan definisi ijtihadnya sebagai berikut:19

a. Mencurahkan kemampuan adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usaha.

b. Hukum syara’ mengecualikan hukum bahasa, akal dan indera. Oleh karena itu, orang yang mencurahkan kemampuannya di bidang tersebut tidak disebut mujtahid dalam ushul fiqh.

c. Begitu juga pencurahan kemampuan guna mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut Fuqaha walaupun menurut ahli ilmu kalam hal yang demikian disebut ijtihad.

d. Dengan cara mengambil istinbath mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang zhahir atau penghafalan beberapa permasalahan, atau menanyakan pada seorang mufti ataupun dengan cara mencari hukum permasalahan dari buku-buku. Karena yang demikian ini tidak termasuk dalam ijtihad menurut istilah kendatipun termasuk dalam ijtihad menurut bahasa.

Menurut Abi Ishaq Ibrahim as-Syairazi (w. 476H) dalam al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh:20

ﻰ ﺮ ﻟا ﻢﻜ ﻟا ﻰ دﻮﻬ ﻤﻟا لﺬﺑ و ﻮﻟا غاﺮ ا ءﺎﻬ ﻟا فﺮ ﻰ دﺎﻬ ا

19

Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Dalam Syariat Islam, (Bulan Bintang, Jakarta: 1987), h. 4

20

Abu Ishaq Ibrahim Ibn Ali ibn Yusuf al-Syairazi, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet II, h. 129

“Ijtihad menurut tradisi ahli fiqh diartikan dengan mengerahkan kemampuan mujtahid dalam mencari hukum-hukum syara’.”

Al-Amidi (w. 631H) lebih mempertajam definisi ijtihad dengan ungkapan:21

ﻦ ءﻰ ﺑﻦﻈﻟا ﻰ ﻮﻟا غاﺮ ﺎﺑ صﻮ ﻤ ﻦﻴﻴﻟﻮ ﻷا ح ا ﻰ ﺎ أ

ﻴ ﺪ ﺰﻤﻟا ﻦ ﺰ ﻟا ﻟا ﻦ و ﻰ ﺔﻴ ﺮ ﻟا مﺎﻜﺣﻷا

“Adapun dalam terminologi ahli ushul fiqh kata ijtihad digunakan khusus dalam arti mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum syar’i yang bersifat zhanny, sampai batas dirinya merasa tidak mampu lagi melebihi usahanya tersebut.”

Penambahan kata al-Faqih dalam definisi ijtihad menurut al-Syaukani merupakan keharusan, sebab pencurahan kemampuan bukan oleh seorang faqih tidak disebut ijtihad secara istilah. Namun menurut Yusuf al-Qardhawi “Ahli ushul yang tidak menyebutkan kata al-Faqih dalam definisinya, sebenarnya kata itu telah tersirat dalamnya, sebab tidak mungkin seorang yang mampu mengambil hukum dengan cara istinbath kecuali ia adalah seorang faqih ”.22

Menurut Abdul Wahab Khallaf ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum (berdasarkan) dalil-dalil syara’ yang detail. Dan menurut Muhammad Abu Zahrah ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang faqih (ahli hukum Islam) dalam rangka mengistinbathkan hukum yang berkait dengan hukum ‘amaliyah berdasarkan argumentasi yang detail.

21

Saif al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), juz IV, h. 218

22

Pengertian ijtihad diatas, mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Upaya optimal oleh orang yang berkualifikasi mujtahid/faqih

Ijtihad tidak mungkin terlaksana tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh dan optimal. Sebagai aktifitas daya nalar dalam usaha merumuskan hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, seseorang yang hendak berijtihad dituntut untuk menguasai berbagai ilmu yang dibutuhkan.

2. Objek ijtihad adalah hukum syara’ yang bersifat amaliyah/praktis

Ijtihad dalam pengertian diatas hanya dibatasi pada masalah-masalah hukum syara’ yang bersifat praktis/amaliyah yaitu bidang fiqh. Oleh karena itu, masalah seperti akidah, filsafat, tasawuf yang bukan merupakan fiqh tidak termasuk objek ijtihad.

3. Status hukum dari hasil ijtihad adalah zhanni (bersifat dugaan kuat)

Karena pelaksanaan ijtihad dilakukan melalui cara istinbath terhadap masalah hukum yang dalilnya belum dapat dipahami secara tegas dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka kebenaran yang dihasilkan dari ijtihad tidak bersifat mutlak. Sebab apa yang diperoleh melalui proses ijtihad merupakan produk akal yang tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan dapat dipahami ada beberapa komponen dari hakikat ijtihad, yaitu:

Pertama: Subyek (pelaku) dari ijtihad itu, yang adalah al-faqih yang kemudian disebut al-mujtahid.

Kedua: Mekanisme dan proses berlangsungnya ijtihad. Yaitu adanya pengerahan dan pencurahan daya upaya serta kemampuan maksimal yang dimiliki oleh seorang mujtahid, baik dalam bentuk penggalian hukum (istinbath al-hukm) maupun penerapan dan aktualisasinya (tatbiq al-hukm).

Ketiga: Objek kajian yang akan dicapai dan diperoleh mujtahid. Yaitu status hukum

Dokumen terkait