• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN INDONESIA DAN INDIA MENGENAI BATAS LANDAS KONTINEN DAN MANFAAT UNTUK INDONESIA S K R I P S I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERJANJIAN INDONESIA DAN INDIA MENGENAI BATAS LANDAS KONTINEN DAN MANFAAT UNTUK INDONESIA S K R I P S I"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN INDONESIA DAN INDIA MENGENAI BATAS LANDAS KONTINEN DAN MANFAAT UNTUK INDONESIA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NURUL ANNISA BR MATONDANG 160200092

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

(2)
(3)
(4)

PERJANJIAN INDONESIA DAN INDIA MENGENAI BATAS LANDAS KONTINEN DAN MANFAAT UNTUK INDONESIA

ABSTRAK

Nurul Annisa Br Matondang Dr.Arif, SH. MH

Dr.Rosmalinda, SH., LLM 

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh perjanjian garis batas landas kontinen antara Indonesia dan India yang terletak diantara pulau Rondo,Aceh dan pulau Nicobar,India. Pengukuran garis batas lndas kontinen Indonesia dan India menggunakan metode prinsip sama jarak (equidistance) yaitu menarik garis lurus di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman. Namun permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak terutama illegal fishing yang dilakukan para nelayan sehingga dapat mengganggu hubungan diplomatik kedua negara.

Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.

Permasalahan yang dibahas adalah (1) Bagaima pengaturan batas landas kontinen menurut hukum internasional, (2) Bagaimana pengaturan batas landas kontinen menurut hukum nasional dan (3) Bagaimana pelaksanaan perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan India. Penelitian ini menemukan bahwa (1) Pengaturan landas kontinen berdasarkan hukum internasional pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat S.Truman pada 28 September 1945 kemudian diatur dalam pasal 76 UNCLOS 1982 yang sebelumnya diatur dalam Perjanjian Wina 1958, (2) Pengaturan batas landas kontinen berdasarkan hukum nasional pertama kali berkembang saat lahirnya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia dan (3) Pelaksanaan perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan India Tahun 1974 telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 Tentang Pengesahan Perjanjian tersebut. Kesimpulan dari skripsi ini adalah (1) Proklamasi Truman merupakan latar belakang timbulnya prinsip landas kontinen secara hukum internasional yang tertuang pada UNCLOS 1982 pasal 76, (2) Pengaturan tentang hukum laut Indonesia tertuang pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia dan (3) Pelaksanaan perjanjian tersebut dilaksanakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan hasil persetujuan empat titik koordinat batas landas kontinen antara Pulau Rondo, Indonesia dan Pulau Nikobar Besar, India. Saran penelitian ini bahwa (1) Seluruh masyarakat dunia harus saling menjaga kedaulatan negaranya masing-masing, (2) Pemerintah Indonesia juga perlu mengganti UU Landas Kontinen Indonesia karena tidak sesuai dengan UNCLOS 1982 dan (3) Pemerintah bersama masyarakat Indonesia harus saling menjaga kedaulatan Indonesia.

Kata kunci : Landas Kontinen, Perjanjian, Indonesia dan India

Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

 Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

 Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin atas berkat dan rahmat Allah SWT yang dicurahkan kepada Penulis serta memberikan waktu, tenaga, kesehatan, kekuatan dan ketekunan kepada Penulis sehingga Penulis mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi berjudul: “PERJANJIAN INDONESIA DAN INDIA MENGENAI BATAS LANDAS KONTINEN DAN MANFAAT UNTUK INDONESIA”. Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan dengan senang hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing dan memberikan motivasi.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum USU

3. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin S.H., M.Hum. sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum. sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU

(6)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza , SH., M.Hum. sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU

6. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH. sebagai Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU dan yang telah sangat antusias dalam perkembangan ILSA.

8. Bapak Dr.Arif, SH., MH. sebagai Dosen Pembimbing I yang telah senantiasa dengan sabar menjelaskan substansi yang salah terhadap penulis dan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut dengan penjelasan yang sangat baik dan sabar tanpa emosi disela kegiatan beliau melanjutkan pendidikan doktoral.

9. Ibu Dr.Rosmalinda, SH., LLM. Sebagai Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dan membimbing Penulis dengan sabar dan ulet.

Membantu penulis dalam memilih bahan dan menjelaskan substansi secara detail disela kegiatan beliau melanjutkan pendidikan doktoral..

10. Yang teristimewa, kedua orang tua Penulis, Chairul Fahmi Matondang, SP dan Nurasiah Nasution, yang telah mengasuh dan membesarkan Penulis dengan cinta, mendidik dalam kasih, memberikan dukungan materil dan moril supaya semangat dan tidak pantang menyerah, serta tidak berhenti berdo’a demi kesuksesan Penulis.

(7)

11. Ibu, Siti Aisyah Nasution dan Nenek, Rohani Sinaga yang selalu menyemangati Penulis dan memberikan dukungan materil dan moril serta limpahan kasih dan sayang.

12. Ketiga adik-adikku, Nurul Fitri Isnaini Br.Matondang, Nurul Tri Ashayudha Br.Matondang dan Nurul Tetra Junia Br.Matondang yang selalu menyemangati.

13. Adik-adikku sepersepupuan, Cici Andriyani Nofa, S.T, calon ibu guru Chindi Nofa, Kiki Nasution, Rozi Nofa, Dwi dan Diah Nasution, Nella Siregar, Rian Siregar, Rofi dan Surya Nasution yang selalu menyemangati.

14. Keluarga keduaku di Medan, ayah Arsal Ritonga dan ine Loka Harsaniati yang memberikan semangat dan dukungan materil maupun moril selama pengerjaan skripsi ini.

15. Teman-Teman stb.16 dan group C, terkhusus untuk Riza, Junita, Gessy Siregar, kak Icha Siregar dan teman-teman Klinis yang selalu memberi support.

