• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Perkembangan Kognitif

Beberapa perubahan yang penting dalam perkembangan seorang anak adalah perkembangan kognitif mereka. Piaget (1952) mengemukakan bahwa

perkembangan kognitif adalah hasil dari hubungan perkembangan otak dan sistem syaraf dan pengalaman-pengalaman yang membantu individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Menurut Jean Piaget (dalam Syah, 1997), perkembangan manusia melalui empat tahap perkembangan kognitif dari lahir sampai dewasa. Setiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan intelektual baru di mana manusia mulai mengerti dunia yang bertambah kompleks. Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut:

1. Tahap Sensori Motorik (0-2 tahun)

Selama dalam tahap perkembangan sensori motorik, kemampuan inteligensi yang dimiliki oleh seorang anak masih berbentuk sederhana, dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun kemampuan inteligensi yang dimiliki oleh anak tersebut masih sederhana, tetapi kemampuan inteligensi ini merupakan kemampuan inteligensi yang paling dasar dan sangat penting karena menjadi fondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang kelak akan dimiliki oleh anak tersebut. Inteligensi sensori motor dipandang sebagai inteligensi praktis yang berguna bagi anak usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap stimulus yang diberikan dari lingkungan kepadanya sebelum ia mampu berpikir mengenai hal yang sedang ia perbuat. Menurut Muhibbin Syah (1997), ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema sensori motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons. Skema sensori motor sendiri adalah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang, orang, keadaan, kejadian). Setelah Piaget melakukan serangkaian eksperimen dan observasi terhadap subjek-subjek bayi, ia menyimpulkan bahwa bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan terhadap object permanence. Dengan kata lain, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh atau tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda tersebut ada di tempat lain.

Pada dasarnya, bayi sudah mengenal bahkan memahami objek-objek di sekitarnya meskipun hanya dengan skema sensori motor. Dengan skema sensori motor ini bayi mengenali benda-benda sebagai konfigurasi- konfigurasi (gambaran bentuk sesuatu) sensori yang stabil. Konfigurasi itu oleh Piaget disebut tableaux atau tableu, yakni pemandangan tetap atau pertunjukan bisu.

Sebagai contoh, sejak usia dua minggu, setiap bayi sudah mampu menemukan puting susu ibunya, dan selanjutnya ia belajar mengenal sifat, keadaan dan cara yang efektif untuk menghisap sumber makanan dan minumannya itu. Kemampuan pengenalan lewat upaya belajar tersebut tidak berarti ia mengerti bahwa susu ibunya merupakan organ atau bagian dari tubuh ibunya. Hal yang ia pahami adalah apabila benda tableau itu didekatkan, maka ia akan mengasimilasi dan mengakomodasikan skema sensori motornya untuk mencapai keseimbangan antara perilaku dan skema sensori motori. Dengan kata lain ia dapat memuaskan kebutuhannya. Dalam rentang usia antara 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis, sehingga benda-benda seperti mainan atau orang-orang yang biasa berada disekitarnya akan ia cari jika ia memerlukannya.

2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun)

Perkembangan ini bermula ketika anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai permanensi objek. Artinya anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat maupun didengar lagi.

Perolehan kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi permanensi objek (ketetapan adanya benda) adalah hasil dari munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut representasi atau gambaran mental. Representasi adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi simbol atau wujud sesuatu yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting dari skema kognitif yan memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda

atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada diluar pandangan, pendengaran atau jangkauan tangannya.

Representasi mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan defarred-imitation (peniruan yang tertunda) yakni kapasitas meniru perilaku orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat untuk merespon lingkungan. Perilaku-perilaku yang ditiru terutama perilaku-perilaku orang lain yang pernah dia lihat ketika orang tersebut merespon barang, orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Seiring dengan munculnya kapasitas deferred-imitation, muncul pula gejala insight-learning, yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal. Dalam hal ini, anak mulai mampu melihat situasi problematik, yakni memahami bahwa sebuah keadaan mengandung masalah, lalu berpikir sesaat. Setelah berpikir, ia memperoleh reaksi berupa pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak.

