• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia ke India (Periode Analisis Tahun 1989-2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia ke India (Periode Analisis Tahun 1989-2010)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PENAWARAN EKSPOR CPO INDONESIA KE INDIA

(PERIODE ANALISIS TAHUN 1989-2010)

OLEH

DADY NURAHMAT H14070072

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

DADY NURAHMAT, Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke India (Periode Analisis Tahun 1989 – 2010). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI ALEXANDI.

Crude Palm Oil (CPO) merupakan hasil produk olahan dari salah satu komoditas subsektor perkebunan, yakni kelapa sawit yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya CPO bagi perekonomian Indonesia telah menyebabkan pengembangan CPO terus dilakukan, sehingga hal ini telah menyebabkan Indonesia sejak tahun 2006 berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia, menggantikan Malaysia.

Posisi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, serta tingginya konsumsi CPO dunia telah mendorong perkembangan ekspor CPO Indonesia ke dunia. Adapun perkembangan ekspor CPO Indonesia ke dunia dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2010 telah meningkat lebih dari 14 kali lipat, yakni dari sekitar 661 ribu ton meningkat menjadi 9,45 juta ton.

Salah satu negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia saat ini adalah negara India (47% dari total ekspor CPO Indonesia). Volume ekspor CPO Indonesia ke India dalam lima tahun terakhir telah meningkat dari 1,89 juta ton menjadi 4,45 juta ton. Mengingat pentingnya komoditas CPO bagi perekonomian Indonesia dan diantara negara-negara tujuan ekspor CPO Indonesia, ekspor ke India merupakan yang terbesar dibandingkan negara-negara lainnya, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan oleh beberapa faktor terkait terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia ke India. Faktor-faktor tersebut antara lain volume produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia ke India, kurs riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan tarif ekspor CPO Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan ekspor CPO ke India dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia ke India pada tahun 1989 sampai dengan 2010.

Penelitian ini menggunakan model regresi doublelog dan metode untuk menduga parameternya adalah metode Ordinary Least Square (OLS). Dari analisis yang dilakukan didapatkan nilai R2 sebesar 89,3% yang berarti variabel independen seperti volume produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia ke India, kurs riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan tarif ekspor CPO Indonesia dapat menjelaskan volume ekspor CPO Indonesia ke India sebesar 89,3% dan sisanya sebesar 10,7% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan dalam model penelitian ini.

(3)

Indonesia ke India memiliki hubungan negatif dengan volume ekspor CPO Indonesia ke India. Hal ini disebabkan relatif rendahnya kualitas CPO Indonesia. Sehingga menyebabkan posisi CPO Indonesia di dunia menjadi lemah dibandingkan negara pesaingnya, seperti Malaysia.

(4)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PENAWARAN EKSPOR CPO INDONESIA KE INDIA

(PERIODE ANALISIS TAHUN 1989

2010)

Oleh:

DADY NURAHMAT H14070072

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Faktor -faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor CPO Indonesia ke India (Periode Analisis Tahun 1989-2010)

Nama Mahasiswa : Dady Nurahmat

Nomor Registrasi Pokok : H14070072

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E. NIP. 19730124 200710 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP.19641022 198903 1 003

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI PENULIS MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

PENAWARAN EKSPOR CPO INDONESIA KE INDIA (PERIODE ANALISIS 1989-2010)” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA PENULIS SENDIRI. SKRIPSI INI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAUPUN DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2011

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan dalam proses penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor Yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke India (Periode Analisis 1989-2010)” menggambarkan bagaimana perkembangan ekspor CPO Indonesia ke India dan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia ke India.

Penulis pun tidak lupa menyampaikan terimakasih kepada:

1. Drs. Achmad Jatodawa S. dan Yati Rustiati, selaku orang tua penulis dan Fitri Nurdiyani, SP, yang telah memberikan segala yang penulis perlukan selama proses belajar dan mencurahkan motivasi, kasih sayang, serta doa kepada penulis.

2. Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E, atas saran-saran, bimbingan, kritikan, serta kesabaran yang telah diberikan kepada peneliti selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

3. Alla Asmara, M.Si., selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Tony Irawan, M.App.Ec., selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan untuk penulisan skripsi yang lebih baik.

5. Teman-teman satu bimbingan (Tity, Andhika, dan Ikhwan), terima kasih atas semangat yang telah diberikan.

6. Departemen Ilmu Ekonomi, atas kerjasama dan bantuannya selama ini.

7. Rekan-rekan Ilmu Ekonomi (IE) 44, atas persahabatan dan pertemanannya, semoga tali silaturahmi kita tetap terjalin erat.

(8)

9. Ibu Murdwiastuti dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian Republik Indonesia atas kemudahan dan seluruh informasi yang telah diberikan.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon, 8 Desember 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Drs. Achmad Jatodawa Situmorang dan Yati Rustiati. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Sadagori I Cirebon pada tahun 1995. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan menegahnya di SMPN 5 Cirebon. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 3 Cirebon dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis berhasil diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi intrakampus seperti HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan) pada periode kepengurusan 2009-2010. Selain itu penulis pun aktif di berbagai kepanitian seperti Hipotex-R ke-5 tahun 2008 sebagai staff di divisi logistik dan transportasi, serta Hipotex-R ke-6 pada tahun 2009 sebagai ketua divisi logistik dan transportasi dan terakhir adalah kepanitiaan Economic Contest

(10)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 7

2.1. Teori Penawaran ... 7

(11)

4.2. Sejarah Perdagangan Kelapa Sawit ... 34

4.2.1. Sejarah Singkat Perdagangan Kelapa Sawit Dunia ... 34

4.2.2. Sejarah Singkat Perdagangan Kelapa Sawit Indonesia ... 35

4.3. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit ... 37

4.4. Perkembangan Produksi CPO Indonesia ... 38

4.5. Perkembangan Harga CPO Dunia ... 40

4.6. Perkembangan Kebijakan Pajak Ekspor CPO Indonesia ... 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

5.1. Analisa Deskriptif ... 50

5.1.1. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia ke India ... 50

5.1.2. Hambatan Ekspor CPO Indonesia ke India ... 53

5.2. Analisa Kuantitatif ... 55

5.2.1. Analisis Faktor-faktor Yang Memengaruhi Ekspor CPO Indonesia Ke India ... 55

5.2.2. Hasil Pengujian Asumsi Klasik ... 56

5.2.3. Hasil Pengujian Parameter Model ... 60

5.3. Intrepetasi Hasil Regresi ... 63

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1. Kesimpulan ... 67

6.2. Saran ... 68

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1 Perkembangan Nilai Ekspor Indonesia 2004-2008 ... 1

1.2 Negara-negara Penghasil CPO di Dunia 2003-2009 ... 3

1.3 Perkembangan Volume Ekspor CPO Indonesia (Ton) Menurut Negara Tujuan Tahun 2006-2010 ... 4

3.1 Penentuan Ada Tidaknya Autokorelasi dengan Uji Durbin-Watson . 26 4.5 Tarif Bea Keluar Menurut PMK No.67 Tahun 2010 ... 48

5.1 Ekspor CPO Indonesia ke India Tahun 1989-2010 ... 51

5.2 Hasil Uji Multikolinearitas ... 58

5.3 Hasil Pengujian Ada Tidaknya Autokorelasi dengan Uji Durbin-Watson ... 58

5.4 Hasil Pengujian Uji White ... 59

5.5 Hasil Uji F (ANOVA) ... 60

5.6 Hasil Uji-t ... 61

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Pertanian Indonesia,

2002 – 2006 ... 2

2.1 Kurva Perdagangan Internasional ... 11

2.2 Kerangka Pemikiran ... 20

4.1 Pohon Industri Kelapa Sawit ... 33

4.2 Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia, 1989 – 2010 ... 37

4.3 Proporsi Kepemilikan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2010. 38 4.4 Perkembangan Produksi CPO Indonesia, 1989 – 2010 ... 39

