• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN BATAS LANDAS KONTINEN MENURUT

A. Perkembangan Hukum Laut Internasional

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu:

a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.

b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.64 Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang.65

Menurut konsepsi res nullius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation)..keadaan

64 Dikdik Mohamad Sodik, op, cit., hal. 2

65 Ibid

yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara disekitar Lautan Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.66

Perkembangan hukum laut sesudah Perang Dunia II ditandai dengan perongrongan terhadap kebebasan di laut lepas. Salah satu perkembangan yang penting di sini adalah proklamasi Presiden AS, Truman tahun 1945 tentang Landas Kontinen.67 Berdasarkan proklamasi Truman pemerintah Amerika Serikat mengklaim penguasaan sumber daya alam yang terdapat di dalam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat, terutama sumber daya alam mineral, khususnya minyak dan gas bumi.68

Proklamasi Truman diikuti oleh banyak negara-negara lain di dunia sehingga dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional dan kemudian dituangkan dan diatur dalam Konvensi IV Jenawa 1958 mengenai Landas Kontinen sebagai kaidah hukum yang universal.69 Sebelum diadakannya Konferensi Hukum Laut Internasional I atau yang disebut First United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS I) pada tahun 1958, pemanfaatan laut diatur oleh hukum kebiasaan internasional.70

66 Ibid., hal. 3

67 Ibid., hal. 7

68 Ibid

69 Ibid., hal. 8

70 Dhiana Puspita, op, cit., hal. 11

Dimulai pada tahun 1958 ketika diselenggarakannya UNCLOS I diikuti dengan Konferensi Hukum Laut Internasional II (UNCLOS II) pada tahun 1960, diikuti oleh Konferensi Hukum Laut Internasional III (UNCLOS III) yang dimulai pada tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1982, ketika diadopsinya Konvensi Internasional Hukum Laut (KHL 1982) atau yang biasa dikenal dengan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS1982).71

UNCLOS I 1958 merupakan awal mulanya pengaturan tentang manfaat laut, pada saat itu banyak sekali konvensi internasional yang mengatur tentang kegiatan di laut misalnya tentang keselamatan di laut (safety of life at sea) atau yang biasa dikenal dengan SOLAS serta konvensi internasional tentang tabrakan kapal (collision), belum ada suatu konvensi internasional yang mengatur secara komprehensif pemanfaatan laut terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pengaturan ini masih dalam bentuk hukum kebiasaan internasional.72

Pada tahun 1949 International Law Commission (ILC) merupakan salah satu organ PBB yang bertugas merumuskan instrumen hukum menyarankan Majelis Umum PBB untuk mengadakan konferensi internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut internasional dan pada tahun 1958 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957 diadakan The First United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS I) pada tanggal 24 Februari – 27 April 1957 yang dihadiri oleh 86 negara dan menghasilkan 4 (empat) konvensi internasional yaitu:

1. The High Seas Convention (30 September 1962)

71 Ibid., hal. 12

72 Ibid., hal. 17

2. The Continental Shelf Convention (10 Juni 1964)

3. The Territorial Sea and The Contiguous Zone Convention (10 September 1965)

4. The Fishing and Conservation of The Living Resources of The High Seas Convention (20 Maret 1966).73

The High Seas Convention, The Continental Shelf Convention dan The Territorial Sea and The Contiguous Zone Convention dirumuskan berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang berlaku saat itu dan pada akhirnya diratifikasi oleh 50 negara. Adapun The Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of The High Seas diratifikasi oleh 35 negara74

Pada UNCLOS I ini konsep laut territorial diakui sebagai hukum laut internasional meskipun gagal dalam menyepakati dua hal yaitu lebar laut territorial suatu negara dan lebar zona perikanan sehingga diadakan konferensi lanjutan yaitu UNCLOS II pada tahun 1960.75 Keberhasilan UNCLOS I menghasilkan 4 (empat) konvensi merupakan bukti bahwa sangat dimungkinkan untuk merumuskan suatu konvensi internasional yang mengatur tentang hukum laut internasional secara komprehensif.76

Kegagalan UNCLOS I membawa Majelis Umum PBB untuk mengadakan Konferensi Hukum Laut yang kedua guna menyelesaikan dua isu yang belum terselesaikan. Pada akhirnya Majelis Umum PBB dengan Resolusi MU PBB 1307 (XIII) tanggal 10 Desember 1958 memutuskan untuk mengadakan konferensi

73 Log cit., hal. 18

74 Ibid

75 Ibid

76 Ibid., hal. 19

kedua yang kemudian dikenal dengan The Second United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS II) pada tanggal 17-26 Maret 1960 di Jenawa.77

