• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Islam Hanafi di Pulau Jawa

BAB IV HASIL PENELITIAN

C. Peranan Laksamana Cheng Ho dalam Penyebaran Agama Islam d

2. Perkembangan Islam Hanafi di Pulau Jawa

Perutusan pertama kaisar Yung-lo ke Asia Tenggara untuk melakukan pemadikan dikirim pada tahun 1403, di bawah pimpinan Laksamana Yin Ching, yang disertai juru bahasa Ma Huan singgah di Malaka. Perutusan selanjutnya dari tahun 1405 sampai 1431 dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho, disertai juru bahasa Ma Huan dan Feh Tsin. Pada tahun 1407, kota Palembang minta bantuan kepada armada Tiongkok yang ada di Asia Tenggara untuk menindas perampok- perampok Tionghoa Hokkian yang mengganggu kententraman. Kepala perampok Chen Tsu Ji berhasil diringkus dan dibawa ke Peking. Sejak saat itu Laksamana Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam di kota Palembang, yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami oleh orang-prang Tionghoa. Selain di Palembang, dibentuk pula masyarakat Tionghoa Islam di Sambas. Itulah masyarakat Tionghoa Islam pertama di Nusantara. Tahun-tahun berikutnya, menyusul pembentukan masyarakat Islam Tionghoa di berbagai tempat di tepi pulau Jawa, semenanjung, dan Gilipina.

Pembentukan masyarakat Tionghoa di berbagai tempat di pantai itu penting sekali artinya untuk hubungan dagang antara Tiongkok dengan negara- negara yang bersangkutan, dan penyaluran pengaruh Tiongkok. Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik, laksamana Cheng Ho banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari Yunan. Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan sembahyang bagi orang Islam di berbagai tempat, didirikan masjid. Seuai dengan ajaran madzhab Hanafi,

73

khotbah, fardhu, dan kifayah dilakukan dalam bahasa Tionghoa, tidak dalam bahasa Arab (Slamet Mulyana, 2005: 170-171).

Cheng Ho yang diserahi perencanaan dan pelaksanaan hubungan dagang dan politik di Asia Tenggara, dibantu oleh Bong Tak Keng. Markas besarnya di Campa. Bong Tak Keng dikuasakan untuk melaksanakan gagasan yang telah digariskan oleh laksamana Cheng Ho. Pengangkatan Bong Tak Keng sebagai koordinator masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara berlangsung pada tahun 1419. Masyarakat Tionghoa di kota-kota pelabuhan yang penting dipimpin oleh seorang kapten Cina. Kapten Cina itulah yang sebarnya bertanggung jawab atas kesuburan masyarakat yang dipimpinnya, demi kelancaran hubungan dagang dan politik. Oleh karena itu, untuk jabatan Kapten Cina itu dipilihkan orang yang kuat. Untuk kota Palembang, yang dalam abad ke-15 termasuk wilayah Majapahit, diangkat Swan Liong alias Arya Damar, putra raja Majapahit Wikramawardhana atau Hyang Wisesa, yang lahir dari putrid Cina/ Ni Endang Sasmitaputra. Swan Liong adalah Tionghoa peranakan dari Mojokerto.

Kota pelabuhan Tuban, pintu masuk dari laut ke pusat Majapahit, merupakan tempat yang sangat penting. Kapten Cina yang ditempatkan di situ harus pandai melayani raja Majapahit. Pada tahun 1423, diangkatlah Gang Eng Tju (Gan Eng Chu) oleh Bong Tak Keng bekas Kapten Cina dari Manila. Demikian pandainya melayani raja Majapahit, sehingga ia mendapat gelar arya dari rani Suhita.

Sejak tahun 1424, diadakan perwakilan khusus dari Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit. Duta Tiongkok yang pertama di kerajaan Majapahit ialah Ma Hong Fu. Ma Hong Fu tinggal di kota Majapahit sampai tahun 1449. pada waktu itu, kekuasaan Majapahit sudah sangan goyah akibat perang saudara tentang perebutan tahta kerajaan, sebagai lanjutan sengketa antara Wikramawardhana dengan Bre Wirabhumi.

Dari tahun 1447 sampai 1451, di muara sungai Brantas Kiri (Kali Porong), ditempatkan kapten Cina Bong Swi Hoo atau Raden Rahmat. Mulai tahun 1451 sampai 1447, Bong Swi Hoo pindah ke muara sungai Brantas Kanan (Sungai Emas), yang juga disebut Ngampel Denta. Bong Swi Hoo yang

74

meninggal pada akhir tahun 1478 dikenal sebagai Sunan Ngampel. Demikianlah kota-kota pelabuhan di pantai utara yang penting telah dikuasai oleh kapten- kapten Cina yang kuat, beserta masyarakat Tionghoa-nya yang telah dihimpun dan diatur.

Kapten Cina Ngampel Bong Swi Hoo alias Sunan Ngampel adalah cucu Bong Tak Keng, orang yang paling berkuasa di Campa, koordinator masyarakat Tionghoa di seluruh Asia Tenggara. Bong Swi Hoo datang di Indonesia dengan maksud untuk diperbantukan oleh Bong Tak Keng pada Swan Liong di Palembang, kemudian dipindahkan ke Tuban. Dalam Serat Kanda, dikatakan bahwa Sayid Rahmat, putra Mustakim, baru saja pulang dari Makah. Setelah mendengar dari ibunya bahwa mamaknya, yakni putrid Dwarawati dari Campa, telah berangkat ke Majapaht dan menjadi istri raja Majapahit, ia bermaksud untuk mengunjungi putrid Dwarawati di Majaphit.

Dari pernyataan diatas sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan raja Campa ialah kapten Cina Bong Tak Keng, yang dikuasakan oleh Cheng Ho untuk mengurus masyarakat Tionghoa di seluruh Asia Tenggara. Bong Swi Hoo adalah orang yang paling berkuasa di Campa. Bong Swi Hoo, sebagaimuslim berasal dari Campa, mengsnut aliran Hanafi, tidak menganut aliran Syafi’i. justru ajaran Bong Swi Hoo ini yang kemudian dilanjutkan di Demak oleh Raden Patah atau Pangeran Jin Bun. Negara Islam Demak adalah Negara Islam aliran Hanafi

Sepeninggal Yung-lo dan Hsuan Tsung (1435), kegemilangan dinasti Ming sudah mulai pudar. Masyarakat Tionghoa yang dibentuk di rantau menurut rencana Cheng Ho mengalami kemrosotan. Bagi Bong Swi Hoo, tidak ada lagi harapan untuk membina apalagi mengembangkannya. Oleh karena itu, ia segea berputar haluan. Ia mulai membentuk masyarakat Islam baru di antara orang- orang asli (Jawa). Ia pindah dari Bangil ke Ngampel. Ngampel menjadi pusat agama Islam aliran Hanafi di pulau Jawa, mempersipkan terbentuknya negara Islam Madzhab Hanafi di Demak. Demikianlah pengislaman pulau Jawa tidak dilakukan melalui pedagang dari Malaka atau Pasai. Agama Islam aliran Hanafi di Jawa berasal dari Campa atau Yunan, di bawa oleh orang-orang Tionghoa yang ditugaskan oleh kaisar Yung-lo untuk mengadakan hubungan dagang dan politik

75

di Asia Tenggara di bawah pimpinan laksamana Cheng Ho (Slamet Muljana,2005: 173).

Dokumen terkait