16. International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU periode 2019-2020 dan terkhusus Tulang Syawal Siregar (staf sekretaris HI) yang selalu membantu penulis dan mendengar keluh kesah penulis dalam mengerjakan skripsi ini

17. Brilliant Ladies, calon-calon wanita karir dan calon ibu rumah tangga yang gaul. Amel, Jejes, Fia, Shirleen dan Haniah yang selalu mendukung dan menyemangati Penulis. Begitu juga, Regina Louis Sipahutar temen

(8)
(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulis ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Metode Penulisan ... 20

G. Sistematika Penulisan... 24

BAB II PENGATURAN BATAS LANDAS KONTINEN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL ... 26

A. Perkembangan Hukum Laut Internasional ... 26

B. Sejarah Batas Landas Kontinen ... 36

C. Pengertian Tentang Batas Landas Kontinen ... 43

1. Landas Kontinen Menurut Konvensi Hukum Laut Jenawa 1958... 43

2. Landas Kontinen Menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1983 ... 51

BAB III PENGATURAN BATAS LANDAS KONTINEN MENURUT HUKUM NASIONAL ... 62

(10)

A. Perkembangan Hukum Laut Indonesia ... 62 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas

Kontinen Indonesia ... 65 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan

Indonesia ... 66 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia ... 67 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum

Laut Tahun 1982 ... 68 5. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah

Negara ... 69 6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran ... 70 7. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan ... 71 8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan

Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil ... 71 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan ... 72 B. Batas Landas Kontinen Indonesia ... 73 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN BATAS LANDAS

KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN INDIA TAHUN 1974 ... 81 A. Latar Belakang Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia

dan India Tahun 1974... 81 B. Uraian Instrumen Hukum Indonesia Mengenai Perjanjian Batas

(11)

Landas Kontinen antara Indonesia dan India Tahun 1974 ... 85

C. Pelaksanaan Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia dan India ... 89

BAB V PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Instrumen Hukum Uraian Keputusan Presiden No. 51 Tahun 1974 Table 2. Batas Landas Kontinen Indonesia dengan Negara Tetangga

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perbatasan Wilayah Laut Indonesia dengan Negara Tetangga Gambar 2. Landas Kontinen

Gambar 3. Peta Perbatasan Indonesia dan India di Pulau Rondo Aceh

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut yang merupakan cabang hukum internsional telah mengalami perubahan yang mendalam.1 Fungsi utama laut disamping sebagai penyedia media transportasi guna mendukung terselenggaranya perdagangan internasional, juga sebagai sumber daya alam yang paling besar, baik sumber alam hayati maupun non-hayati.2

Lebih dari dua pertiga planet bumi di tutupi oleh air, dari permukiman bumi yang luasnya 200 juta mil persegi, 70% atau 140 juta mil persegi terdiri dari air.3 Laut juga memiliki fungsi sebagai sarana yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa lain keseluruh dunia dengan berbagai macam kegiatan.4

Strake mengatakan bahwa satu-satunya cabang hukum internasional yang mengalami perubahan yang evolusioner adalah hukum laut internasional dilihat dari respon masyarakat internasional atas eksistensi hak akses atas wilayah laut guna eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di laut.5

Pada abad ke-15 – 16 negara-negara berpantai mulai mengajukan klaim atas wilyah laut di sekitar dan di sekeliling wilayah daratannya. Kepentingan atas wilayah laut adalah kedaulatan atas wilayah laut.6 Teori kedaulatan atas wilayah

1 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: PT Alumni, 2011), hal. 304

2 Dhiana Puspita, Hukum Laut Internasional, (Depok: Kencana 2007), hal.1

3 Boer Mauna, op.cit., hal. 305

4 Ibid.

5 Dhiana Puspita, op. cit., hal. 2

6 Ibid.

(15)

laut menyebabkan adanya perbedaan praktik negara-negara di dunia.7 Prinsip hukum yang klasik dalam hal wilayah laut diperkenalkan pertama kali oleh Huge de Grotius yang menyatakan bahwa laut adalah “res gentium” dimana seluruh negara di dunia mempunyai hak yang sama atas wilayah laut dan prinsipmini dikenal sebagai ‘Mare Liberum’ atau ‘Prinsip Laut Terbuka.8

Bertentangan dengan prinsip ini, Selden mengemukakan prinsip ‘Mare Clausum’ atau ‘Prinsip Laut Tertutup” di mana suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusif atas wilayah laut sekitar dan di sekeliling wilayah daratannya.9 Negara-negara pengguna (maritime user state) baik negara maritim besar maupun negara tidak berpantai menggunakan teori ‘Mare Liberum’ yang menurut mereka sangat mendukung kepentingannya dalam pemanfaatan laut, kepentingan pelayaran, dan perikanan.10

Pada abad 20 negara-negara berpantai (coastal state) telah mempraktikkan teori ini dengan mengklaim suatu wilayah laut tertentu termasuk dalam kedaulatannya sehingga masyarakat internasional mulai memikirkan untuk dirumuskannya suatu konvensi internasional yang bersifat global tentang pemanfaatan wilayah laut dan diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan negara-negara secara seimbang dan proporsional, karena dua kelompok kepentingan itulah sebenarnya yang dimaksud hukum laut internasional.11

Pada akhirnya konvensi internasional berhasil dirumuskan pada tahun 1982 dengan diadopsinya United Nations Convention on The Law of The Sea

7 Ibid. hal. 3

8 Ibid.

9 Ibid.

10 Ibid.

11 Ibid. hal. 4

(16)

(UNCLOS) 1982 atau yang biasa disebut dengan Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982).12 KHL merupakan kerangka hukum yang universal tentang pemanfaatan laut yang memperkenalkan untuk pertama kalinya ‘equity relationship’ antar negara mengenai pemanfaatan laut dan alokasi sumber daya alam yang ada di lautan.13

KHL 1982 mengatur tentang dua hal pokok yaitu tentang masalah kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara atas wilayah laut yang meliputi pelayaran, lintas kapal dan pesawat asing terutama pesawat militer asing dan mengatur tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, baik hayati maupun non- hayati serta penyelesaian sengketa internasional berkenaan dengan interpretasi dan implementasi rezim hukum yang baru sebagaimana diatur dalam KHL 1982.14

Hukum Internasional mengatur hak-hak dan kewajiban negara. Negara merupakan subjek utama hukum internasional selain organisasi.15 Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,8 juta km2. Laut teritorial seluas 0,3 juta km2, luas zona ekonomi eksklusif sekitar 0,3 juta km2, panjang garis pantai lebih dari 81.000 km2 dan jumlah pulau 17.504 pulau.16

Tiga matra wilayah Republik Indonesia maka wilayah perairan (lautan) merupakan bagian yang terluas dibanding dengan wilayah udara dan daratannya.17

12 Ibid.

13 Ibid.

14 Ibid. hal.5

15 Boer Mauna, op. cit., hal 17

16 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2014). hal.51

17 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal.1

(17)

Posisi wilayah Indonesia juga unik karena berada di garis khatulistiwa, berada pada posisi silang dunia diantara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia dan dua samudra yaitu Samudera Hindia (Selat Malaka) dan Samudera Pasifik (Laut Cina Selatan).18

