• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN UMUM

4.6. Perkembangan Kebijakan Pajak Ekspor CPO Indonesia

Pemerintah melakukan pengendalian ekspor CPO melalui instrumen pengenaan pajak pada dasarnya adalah bertujuan untuk menjamin terjaganya keseimbangan antara ketersediaan kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan kebutuhan devisa ekspor. Untuk menjalankan tujuan tersebut, pemerintah pada tahun 1984 melalui Keputusan Menteri Keuangan No.47/KMK/001/84, tentang pengenaan pajak ekspor CPO telah menetapakan persentasi tarif pajak ekspor CPO dan produk sejenisnya sebesar 37,18%. Dua tahun setelah peraturan ini dibuat, yaitu tanggal 20 Juni 1986 pemerintah melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.001/86, tentang pembebasan sistem tataniaga perdagangan minyak sawit. Kebijakan ini dibuat karena pada saat itu terjadi kelesuan ekspor, akibat pengenaan pajak ekspor CPO sebelumnya (Agustian dan Hadi, 2003).

Lebih lanjut Agustin dan Hadi menjelaskan bahwa, keberhasilan ekspor CPO dengan pembebasan sistem tataniaga serta didukung oleh naiknya harga CPO di pasaran internasional kembali mengakibatkan terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri sebagai bahan baku, terutama untuk industri minyak goreng. Untuk mengatasi kelangkaan tersebut dan mengerem ekspor CPO, pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor CPO melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439/ KMK.017/1994, tentang penetapan pajak ekspor CPO pada tanggal 31 Agustus 1994 dan mulai berlaku pada bulan September 1994. Kebijakan ini diharapkan akan menjaga tersedianya pasokan CPO bagi industri hilir Indonesia (minyak goreng) yang selanjutnya akan membuat harga minyak goreng lebih stabil.

Pada saat krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997 dimana nilai tukar Rupiah terhadap Dollar melemah, pihak eksportir (swasta) banyak diuntungkan dari kegiatan ekspor. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat karena tingginya harga kebutuhan masyarakat, termasuk minyak goreng. Hal ini mendorong pemerintah menaikan pajak ekspor CPO sebesar 60 persen melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334/KMK.07/1998, tentang penetapan pajak ekspor yang tinggi dan pelarangan ekspor CPO bagi Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) pada tanggal 7 Juli 1998, untuk menjaga stabilitas harga CPO dalam negeri.

Pajak ekspor CPO mengalami penurunan yang signifikan, seiring dengan mulai berangsur membaiknya krisis ekonomi dan harga komoditi termasuk minyak goreng relatif stabil. Penurunan pajak ekspor CPO diawali dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/1999, tentang penurunan pajak ekspor CPO Indonesia pada tanggal 29 Januari 1999 sampai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.071/2001, tentang penurunan pajak ekspor CPO yang mulai ditetapkan pada tahun 2001. Melalui kebijakan yang telah ditetapkan tersebut, pajak ekspor CPO Indonesia telah turun dari 60 persen menjadi tiga persen.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 10 September 2005 telah menetapkan suatu kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2005, tentang Pungutan Ekspor Atas Barang Ekspor Tertentu. Kebijakan ini telah menetapkan besar pajak ekspor atas barang ekspor tertentu dan penentuan harga patokan ekspor (HPE) CPO berdasarkan harga referensi CPO dunia. Menteri Keuangan membuat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005, tentang

Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor untuk menindaklanjuti Peraturan Pemerintah tersebut. Peraturan Menteri Keuangan tersebut dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagai berikut:

 Nomor 130/PMK.010/2005, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan pertama Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Pasal 5 dalam PMK Nomor 92/PMK.02/2005 mengenai barang ekspor yang dikenakan Pungutan Ekspor berlaku tataniaga ekspor, dinyatakan tidak berlaku.

b. Penyesuaian besaran tarif Pungutan Ekspor CPO dari 3% menjadi 1.5%.

c. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 10 Oktober 2005.

 Nomor 30/PMK.02/2006, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kedua Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah lampiran III (kayu) mengenai pengenaan tarif Pungutan Ekspor.

 Nomor 51/PMK.02/2006, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan ketiga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah Lampiran II (Rotan) dan Lampiran III (Kayu). b. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juli 2006.