Hal yang lain adalah pada tahap ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan yang ia tanggapi sangat dipengaruhi oleh watak egocentrism (egosentrisme). Maksudnya anak tersebut belum bisa memahami pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangannya sendiri. Gejala egosentrisme ini disebabkan oleh masih terbatasnya conservation (konservasi/pengekalan), yakni operasi kognitif yang berhubungan dengan pemahaman anak terhadap aspek dan dimensi kuantitatif materi dalam lingkungan yang ia respons.

Sebagai contoh, apabila dua buah gelas yang berkapasitas sama tetapi berbeda bentuk (yang satu pendek besar, sedangkan yang lain kecil tinggi) dituangi air dengan jumlah yang sama, maka anak cenderung akan menebak isi gelas yang tinggi lebih banyak daripada isi gelas yang pendek. Gejala tersebut menunjukkan bahwa anak tersebut hanya mampu mengkonsentrasikan skema kognitifnya pada ketinggian bentuk air dalam gelas yang tinggi tersebut tanpa memperhitungkan kuantitas atau volume yang sama dalam gelas yang pendek tetapi besar. Inilah yang dimaksud sebagai keterbatasan konservasi. Skema kognitif sendiri adalah perilaku

tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operation) yang berfungsi memahami hal yang tersirat atau menyimpulkan sesuatu dari lingkungan yang direspons.

3. Operasional (7-11 tahun)

Dalam periode operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan ini berguna bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu kedalam sistem pemikirannya sendiri. Satuan langkah berpikir anak terdiri dari aneka ragam tatanan langkah yang masing-masing berfungsi sebagai skema kognitif yang dapat dibolak-balik atau ditukar dengan operasi-operasi lainnya. Satuan langkah berpikir anak tersebut yang menjadi dasar terbentuknya intelegensi intuitif. Menurut Piaget, intelegensi adalah proses, tahapan atau langkah operasional tertentu yang mendasari semua pemikiran dan pengetahuan manusia, di samping merupakan proses pembentukan pemahaman.

Dalam operasi intelegensi anak yang sedang berada pada tahap operasional, terdapat sistem operasi kognitif yang meliputi: 1) Conservation; 2) Addition of classes; 3) Multiplication of classes. Conservation (konservasi/pengekalan) adalah kemampuan anak dalam memahami aspek- aspek kumulatif materi, seperti volume dan jumlah. Anak yang mampu mengenali sifat kuantitatif sebuah benda akan tahu bahwa sifat kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara sembarangan. Banyak cairan dalam sebuah bejana tidak akan berubah meskipun dituangkan kedalam bejana lain yang lebih besar ataupun lebih kecil. Begitu juga banyak benda-benda padat seperti bola pejal, tak akan berubah hanya karena mengubah tatanannya.

Addition of classes (penambahan golongan benda) yakni kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah, seperti mawar dan melati yang kemudian dihubungkan dengan golongan benda yang berkelas lebih tinggi seperti bunga. Kemampuan ini juga meliputi kecakapan memilah-milah benda-benda

yang tergabung dalam sebuah benda yang berkelas tinggi menjadi benda- benda yang berkelas rendah, misalnya dari bunga menjadi mawar, melati dan seterusnya.

Multiplication of classes (pelipatgandaan golongan benda) yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna bunga dan tipe bunga) untuk membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar merah, mawar putih dan seterusnya). Selain itu, kemampuan ini juga meliputi kemampuan memahami cara sebaliknya, yakni cara memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi-dimensi tersendiri, misalnya warna bunga mawar terdiri dari merah, putih dan kuning.

Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap aspek kuantitatif materi, pemahaman terhadap penambahan golongan benda, dan pemahaman terhadap pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas perkembangan kognitif anak berusia 7-11 tahun. Perolehan pemahaman tersebut diiringi dengan banyak berkurangnya egosentrisme anak. Artinya anak sudah mulai memiliki kemampuan mengkoordinasi-pandangan orang lain dengan pandangannya sendiri, dan memiliki persepsi positif bahwa pandangan adalah salah satu dari sekian banyak pandangan orang. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun, masih ada keterbatasan- keterbatasan kapasitas anak dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Anak- anak dalam rentang usia 7-11 tahun baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

4. Operasional Formal (11-dewasa)

Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini, seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasi baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: 1) Kapasitas menggunakan hipotesis: 2) Kapasitas mennggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar), seorang remaja akan mampu berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu khususnya

dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respon. Sedangkan dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja tersebut akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak, seperti ilmu agama, ilmu matematika dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam.