Batas darat wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia, Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini (PNG), Timor Leste dan Australia seperti peta dibawah ini:19

Gambar 1.Perbatasan Wilayah Laut Indonesia dengan 10 Negara Tetangga

Sumber: Draft Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara &

Kawasan Perbatasan 2011-2014

Latar belakang timbulnya prinsip landas kontinen adalah adanya tindakan sepihak dari Amerika Serikat mengenai landas kontinen dan perikanan yang diproklamasikan oleh Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman pada tanggal 28 September 1945, di dalam paragraf pokoknya dikatakan sebagai berikut:

18 Dhiana Puspita, op cit., hal. 118

19 Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Strategis Badan Nasional Pengelola Perbatasan Tahun 2011-2014

(18)

“Now, therefore, I, Harry S.Truman President of the United States of America, do hereby proclaim the following policy of the United States of America with respect to the natural resources of the suboil and sea-bed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the government of the United States regards the natural resources of the subsoil and seabed of the continental shelf beneath the high seas but contiguous of the coast to the United States are appertaining to the United States, subject to its jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extends to the shores of another State, or is shared with an adjacent State, the boundry shall be determined by the United States and the State concered in accordance with equitable principle. The character as high seas of the waters above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are in no way thus affected”.20

Pada prinsipnya proklamasi Truman ini bertujuan untuk menguasai landas kontinen yang berdekatan dengan pantai Amerika Serikat agar berada di bawah yurisdiksi eksklusifnya. Namun demikian, proklamasi ini merupakan tindakan sepihak, namun pernyataan tersebut diikuti banyak negara seperti Mexico, Panama, Argentina, Chili, Peru, Costa Rica, dan negara-negara lainnya.21

KHL 1982 terbagi dalam 8 (delapan) rezim yang termasuk di dalamnya rezim landas kontinen (continental shelf), berdasarkan Pasal 76 KHL 1982 mendefinisikan landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada diluar laut teritorial yang merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai ke batas luar tepian kontinen atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.22

Apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Untuk batas maksimal menurut konvensi hukum laut 1982 batas landas kontinen tidak

20 Ida Kurnia, Rezim Hukum Landas Kontinen, (Jakarta: Diadit Media, 2007), hal. 25

21 Ibid. hal. 12

22 Ibid. hal. 22

(19)

dapat melebihi 350 mil laut.23 Sebagai salah satu negara kepulauan, Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengumumkan bahwa “Deklarasi Djuanda”

merupakan dasar dari konsep negara kepulauan yang bermaksud untuk menyatukan wilayah daratan yang terpecah-pecah, segala perairan di antara dan di sekitar pulau-pulau bagian dari wilayah nasional yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.24

Deklarasi tersebut membawa Indonesia lebih menegakkan aturan hukum mengenai batas-batas laut Indonesia dengan meratifikasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Dengan meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, berarti Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut sudah sah dan berlaku dalam hukum nasional Indonesia.25

Setelah meratifikasi Konvensi Hukum Laut, pengaturan landas kontinen pemerintahan Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan yaitu dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Negara Indonesia di dalam Landas Kontinen Indonesia, mempunyai hak untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi, penguasaan dan hak eksklusif atau kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemiliknya ada pada negara.26

23 Ibid

24 Indien Winarwati, Konsep Negara Kepulauan Perspektif Hukum Laut Dan Penetapan Garis Batas Negara, (Jawa Timur: Setara Press, 2016), hal. 2

25 Mangisi Simanjuntak, op cit., hal. 3

26 Nur Yanto, Memahami Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), hal. 47-48

(20)

Pembahasan skripsi ini membahas tentang perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan India yang telah disepakati yaitu “Agreement between the Government of the Republic of India and the Government of the Republic of Indonesia relating to the Delimitation of the Continental Shelf Boundary between the two Countries” 1974 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang “Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Kedua Negara”.27

Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik- titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman sudah disepakati oleh kedua negara.28 Pulau Rondo merupakan pulau terluar yang tidak berpenghuni, kegiatan yang berada disekitar pulau adalah masyarakat kelurahan Ujung Ba’u yang berprofesi sebagai nelayan.29

Masalah yang timbul adalah adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan Indonesia maupun India karena minimnya pengetahuan tentang batas wilayah laut Indonesia dengan India serta kurangnya peralatan canggih seperti radio, peta, GPS, dll yang mengakibatkan hilang arah bahkan melewati batas wilayah yang diperkirakan mencuri ikan.30

27 I Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Internasional, (Bandung:

Mandar Maju, 2005), hal. 314

28 Nur Yanto., op.cit., hal. 54

29 Ibid. hal. 55

30 Antero Aceh: Nelayan Aceh akan Dibekali Pengetahuan Batas Perairan Indonesia, 2019,https://www.google.com/amp/anteroaceh.com/news/nelayan-aceh-akan-dibekali-

pengetahuan-batas-perairan-indonesia/amp.html, diakses pada tanggal 18 Agustus 2020

(21)

Hal ini akan mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dan India maka, perundingan delegasi Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik India yang membicarakan garis batas landas kontinen kedua negara dengan memperhatikan garis-garis Lintang Utara dan garis-garis Bujur Timur.

Maksud diadakan penggarisan tersebut adalah kedaulatan yang dipegang oleh masing-masing negara dalam melakukan kegiatannya tidak akan menimbulkan bentrokan kepentingan di antara kedua negara, sehingga tujuan untuk memperkuat ikatan persahabatan yang telah terjalin di antaranya semakin erat dan bersahabat.31

Memperhatikan titik-titik tersebut dibuat garis yang menghubungkan garis-garis Lintang Utara dengan garis-garis Bujur Timur lainnya, sehingga membentuk garis lurus yang merupakan batas landas kontinen kedua negara.

Perundingan tersebut telah menghasilkan batas landas kontinen antara daerah Sumatera (Indonesia) dan Nicobar Besar (India) dalam 4 (empat) koordinat.32

Tindakan yang dilakukan ini merupakan satu bukti kerjasama dalam menangani suatu masalah dan untuk menciptakan landasan hukumnya apabila di belakang hari didapati suatu peristiwa yang menyangkut kepentingan kedua negara. Ditetapkannya batas daerah landas kontinen membawa dampak positif bagi kedua negara terutama dalam menjalankan yurisdiksinya dan masing-masing pemerintah akan dapat menjalankan hak kedaulatannya dengan memperhatikan hasil persetujuan yang telah disepakatinya.33

31 P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hal. 53

32 Ibid., hal.54

33 Ibid., hal. 55

(22)

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis memberi judul penelitian ini dengan judul “Perjanjian Indonesia Dan India Mengenai Batas Landas Kontinen Dan Manfaat Untuk Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Sesuai latar belakang di atas, dikemukakanlah rumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan batas landas kontinen menurut Hukum Internasional?

