• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Bangsa Arab tidak membawa tradisi ilmu

Dalam dokumen Sejarah Peradaban Islam id. pdf (Halaman 137-143)

SEJARAH DAULAH UMAIYAH I DI SYRIA

2. Pertumbuhan Pemerintahan (661 – 680 M)

3.3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Bangsa Arab tidak membawa tradisi ilmu

pengetahuan dan warisan kebudayaan ke negeri-negeri yang ditaklukkannya. Jelasnya mereka tidak berwatak pencinta ilmu dan tidak pula memiliki kebudayaan yang berarti. Akibatnya mereka menjadi murid dari bangsa yang ditakhlukkannya yang mempunyai kebudayaan dan tradisi keilmuwan yang lebih tinggi, seperti bangsa Persia atau Iran. Ada empat pusat kebudayaan pada masa daulah Umaiyah ini, yaitu Makkah, Madinah, Basrah, dan Kufah. Dua

yang pertama terletak di wilayah Hijaz, sedang dua terakhir terletak di wilayah Irak yang lebih dikenal sebagai bekas kerajaan Persia. Dalam ilmu Fiqh dikenal ulama Hijaz sebagai ahl al-Hadist dan ulama Irak sebagai ahl al-Ra’yi.

Di masa daulah Umaiyah berkuasa lebih tepat dikatakan sebagai masa penyebaran benih kebudayaan yang hidup subur di masa daulah Abbasiyah. Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa daulah Umaiyah ini adalah ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), seperti ilmu qira’at, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu bahasa, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan ilmu arsitektur. Uraian yang lebih terperinci tentang ilmu-ilmu keagamaan (naqliyah), dapat dilihat sebagaimana berikut ini:

1. Ilmu Tafsir

Pada masa awal Islam, ilmu tafsir belum dibutuhkan karena umat Islam dapat mengerti apa yang dimaksud oleh setiap ayat al-Qur’an. Namun ketika wilayah Islam sudah meluas dan orang-orang bukan Arab telah menganut agama Islam, mulai dirasakan perlunya menafsirkan al-Qur’an. Beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang mereka dengar dari Nabi.

Mereka ini dipandang sebagai pendiri ilmu tafsir. Bentuk tafsir al-Qur’an pada awal Islam dikenal dengan

tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan pada apa yang mereka dengar dari Nabi dan sahabat-sahabat senior atau dikenal dengan tafsir bi al-riwayah, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan pada riwayat.

Tafsir bi al-ma’tsur ini mengalami perkembangan di masa daulah Abbasiyah, seperti Jami’ Bayan fi tafsir

al-qur’an oleh Ibn Jarir al-thabari dan Maqarin al Tanzil oleh al-Baidhawi. Tafsir-tafsir telah tersusun secara sistematis menurut urutan ayat.

Tafsir bi al-Ra’yi pun berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Tafsir yang didasarkan pada pemahaman akal ini terdapat beberapa corak, seperti Tafsir Mu’tazili berjudul al-Kasysyaf al Dhawamiri al-Tanzil

oleh al-Zamakhsari. Tafsir al-Ilmy berjudul Mafatih al-Ghaib oleh Fakhrurazi. Tafsir Sufi seperti yang yang dilakukan oleh al-Junaid dan Sofyan Tsuri dan lain-lainnya.133

Tafsir Al-Qur ’an yang mengambil bermacam-macam bentuk atau corak itu adalah pengaruh dari kebebasan berfikir pada masa itu. Sehingga latar belakang pemikiran mereka sangat mewarnai tafsir yang mereka lakukan.

2. Ilmu Hadits

Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam pada mulanya belum ditulis seperti al-Qur ’an karena dikhawatirkan bercampur baur dengan al-Qur’an. Karena itu Nabi melarang menulis sesuatu darinya selain al-Qur’an. Pemeliharaan Hadits oleh para sahabat dilakukan melalui hafalan.134 Pembukaan Hadits untuk pertama kali dilakukan oleh khalifah Umar bin abd al-Aziz di awal abad kedua Hijrah. Dalam mengumpulkan Hadits dari para penghafal Hadits, diadakan suatu metode yang disebut Isnad yaitu membahas persambungan Hadits.

133Ibid., h. 44-45.

134 Abd. al-Mun’im Majid, Tarikh Al-Khadharah al Islamiyah fi Ushur al-Mutshtafa (Mesir: t.p, 1978), h.180-181.

Selain itu digunakan pula metode al-Jarh wa al-ta’dil yang membahas asal-usul penghafal Hadits.

