• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KOGNISI DAN BAHASA 1. Konsep Kecerdasan

Dalam dokumen Buku PPD revisi akhir (Halaman 138-143)

BAB VII MASA REMAJA

E. PERKEMBANGAN KOGNISI DAN BAHASA 1. Konsep Kecerdasan

Sebelum membahas tentang perkembangan kognisi remaja, maka akan diuraikan tentang konsep kecerdasan, karena masalah kognisi manusia, maka akan selalu berkaitan dengan kecerdasan. Satu hal yang membedakan antara manusia dengan mahluk lain adalah kemampuan berfikir yang dimilikinya. Binatang misalnya hanya memiliki naluri (instink) sebagai pendorong tingkah lakunya, sedangkan manusia mampu mengunakan akal pikirannya. Kemampuan

berpikir tersebut tercakup dalam aspek kognitif yang sering disebut kecerdasan atau inteligensi (intelligence).

Beberapa ahli mengemukakan pengertian inteligensi. Charles Spearman, mengatakan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan yang merupakan kemampuan tunggal artinya semua tugas dan prestasi mental hanya menuntut dua macam koalitas saja yaitu inteligensi umum dan ketrampilan individu dalam hal tertentu. Trostone mempunyai pendapat yang berbeda. Dia mengatakan bahwa intelligensi umum sebenarnya terdiri atas 7 kemampuan yang dapat dibedakan dengan jelas, yang meliputi kemampuan: (1) menjumlah, mengkalikan, membagi; (2) menulis dan berbicara dengan mudah; (3) memahami dan mengerti kata yang diucapkan; (4) memperoleh kesamaan tentang sesuatu; (5) mampu memecahkan persoalan dan mengambil pelajaran dari pengalaman lampau; (6) dengan tepat dapat melihat dan mengerti akan hubungan antara benda dengan ruang; dan (7) mengenali objek dengan cepat dan tepat. Kemampuan-kemampuan tersebut menurut Turstone saling berhubungan satu dengan yang lain serta membentuk satu kesatuan dalam bentuk konsep inteligensi. Sedangkan Wechler (dalam Rahmat Wahab, 1999), mengatakan bahwa inteligensi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, nampak sangat bervariasi, namun dapat disimpulkan bahwa inteligensi merupakan kemampuan dalam berbagai bidang yang dalam fungsinya saling berhubungan serta dapat diamati dalam perilaku individu. Witherington, mengidentifikasi beberapa ciri perilaku inteligensi sebagai manifestasi dari kemampuan inteligensi sebagai berikut:

a. kemampuan dalam menggunakan bilangan (facility in the use of numbers)

b. efisiensi dalam berbahasa (language efficiency) c. kecepatan dalam pengamatan (speed of perception) d. kemudahan dalam mengingat (facility in memorizing)

e. kemudahan dalam memahami hubungan (facility in comprehending relationship)

f. imaginasi (imagination)

2. Pengukuran Kecerdasan

Kecerdasan dapat diukur melalui tes kecerdasan. Orang pertama yang melakukan tes tersebut adalah Binet yang mengukur fungsi kognitif, ketajaman bayangan, lama dan kualitas pemusatan perhatian, ingatan, penilaian estetis dan moral, pemikiran logis dan pengertian logis mengenai bahasa. Tes tersebut kemudian disempurnakan oleh Theodore Simon, sehingga kemudian dikenal dengan istilah tes inteligensi Binet-Simon. Hasil tes inteligensi disebut dengan Intelligency Quotient (IQ), yang menunjukkan tingkat inteligensi seseorang.. Sekor IQ didapatkan dengan menghitung umur mental (Mental Age/MA) dibagi umur kronologis (Cronological Age/CA) kemudian dikalikan 100 %, sehingga rumusnya sebagai berikut:

3. Perkembangan Kognitif Remaja

Sebagaimana aspek lain dalam perkembangan remaja, kecerdasan (kognisi) juga mengalami perkembangan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Secara kuantitatif inteligensi berkembang semenjak bayi masih berada dalam kandungan. Laju perkembangannya berlangsung sangat pesat mulai usia 3 tahun sampai dengan masa remaja awal. Puncak perkembangan dicapai pada penghujung masa remaja akhir (usia sekitar duapuluhan), sesudah itu sampai usia 60 tahun perkembangannya lambat, terjadilah masa plateau, yang

selanjutnya akan terjadi penurunan. Pada masa lanjut usia inteligensi dapat mengalami penurunan karena pengaruh dari kesehatan fisik dan kurang aktifnya rangsangan intelektual yang diberikan. Bloom dkk (1964) mengadakan penelitian secara longitudinal terhadap anak sampai berusia 17 tahun. Hasilnya bahwa sampai usia 1 tahun kecerdasan berkembang sampai 20 %, usia 4 tahun berkembang sampai 50 %, usia 8 tahun berkembang 80 %, usia 13 tahun berkembang 92 % dan usia 13 tahun ke atas tinggal penyempurnaan. Dimana laju perkembangan tersebut relatif stabil dan proporsional.