2. Bagaimana pengaturan batas landas kontinen menurut Hukum Nasional?

3. Bagaimana pelaksanaan perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan India?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan dari pada penelitian ini adalah diantaranya:

1. Untuk mengetahui pengaturan batas landas kontinen berdasarkan hukum internasional

2. Untuk mengetahui pengaturan batas landas kontinen berdasarkan hukum nasional

3. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati Manfaat penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari Hukum Internasional serta dapat bermanfaat untuk

(23)

memperluas wawasan mengenai pengaturan hukum internasional mengenai batas landas kontinen

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan aturan tentang batas wilayah laut berdasarkan hukum Internasional

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi petunjuk bagi Pemerintah Indonesia khususnya bagi badan non-kementrian yaitu Badan Informasi Geospasial dan Kementrian Luar Negeri dalam menetapkan batas wilayah laut dengan negara tetangga melalui kebijakan dan kerja sama yang lebih baik terkait batas wilayah laut.

Penelitian ini juga diharapkan menjadi petunjuk bagi masyarakat untuk mengetahui arti pentingnya batas wilayah laut, khususnya masyarakat yang berada di dekat perbatasan dengan negara tetangga.

D. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dengan judul “Perjanjian Indonesia dan India Mengenai Batas Landas Kontinen dan Manfaat Untuk Indonesia” merupakan bagian dari ide dan gagasan penulis dari berbagai referensi, yang berfokus pada manfaat untuk Indonesia dari hasil perjanjian Indonesia dan India tentang batas landas kontinen melalui peraturan hukum internasional dan nasional yang terkait, kebiasaan internasional. Referensi penulis didapat diantaranya dari peraturan-peraturan, buku-buku, jurnal ilmiah, bantuan dari pihak-pihak yang dalam bidangnya

(24)

memiliki keterkaitan dari pada penulisan skripsi ini, media cetak dan media elektronik.

Penelusuran yang telah dilakukan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengenai penelitian ini, telah diuji secara keseluruhan dan tidak memiliki karya tulis yang sama dengan karya tulis yang lain sebagaimana telah dilakukan pemeriksaan oleh administrator departemen Hukum Internasional. Untuk menghindari kesamaan penelitian, maka dilakukan penelusuran kajian terlebih dahulu. Berikut merupakan penelitian terdahulu yang berupa karya tulis terkait dengan penelitian ini:

1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang disusun oleh Reza Boboy dengan judul “Eksistensi Garis Batas Landas Kontinen Antara Indonesia dan Malaysia di Gosong Niger ditinjau dari Segi Hukum Internasional”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep wilayah perairan Indonesia sebagai nusantara?

2. Bagaimana perkembangan peraturan continental self dalam Hukum Laut Internasional?

3. Bagaimana konflik Indonesia-Malaysia di Gosong Niger?

2. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, yang disusun oleh Fridainingtyas Palupi dengan judul “Eksistensi Garis Batas Landas Kontinen Antara Indonesia dan Malaysia di Gosong Niger ditinjau dari Hukum Laut Internasional”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

(25)

1. Bagaimanakah penetapan garis batas landas kontinen di Gosong Niger antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia menurut ketentuan Hukum Laut Internasional?

2. Bagaimanakah tindakan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan eksistensi Gosong Niger sebagai landas kontinen yang merupakan yurisdiksi Indonesia sebagai Negara pantai?

3. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang disusun oleh Rivai H. Sihaloho dengan judul “Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India dalam Penegakan Keadaulatan Teritorial ditinjau dari Hukum Internasional”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penetapan kedaulatan negara di wilayah perairan berdasarkan UNCLOS?

2. Bagaimana penguasaan berdaulat pada perbatasan wilayah perairan antar negara berdasarkan hukum internasional?

3. Bagaimana penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan India berdasarkan Hukum Internasional?

4. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang disusun oleh Dian Julia S dengan judul “Penyelesaian Sengketa Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Sulawesi dan Laut Mindanao Antara Negara Indonesia dan Filipina”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedaulatan negara atas wilayah laut berdasarkan Hukum Internasional yang berlaku?

(26)

2. Bagaimana penyelesaian sengketa di wilayah laut berdasarkan Hukum Internasional yang berlaku?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di laut Sulawesi dan laut Mindanao antara negara Indonesia dan negara Filipina?

5. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang disusun oleh Rahayu Trisakti Gultom dengan judul “Urgensi Perjanjian Zona Ekonomi Eksklusif sebagai Solusi dalam Penyelesaian Penetapan Batas Maritim Antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perjanjian internasional dan pengaturan mengenai ZEE menurut Hukum Internasional?

2. Bagaimana aturan mengenai perbatasan maritim antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka?

3. Sejauh mana perjanjian ZEE dalam penyelesaian penetapan perbatasan maritim ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka?

E. Tinjauan Pustaka

Sejarah mengenai hukum internasional telah dibentuk sebelum adanya organisasi internasional serta pemerintahan global (global governance), sistem hukum internasional terdiri dari norma, proses dan institusi.34 Sehingga hukum Internasional adalah serangkaian prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang biasa

34 Ambarwati & Subarno W. Pengantar Hubungan Internasional, (Malang: Trans Publishing, 2016), hal. 164

(27)

terjadi dalam masyarakat internasional dalam hubungan antara negara satu sama lain atau antar bangsa.35 J.G. Starke dalam buku pengantar Hukum Internasional menjelaskan bahwa:

“Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terdapatnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan- hubungan mereka satu sama lain”.36

Berbagai macam cabang hukum internasional tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selama empat dekade terkahir dan khususnya selama satu setengah dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritime highways).37 Ketentuan- ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatan negara atas wilayah laut merupakan salah satu ketentuan penting Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982.38

Sebelum adanya KHL 1982, pada tahun 1949 International Law Commission (ILC) yaitu salah satu organ PBB yang bertugas merumuskan instrumen hukum menyarankan Majelis Umum PBB untuk mengadakan konferensi internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut internasional.39 Pada tahun 1958 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB

35 Ibid

36 J.G. Strake, Pengantar Huhum Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet.10, hal.3

37 Ibid., hal.322

38 Dikdik Mohammad Sodik, op cit., hal.17

39 Dhiana Puspita, op.cit., hal. 18

(28)

