• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI

4.3. Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia

Dari Tabel 4.5, dapat dilihat bahwa untuk perkembangan Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, industri pulp dan kertas menjadi primadona di sektor ini. Tabel 4.5. Perkembangan Produksi Hasil Hutan dan Perkebunan Tahun

2003-2007

Jenis Komoditi Produksi Hasil Hutan dan Perkebunan/ tahun (dalam juta ton) 2003 2004 2005 2006 2007 Pulp 5,19 5,21 5,46 6,23 6,28 Kertas 7,26 7,68 8,20 8,64 8,68 Furniture Kayu 1,55 1,61 1,51 1,46 1,47 Rotan Olahan 0,38 0,39 0,39 0,37 0,37 Wood Working 4,12 4,20 4,78 4,84 4,85 Crumb Rubber 1,78 1,91 1,90 2,17 2,21

Ini dilihat dari jumlah produksi pulp dan kertas yang setiap tahunnya selalu lebih besar dibandingkan dengan jenis komoditi lainnya. Produksi industri pulp dan kertas cenderung terus mengalami peningkatan. Untuk industri pulp, pada tahun 2003, jumlah produksinya sebesar 5,19 juta ton naik menjadi 6,23 juta ton dan 6,28 juta ton pada tahun 2006 dan 2007. Jumlah produksi untuk industri kertas juga mengalami peningkatan selama periode yang sama, yaitu dari 7,26 juta ton naik menjadi 8,64 juta ton dan 8,68 juta ton pada tahun 2006 dan 2007.

Tabel 4.6. Perkembangan Kapasitas Terpasang Hasil Hutan dan Perkebunan Tahun 2003-2007

Jenis Komoditi Kapasitas Terpasang Hasil Hutan dan Perkebunan/ tahun (dalam juta ton)

2003 2004 2005 2006 2007 Pulp 6,29 6,29 6,45 6,70 6,70 Kertas 10,04 10,04 10,05 10,29 10,36 Furniture Kayu 2,14 2,14 2,21 2,22 2,22 Rotan Olahan 0,54 0,55 0,55 0,55 0,55 Wood Working 8,55 8,57 8,59 8,61 8,61 Crumb Rubber 1,65 2,06 2,25 2,47 2,47

Sumber : Departemen Perindustrian, 2009

Kapasitas terpasang industri pulp dan kertas juga cenderung terus mengalami peningkatan. Untuk industri pulp, pada tahun 2003, kapasitas terpasangnya sebesar 6,29 juta ton naik menjadi 6,45 juta ton dan 6,70 juta ton pada tahun 2005 dan 2007. Kapasitas terpasang untuk industri kertas juga mengalami peningkatan selama periode yang sama, yaitu dari 10,04 juta ton naik menjadi 10,29 juta ton dan 10,36 juta ton pada tahun 2006 dan 2007. Secara rinci perkembangan peningkatan kapasitas terpasang pulp dan kertas selama periode 2003-2007 dapat dilihat pada Tabel 4.6. Jumlah produksi dan kapasitas terpasang industri pulp dan kertas yang besar ini disebabkan Indonesia mempunyai bahan

baku yang cukup besar, serta biaya tenaga kerja dan energi yang dimiliki Indonesia relatif lebih murah dibandingkan negara-negara produsen lainnya.

4.4. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia

Dalam rangka meningkatkan peranan industri pulp dan kertas untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun tujuan ekspor, pemerintah mengambil kebijaksanaan sebagai berikut (Gloria, 1997) :

a. Kebijakan investasi

Industri pulp dan kertas secara umum masih terbuka untuk investasi baru, kecuali industri pulp yang menggunakan sulfit dalam proses produksinya. Pemerintah memberikan keistimewaan kepada industri ini mengingat peranan kertas yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Keistimewaan yang diberikan tersebut tertuang dalam Paket Deregulasi 23 Mei 1995, yang isinya antara lain tidak dilarang membuka proyek perluasan maupun proyek investasi baru bagi perusahaan-perusahaan yang dinilai mampu mengelola hasil hutan untuk keperluan industri pulp dan kertas melalui program Hutan Tanaman Industri (HTI). Kesempatan investasi tersebut terbuka, baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri. Dengan adanya kebijakan ini maka minat para investor dalam negeri maupun luar negeri untuk melakukan investasi semakin meningkat, termasuk untuk perluasan usaha.

b. Kebijakan Ijin Membuka Industri

Berdasarkan Paket Deregulasi 23 Mei 1995 pemerintah melakukan penyempurnaan perijinan industri meliputi jenis perijinan dan kemudahan

memperoleh ijin usaha dan perluasan industri. Dalam ketentuan tersebut, industri yang melakukan proses produksi yang tidak membahayakan lingkungan dan tidak menggunakan sumber daya alam secara berlebihan akan langsung diberikan ijin usaha tanpa perlu tahap persetujuan prinsip.

Khusus untuk pulp, pemerintah mengharuskan agar para investor memperhatikan kelestarian pasokan bahan baku serta kepedulian terhadap lingkungan hidup, dengan cara melakukan proses produksi yang tidak membahayakan dan menyertakan program hutan tanaman industri.

Selain memberikan ijin usaha industri dan perluasan perusahaan, pemerintah juga memberikan kemudahan melalui insentif kepada perusahaan yang melakukan restrukturisasi. Perusahaan-perusahaan yang melakukan penambahan investasi untuk restrukturisasi diberi kemudahan memperoleh ijin, jika menyediakan sekurang-kurangnya 30 persen dari besarnya investasi peralatan dan mesin yang tercantum dalam pengajuan ijin usaha industri. Kemudahan lain yang diberikan adalah keringanan bea masuk dan bea masuk tambahan lain. Besarnya keringanan bea masuk tersebut dapat mencapai 100 persen, sehingga bea masuk produk perusahaan tersebut menjadi 0 persen untuk impor mesin dan peralatan, bahan baku dan bahan penolong.

c. Standarisasi Produk

Pada akhir tahun 1995 pemerintah menetapkan kebijakan baru di sektor industri dengan tujuan meningkatkan efisiensi biaya dan daya saing produk industri dalam negeri. Berdasarkan Paket Deregulasi 23 Mei 1995, pemerintah menetapkan bea masuk bagi semua komoditas termasuk impor pulp dan kertas.

Khusus untuk kertas, walaupun industri ini merupakan industri tertua di Indonesia, akan tetapi standarisasi dari produk kertas dan prosesnya baru dikeluarkan secara resmi mulai tahun 1980-an. Dengan Paket Deregulasi 23 Mei 1995, standarisasi produk dan prosesnya disempurnakan dan ketentuan- ketentuannya yang berkaitan dengan uji mutu dan prosesnya dirangkum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) bidang industri.

d. Kebijakan Ekolabeling

Ekolabeling dapat didefinisikan sebagai sebuah label pada sebuah mata dagang yang menerangkan bahwa produksi mata dagang tersebut memenuhi persyaratan tidak merusak lingkungan. Saat ini kebijakan mengenai ekolabel banyak diberlakukan di negara-negara maju seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Jerman, Jepang, Singapura, Korea dan beberapa negara lainnya. Dengan adanya ekolabel ini, maka banyak negara mengharuskan komoditas yang diperdagangkan memiliki label ramah lingkungan.

Dengan adanya masalah ekolabel ini, maka pemerintah Indonesia bersikap proaktif dengan mendirikan lembaga sertifikat independen LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) yang khusus mengembangkan ekolabel bidang kehutanan, sedangkan ekolabel bidang industri diserahkan kepada Direktorat Pengembangan Teknik, Bapedal.

Dalam rangka mengembangkan ekolabel bidang industri, Bapedal melakukan langkah-langkah : (1) mengharuskan pabrik pulp yang beroperasi sesudah tahun 1990 untuk menggunakan minimal ECF (Elementally Clorine Free) untuk proses pemutihannya, (2) menghimbau pabrik-pabrik pulp yang beroperasi

sebelum tahun 1990 yang masih menggunakan chlorine agar secara bertahap merubahnya dengan ECF/ TFC, (3) melarang industri menggunakan proses sulfit, melarang penggunaan proses merkuri pada CAP (Chlor Alkali Plant), mempromosikan penggunaan proses alkalin yang lebih ramah lingkungan untuk proses pembuatan kertas dan mempromosikan penerapan cleaner production pada industri pulp dan kertas.

Dokumen terkait