Pada masa daulah Abbasiyah, pembukuan Hadits mengalami perkembangan pesat. Muncul tokoh-tokoh

Muhadditsin terkemuka dan terkenal sampai saat ini. Mereka itu adalah : Imam Malik, Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-tTurmudzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah.135

Penulisan Hadits di masa daulah Abbasiyah dilakukan secara gencar dalam rangka memelihara eksistensinya sebagai sumber kedua ajaran Islam, selain itu untuk kebutuhan umat juga, karena para penghafal Hadits banyak yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan terjadi kepunahan Hadits.

3. Ilmu Fiqih

Fiqih belum dikenal sebagai ilmu pada awal Islam, karena pada waktu itu semua persoalan yang dihadapi kaum muslimin dapat ditanyakan langsung kepada Nabi. Tetapi setelah Rasulullah wafat, sementara daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problem yang dihadapi umat semakin banyak, memaksa kaum muslimin menggali hukum-hukum dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dengan berijtihad untuk mendapatkan hukumnya. Usaha-usaha kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits serta aktivitas ijtihad berkembang pesat pada masa daulah Abbasiyah dengan munculnya mujtahid-mujtahid terkenal seperti Imam Abi Hanifah (w. 150 H / 767 M), Imam Malik (w. 179 H / 795 M), Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H / 820 M) dan Imam Ahmad

135 Hasan Ibrahim Hasan, Tarekh Al-Islam, J. 2 (Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), h. 330.

bin Hambal (w. 231 H / 855 M). Melalui kajian-kajian yang mereka lakukan, akhirnya lahirlah ilmu fiqih sebagai suatu disiplin ilmu dalam Islam yang membicarakan hukum syara’.

Imam-imam mujtahid dalam kajian hukum Islam, mereka menempuh cara-cara yang berbeda-beda satu sama lainnya yang selanjutnya melahirkan aliran-aliran hukum dalam Islam. Misalnya Imam Abu Hanifah (80 – 150 H / 669 – 767 M) lebih banyak mempergunakan ra’yu dalam istimbath hukumnya, sehingga dia dipandang sebagai pendiri aliran ra’yu dalam hukum Islam.136

Penggunaan metode al-Ra’yu oleh Imam Abu Hanifah adalah konsekwensi logis dari kondisi lingkungan tempat tinggalnya di Iraq yang jauh dari pusat Hadits di Madinah, juga karena sikap kehati-hatiannya dalam menerima suatu Hadits. Bagi Imam Abu Hanifah sebuah Hadits baru dapat diterima bila Hadits itu telah pada tingkat Hadits masyhur atau para fuqaha’ lainnya sepakat mengamalkannya.

Sementara Imam Malik (97 – 179 H / 715 – 795 M) yang lahir di daerah Hijaz dan seluruh usianya dihabiskan di kota Madinah, dalam menetapkan hukum mendasarkan ijtihadnya terlebih dahulu pada zahir Nash dan lebih banyak mempergunakan Hadits, sehingga dia terkenal sebagai Ahl al-Hadits. Imam Malik menggunakan metode itu kerana dipengaruhi oleh kondisi kota Madinah sebagai pusat Hadits.137

136 Abdul Al-Mun’im Majid, op.cit., h. 176.

Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 – 204 H / 67 – 820 M) menempuh metode yang berbeda dengan kedua aliran Iraq (ra’yu) dan Hijaz (hadits) di atas. Dia melakukan penggabungan antara aliran ra’yu dengan aliran Hadits. Metode istimbath hukumnya dapat ditelusuri dalam karya monumentalnya, al-Risalah yang memberi tuntunan dalam berijtihad.138

Fuqaha’ besar lainnya yang terkenal pada masa daulah Abbasiyah adalah Imam Ahmad bin Hambal (164 – 231 H / 780 – 855 M). Dalam menetapkan hukum dia lebih banyak mengambil dalil-dalil dari zahir Nash dan kurang mempergunakan ra’yu. Oleh sebab itu dia dikenal juga sebagai ahl al-Hadits di samping sebagai seorang fuqaha’. 4. Ilmu Kalam

Ilmu kalam ini membahas masalah-masalah keimanan dengan mempergunakan argumen-argumen akal atau filosofis. Munculnya ilmu ini dalam Islam setelah Islam tersiar kepada bangsa-bangsa non-Arab yang telah lebih tinggi kebudayaannya. Mereka senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar-dasar keimanan dengan mempergunakan argumen-argumen filosofis.

Di antara tokoh-tokoh ulama ilmu kalam adalah: Washil bin Atha’, Abu Huzail Al-Jubba’i, dan Al-Nazham dari kelompok Mu’tazilah, Hasan Basri, Abu Hasan al-Asy’ari, al-Maturidy, dan Hujjah al-Islam Imam Ghazali dari kelompok Sunni.139

138 Abdul Mun’im Majid, op.cit., h. 177.

Dalam dokumen Sejarah Peradaban Islam id. pdf (Halaman 137-143)