1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957 diadakan The First United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS I) pada tanggal 24 Februari – 27 April 1957 yang dihadiri oleh 86 negara dan menghasilkan 4 (empat) konvensi internasional yaitu:

1. The High Seas Convention (30 September 1962) 2. The Continental Shelf Convention (10 Juni 1964)

3. The Territorial Sea and The Contiguous Zone Convention (10 September 1965)

4. The Fishing and Conservation of The Living Resources of The High Seas Convention (20 Maret 1966).40

Bentuk kerja sama antara Indonesia dan India dalam perjanjian batas landas kontinen merupakan suatu bentuk kerja sama bilateral yang disebut dengan

“Agreement between the Government of the Republic of India and the Government of the Republic of Indonesia relating to the Delimation of the Continental Shelf Boundry between the two Countries”.41

Menurut Moctar Kusumaadmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian-perjanjian yang diadakan anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.42

40 Ibid

41 I Wayan Parthiana, op. cit., hal. 116

42 Kholis Roisah, Hukum Perjanjian Internasional Teori dan Praktek, (Malang: Setara Press, 2015), hal. 2

(29)

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber dari hukum internasional. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara-perkara adalah:

1. Perjanjian internasional (international convention), baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus.

2. Kebiasaan internasional (international custom)

3. Prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab.

4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum internasional.43

Di dalam praktek hubungan antar negara perjanjian-perjanjian internasional mempunyai beberapa istilah, yaitu Convention, Statute, Charter, Convertant, Agreement, Protocol, Arrangement, Declaration, dsb. Perbedaan dari masing-masing istilah adalah terletak pada substansi/materi yang diatur oleh perjanjian tersebut, memiliki bobot kerjasama yang berbeda pada tingkatannya.44

Secara umum pengertian Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan secara khusus pengertian treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urutan perjanjian. Istilah konvensi dalam prakteknya biasanya digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang

43 Boer Mauna, op.cit., hal 8

44 Kholis Roisah, op.cit., hal. 5

(30)

para pihaknya mencakup sebagian besar negara-negara di dunia atau bisa disebut perjanjian multilateral.45

Sedangkan Agreement dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah persetujuan. Pada prakteknya, pembuatan perjanjian ini memiliki materi yang lebih kecil atau bersifat khusus mencakup para pihak saja. Saat ini kecenderungan untuk menggunakan istilah ini pada perjanjian bilateral.46 Dalam klasifikasi perjanjian internasional dapat dilihat dari jumlah para pihak yang mengadakan perjanjian yaitu:

1. Perjanjian Bilateral

Perjanjian internasional yang diadakan hanya oleh dua pihak (negara) saja. Pada umumnya, perjanjian bilateral yang hanya berisi ketentuan- ketentuan yang terkait kepentingan kedua belah pihak dan berlakunya perjanjian hanya untuk ke dua belah pihak saja (tidak bisa diperlakukan kepada pihak ketiga atau perjanjian tertutup). Sehingga ketentuan yang ada dalam perjanjian bilateral biasanya mengatur hal yang khusus. Pada prakteknya hal yang diatur dalam perjanjian bilateral ini misalnya, perjanjian perbatasan dua negara (border line treaty/delimination treaty), perjanjian pajak berganda, kerjasama teknik, perjanjian ekstradisi dsb.

2. Perjanjian Multilateral

Perjanjian internasional yang diadakan oleh banyak negara dan ketentuan yang diatur biasanya terkait hal-hal yang terkait kepentingan

45 Ibid., hal. 6

46 Ibid., hal. 7

(31)

umum masyarakat internasional yang bisa diberlakukan terhadap pihak- pihak yang ikut serta dalam pembuatan perjanjian tapi juga bisa diberlakukan atau terbuka kepada pihak-pihak yang tidak turut serta dalam pembuatan perjanjian. Perjanjian semacam ini identik dengan istilah convention dengan perjanjian multilateral.47

Proses pembuatan perjanjian internasional dalam prakteknya melalui beberapa tahapan, secara umum tahapan yang diperlukan untuk membuat perjanjian internasional adalah tahap perundingan/negosiasi, tahapa penanda tanganan dan tahap pengesahan/ratifikasi.48 Di Indonesia praktek pembuatan perjanjian internasional mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Beberapa tahapan tersebut adalah tahap penjajakan, tahap perundingan, tahap perumusan naskah, tahap penerimaan dan tahap penanda tanganan.49

Pengertian landas kontinen dapat dibagi menurut definisi geografis dan definisi hukum. Menurut definisi geografis dasar laut dibagi menjadi dua bagian, yakini tepian kontinen (continental margin) dan dasar laut dalam (deep ocean floor). Tepian kontinen merupakan lanjutan daratan yang secara bertingkat menurun sampai mencapai dasar laut dalam. Tingkatan ini secara berurutan disebut landas kontinen, lereng kontinen dan kaki kontinen.50

47 Ibid., hal. 19

48 Ibid., hal. 24

49 Ibid., hal. 29

50 Ida Kurnia, op. cit., hal. 27

(32)

Pengertian atau definisi hukum landas kontinen dapat mencakup seluruh tepian kontinen, yang secara geografis meliputi landas kontinen, lereng kontinen dan kaki kontinen seperti gambar dibawah ini:

Gambar 2. Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS 1982

Sumber: Jurnal Geologi Kelautan Vol.11 No.2, Agustus 2013

Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 76 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan bahwa landas kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya sepanjang natural prolongation wilayah daratan sampai ke batas 200 mil laut.51

Di luar batas terluarnya, ditentukan dengan kriteria geomorfologis yaitu ditetapkannya pada tepi tidak boleh melebihi batas 350 mil laut dari garis pangkal laut teritorial. Sebaliknya jika landas kontinen suatu Negara Pantai berdampingan atau berhadapan dengan landas kontinen Negara Pantai lainnya, maka sesuai Konvensi Hukum Laut 1982 akan ditetapkan prinsip equidistance, yaitu untuk Negara Pantai yang saling berdampingan, kemudian median line untuk Negara

51 Ibid., hal 28

(33)

Pantai yang saling berhadapan dan equitable ini lebih menyangkut hal-hal yang bersifat politik.52

Peraturan nasional yang memuat pengertian landas kontinen adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973, landas kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar perairan wilayah Republik Indonesia sampai kedalaman 200 meter atau lebih dimana masih mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.53

F. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Pengertian sederhana metode penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian. Istilah metode penelitian terdiri dari dua kata, yaitu kata metode dan kata penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu

“methodos” yang berarti cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan keabsahannya.54

Pendekatan dari segi teori hukum adalah dengan membagi ilmu hukum atas tiga lapisan utama yakni: dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit), dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut dalam penelitian dan praktik hukum membawa konsekuensi berbeda karena masing-masing memiliki karakter yang khas dan dengan sendirinya memiliki metode yang khas juga.