4.5 Produksi CPO Indonesia per Provinsi, 2009 ... 40

4.6 Perkembangan Harga CPO Dunia (CIF Rotterdam), 1989 – 2010 ... 41

4.7 Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor CPO Terhadap Industri Domestik ... 49

5.1 Proporsi Ekspor CPO Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2010 ... 50

5.2 Perkembangan Ekspor CPO Indonesia ke India, 1989 – 2010 ... 52

5.3 Pergeseran Tujuan Ekspor CPO Indonesia, 1989 – 2010 ... 53

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Data Penelitian ... 72

2 Data Penelitian yang Sudah di Logaritmakan ... 73

3 Hasil Regresi ... 74

4 Uji Asumsi Homoskedastisitas ... 75

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau yang membentang sepanjang 5.120 km dari timur ke barat dan 1.760 km dari utara ke selatan1. Sebagai Negara yang berada di sekitar garis khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropis sehingga mempunyai keanekaragaman sumberdaya alam, berupa sumberdaya migas dan sumberdaya nonmigas. Kedua sumberdaya tersebut apabila dapat dimanfaatkan dengan baik akan bermanfaat bagi pemasukan devisa negara.

Tabel 1.1 Perkembangan Nilai Ekspor Indonesia 2004-2008

Tahun Nilai FOB (Juta US$)

Migas Nonmigas Total Ekspor

2004 56.862,5 175.454,9 232.317,4

2005 51.927,4 206.804,1 258.731,5

2006 48.291,5 279.482,0 327.773,5

2007 45.710,9 297.062,6 342.773,5

2008 44.800,9 310.253,1 355.054,0

Sumber: BPS RI, Analisa Komoditi Ekspor 2002-2008 (Diolah).

Saat ini perkembangan nilai ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor nonmigas (Tabel 1.1). Hal ini dapat dilihat dari perkembangan nilai ekspor Indonesia, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan nilai ekspor nonmigas, yaitu pada tahun 2004 bernilai US$ 175,46 milyar menjadi US$ 310,25 milyar pada tahun 2008. Hal ini justru berbanding terbalik dengan nilai ekspor migas yang cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya, yakni pada

1

(16)

tahun 2004 yang mencapai nilai US$ 56,9 milyar turun menjadi US$ 44,80 milyar pada tahun 2008.

Ekspor sektor pertanian merupakan salah satu bagian penting dari komposisi ekspor nonmigas. Total nilai ekspor sektor pertanian dalam lima tahun terakhir menunjukan trend peningkatan (Tabel 1.1). Adapun pada tahun 2002 nilai ekspor komoditas pertanian adalah sebesar US$ 5,4 juta, naik menjadi US$ 12,8 juta tahun 2006.

Sumber: Ditjen PPHP Kementan RI, 2006 (Diolah).

Berdasarkan pada Gambar 1.1 diatas dapat terlihat pula bahwa, subsektor perkebunan sangat potensial untuk dikembangkan dan dijadikan andalan bagi Indonesia. Hal ini disebabkan perkembangan nilai ekspor subsektor perkebunan selalu meningkat setiap tahunnya, sedangkan perkembangan nilai ekspor subsektor lainnya cenderung statis dan relatif kecil.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang berkontribusi penting terhadap ekspor subsektor perkebunan Indonesia. Pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO), selain diolah

(17)

menjadi Other Palm Oil, Palm Kernel Oil (PKO), dan Other palm Kernel Oil

(Statistik Kelapa Sawit Indonesia, 2009). Pengembangan CPO menurut Balitbang Kementrian Pertanian (2007) telah memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani kelapa sawit (pendapatan pada tahun 2010 diproyeksikan meningkat menjadi sekitar US$ 2.000-2.500/KK/tahun dari sekitar US$ 1.246-1.650/KK/tahun di tahun 2005), sumber pendapatan dan devisa negara dari ekspor (US$ 3,76 milyar pada tahun 2005 meningkat menjadi US$ 7,64 milyar pada tahun 2010), serta penyedia lapangan pekerjaan (sekitar empat juta tenaga kerja pada tahun 2010).

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia melebihi Malaysia. Adapun pada tahun 2009, besar proporsi produksi CPO Indonesia terhadap dunia adalah sebesar 46,3% dimana total produksi Indonesia sebesar 20,9 juta ton. Sedangkan Malaysia hanya bisa memproduksi sebesar 17,62 juta ton atau sebesar 39%.

Tabel 1.2 Negara-Negara Penghasil CPO di Dunia 2003-2009

Negara Volume (000 Ton)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indonesia 10,530 12,350 14,070 16,050 16,800 19,200 20,900 Malaysia 13,355 13,976 14,962 15,881 15,823 17,735 17,620 Thailand 640 668 680 860 1,020 1,150 13,010

Nigeria 785 790 800 815 835 830 860

Colombi

a 527 632 661 713 780 778 765

Ecuador 247 263 319 345 385 415 448

Other 2,274 2,493 2,559 2,478 2,905 3,016 3,216 Total 28,111 30,909 33,732 37,142 38,163 43,124 45,119

Sumber: BPS RI, Statistik Kelapa Sawit 2009.

(18)

Selain itu, tingginya konsumsi CPO dunia juga ikut mendorong perkembangan ekspor CPO Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, yakni pada tahun 2004 sampai dengan 2008, konsumsi CPO dunia telah meningkat dari sekitar 30,5 juta ton menjadi 42,5 juta ton.

Dari seluruh total ekspor CPO Indonesia ke dunia, India merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia. Perkembangan volume ekspor CPO Indonesia ke India dalam lima tahun terakhir selalu meningkat dan merupakan yang terbesar diantara negara-negara tujuan ekspor Indonesia lainnya. Adapun pada tahun 2010, volume ekspor CPO Indonesia ke India adalah sebesar 4,45 juta ton (47% dari total ekspor CPO Indonesia ke dunia).

Tabel 1.3 Perkembangan Volume Ekspor CPO Indonesia (Ton) Menurut Negara Tujuan Tahun 2006 – 2010

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

India 1,893,813 2,742,757 3,871,491 4,402,353 4,449,537 Netherland 834,256 569,871 968,205 1,057,227 948,461 Malaysia 469,106 265,180 574,530 1,053,516 1,318,387 Italy 87,861 140,770 331,236 628,521 623,810 Singapura 489,370 490,676 504,513 606,727 573,156 Other 1,424,881 1,492,033 1,654,203 1,818,402 1,530,819 Total 5,199,287 5,701,286 7,904,179 9,566,746 9,444,170

Sumber: UN Comtrade, 2011 (Diolah).

1.2. Perumusan Masalah

(19)

berdampak pada perluasan kesempatan kerja dan berpengaruh terhadap penerimaan devisa.

Mengingat potensi yang dimiliki India sebagai konsumen utama ekspor CPO Indonesia, yakni negara India merupakan negara pengimpor CPO terbesar Indonesia, jumlah penduduk India yang besar sekitar 1,15 miliar jiwa, serta tingkat konsumsi CPO India tinggi tetapi tidak dapat dipenuhi oleh produksi domestiknya dan pentingnya komoditas CPO ini dalam pembangunan perekonomian Indonesia, maka akan sangat relevan apabila dilakukan suatu analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penawaran ekspor CPO dari Indonesia ke India. Adapun permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini akan dirinci sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan ekspor CPO Indonesia ke India?

2. Faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia ke India?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perkembangan ekspor CPO Indonesia ke India

(20)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dalam penelitian ini diharapkan berguna:

1. Sebagai proses pembelajaran peneliti dalam meningkatkan kemampuan dalam hal mengamati, mengumpulkan, dan menganalisis data serta dapat berlatih untuk berpikir ilmiah dalam memecahkan suatu masalah.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan yang baik guna meningkatkan ekspor CPO Indonesia. 3. Sebagai bahan pertimbangan, rujukan, referensi serta literatur bagi

penelitian-penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti CPO kedepannya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Teori Penawaran

Penawaran suatu komoditas adalah jumlah komoditas yang bersedia ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar, pada tingkat harga dan waktu tertentu (Putong, 2002). Dalam kasus perdagangan, jumlah komoditi yang bersedia diproduksi dan ditawarkan oleh perusahaan untuk dijual dipengaruhi oleh beberapa variabel penting sebagai berikut, yakni:

 Harga Komoditi Itu Sendiri

Teori ekonomi dasar menyatakan bahwa harga suatu komoditas mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan. Dengan kata lain bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas, maka semakin besar jumlah yang ditawarkan, asumsi ceteris paribus. Hal ini terjadi karena keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan produksi pada suatu komoditas hampir dipastikan meningkat apabila harga komoditas tersebut naik, sementara harga input tetap. Sehingga timbul keinginan dari produsen untuk memproduksi lebih banyak komoditas yang harganya sedang mengalami peningkatan di pasar, dibandingkan komoditas lainnya.

 Harga Komoditas Alternatif

(22)

komoditas utama. Sedangkan peningkatan harga pada komoditas komplemen akan meningkatkan jumlah penawaran komoditas utamanya.

 Harga Faktor Produksi

Harga faktor produksi adalah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan, maka semakin kecil keuntungan yang didapat. Hal ini mendorong perusahaan untuk mengurangi kapasitas produksinya untuk menekan biaya produksi. Harga faktor produksi memiliki hubungan negatif dengan jumlah yang ditawarkan.

 Pajak dan Subsidi

Pajak merupakan salah satu hambatan perdagangan berupa tarif yang dikenakan kepada produsen ataupun konsumen yang berasal dari pemerintah, dengan tujuan untuk menertibkan kondisi persaingan usaha. Pajak memiliki hubungan negatif dengan penawaran suatu komoditas. Apabila terjadi peningkatan pajak, maka penawaran akan turun. Hal ini berbanding terbalik dengan subsidi, karena merupakan insentif dari pemerintah guna melindungi para konsumen dan produsen.

 Tingkat Teknologi

(23)

 Nilai Tukar (kurs)

Dalam perdagangan internasional, perkonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh keadaan negara lain yang menjadi partner dagangnya. Salah satu indikator untuk melihat hubungan perdagangan antar negara adalah melalui nilai tukar mata uang suatu negara dengan negara lain. Nilai tukar memiliki hubungan negatif dengan penawaran ekspor suatu komoditas. Apabila nilai tukar melemah (depresiasi), maka akan menyebabkan harga suatu komoditas di dalam negeri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga komoditas tersebut di luar negeri. Sehingga hal ini akan mendorong ekspor guna meningkatkan keuntungan yang lebih besar.

2.2. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional merupakan suatu teori yang dapat digunakan untuk mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional, serta keuntungan yang diperoleh dari kegiatan ini. Selain itu, teori perdagangan internasional pun dapat digunakan untuk membantu menjelaskan arah serta komposisi perdagangan antar beberapa negara dan bagaimana efeknya terhadap perekonomian suatu negara (Salvatore, 1997). Perdagangan Internasional tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara, karena merupakan salah satu komponen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan ekspor bersih merupakan faktor utama dalam meningkatkan PDB suatu negara (Oktaviani dan Novianti, 2009).

(24)

(2009) menjelaskan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah sebagai berikut:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale).

Secara teoritis, suatu negara (misal negara 1) akan mengekspor suatu komoditas, sebut saja komoditas tersebut adalah x, ke negara lain (negara 2) apabila harga domestik di negara 1 (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah dibandingkan harga domestik di negara 2 (Gambar 2.1). Kondisi awal di negara 1 misalnya berada dalam kondisi keseimbangan dan harga berada pada P1.

Pada kondisi ini tidak terjadi ekspor dari negara 1. Ketika harga berada pada posisi P2, ceteris paribus, struktur harga yang relatif lebih tinggi ini menyebabkan

terjadinya kelebihan penawaran (excess supply) di negara 1 yaitu sebesar QA’QA’’. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif melimpah, dengan

demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksi ke negara lain.

Sebaliknya di negara 2, pada kondisi harga berada di P2, negara ini terjadi

kekurangan suplai karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand) sebesar QB’QB’’ sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada

keadaan ini negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditi x dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah.

(25)

sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi lebih rendah dari P3.

Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara 1 akan mengekspor komoditi x sebesar BE sedangkan negara 2 akan mengimpor komoditas x tersebut sebesar

B’E’. Pada pasar internasional, besarnya BE akan sama dengan B’E’. Dengan kata

lain, besarnya ekspor suatu komoditas perdagangan akan sama dengan besarnya impor komoditas tersebut.

Gambar 2.1 Kurva Perdagangan Internasional

2.3. Nilai Tukar (Kurs)

(26)

merupakan harga relatif mata uang antar dua negara. Sedangkan nilai tukar riil merupakan harga relatif barang antar dua negara.

Nilai tukar riil dihitung berdasarkan pada nilai tukar nominal dan Indeks Harga Konsumen (IHK) di kedua negara. Hubungan antara nilai tukar riil suatu mata uang dengan nilai tukar nominal, dan indeks harga konsumen (IHK) dapat dirumuskan sebagai berikut:

Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x

... (2.1)

2.4. Tarif Ekspor

Tarif merupakan salah satu bentuk hambatan dalam perdagangan internasional. Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas teritorial. Apabila ditinjau dari aspek asal komoditi, tarif dibedakan menjadi dua macam, yaitu tarif impor, yakni pajak yang dikeluarkan untuk setiap komoditi yang diimpor negara lain dan tarif ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditi yang diekspor (Salvatore, 1997).

Tarif ekspor banyak diterapakan di negara berkembang, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjamin ketersediaan suatu produk di pasar domestik. Produk yang menjadi subjek untuk tarif ekspor biasanya merupakan produk pertanian seperti gula, kopi, produk kehutanan, kakao, minyak kelapa sawit, produk perikanan, mineral, produk logam, dan produk kulit (Piermartini, 2004).

(27)

Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang drastis dari komoditi ekspor tertentu, dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

2.5. Ekonometrika

Ekonometrika dikenal merupakan gabungan dari suatu teori ekonomi, matematika dan metode statistika. Sementara menurut Setiawan dan Kusrini (2010) dalam bukunya yang berjudul Ekonometrika, memberikan penjelasan bahwa Ekonometrika adalah ilmu sosial yang merupakan integrasi dari teori ekonomi, matematika, dan statistika yang bertujuan untuk menguji kebenaran dari teorema-teorema ekonomi yang berupa hubungan antar variabel ekonomi secara kuantitatif dengan menggunakan data empiris.