Seorang remaja pelajar yang telah berhasil menjalani tahap perkembangan operasional formal akan dapat memahami dan mengungkapkan prinsip- prinsip abstrak. Prinsip-prinsip tersembunyi ini, pada gilirannya akan dapat mengubah perhatian-perhatian sehari-hari secara dramatis dengan pola yang terkadang sama sekali berbeda dari pola-pola perhatian sebelumnya.

Teori tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget tentu saja tidak selalu berlaku sepenuhnya kepada anak. Tahapan-tahapan tersebut pada dasarnya merupakan garis besar yang berhubungan dengan kapasitas kognitif tertentu yang berkembang dalam diri anak dari masa ke masa.

Piaget (dalam Dahar, 2011) menyatakan lima faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif yaitu sebagai berikut:

1. Kedewasaan (maturation)

Perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik dan manifestasi fisik lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif. Walaupun kedewasaan atau maturasi merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual, maturasi tidak cukup menerangkan perkembangan intelektual ini. 2. Pengalaman Fisik (physical experience)

Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstraksi berbagai sifat fisik benda-benda. Misalnya, bila anak menempatkan sebuah benda dalam air, kemudian ia melihat bahwa benda itu terapung. Pengalaman fisik ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak sebab observasi benda- benda serta sifat-sifat benda tersebut membantu timbulnya pikiran yang lebih kompleks.

3. Pengalaman Logika Matematis (logical-mathematical experience)

Selain pengalaman fisik ada pula pengalaman lain yang diperoleh anak, yaitu pada waktu ia mengkonstruksi hubungan-hubungan antara objek-objek.

Misalnya anak yang sedang menghitung berapa kelereng yang dimilikinya dan ia memiliki “sepuluh” kelereng. Konsep “sepuluh” bukannya sifat kelereng-kelereng itu, melainkan sifat konstruksi lain yang serupa, yang disebut pengalaman logika matematika. Proses konstruksi biasanya disebut abstraksi reflektif. Abstraksi reflektif berbeda dengan abstraksi empiris. Abstraksi empiris adalah dimana anak memperhatikan sifat fisik suatu benda dan tidak mengindahkan hal-hal lain. Misalnya waktu anak mengabstrak warna maka ia tidak memperdulikan hal-hal lainnya seperti massa dan bahan dasar benda. Sedangkan abstraksi reflektif melibatkan pembentukan hubungan-hubungan antara benda-benda, misalnya konsep “sepuluh” pada kelereng tidak terdapat pada kelereng. “sepuluh” hanya terdapat dalam kepala anak yang sedang menghitung kelereng tersebut.

4. Transmisi Sosial (social transmission)

Pengetahuan yang diperoleh anak dari pengalaman fisik diabstraksi dari benda-benda fisik. Dalam hal logika matematika, pengetahuan dikonstruksi dari tindakan-tindakan anak terhadap benda-benda itu.

5. Proses Keseimbangan (equilibration)

Ekuilibrasi merupakan kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode ketidakseimbangan. Ekuilibrasi mendorong adanya pertumbuhan intelektual.

Kelima faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif anak yang dikemukakan oleh Piaget, pengaruhnya tidak selalu sama pada setiap anak. Kedewasaan, kemampuan anak untuk mengabstraksi sifat fisik benda-benda atau mengkonstruksi hubungan antara objek-objek dan kemampuan seorang anak dalam mencapai ekuilibrasi sangat mungkin berbeda, tergantung dari lingkungan tempat anak tersebut hidup baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, juga tergantung dari kepribadian dari anak tersebut. Karena perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam perkembangan kognitif tersebut, anak akan memiliki perilaku kognitif yang berbeda. Dengan perilaku kognitif yang berbeda, maka anak juga secara tidak langsung memiliki gaya belajar yang berbeda pula.

Dokumen terkait