52 Ibid

53 Ibid

54 Jonaedi Efendi, Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Depok: Prenada Media Group, 2016), hal.2

(34)

Penelitian hukum adalah suatu penelitian yang mempunyai objek hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya dogmatis maupun hukum yang berkaitan dengan perilaku dan kehidupan masyarakat. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.55

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.56 Dari uraian diatas, dapat dirumuskan bahwa cara meneliti hukum yang dalam konteks ini berupa metode penelitian hukum terdiri dari dua jenis yakni metode penelitian hukum normatif dan empiris.57

Metode penelitian hukum normatif ialah yang meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah norma hukum. Sedangkan, penelitian secara empiris ialah meneliti hukum dari perspektif eksternal dengan objek penelitiannya adalah sikap dan perilaku sosial terhadap hukum.58 Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif.59

Metode yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara

55 Ibid. hal.15-16

56 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.43

57 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta Timur: Prenada Media Group, 2019), hal. 11

58 Ibid. hal. 12

59 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal.13

(35)

mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.60

Serta mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan materi penelitian ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan, karya tulis ilmiah yang berupa makalah, skripsi, koran, buku-buku, majalah, situs-situs internet yang menyajikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.61

2. Sumber Data

Data yang diperoleh sebagai bahan penelitian ini dapat melalui data sekunder yang pengumpulan data dilakukan dengan memperoleh data yang dalam keadaan siap terbuat, yang mana isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.62 Data sekunder dari pada penulisan ini terdri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang ada diantaranya adalah dokumen peraturan yang berlaku serta dokumen dari pada pihak terkait dengan masalah penelitian, yakni Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (United Nation Convention on The Law of The Sea), Perjanjian Indonesia dan India mengenai Batas Landas Kontinen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen, Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Pengesahan Persetujuan antara Indonesia dan India tentang Penetapan Batas Landas Kontinen dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

60 Ibid. hal. 14

61 Ibid. hal. 24

62 Ibid.

(36)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa karya-karya tulisan ahli hukum, jurnal, media massa, media cetak, internet, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau penunjang merupakan bahan yang memiliki konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder diantaranya kamus bahasa, kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain yang ada di bidang hukum ataupun diluar bidang hukum yang digunakan atas permasalahan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka (library research), yang ditujukan untuk memperoleh bahan-bahan dan informasi- informasi primer, sekunder dan tersier yang diperlukan atas penelitian, yang bersumber dari data-data yang terdokumentasi melalui Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Mentri, situs-situs internet, buku-buku, jurnal, media massa, ensiklopedia dan sumber lainnya.

4. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan analisis kualitatif. Analisis data secara kualitatif merupakan kegiatan dalam meliputi, mencatat, dan mengelompokkan data lalu diolah dalam pendapat atau tanggapan

(37)

dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.63

Dari lima instrumen/aturan hukum mengenai batas landas kontinen adalah berdasarkan UNCLOS 1982 terdapat dalam pasal 76, di Indonesia terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 pasal 3, mengenai perjanjian Indonesia dan India terdapat 4 titik koordinat yang telah disepakati di daerah antara Sumatera (Indonesia) dan Nicobar Besar (India) dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) sebagai lembaga yang berwenang dalam persetujuan pembuatan perjanjian tersebut.

Kesepakatan perjanjian antara Indonesia dan India telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 dan ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 pasal 22 bahwa Badan Informasi Geospasial (BIG) adalah pengganti BAKOSURTANAL.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini dibagi atas beberapa bab diantaranya:

BAB I PENDAHULUAN

pembahasan dalam bab ini mencakup hal-hal umum atas permasalahansuatu penelitian seperti, Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulis, serta Sistematika Penulisan.

63 I Made Pasek Diantha, op.cit., hal. 142

(38)

BAB II PENGATURAN BATAS LANDAS KONTINEN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Pembahasan dalam bab ini mencakup perkembanagn hukum laut Internasional, sejarah landas kontinen dan pengaturan batas landas kontinen berdasarkan UNCLOS I, UNCLOS II dan UNCLOS III.

BAB III PENGATURAN BATAS LANDAS KONTINEN

MENURUT HUKUM NASIONAL

Pembahasan dalam bab ini mencakup perkembangan hukum laut Indonesia dan perkembangan undang-undang Indonesia tentang wilayah laut Indonesia.

BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN BATAS LANDAS

KONTINEN ANTARA INDONESIA DAN INDIA

Pembahasan dalam bab ini mencakup batas wilayah laut Indonesia dan India, uraian instrumen hukum Indonesia tentang perjanjian dan perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan India.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.

Dalam bab ini adalah bab terakhir dimana akan diberikan suatu kesimpulan atas pembahasan skripsi ini.

(39)

BAB II

PENGATURAN BATAS LANDAS KONTINEN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Perkembangan Hukum Laut Internasional

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua konsepsi, yaitu:

a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.

b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.64 Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang.65

Menurut konsepsi res nullius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation)..keadaan

64 Dikdik Mohamad Sodik, op, cit., hal. 2

65 Ibid

(40)

yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara disekitar Lautan Tengah yang masing- masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.66

Perkembangan hukum laut sesudah Perang Dunia II ditandai dengan perongrongan terhadap kebebasan di laut lepas. Salah satu perkembangan yang penting di sini adalah proklamasi Presiden AS, Truman tahun 1945 tentang Landas Kontinen.67 Berdasarkan proklamasi Truman pemerintah Amerika Serikat mengklaim penguasaan sumber daya alam yang terdapat di dalam dasar laut dan tanah di bawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat, terutama sumber daya alam mineral, khususnya minyak dan gas bumi.68

Proklamasi Truman diikuti oleh banyak negara-negara lain di dunia sehingga dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional dan kemudian dituangkan dan diatur dalam Konvensi IV Jenawa 1958 mengenai Landas Kontinen sebagai kaidah hukum yang universal.69 Sebelum diadakannya Konferensi Hukum Laut Internasional I atau yang disebut First United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS I) pada tahun 1958, pemanfaatan laut diatur oleh hukum kebiasaan internasional.70