Adapun tujuan penggunaan ekonometrika akan dirinci sebagai berikut, yakni:

1. Mengestimasi hubungan-hubungan dari suatu permasalahan ekonomi 2. Menghadapkan teori ekonomi dengan fakta serta menguji hipotesis

yang meliputi permasalahan perilaku ekonomi

3. Melakukan suatu peramalan dari perilaku variabel-variabel ekonomi.

(28)

yang cocok yang telah dipilih sebelumnya. Dari model yang telah diestimasi, selanjutnya dilakukan pengujian suatu hipotesis dan mengintrepetasikan hasilnya dengan peramalan. Dari peramalan yang telah dilakukan dapat digunakan untuk menentukan suatu kebijakan.

2.5.1. Model Regresi Linear Berganda

Model regresi linear beganda digunakan untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebasnya. Hubungan antara peubah-peubah tersebut dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut:

Yi= α0 + α1 X1i+α2 X2i+ … + αp Xpi + ɛi ... (2.2)

Dimana :

Yi = peubah tidak bebas

α0 = intersep

αi sampai αp = koefisien kemiringan parsial

ɛ = unsur gangguan (disturbance) stokhastik

i = observasi ke i; i = 1, 2, 3, …, n

Kuat atau tidaknya hubugan linear antara peubah peubah bebasnya dapat diukur dari koefisien korelasi (r). Sedangkan untuk melihat besarnya pengaruh dari bebas terhadap peubah tak bebas dapat dilihat dari nilai koefisien r-square

(R2).

Penelitian ini menggunakan model regresi linear berganda dan metode kuadrat terkecil atau yang biasa disebut dengan metode Ordinary Least Square

(29)

model tidak terlepas dari adanya ketidaksempurnaan, dalam arti metode ini juga memiliki kelemahan. Kelemahan model ini adalah seluruh asumsi-asumsi yang terkait didalamnya harus dapat dipenuhi oleh suatu model. Apabila salah satu asumsi tidak dapat dipenuhi oleh suatu model, maka akan timbul masalah yaitu masalah normalitas, heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokolerasi. Oleh karena itu diperlukan suatu pengujian terhadap model tersebut.

Apabila asumsi-asumsi yang telah disebutkan di atas dapat dipenuhi maka penduga OLS akan dapat menghasilkan koefisien regresi yang memenuhi sifat-sifat BLUE (Gujarati 1997), yaitu:

a) Best = Efisien yang berarti ragam atau variannya minimum dan konsisten, dalam artian bahwa walaupun menambah jumlah sampel maka nilai estimasi yang diperoleh tidak akan berbeda jauh di parameternya. b) Linear = Koefien regresinya linear

c) Unbiased = Nilai estimasi dari sampel akan mendekati populasi, ini mengindikasikan bahwa suatu model tidak bias.

d) Estimator = Penduga parameter

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu

(30)

Widayanti. et al. (2009) melakukan penelitian ekspor kopi Indonesia dengan judul Analisis Ekspor Kopi Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kopi Indonesia, untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia, dan terakhir adalah menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kopi Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data sekunder, tahun 1975 sampai dengan tahun 1999. Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor kopi Indonesia, penawaran dan permintaan dalam negeri dalam penelitian ini menggunakan persamaan simultan. Hasil penelitian berkaitan dengan ekspor kopi Indonesia dalam penelitian ini menunjukan bahwa bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kuantitas ekspor kopi Indonesia adalah harga ekspor kopi (harga FOB), harga kopi dalam negeri nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan penawaran kopi tahun t-1. Harga ekspor kopi berhubungan negatif dengan kuantitas ekspor kopi Indonesia, karena mutu kopi Indonesia yang masih rendah sehingga tidak memenuhi kualitas yang diminta konsumen luar negeri.

(31)

Abidin (2008) meneliti mengenai Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah berupaya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia dengan batasan pada aktivitas ekspor dan strategi guna meningkatkan ekspor tersebut. Data yang dipakai adalah data tahun 1996-2005. Analisis yang digunakan adalah metode two-stage least square (2SLS) dan metode analisis deskriptif untuk menjelaskan hambatan yang dihadapi ekspor, serta mengetahui strategi guna meningkatkan ekspor CPO Indonesia. Variabel tidak bebas dalam penelitian ini adalah volume ekspor, sedangkan variabel bebasnya adalah harga, nilai tukar, dan produksi. Hasil yang didapat adalah harga CPO domestik, harga CPO luar negeri, nilai tukar, dan produksi CPO Indonesia secara simultan mempengaruhi nyata terhadap nilai ekspor. Namun, secara parsial nilai tukar Rupiah tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap ekspor.

Hafizah (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Penawaran

Crude Palm Oil (CPO) Indonesia: Pendekatan Error Correction Model. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran CPO Indonesia, dan menganalisis pengaruh perubahan faktor-faktor tersebut terhadap tingkat penawaran CPO Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Error Correction Model (ECM). Data yang digunakan adalah adalah data time series tahun 1980-2007 yaitu data produksi, luas areal perkebunan kelapa sawit, harga CPO dalam negeri, harga solar, dan nilai tukar.

(32)

solar, dan harga solar dua tahun sebelumnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata sepuluh persen. Sedangkan variabel harga domestik dan nilai tukar berpengaruh tidak signifikan.

Berdasarkan persamaan jangka panjang dapat diketahui bahwa variabel luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar, dan harga solar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penawaran CPO Indonesia pada taraf nyata sepuluh persen. Nilai elastisitas penawaran CPO dapat dilihat dari nilai dugaan parameter pada model estimasi. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui ternyata semua variabel bebasnya terhadap penawaran CPO Indonesia adalah inelastis karena nilai mutlak dugaan parameternya kurang dari satu. Hal ini menunjukan bahwa penawaran CPO Indonesia kurang responsif terhadap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel bebasnya, sehingga apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel tersebut tidak akan menimbulkan gejolak yang besar terhadap tingkat penawaran CPO.

(33)

2.7. Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya, baik berupa sumberdaya migas maupun nonmigas. Perkembangan nilai ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh sektor nonmigas. Hal ini dapat terlihat dari kontribusi nilai ekspor sektor nonmigas selalu lebih besar dibandingkan sektor migas.

Crude Palm Oil (CPO) merupakan hasil produk olahan dari salah satu komoditas subsektor perkebunan, yakni kelapa sawit yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya CPO bagi perekonomian Indonesia telah menyebabkan pengembangan CPO terus dilakukan, sehingga sejak tahun 2006 Indonesia berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia.

Posisi Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, serta tingginya konsumsi CPO dunia telah mendorong perkembangan ekspor CPO Indonesia ke dunia. Adapun perkembangan ekspor CPO Indonesia ke dunia dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2010 telah meningkat lebih dari 14 kali lipat, yakni dari sekitar 661 ribu ton meningkat menjadi 9,45 juta ton.

(34)

Indonesia ke India. Faktor-faktor tersebut antara lain volume produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia, kurs riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan tarif ekspor CPO Indonesia.

Dalam menganalisis keempat faktor tersebut, digunakan model regresi linear berganda yang telah dilogaritmakan terlebih dahulu variabel dependen ataupun variabel independennya (model doble-log) dan untuk menduga parameter dari model tersebut digunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Adapun alur pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Keterangan: ---- = Bagian yang dianalisis. Potensi SDA Indonesia

Penawaran Ekspor CPO Indonesia ke India

1. Produksi CPO

(35)

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan dalam tinjauan teori dan kerangka pemikiran sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Volume produksi CPO di Indonesia diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap kenaikan ekspor CPO Indonesia ke India, artinya setiap kenaikan volume produksi CPO Indonesia akan meningkatkan volume ekspor CPO Indonesia ke India, ceteris paribus.

2. Harga ekspor CPO Indonesia ke India diduga berpengaruh positif dan signifikan terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia ke India, artinya setiap kenaikan harga CPO dunia akan meningkatkan volume ekspor CPO Indonesia ke India, ceteris paribus.

3. Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika diduga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penawaran ekspor CPO Indonesia ke India, artinya apabila nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika menguat (apresiasi) maka volume ekspor CPO Indonesia ke India akan menurun, ceteris paribus.

(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa time series dari tahun 1989 hinga 2010, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI), Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI), Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian Republik Indonesia (Ditjenbun Kementan RI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Badan Standarisai Nasional (BSN), jurnal-jurnal penelitian, serta literatur-literatur terkait.

3.2. Metode Analisis Data

(37)

3.2.1. Perumusan Model

Fokus dalam penelitian ini adalah untuk memeroleh hubungan antara penawaran ekspor CPO Indonesia ke India dan faktor-faktor yang diduga berpengaruh berdasarkan tinjauan teori ekonomi, yakni: volume produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia ke India, kurs riil Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan tarif ekspor CPO Indonesia.

Teknik analisis yang dipilih untuk kepentingan ini adalah model regresi linear berganda dan metode yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil atau metode Ordinary Least Square (OLS). Metode OLS mempunyai beberapa keunggulan, yaitu secara teknis sangat mudah dalam perhitungan, penarikan intrepetasi, dan penaksiran BLUE (Best Linear Unbias Estimator). Adapun model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model terbaik dari beberapa model penawaran ekspor CPO Indonesia ke India yang dicoba. Setelah mengalami respesifikasi model, model penawaran ekspor CPO Indonesia ke India adalah sebagai berikut:

EXCPO = β0 + β 1 PROD + β2 HEXCPO + β3 KURS+ β4 TRFEX + ei ... (3.1)

Dimana:

EXCPO = Volume Ekspor CPO Indonesia ke India (Ton) PROD = Volume Produksi CPO Indonesia (Ton) HEXCPO = Harga ekspor CPO Indonesia (US$/Ton)

KURS = Kurs riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (Rp/US$) TRFEX = Tarif Ekspor CPO Indonesia (%)

β 0 = Intersep atau perpotongan

β 1, β 2... β 4 = Parameter

(38)

Bentuk model regresi linear berganda di atas yang digunakan dalam penelitian ini (Persamaan 3.1) dilogaritmakan baik variabel dependen dan variabel independennya untuk mendapatkan model yang terbaik, yakni sebagai berikut:

LnEXCPO = β0 + β 1 LnPROD + β2 LnHEXCPO + β3 LnKURS +

β4 LnTRFEX + ei ... (3.2)

Dimana:

LnEXCPO = Volume Ekspor CPO Indonesia ke India LnPROD = Volume Produksi CPO Indonesia LnHEXCPO = Harga CPO ekspor CPO Indonesia

LnKURS = Kurs Riil Rupiah Terhadap Dollar Amerika

LnTRFEX = Tarif Ekspor CPO Indonesia

β 0 = Intersep atau perpotongan

β 1, β 2... β 5 = Parameter

ei = error / residual

(39)

3.2.2. Pengujian Asumsi Klasik a) Uji Normalitas

Uji ini digunakan untuk melihat apakah residual telah menyebar normal ataukah tidak. Uji normalitas dapat menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov

dengan melihat nilai probabilitasnya. Hipotesis uji normalitas adalah: H0 = Residual terdistribusi normal

H1 = Residual tidak terdistribusi normal

Residual akan terdistribusi normal apabila nilai probabilitas Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (p-value > α).

b) Uji Multikolinearitas

Pengujian ini digunakan untuk melihat bagaimana variabel bebas mempengaruhi variabel bebas lainnya dalam suatu persamaan. Cara mengetahui apakah dalam model tersebut ada multikolinearitas atau tidak adalah dengan cara menghitung nilai Varians Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF < 10, maka persamaan tersebut tidak ada masalah multikolinearitas.

... (3.3)

Dengan:

VIF = Varians Inflation Factor

R2xi = korelasi antara variabel xi dengan variabel x lain.

c) Uji Autokolerasi

(40)

tidaknya korelasi adalah dengan menggunakan statistik uji Durbin-Watson. Apabila tidak ada autokorelasi (ρ = 0), maka nilai DW akan mendekati dua. Berikut adalah rumus uji Durbin-Watson statistik:

DW = ∑

∑ ≈ 2 (1-ρ) ... (3.4)

Uji Durbin-Watson merupakan salah satu pengujian yang banyak dipakai untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi. Hampir semua program statistik sudah menyediakan fasilitas untuk menghitung nilai Durbin-Watson (DW), salah satunya adalah Software Minitab-14. Nilai DW akan berada pada kisaran 0 hingga 4. Apabila nilai DW berada diantara du dan 4-du, maka tidak ada autokorelasi, dan

bila nilai DW beradaa diantara 0 hingga du, maka dapat disimpulkan bahwa data

mengandung permasalahan autokorelasi positif. Demikian juga seterusnya.

Tabel 3.1 Penentuan Ada Tidaknya Autokorelasi dengan Uji Durbin-Watson

Tolak H0, tidak. Apabila varians residual konstan maka asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Salah satu cara untuk melihat ada atau tidaknya masalah heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan Uji White. Uji White

(41)

Uji heteroskedastisitas hipotesisnya adalah: H0 = Homoskedastisitas.

H1 = Heteroskedastisitas.

Apabila dalam pengujian yang dilakukan, didapatkan nilai p-value lebih besar dari alpha (α) lima persen maka implikasinya adalah tolak H0. Sehingga

dapat disimpulkan tidak terjadi pelanggaran asumsi heteroskedastisitas atau terpenuhinya asumsi homoskedastisitas pada model yang telah dibuat.

3.2.3. Pengujian Parameter

Model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesis-hipotesis yang dilakukan. Pengujian hipotesis-hipotesis secara statistik bertujuan melihat nyata atau tidaknya pengaruh peubah-peubah yang diteliti. Berikut adalah langkah-langkah dan prosedur pengujian yang harus dilakukan:

a) Uji F (Uji untuk semua variabel)

Uji F bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan probabilitas nilai F statistik (p-value) dengan probabilitas taraf nyata (α) yang digunakan. Analisa pengujian uji F adalah sebagai berikut:

1. Pengujian Hipotesis Hipotesisnya adalah :

H0 = parameter model bernilai nol (β 1 = β 2 = β3 = βk = 0)

(42)

2. Penentuan penerimaan atau penolakan H0

Apabila:

P-value> α, maka H0 diterima

P-value< α, maka H0 ditolak.

3. Apabila keputusan yang diperoleh adalah p-value < α dimana koefisien regresi berada di luar daerah penerimaan H0, maka implikasinya tolak H0. Artinya

minimal ada salah satu dari variabel independen yang dapat memengaruhi secara nyata terhadap variabel independennya. Apabila didapatkan p-value >

α, maka implikasinya terima H0 artinya variabel independen tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.

b) Uji t (Uji Parsial)

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap varibel dependen. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 = βi = 0 i= 1,2,3…..

H1 = βi ≠0

Apabila:

Probabilitas t-statistik (p-value) < taraf nyata, maka implikasinya tolak H0,

Probabilitas t-statistik (p-value) > taraf nyata, maka implikasinya terima H0.