Melalui studi yang intensif dan dengan menggunakan pendekatan Longitudinal Jean Piaget selama tahun 1920 sampai 1964 melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan bahwa, perkembangan kognitif bersifat tahapan, urutan tahapan berlaku secara universal tapi batasan waktu berbeda-beda tergantung budaya, dimana anak adalah lone scientist: kognitifnya berkembang apabila anak dibiarkan bereksperimen sendiri/memanipulasi benda secara langsung.Interaksi dengan teman sebaya lebih bermanfaat dibanding interaksi dengan orang dewasa. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa perkembangan kognitif manusia terdiri dari 4 tahap, yang selanjutnya dikenal dengan tahapan perkembangan kognitif.

Dilihat dari implikasi tahapan operasional formal dari Piaget pada remaja, maka individu remaja telah memiliki kemampuan introspeksi (berpikir kritis tentang dirinya), Berfikir logis (pertimbangan terhadap hal-hal yang penting dan mengambil kesimpulan), Berfikir berdasar hipotesis (adanya pengujian hipotesis), Menggunakan simbol-simbol, Berfikir yang tidak kaku/fleksibel berdasarkan kepentingan. Sehingga atas dasar tahap perkembangan tersebut maka ciri berfikir remaja adalah idealisme, cenderung pada lingkungan sosialnya,

egosentris hipocrsty (hipokrit: kepura-puraan) dan kesadaran diri akan konformis. Jika dilihat dari faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif remaja maka

lingkungan sosial, keluarga, kematangan, peran perkembangan kognitif sebelum tahap oprasional, budaya serta institusi sosial, seperti sekolah sangat berpengaruh dalam perkembangan kognitif remaja tersebut.

Teori lain yang mencoba mengungkap tentang perkembangan kognisi dikemukakan oleh Vygotsky, yang mengatakan bahwa perkembangan mental anak tergantung pada proses sosialnya, yaitu bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang menguntungkan anak adalah orang dewasa atau anak yang lebih mampu yang dapat memberi penjelasan tentang segala sesuatu sesuai dengan nilai kebudayaan. Sebagai contoh, bila anak menunjuk suatu objek, maka orang dewasa tidak hanya menjelaskan tentang objek tersebut, namun juga bagaimana anak harus berperilaku terhadap objek tersebut.

Vygotsky membedakan proses mental menjadi dua yaitu:

i. Elementary: masa praverbal, yaitu: selama anak belum menguasai verbal, pada saat itu anak berhubungan dengan lingkungan menggunakan bahasa tubuhnya.

ii. Higher: masa setelah anak dapat berbicara, Pada masa ini anak akan berhubungan dengan lingkungan secara verbal.

Vygotsky, menggambarkan teorinya tentang kognitif sebagai berikut:

Batas Kemampuan Potensial Batas Kemampuan Aktual

The Zone of Proximal Development

The Zone of Proximal Development

Daerah rentang antara tingkat perkembangan aktual dg tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi (antara apa yang dapat dilakukan

secara mandiri dengan apa yang dapat dilakukan dengan bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasinya dengan teman sebaya yang lebih mampu. Oleh karena itu implikasi teori Vygotsky Belajar harus disesuaikan dg tingkat perkembangan anak (biasa dapat diidentifikasi dengan skor tes inteligensi, dengan sedikit bantuan orang dewasa, seorang siswa dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih sulit yang tidak bisa dikerjakan sendiri

Contoh: siswa mungkin dapat mengerjakan persoalan tambah-tambahan sendiri tetapi dapatmenyelesaikan persoalan pengurangan dengan bantuan guru.

Pengajaran yang efektif terjadi apabila berfungsi menstimulasi proses perkembangan, yaitu: pengajaran yang mengenai fungsi kognitif yang sudah matang dan fungsi yang berada di zone of proximal development

Dalam dokumen Buku PPD revisi akhir (Halaman 138-143)