66 Ibid., hal. 3

67 Ibid., hal. 7

68 Ibid

69 Ibid., hal. 8

70 Dhiana Puspita, op, cit., hal. 11

(41)

Dimulai pada tahun 1958 ketika diselenggarakannya UNCLOS I diikuti dengan Konferensi Hukum Laut Internasional II (UNCLOS II) pada tahun 1960, diikuti oleh Konferensi Hukum Laut Internasional III (UNCLOS III) yang dimulai pada tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1982, ketika diadopsinya Konvensi Internasional Hukum Laut (KHL 1982) atau yang biasa dikenal dengan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS1982).71

UNCLOS I 1958 merupakan awal mulanya pengaturan tentang manfaat laut, pada saat itu banyak sekali konvensi internasional yang mengatur tentang kegiatan di laut misalnya tentang keselamatan di laut (safety of life at sea) atau yang biasa dikenal dengan SOLAS serta konvensi internasional tentang tabrakan kapal (collision), belum ada suatu konvensi internasional yang mengatur secara komprehensif pemanfaatan laut terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pengaturan ini masih dalam bentuk hukum kebiasaan internasional.72

Pada tahun 1949 International Law Commission (ILC) merupakan salah satu organ PBB yang bertugas merumuskan instrumen hukum menyarankan Majelis Umum PBB untuk mengadakan konferensi internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum laut internasional dan pada tahun 1958 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957 diadakan The First United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS I) pada tanggal 24 Februari – 27 April 1957 yang dihadiri oleh 86 negara dan menghasilkan 4 (empat) konvensi internasional yaitu:

1. The High Seas Convention (30 September 1962)

71 Ibid., hal. 12

72 Ibid., hal. 17

(42)

2. The Continental Shelf Convention (10 Juni 1964)

3. The Territorial Sea and The Contiguous Zone Convention (10 September 1965)

4. The Fishing and Conservation of The Living Resources of The High Seas Convention (20 Maret 1966).73

The High Seas Convention, The Continental Shelf Convention dan The Territorial Sea and The Contiguous Zone Convention dirumuskan berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang berlaku saat itu dan pada akhirnya diratifikasi oleh 50 negara. Adapun The Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of The High Seas diratifikasi oleh 35 negara74

Pada UNCLOS I ini konsep laut territorial diakui sebagai hukum laut internasional meskipun gagal dalam menyepakati dua hal yaitu lebar laut territorial suatu negara dan lebar zona perikanan sehingga diadakan konferensi lanjutan yaitu UNCLOS II pada tahun 1960.75 Keberhasilan UNCLOS I menghasilkan 4 (empat) konvensi merupakan bukti bahwa sangat dimungkinkan untuk merumuskan suatu konvensi internasional yang mengatur tentang hukum laut internasional secara komprehensif.76

Kegagalan UNCLOS I membawa Majelis Umum PBB untuk mengadakan Konferensi Hukum Laut yang kedua guna menyelesaikan dua isu yang belum terselesaikan. Pada akhirnya Majelis Umum PBB dengan Resolusi MU PBB 1307 (XIII) tanggal 10 Desember 1958 memutuskan untuk mengadakan konferensi

73 Log cit., hal. 18

74 Ibid

75 Ibid

76 Ibid., hal. 19

(43)

kedua yang kemudian dikenal dengan The Second United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS II) pada tanggal 17-26 Maret 1960 di Jenawa.77

UNCLOS II juga gagal untuk menghasilkan kesepakatan terhadap hal-hak krusial yang gagal dirumuskan pada UNCLOS I sehingga kegagalan tersebut terutama pada gagalnya dicapai kata sepakat terhadap proposal yang diajukan oleh Kanada dan Amerika Serikat yang mengusulkan 6 mil laut untuk lebar laut territorial ditambah 6 mil laut untuk zona perikanan. Akan tetapi, UNCLOS II berhasil merumuskan suatu resolusi tentang perlunya metode teknis tertentu dalam hal perikanan.78

Kegagalan UNCLOS II tidak membuat masyarakat internasional menurun untuk memiliki suatu konvensi internasional general yang komprehensif tentang pemanfaatan laut dimulai pada akhir 1967 ketika terjadi eksplorasi dan eksploitasi laut seiring dengan kemajuan teknologi kelautan serta ramainya klaim kedaulatan atas wilayah laut yang diajukan oleh negara-negara baru.79

Pada tanggal 1 November 1967, Duta Besar Malta untuk PBB I Arvid Pardo mendesak PBB untuk segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjadikan sumber daya alam yang ada di sea-bed sebagai common heritage of mankind dan oleh karena itu diperlukan suatu aturan-aturan hukum yang mengatur tentang pemanfaatan laut beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.80

77 Ibid

78 Ibid

79 Ibid., hal. 20

80 Ibid

(44)

Pada tanggal 17 Desember 1970, Majelis Umum PBB mengeluarkan dua resolusi, yaitu The Declaration of Principles Governing The Seabed and Subsoil Thereof Beyond The Limits of National Jurisdiction, yang pada prinsipnya mengatur sea-bed dengan konsep comman heritage of mandkind dan keputusan untuk mengadakan The Third United Nations Conference on The Law of The Sea atau UNCLOS III (Resolution 2570).81

Konferensi tersebut diadakan di New York pada tahun 1973 melalui 11 sesi dan berakhir sembilan tahun kemudian dengan diadopsinya the united nations convention on the law of the sea 1982 yang kemudian dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini terdiri dari XVII bagian, 320 pasal dan IX annex.82 Adapun kemajuan hasil negosiasi melalui 11 sesi adalah sebagai berikut:

a. Sidang ke I, tahun 1973 di New York yaitu membahas masalah tata cara/prosedur persidangan dalam Konferensi dari tiap Komite.

b. Sidang ke II, tahun 1974 di Caracas yaitu melanjutkan pembahasan prosedur dan mulai membahas hal-hal yang sifatnya substantif dari masing-masing komite.

c. Sidang ke III, tahun 1975 di Geneva yaitu tiap komite berhasil merumuskan Informal Single Negotiating Text (ISNT) yang merupakan hasil sementara dari kemungkinan konsensus negara-negara peserta.

Asas negara kepulauan termasuk ISNT.

d. Sidang ke IV, tahun 1976 di New York yaitu Komite I mencapai kemajuan dalam menemukan beberapa konsensus sementara tentang pembangunan dasar laut. Siding ini melahirkan Informal Revised Single Negotiating Text. Selain itu juga dihasilkan Single Negotiating Text on Settlement of Disputes.

e. Sidang ke V, tahun 1976 di New York yaitu dalam sidang ini diadakan workshop yang bertujuan secara informal merumuskan tentang cara- cara mengakomodasikan kepentingan negara landlocked dan negara yang geographically disadvantage. Selain itu masalah navigasi, zona ekonomi eksklusif, rezim selat dan pembangunan dasar laut bebas menjadi topik yang hangat.

81 Ibid

82 Ibdi

(45)

f. Sidang ke VI, tahun 1977 di New York yaitu melanjutkan pembahasan dalam sidang terdahulu, juga diputuskan untuk disusun satu Informal Composite Negotiating Text (ICNT) yang didasarkan pada ketiga Revised Single Negotiating Text (RSNT) yang ada ditambah dengan text tentang Settlement of Disputes.

g. Sidang ke VII, tahun 1978 di Geneva dan dilanjutkan di New York yaitu melanjutkan pembahasan ICNT maka dalam sidang ini dibentuk 7 (tujuh) Negotiating Group sebagai berikut:83

1. Group 1 s/d 3 membahas sea-bed mining

2. Group 4 membahas kepentingan landlocked states dan geographically disadvantaged states atas sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif

3. Group 5 membahas penyelesaian perselisihan di zona ekonomi eksklusif

4. Group 6 membahas batas terluar dari landas kontinen dan masalah revenue sharing dari hasil penambangan landas kontinen di luar batas 200 mil

5. Group 7 membahas masalah penetapan batas maritim antara negara- negara.

h. Sidang ke VIII, tahun 1979 di Geneva dan dilanjutkan di New York yaitu pada ICNT draft pertama diadakan koreksi dan pada akhir sidang ini dirumuskan ICNT draft kedua. Masalah sea-bed mining masih tetap menjadi perdebatan hangat.

i. Sidang ke IX, tahun 1980 di New York dan dilanjutkan di Geneva yaitu ICNT draft ketiga berhasil dirumuskan dimana kepentingan Indonesia tentang Asas Negara Kepulauan telah berhasil dipertahankan sejak draft pertama yaitu dalam bab IV ICNT tentang Archipelagic States.

j. Sidang ke X, tahun 1981 di New York dan Geneva yaitu sidang berhasil memilih tempat kedudukan Mahkamah Internasional tentang Hukum Laut dan Seabed Authority masing-masing di Jerman Barat dan Jamaika.

k. Sidang ke XI, tahun 1982 di New York yaitu dengan 136 suara setuju, 4 menentang dan 19 abstain, sidang menerima Rancangan Konvensi menjadi Naskah Konvensi.

l. Sidang ke XII, tahun 1982 di Teluk Montego yaitu Naskah Konvensi ditandatangani oleh 119 negara dan resmi menjadi Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang baru.84

KHL 1982 menampung semua permasalahan tentang laut dan dikelompokkan menjadi empat komite yaitu:

83 Mangisi Simanjuntak, op, cit., hal 7

84 Ibid., hal 8

(46)

1. Komite pertama, mencakup permasalahan tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terletak di dasar laut di luar yurisdiksi nasional (high seas seabed mining).

2. Komite Kedua, mencakup permasalahan tentang:

1. Laut wilayah dan zona tambahan

2. Hak lintas melalui selat untuk keperluan navigasi internasional 3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

4. Landas Kontinen 5. Laut Bebas

6. Negara Kepulauan

7. Hak dan Kepentingan landlocked states 8. Rezim Pulau

9. Laut terkurung dan setengah terkurung

3. Komite Ketiga, mencakup permasalahan tentang:

1. Alih teknologi

2. Pelestarian lingkungan maritime 3. Penelitihan ilmiah

4. Komite Keempat, tentang penyelesaian perbedaan pendapat dan perselisihan, serta perumusan fungsi Preparatory Commision (Sea-Bed Commite).85

Ada beberapa alasan lain yang mendorong masyarakat internasional mengambil inisiatif meninjau kembali Konvensi Hukum Laut 1958 yaitu:

1. Bangkitnya bangsa-bangsa merdeka di Afrika setelah tahun 1958 yang menginginkan perubahan dalam konsepsi kebebasan laut yang dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritim

2. Insiden terdamparnya kapal tangki minyak Torrey Canyon di dekat pantai Perancis dan Inggris pada tahun 1967 yang menyadarkan masyarakat dunia tentang bahaya pencemaran lingkungan laut.86

Perlu dicatat bahwa Konvensi Hukum Laut PBB (selanjutnya akan disebut sebagai “Konvensi Hukum Laut 1982”) ditandatangani pada tahun 1982 tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 308 Konvensi Hukum Laut 1982, konvensi baru

85 Ibid., hal.6

86 Dikdik Mohamad Sodik, op, cit., hal. 11

Gambar

Gambar 1.Perbatasan Wilayah Laut Indonesia dengan 10 Negara Tetangga
Gambar 2. Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS 1982
Table 1. Batas Landas Kontinen Indonesia dengan Negara Tetangga
Tabel 2. Instrumen Hukum Uraian Keputusan Presiden No. 51 Tahun 1974
+2

Referensi

Dokumen terkait

Perbaikan pada semua sektor pendidikan yang diselenggarakan Unindra merupakan suatu keniscayaan sebagai upaya peningkatan mutu. Salah satu indikator baiknya mutu itu

Syarikat Hindia Timur Inggeris (SHTI) diberikan kuasa oleh kerajaan British untuk menjalankan perdagangan antarabangsa dan meluaskan tanah

Dimensi ini lebih menekankan pada pengaruh faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politik seseorang, dimana dimensi psikologis merupakan perilaku

Kompetensi Pedagogik Guru Agama Islam Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Di SMP Islam Sunan Gunung Jati Ngunut dan SMP Islam Al-Fattahiyah Boyolangu..

perlindungan terhadap korban kekerasan baik yang dialami perempuan (isteri) maupun anak. Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah segala upaya yang dilakukan

Tidak semua makam di kompleks makam tersebut memiliki motif maka hanya makam yang memiliki motif yang menjadi fokus penelitian yaitu makam Andi Audi

Suatu set prosedur - prosedur yang lengkap harus Jelas menguraikan kepada seorang pegawai baru atau kepada personil yang baru menduduki jabatan, bagaimana operasi

Penyusunan skripsi dengan judul “ Nilai Pendidikan Agama Islam dalam Lirik Lagu pada Album Don’t Make Me Sad Karya Band Letto : Tinjauan Sosiologi Sastra dan