Apabila tolak H0, maka variabel independen berpengaruh nyata terhadap

variabel dependen. Sebaliknya, jika terima H0 maka variabel independen tidak

(43)

c) Uji Keberartian Model (Uji R2)

Uji R2 dilakukan untuk mengukur kebaikan (goodness of fit) dari garis regresi. Pengujian ini digunakan untuk melihat sejauhmana variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen. Semakin besar nilai R2 (mendekati 1), maka ketepatan dikatakan semakin baik (Gujarati, 1997). Lebih lanjut Gujarati menjelaskan bahwa nilai R2selalu berada diantara 0 dan 1. Apabila R2 = 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dan variabel dependen, atau model regesi yang terbentuk tidak tepat untuk meramalkan variabel dependen. Sedangan Apabila R2 = 1, garis regresi yang terbentuk dapat meramalkan variabel dependen secara sempurna.

3.4. Definisi Operasional

1. Volume ekspor CPO Indonesia ke India yang menjadi variabel dependen dalam model, merupakan jumlah total volume ekspor Crude Palm Oil

(CPO) Indonesia yang ditawarkan ke India yang dinyatakan dalam satuan ton.

2. Volume produksi CPO Indonesia merupakan total volume produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia secara keseluruhan yang dinyatakan dengan satuan ton.

3. Harga ekspor CPO Indonesia ke India merupakan harga yang dihitung berdasarkan harga ekspor yang merupakan f.o.b dengan satuan US$/ton 4. Kurs merupakan nilai tukar riil rupiah terhadap nilai mata uang dollar

(44)
(45)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Klasifikasi dan Pengolahan Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh baik pada dataran rendah yang beriklim tropis, yaitu berada pada ketinggian antara 0 – 500 meter diatas permukaan laut dengan curah hujan lebih dari atau sama dengan 2000 mm/tahun. Menurut Pahan (2008) dalam bukunya yang berjudul Panduan Lengkap Kelapa Sawit menjelaskan bahwa, kelapa sawit secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledone

Famili : Arecaceae

Subfamili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : E.guineensis, E. oleifera, E.odora

Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan yang mulai menghasilkan pada umur tiga tahun dengan usia produktif hingga 25 – 30 tahun. Pengembangan produk turunan kelapa sawit diperoleh dari produk utama yaitu tandan buah segar. Tandan buah segar dapat diolah menjadi minyak kelapa sawit (CPO), minyak inti sawit (PKO) dan produk sampingan yang berasal dari limbah kelapa sawit.

(46)

sebagian besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan

stearin (padat). Fraksi olein digunakan sebagai bahan pangan sedangkan fraksi

stearin digunakan sebagai bahan nonpangan. Bahan pangan dengan bahan baku

olein antara lain: minyak goreng, mentega (margarine), lemak untuk masak (shortening), bahan pengisi (aditif), dan industri makananan ringan. Sedangkan CPO sebagai bahan nonpangan dapat digunakan sebagai bahan industri berat maupun ringan, antara lain untuk industri penyamakan kulit agar lembut dan fleksibel, pelumas bagi industri tekstil, bahan flotasi bagi industri perak pada pemisahan bijih tembaga dan kobalt, dan terakhir digunakan pada industri ringan sebagai bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, dan tinta.

(47)

Gambar 4.1 Pohon Industri Kelapa Sawit

Produk olahan kelapa sawit hingga saat ini telah banyak ditemukan jenisnya. Posisi Indonesia adalah negara yang memiliki keunggulan sumberdaya alam yang berguna bagi pertumbuhan tanaman kelapa sawit, sehingga seharusnya Indonesia mempunyai daya saing dari perkebunan kelapa sawit. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat salah satu faktor yang memengaruhi daya saing dari perkebunan kelapa sawit adalah keunggulan komparatif akan sumber daya alam (Pahan, 2008).

Kelapa Sawit

Daging Buah Tandan kosong Biji Sawit Batang Sawit

(48)

4.2. Sejarah Perdagangan Kelapa Sawit

4.2.1. Sejarah Singkat Perdagangan Kelapa Sawit Dunia

Kelapa sawit atau Elaeis Guineensis pertama kali ditemukan di daerah Afrika Tengah, Afrika Timur, dan Madagaskar. Hal ini diperkuat dengan temuan bukti para arkeolog yang menunjukan bahwa penggunaan minyak sawit telah banyak digunakan sejak zaman Mesir kuno (Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, 2009).

Penduduk Afrika sendiri telah lama mengenal kelapa sawit, mereka menggunakan minyak dari kelapa sawit yang tumbuh secara liar sebagai bahan pangan. Selain itu pelepah dan batangnya pun banyak dimanfaatkan menjadi pagar dan penopang tembok, serta daun nya pun dimanfaatkan sebagai atap rumah mereka.

Sebelum revolusi industri yang terjadi di Eropa, komoditi kelapa sawit bukanlah suatu komoditi yang bernilai. Namun, Keadaan ini berbalik setelah terjadinya revolusi tersebut. Hal ini dikarenakan minyak kelapa sawit pada saat terjadinya revolusi itu merupakan bahan baku utama pembuatan lilin dan pelumas kendaraan. Jumlah permintaan minyak sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penawaran produsen kelapa sawit, disebabkan karena produksi kelapa sawit pada saat itu masih mengandalkan tamanan liar yang tumbuh di Afrika.

(49)

sawit liar lalu menjual ke pabrik miliknya. Pada awalnya usaha ini mengalami kegagalan, karena petani lokal setempat tidak mau untuk menjual CPO kepadanya. Namun, setelah mendapat jaminan bahwa seluruh buah kelapa sawit yang dipanen harus dijual kepadanya, perusahaannya pun mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Akibat dari hal ini, suplai minyak kelapa sawit mulai membaik, tetapi masih terbatas karena suplai buah kelapa sawit masih mengandalkan tanaman liar (Badrun, 2010).

Sekitar tahun 1900, perkebunaan kelapa sawit mulai dikembangkan di daerah Asia Tenggara serta Afrika Tengah, dan pada tahun 1902 proses

hidrogenasi minyak dan lemak mulai diperkenalkan. Proses ini sangat berguna dalam memproduksi margarin dan cairan minyak. Pada sekitar tahun 1990, produksi minyak kelapa sawit dunia telah mencapai 11 juta ton per tahun, dengan volume perdagangan dunia mencapai sekitar 8.5 juta ton. Hingga saat ini, Kelapa sawit saat telah diolah di lebih dari 100 negara yang digunakan sebagai bahan makanan dan keperluan komestik (Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, 2009).

4.2.2. Sejarah Singkat Perdagangan Kelapa Sawit Indonesia

(50)

meningkat. Untuk menyingkapi hal tersebut dimulailah perkebunan kelapa sawit pertama kali berdasarkan komoditas unggul dari Bogor dan Deli, yang dikenal

dengan jenis sawit “Deli Dura”.

Kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersil di zaman pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911. Di Indonesia perkebunan kelapa sawit pertama kali berada di daerah Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh, dengan luas areal perkebunan mencapai 5.123 hektar. Sedangkan pusat pemulian dan penangkaran tanaman ini didirikan di Marihat (dikenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaysia.

Di Indonesia pohon kelapa kelapa sawit yang banyak tumbuh adalah jenis

Elaeis Guineensis dan Elaeis Oleifera. Kedua jenis tersebut termasuk dalam spesies Arecaceae dari famili palma yang digunakan untuk pertanian komersil guna mendapatkan minyak kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu dari komoditi penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, karena ekspor dari komoditas ini berperan dalam pengadaan sumber devisa negara.

(51)

4.3. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Indonesia pada awal tahun 1980 mulai mencanangkan paket deregulasi di bidang ekonomi dalam rangka menghilangkan ketergantungan penerimaan negara yang bertumpu pada sektor minyak dan gas. Paket kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk mendorong investasi pada sektor nonmigas yang berorientasi pada penciptaan nilai tambah produk olahan. Salah satu komponen kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah adalah Kebijakan Percepatan Pembangunan Perkebunan (Badrun, 2010). Meskipun Indonesia bukanlah tempat dimana tanaman kelapa sawit berasal. Namun, implementasi penerapan kebijakan ini telah mendorong pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sumber: Ditjenbun Kementan RI, 2011 (ket: * = Angka Sementara dan ** = Estimasi).