 Nomor 88/PMK.010/2006, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan keempat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah ketentuan pasal 5 menjadi: Terhadap barang ekspor yang menggunakan barang dan bahan impor, dikecualikan dari pengenaan Pungutan Ekspor.

b. Peraturan ini berlaku sejak 10 Oktober 2006.

 Nomor 61/PMK.011/2007, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kelima Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah besar tarif Pungutan Ekspor Lampiran I (Kelapa Sawit) ; CPO menjadi 6,5%.

 Nomor 83/PMK.02/2007, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan keenam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Menghapus Pasal 3 ayat 2 dalam peraturan sebelumnya. b. Peraturan ini berlaku sejak 30 Juli 2007.

 Nomor 94/PMK.011/2007, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan ketujuh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Menetapkan Tarif Pungutan Ekspor secara progresif berdasarkan harga referensi dunia.

b. Peraturan ini berlaku sejak 3 September 2007.

 Nomor 09/PMK.011/2008, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kedelapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah besaran harga referensi untuk penentuan besar Tarif Pungutan Ekspor.

 Nomor 72/PMK.011/2008, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kesembilan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah Lampiran III (kayu).

b. Peraturan ini berlaku sejak 11 Mei 2008.

 Nomor 159/PMK.011/2008, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kesepuluh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah besaran harga referensi untuk penetapan besar tarif Pungutan Ekspor.

b. Peraturan ini berlaku sejak 1 November 2008.

Pada tanggal 17 Desember 2008, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008, tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, sebagai tanggapan dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008, tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor. Peraturan Menteri Keuangan ini dibuat untuk menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.92/PMK.02/2005, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besarnya Tarif Pungutan Ekspor sebelumnya. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Peraturan mengenai penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar kembali mengalami perubahan, dengan dikeluarkannya

Peraturan Menteri keuangan Nomor 67/PMK.011/2010, tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar pada tanggal 22 Maret 2010. Peraturan ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Dalam peraturan tersebut komoditas yang dikenakan bea keluar adalah rotan, kulit kayu, kelapa sawit dan turunannya, serta biji kakao. Besaran tarif Bea Keluar atas barang ekspor, berupa CPO adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Tarif Bea Keluar Menurut PMK No. 67 Tahun 2010 Harga Referensi

(US$/ton)

Tarif Bea Keluar (%) Hingga 700 0 701 – 750 1,5 751 – 800 3 801 – 850 4,5 851- 900 6 901-950 7,5 951- 1000 10 1001- 1050 12,5 1051-1100 15 1101-1150 17,5 1051-1200 20 1021-1250 22,5 lebih dari 1251 25

Sumber: Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2010 (Diolah).

Harga referensi kelapa sawit dan turunannya adalah harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam. Adapun perhitungan Bea Keluar (ad-volarem) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Patokan Ekspor x Nilai Tukar

Pengaruh dikenakannya tarif ekspor terhadap harga, permintaan dan penawaran domestik apabila dibandingkan dengan tidak dikenakannya tarif ekspor dapat dijelaskan pada Gambar 4.7. Diasumsikan barang yang

diperdagangkan adalah komoditas CPO. Pada saat tidak dikenakan tarif ekspor, harga ekspor CPO akan sama dengan permintaan domestik, yaitu sebesar P0.

Dengan harga tersebut, jumlah komoditas yang ditawarkan sebanyak Q2 dan

jumlah yang diminta adalah Q1, sehingga banyaknya yang diekspor sebesar Q1Q2.

Apabila terjadi kenaikan tarif ekspor, maka akan menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kiri atas menjadi Se1. Pada kondisi tersebut harga ekspor

adalah sebesar Pe1, tetapi yang diterima eksportir adalah P1, yang lebih rendah

dari P0. Akibatnya jumlah produk CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4

sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik adalah sebesar Q3. Hal ini

berakibat jumlah yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2).

Penurunan harga CPO yang diterima eksportir, berarti juga penurunan harga CPO yang diterima produsen domestik. Apabila harga CPO yang diterima produsen domestik menurun, maka akan mengakibatkan harga pembelian bahan baku CPO (TBS kelapa sawit) tersebut juga akan menurun dan akan berpengaruh terhadap pendapatan petani kelapa sawit.

Gambar 4.7 Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor CPO Terhadap Industri Domestik Sd Dd Q1 Q3 Q4 Q 2 Q P P0 P1 P Pe1 De Se1 Se Q Industri Domestik Ekspor

Qe Qe1

Dokumen terkait