UNCLOS II juga gagal untuk menghasilkan kesepakatan terhadap hal-hak krusial yang gagal dirumuskan pada UNCLOS I sehingga kegagalan tersebut terutama pada gagalnya dicapai kata sepakat terhadap proposal yang diajukan oleh Kanada dan Amerika Serikat yang mengusulkan 6 mil laut untuk lebar laut territorial ditambah 6 mil laut untuk zona perikanan. Akan tetapi, UNCLOS II berhasil merumuskan suatu resolusi tentang perlunya metode teknis tertentu dalam hal perikanan.78

Kegagalan UNCLOS II tidak membuat masyarakat internasional menurun untuk memiliki suatu konvensi internasional general yang komprehensif tentang pemanfaatan laut dimulai pada akhir 1967 ketika terjadi eksplorasi dan eksploitasi laut seiring dengan kemajuan teknologi kelautan serta ramainya klaim kedaulatan atas wilayah laut yang diajukan oleh negara-negara baru.79

Pada tanggal 1 November 1967, Duta Besar Malta untuk PBB I Arvid Pardo mendesak PBB untuk segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjadikan sumber daya alam yang ada di sea-bed sebagai common heritage of mankind dan oleh karena itu diperlukan suatu aturan-aturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan laut beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.80

77 Ibid

78 Ibid

79 Ibid., hal. 20

80 Ibid

Pada tanggal 17 Desember 1970, Majelis Umum PBB mengeluarkan dua resolusi, yaitu The Declaration of Principles Governing The Seabed and Subsoil Thereof Beyond The Limits of National Jurisdiction, yang pada prinsipnya mengatur sea-bed dengan konsep comman heritage of mandkind dan keputusan untuk mengadakan The Third United Nations Conference on The Law of The Sea atau UNCLOS III (Resolution 2570).81

Konferensi tersebut diadakan di New York pada tahun 1973 melalui 11 sesi dan berakhir sembilan tahun kemudian dengan diadopsinya the united nations convention on the law of the sea 1982 yang kemudian dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini terdiri dari XVII bagian, 320 pasal dan IX annex.82 Adapun kemajuan hasil negosiasi melalui 11 sesi adalah sebagai berikut:

a. Sidang ke I, tahun 1973 di New York yaitu membahas masalah tata cara/prosedur persidangan dalam Konferensi dari tiap Komite.

b. Sidang ke II, tahun 1974 di Caracas yaitu melanjutkan pembahasan prosedur dan mulai membahas hal-hal yang sifatnya substantif dari masing-masing komite.

c. Sidang ke III, tahun 1975 di Geneva yaitu tiap komite berhasil merumuskan Informal Single Negotiating Text (ISNT) yang merupakan hasil sementara dari kemungkinan konsensus negara-negara peserta.

Asas negara kepulauan termasuk ISNT.

d. Sidang ke IV, tahun 1976 di New York yaitu Komite I mencapai kemajuan dalam menemukan beberapa konsensus sementara tentang pembangunan dasar laut. Siding ini melahirkan Informal Revised Single Negotiating Text. Selain itu juga dihasilkan Single Negotiating Text on Settlement of Disputes.

e. Sidang ke V, tahun 1976 di New York yaitu dalam sidang ini diadakan workshop yang bertujuan secara informal merumuskan tentang cara-cara mengakomodasikan kepentingan negara landlocked dan negara yang geographically disadvantage. Selain itu masalah navigasi, zona ekonomi eksklusif, rezim selat dan pembangunan dasar laut bebas menjadi topik yang hangat.

81 Ibid

82 Ibdi

f. Sidang ke VI, tahun 1977 di New York yaitu melanjutkan pembahasan dalam sidang terdahulu, juga diputuskan untuk disusun satu Informal Composite Negotiating Text (ICNT) yang didasarkan pada ketiga Revised Single Negotiating Text (RSNT) yang ada ditambah dengan text tentang Settlement of Disputes.

g. Sidang ke VII, tahun 1978 di Geneva dan dilanjutkan di New York yaitu melanjutkan pembahasan ICNT maka dalam sidang ini dibentuk 7 (tujuh) Negotiating Group sebagai berikut:83

1. Group 1 s/d 3 membahas sea-bed mining

2. Group 4 membahas kepentingan landlocked states dan geographically disadvantaged states atas sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif

3. Group 5 membahas penyelesaian perselisihan di zona ekonomi eksklusif

4. Group 6 membahas batas terluar dari landas kontinen dan masalah revenue sharing dari hasil penambangan landas kontinen di luar batas 200 mil

5. Group 7 membahas masalah penetapan batas maritim antara negara-negara.

h. Sidang ke VIII, tahun 1979 di Geneva dan dilanjutkan di New York yaitu pada ICNT draft pertama diadakan koreksi dan pada akhir sidang ini dirumuskan ICNT draft kedua. Masalah sea-bed mining masih tetap menjadi perdebatan hangat.

i. Sidang ke IX, tahun 1980 di New York dan dilanjutkan di Geneva yaitu ICNT draft ketiga berhasil dirumuskan dimana kepentingan Indonesia tentang Asas Negara Kepulauan telah berhasil dipertahankan sejak draft pertama yaitu dalam bab IV ICNT tentang Archipelagic States.

j. Sidang ke X, tahun 1981 di New York dan Geneva yaitu sidang berhasil memilih tempat kedudukan Mahkamah Internasional tentang Hukum Laut dan Seabed Authority masing-masing di Jerman Barat dan Jamaika.

k. Sidang ke XI, tahun 1982 di New York yaitu dengan 136 suara setuju, 4 menentang dan 19 abstain, sidang menerima Rancangan Konvensi menjadi Naskah Konvensi.

83 Mangisi Simanjuntak, op, cit., hal 7

84 Ibid., hal 8

1. Komite pertama, mencakup permasalahan tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terletak di dasar laut di luar yurisdiksi nasional (high seas seabed mining).

2. Komite Kedua, mencakup permasalahan tentang:

1. Laut wilayah dan zona tambahan

2. Hak lintas melalui selat untuk keperluan navigasi internasional 3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

4. Landas Kontinen 5. Laut Bebas

6. Negara Kepulauan

7. Hak dan Kepentingan landlocked states 8. Rezim Pulau

9. Laut terkurung dan setengah terkurung

3. Komite Ketiga, mencakup permasalahan tentang:

1. Alih teknologi

2. Pelestarian lingkungan maritime 3. Penelitihan ilmiah

4. Komite Keempat, tentang penyelesaian perbedaan pendapat dan perselisihan, serta perumusan fungsi Preparatory Commision (Sea-Bed Commite).85

Ada beberapa alasan lain yang mendorong masyarakat internasional mengambil inisiatif meninjau kembali Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu:

1. Bangkitnya bangsa-bangsa merdeka di Afrika setelah tahun 1958 yang menginginkan perubahan dalam konsepsi kebebasan laut yang dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritim

2. Insiden terdamparnya kapal tangki minyak Torrey Canyon di dekat pantai Perancis dan Inggris pada tahun 1967 yang menyadarkan masyarakat dunia tentang bahaya pencemaran lingkungan laut.86

Perlu dicatat bahwa Konvensi Hukum Laut PBB (selanjutnya akan disebut sebagai “Konvensi Hukum Laut 1982”) ditandatangani pada tahun 1982 tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 308 Konvensi Hukum Laut 1982, konvensi baru

85 Ibid., hal.6

86 Dikdik Mohamad Sodik, op, cit., hal. 11

berlaku tanggal 16 Nopember 1994, dua belas bulan setelah diterimanya ratifikasi ke-60.87 Konvensi Hukum Laut 1982 dan aturan-aturan tambahannya yang dimuat dalam 9 buah lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya, merupakan hasil upaya masyarakat internasional untuk merumuskan pengaturan bagi pelbagai kegiatan di laut.88

Perubahan dan kodifikasi dari ketentuan-ketentuan yang telah ada, khususnya dari empat Konvensi Jenawa 1958 bagian terpenting dari Konvensi Hukum Laut 1982 ini menggambarkan usaha pembaharuan yang merefleksikan adanya suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dalam hukum internasional. Sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain, Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLC), dan International Sea-bed Authority (ISBA).89

Selain itu, juga juga telah dicapai beberapa perjanjian tambahan yang merupakan aturan pelaksanaan dari konvensi, yaitu Agreement relating to the Implementation of Part XI of the Convention tahun 1994.90 Adapun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan progresif dalam KHL 1982 adalah selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif, pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut tertutup atau separuh tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut

87 Ibid., hal. 12

88 Ibid

89 Ibid., hal. 13

90 Ibid

(termasuk pencegahan pencemaran), penelitian ilmiah dan alih teknologi kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.91

Konvensi Hukum Laut 1982 berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur pelbagai zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda. Secara garis besarnya, konvensi membagi laut ke dalam dua bagian zona maritim yaitu zona-zona yang berada di bawah dan di luar yurisdiksi nasional.92 Zona-zona maritime yang berada di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai, dan zona-zona maritim bagian-bagian di mana negara pantai dapat melaksanakan wewenang-wewenang serta hak-hak khusus yang diatur dalam konvensi.93

Zona-zona maritim yang berada di bawah kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), bagi negara kepulauan dan laut teritorial (territorial sea).94 Zona-zona maritim yang berada di bawah wewenang dan hak khusus negara pantai adalah jalur tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) dan landas kontinen (continental shelf). Sedangkan zona-zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional adalah laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international seabed area).

Berdasarkan sejarah hukum internasional khususnya hukum laut adalah rezim yang paling pesat berkembang, kegagalan UNCLOS I dan UNCLOS II menggabungkan semangat masyarakat internasional untuk membentuk UNCLOS III yang merupakan pengaturan utama dari rezim-rezim hukum laut sekarang.

91 Ibid.,

92 Ibid., hal. 19

93 Ibid

94 Ibid

Dokumen terkait