Berdasarkan status kepemilikan lahan, perkebunan kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Perkembangan perkebunan kelapa sawit swasta dan rakyat memiliki trend yang positif. Namun, hal ini tidak terjadi pada perkebunan kelapa sawit yang diusahakan oleh negara, yang cenderung statis (Gambar 4.2). Perkembangan statis ini disebabkan perkebunan pemerintah terikat dengan upaya

0

(52)

pemenuhan kebutuhan dalam negeri serta alasan efisiensi dan efektifitas setelah adanya liberalisasi perdagangan.

Berdasarkan pada Gambar 4.2 dapat pula terlihat bahwa, total luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tahun 1989 hingga 2010 terus mengalami peningkatan. Besar peningkatan tersebut adalah sebanyak delapan kali lipat, dimana total luas lahan awal perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 1989 sekitar 973.528 hektar kemudian naik menjadi 7.824.623 hektar pada tahun 2010. Adapun pada tahun 2010, kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit masih didominasi oleh perkebunan swasta dengan proporsi sebesar 50 % dari total luas areal perkebunan Indonesia. Sedangkan proporsi luas areal lahan perkebunan swasta dan negara terhadap total luas areal perkebunan Indonesia berturut-turut adalah sebesar 42% dan 8% (Gambar 4.3).

4.4. Perkembangan Produksi CPO Indonesia

Perkembangan produksi CPO Indonesia terus meningkat sejalan dengan pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit, yakni sekitar sepuluh kali lipat dari 1.964.954 ton pada tahun 1989 meningkat menjadi 19.844.901 ton tahun 2010. Pada tahun 2005 sampai tahun 2006 terjadi peningkatan produksi CPO yang

42%

8% 50%

Gambar 4.3 Proporsi Kepemilikan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2010

Perkebunan Rakyat

Perkebunan Pemerintah

Perkebunan Swasta

(53)

tajam sebesar 46,28%. dari sebesar 11.861.615 ton menjadi 17.350.848 ton (Gambar 4.4). Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan minyak kelapa sawit yang merupakan imbas dari adanya kenaikan harga BBM dan membaiknya harga CPO di Pasar Internasional.

Berdasarkan status kepemilikan usaha, produksi CPO Indonesia berasal dari perkebunan swasta, perkebunan rakyat dan perkebunan negara (Statistik Kelapa Sawit, 2009). Pada awalnya jumlah produksi CPO Indonesia didominasi oleh perkebunan kelapa sawit milik pemerintah. Namun, seiring dengan perkembangan waktu peran perkebunan milik pemerintah cenderung lebih rendah apabila dibandingkan dengan peran perkebunan swasta dan rakyat (Gambar 4.4).

Hal ini terjadi karena disamping perkebunan pemerintah mempunyai prioritas bagi kebutuhan dalam negeri saja juga disebabkan perkembangan luas areal perkebunan pemerintah tidak sebanding dengan perkembangan luas perkebunan kelapa sawit milik swasta dan rakyat (Gambar 4.2). Adapun sampai

Gambar 4.4 Perkembangan Produksi CPO Indonesia, 1989-2010

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Perkebunan Total

(54)

Provinsi Riau sebesar 4,96 juta ton, Provisi Sumatera Utara 3,99 juta ton, dan terakhir adalah Provinsi Sumatera Selatan dengan produksi sebesar 1,98 juta ton.

Gambar 4.5 Produksi CPO Indonesia per Provinsi, 2009*

4.5. Perkembangan Harga CPO

Perkembangan harga CPO dunia mengalami fluktuasi setiap tahunnya (Gambar 4.6). Dalam sepuluh tahun pertama yakni pada tahun 1989 sampai tahun 1999, harga CPO sempat mencapai titik tertinggi pada yaitu pada tahun 1998 dengan nilai US$ 671/ton. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis ekonomi di negara produsen utama dunia yakni Malaysia dan Indonesia, sehingga suplai CPO dunia menjadi terganggu dan meningkatkan harga CPO.

Setelah tahun 1998 harga CPO terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun 2001 dengan nilai US$ 283/ton. Namun, terhitung pada tahun 2002 hingga tahun 2010 harga CPO secara umum membaik. Adapun dalam rentang tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, terjadi peningkatan harga CPO yang cukup tajam, yakni dari US$ 478/ton naik menjadi US$ 938/ton. Tingginya harga pada rentang waktu tersebut disebabkan oleh tingginya

Aceh

(55)

permintaan dari negara China dan India untuk menunjang industri biofuel yang ada dikedua negara tersebut2.

Sumber: Ditjenbun Kementan RI, 2010 (ket: * = Harga Sementara).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa harga CPO dunia di Pasar Rotterdam, Eropa 1989-2010 memiliki trend yang meningkat pada kisaran US$ 283 – 938/ton (Gambar 4.6). Menurut Balitbang Kementrian Pertanian (2007) dalam Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit, menjelaskan bahwa trend harga CPO yang meningkat tidak terlepas dari telah berkembangnya pasar minyak sawit, termasuk pasar baru yakni diterimanya sejumlah produk hasil diversifikasi berbasis CPO. Dengan kata lain, komoditas CPO masih mempunyai prospek yang baik ke depan.

(56)

4.6. Perkembangan Kebijakan Pajak Ekspor CPO Indonesia

Pemerintah melakukan pengendalian ekspor CPO melalui instrumen pengenaan pajak pada dasarnya adalah bertujuan untuk menjamin terjaganya keseimbangan antara ketersediaan kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan kebutuhan devisa ekspor. Untuk menjalankan tujuan tersebut, pemerintah pada tahun 1984 melalui Keputusan Menteri Keuangan No.47/KMK/001/84, tentang pengenaan pajak ekspor CPO telah menetapakan persentasi tarif pajak ekspor CPO dan produk sejenisnya sebesar 37,18%. Dua tahun setelah peraturan ini dibuat, yaitu tanggal 20 Juni 1986 pemerintah melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.001/86, tentang pembebasan sistem tataniaga perdagangan minyak sawit. Kebijakan ini dibuat karena pada saat itu terjadi kelesuan ekspor, akibat pengenaan pajak ekspor CPO sebelumnya (Agustian dan Hadi, 2003).

(57)

Pada saat krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997 dimana nilai tukar Rupiah terhadap Dollar melemah, pihak eksportir (swasta) banyak diuntungkan dari kegiatan ekspor. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat karena tingginya harga kebutuhan masyarakat, termasuk minyak goreng. Hal ini mendorong pemerintah menaikan pajak ekspor CPO sebesar 60 persen melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334/KMK.07/1998, tentang penetapan pajak ekspor yang tinggi dan pelarangan ekspor CPO bagi Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) pada tanggal 7 Juli 1998, untuk menjaga stabilitas harga CPO dalam negeri.

Pajak ekspor CPO mengalami penurunan yang signifikan, seiring dengan mulai berangsur membaiknya krisis ekonomi dan harga komoditi termasuk minyak goreng relatif stabil. Penurunan pajak ekspor CPO diawali dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/1999, tentang penurunan pajak ekspor CPO Indonesia pada tanggal 29 Januari 1999 sampai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.071/2001, tentang penurunan pajak ekspor CPO yang mulai ditetapkan pada tahun 2001. Melalui kebijakan yang telah ditetapkan tersebut, pajak ekspor CPO Indonesia telah turun dari 60 persen menjadi tiga persen.

(58)

Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor untuk menindaklanjuti Peraturan Pemerintah tersebut. Peraturan Menteri Keuangan tersebut dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagai berikut:

 Nomor 130/PMK.010/2005, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan pertama Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Pasal 5 dalam PMK Nomor 92/PMK.02/2005 mengenai barang ekspor yang dikenakan Pungutan Ekspor berlaku tataniaga ekspor, dinyatakan tidak berlaku.

b. Penyesuaian besaran tarif Pungutan Ekspor CPO dari 3% menjadi 1.5%.

c. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 10 Oktober 2005.

 Nomor 30/PMK.02/2006, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kedua Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah lampiran III (kayu) mengenai pengenaan tarif Pungutan Ekspor.

(59)

 Nomor 51/PMK.02/2006, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan ketiga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah Lampiran II (Rotan) dan Lampiran III (Kayu). b. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 7 Juli 2006.

 Nomor 88/PMK.010/2006, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan keempat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah ketentuan pasal 5 menjadi: Terhadap barang ekspor yang menggunakan barang dan bahan impor, dikecualikan dari pengenaan Pungutan Ekspor.

b. Peraturan ini berlaku sejak 10 Oktober 2006.

 Nomor 61/PMK.011/2007, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kelima Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah besar tarif Pungutan Ekspor Lampiran I (Kelapa Sawit) ; CPO menjadi 6,5%.

(60)

 Nomor 83/PMK.02/2007, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan keenam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Menghapus Pasal 3 ayat 2 dalam peraturan sebelumnya. b. Peraturan ini berlaku sejak 30 Juli 2007.

 Nomor 94/PMK.011/2007, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan ketujuh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Menetapkan Tarif Pungutan Ekspor secara progresif berdasarkan harga referensi dunia.

b. Peraturan ini berlaku sejak 3 September 2007.

 Nomor 09/PMK.011/2008, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kedelapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah besaran harga referensi untuk penentuan besar Tarif Pungutan Ekspor.

(61)

 Nomor 72/PMK.011/2008, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kesembilan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah Lampiran III (kayu).

b. Peraturan ini berlaku sejak 11 Mei 2008.

 Nomor 159/PMK.011/2008, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu

dan Besaran Tarif Ekspor.

Perubahan kesepuluh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.02/2005 ini menetapkan bahwa:

a. Mengubah besaran harga referensi untuk penetapan besar tarif Pungutan Ekspor.

b. Peraturan ini berlaku sejak 1 November 2008.

Pada tanggal 17 Desember 2008, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008, tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, sebagai tanggapan dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008, tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor. Peraturan Menteri Keuangan ini dibuat untuk menggantikan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.92/PMK.02/2005, tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besarnya Tarif Pungutan Ekspor sebelumnya. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

(62)

Peraturan Menteri keuangan Nomor 67/PMK.011/2010, tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar pada tanggal 22 Maret 2010. Peraturan ini sendiri mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010. Dalam peraturan tersebut komoditas yang dikenakan bea keluar adalah rotan, kulit kayu, kelapa sawit dan turunannya, serta biji kakao. Besaran tarif Bea Keluar atas barang ekspor, berupa CPO adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Tarif Bea Keluar Menurut PMK No. 67 Tahun 2010 Harga Referensi

Sumber: Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2010 (Diolah).

Harga referensi kelapa sawit dan turunannya adalah harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata CPO CIF Rotterdam. Adapun perhitungan Bea Keluar (ad-volarem) dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Patokan Ekspor x Nilai Tukar

(63)

diperdagangkan adalah komoditas CPO. Pada saat tidak dikenakan tarif ekspor, harga ekspor CPO akan sama dengan permintaan domestik, yaitu sebesar P0.

Dengan harga tersebut, jumlah komoditas yang ditawarkan sebanyak Q2 dan

jumlah yang diminta adalah Q1, sehingga banyaknya yang diekspor sebesar Q1Q2.

Apabila terjadi kenaikan tarif ekspor, maka akan menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kiri atas menjadi Se1. Pada kondisi tersebut harga ekspor

adalah sebesar Pe1, tetapi yang diterima eksportir adalah P1, yang lebih rendah

dari P0. Akibatnya jumlah produk CPO domestik yang ditawarkan sebesar Q4

sedangkan yang diminta oleh perusahaan domestik adalah sebesar Q3. Hal ini

berakibat jumlah yang diekspor berkurang menjadi Q3Q4 (lebih kecil dari Q1Q2).

Penurunan harga CPO yang diterima eksportir, berarti juga penurunan harga CPO yang diterima produsen domestik. Apabila harga CPO yang diterima produsen domestik menurun, maka akan mengakibatkan harga pembelian bahan baku CPO (TBS kelapa sawit) tersebut juga akan menurun dan akan berpengaruh terhadap pendapatan petani kelapa sawit.

Gambar 4.7 Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor CPO Terhadap Industri Domestik

Industri Domestik Ekspor Qe Qe1

(64)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Deskriptif

5.1.1. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia ke India

Negara tujuan utama ekspor CPO Indonesia pada tahun 2010 adalah India (Gambar 5.1). Proporsi ekspor CPO Indonesia ke India pada tahun 2010 adalah sebesar 47%, dengan nilai 4,45 juta ton, disusul secara berturut-turut oleh Malaysia 1,32 juta ton (14%), Netherland 948 ribu ton (10%), Italy 623 ribu ton (7%), Singapura 573 ribu ton (6%) dan negara lainnya 1,53 juta ton (16%).

Adapun perkembangan ekspor CPO Indonesia ke India tahun 1989 sampai dengan 2010 secara umum mengalami peningkatan, baik dari segi volume maupun nilai ekspor. Perkembangan volume dan nilai ekspor sepuluh tahun pertama, yakni tahun 1989 sampai dengan 1999 cenderung statis dan memiliki kuantitas dan nilai ekspor yang relatif rendah (Gambar 5.2). Pada periode ini volume ekspor dan nilai ekspor CPO terendah terjadi pada tahun 1998, yakni

47%

10% 14%

7%

6% 16%

Gambar 5.1 Proporsi Ekspor CPO Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2010

India Netherland Malaysia Italy Singapura Other

Gambar

Gambar 1.1 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas
Gambar 2.1 Kurva Perdagangan Internasional
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Gambar 4.1 Pohon Industri Kelapa Sawit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian, pengamatan dan informasi yang penulis dapatkan, dalam pelaksanaan pemungutan pajak kendaraan bermotor dan pelayanan terhadap wajib pajak kendaraan

Dimensi yang digunakan pada penelitian ini (tabel 4.38) adalah Tinggi Bahu Duduk (TBD) yang bertujuan untuk menentukan tinggi senderan kursi kuliah agar saat

Sebagai upaya dalam perubahan perilaku dan cara pandang generasi muda, UNICEF memfokuskan pada program-program rehabilitasi psikososial dalam pendidikan perdamaian

Berisikan latar belakang (apa yang melatarbelakangi penelitian mahasiswa, alasan ilmiah yang memperkuat penelitian mahasiswa), batasan masalah, maksud dan tujuan penelitian,

Pengamatan kondisi terumbu karang di wilayah perairan Bunguran Barat (Kabupaten Natuna) tahun 2010 (t4) mencakup delapan stasiun permanen seperti pada penelitian “baseline” tahun

Dengan metode deskriptif analitis ini akan dikaji mengenai konsistensi Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Penerapan

Morinda citrifolia L dapat menurunkan kadar gula darah karena aktivitas antioksidan yang dimilikinya yang terdapat dalam.. Morinda citrifolia L

Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga