BAB II. KAJIAN PUSTAKA
B. Mapasadha
3. Perkembangan Mapasadha hingga Tahun Terakhir
Pada tahun-tahun awal adalah masa perintisan, dimana penyesuaian
dan pemantapan terus-menerus dilakukan. Sampai tahun 1988 Mapasadha
masih menjadi salah satu bagian / sub dari Biro Olah Raga. Kegiatan
Mapasadha pada waktu itu masih terbatas hanya pada pendakian gunung saja.
Beberapa gunung yang telah disinggahi adalah Gunung Lawu, Merapi,
Merbabu, Sumbing, Sindoro, Slamet, Semeru, Rinjani, Salak, Gede,
Pangrango, Ceremai, Argopuro, Raung, Arjuna, Welirang, Agung dan
Kerinci.
Pada tahun awal ini kegiatan yang adapun masih bersifat internal,
baik dalam lingkup organisasi ataupun dalam lingkup kampus. Peningkatan
status dan kedudukan seperti yang ada sekarang ini tentunya bukan tanpa
dasar dan pertimbangan yang kuat. Jumlah anggota yang semakin banyak dan
jenis kegiatan yang semakin banyak dan berkembang merupakan sebagian
Pengembangan dan pembenahan terus dilakukan, pada tahun 1985,
Mapasadha mengadakan Lomba Lintas Alam antar SMTA se – DIY. Sejak
saat itu Mapasadha mulai mendapat nama dan tempat di kalangan Pecinta
Alam yang ada di Jogjakarta.
Pada tahun 1986 dalam Lustrum I Mapasadha, loncatan kegiatan
dimulai. Waktu itu Mapasadha mengadakan berbagai kegiatan kampus yang
melibatkan masyarakat luas di lingkungan kampus, yaitu : bersih kampus,
susur sungai, bazar, pameran dan pemutaran film kepecintaalaman, sarasehan,
penerbitan bulletin dan pendakian umum ke Gunung Lawu untuk mengenang
berdirinya Mapasadha. Kegiatan Mapasadha semakin semarak dengan
suksesnya pementasan Antologi Puisi yang bekerjasama dengan Lembaga
Kebudayaan Indonesia – Belanda yaitu Karta Pustaka pada tahun 1989.
Seiring dengan berkembangnya kegiatan, Mapasadha juga terus
berupaya membenahi perangkat organisasinya. Sejak berdirinya hingga tahun
1994 Mapasadha belum memiliki AD / ART organisasi (Anggaran Dasar /
Anggaran Rumah Tangga). Yang ada hanyalah pedoman singkat mengenai
sejarah, lambang organisasi, kegiatan dan orientasi kegiatan. Baru pada bulan
Mei 1995, dalam musyawarah anggota ke – VII, hal itu dapat terealisasi
dengan terbentuknya Pedoman Umum Mapasadha, yang fungsi dan
kedudukannya setara dengan AD / ART. Penyusunan pedoman Umum
divisi litbang. Dengan adanya Pedoman Umum ini, Mapasadha makin mantap
untuk melangsungkan aktivitasnya sebagai layaknya organisasi.
Bidang organisasi mengalami perkembangan yang pesat pada tahun
1986. Sebelumnya kepengurusan masih terbatas pada ketua suku, sekretaris
dan bendahara dan sejak berdiri sebagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa),
kepengurusan dikembangkan dengan danya divisi-divisi, yaitu divisi
organisasi, divisi seni dan budaya, divisi operasional, divisi sosial dana dan
divisi penelitian dan pengembangan. Pembagian kegiatan dalam divisi ini
dapat lebih terarah dan profesional sesuai minat yang dimiliki oleh setiap
anggotanya.
Bersamaan dengan terbentuknya Pedoman Umum Mapasadha, demi
efektivitas kerja, divisi yang ada disederhanakan menjadi empat divisi, yaitu :
divisi operasional, divisi seni dan budaya, divisi litbang dan sosial dana. Pada
pertengahan 1995, Mapasadha dalam koordinasi divisi penelitian dan
pengembangan melaksanakan bakti sosial di Desa Dakan (Lereng Gunung
Merbabu), salah satu desa di jalur pendakian gunung merbabu.
Hingga saat ini, Mapasadha masih dan akan terus mengupayakan
pengembangan dan variasi kegiatan-kegiatannya, dimana eksistensinya pada
Pecinta Alam yang akan lebih mengarah kepada kegiatan-kegiatan pada
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup maupun kepedulian sosial
C. Peran Konsep Diri pada Pembentukan Perilaku Anggota Mapasadha
Dalam perkembangannya pembentukan konsep diri pada anggota
Mapasadha mengenai identitas diri sebagai seorang Mapala dimulai semenjak
calon anggota tersebut mulai mendaftar menjadi anggota Mapasadha dan ikut
berproses dalam Pra dan Orientasi Mapasadha, menjadi anggota muda hingga
menjadi anggota penuh. Erikson (dalam Burns, 1993) menyatakan bahwa
identitas timbul dari suatu integrasi yang bertahap dari semua proses identifikasi.
Dalam proses Pra dan orientasi tersebut, calon anggota (lonta) diberi materi
mengenai pengenalan organisasi Mapasadha dan sejarah berdirinya beserta
kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya seperti pendakian gunung
(mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran gua (caving), arung jeram
(rafting), SAR (Search and Rescue) dan Kepecintaalaman. Selain itu proses
pembentukan mental sebagai seorang Mapala juga dibentuk dalam proses Pra dan
Orientasi tersebut. Pembentukan mental seperti bagaimana bertahan ketika
tersesat di gunung (survival), baik mengenai teori maupun praktek langsung di
lapangan, bagaimana solidaritas antar anggota yang merupakan sebagai satu
keluarga dan pemahaman mengenai peranan Mapala dalam terhadap lingkungan
hidup, akan diberikan melalui proses Pra dan Orientasi tersebut.
Menurut Fitts (dalam Burns, 1993) Identitas diri dapat diartikan
bagaimana individu mempersepsikan identitas dirinya berdasarkan pengalaman
yang dialami dan penilai orang lain terhadap dirinya. Identitas diri merupakan
dan simbol yang dikenakan pada diri untuk menjelaskan dan membentuk dirinya.
Pemahaman mengenai identitas diri sebagai anggota Mapasadha tentu
berbeda-beda antara anggota yang satu dengan yang lainnya. Bagi beberapa anggota,
pemahaman sebagai anggota mapasadha adalah orang yang suka naik gunung dan
berkegiatan di alam bebas dan bagi anggota lainnya menjadi seorang Mapala
adalah orang yang mencintai lingkungan dan terjun langsung dalam kegiatan yang
berhubungan dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Identitas diri
berkaitan erat dengan umpan balik yang diberikan orang lain terhadap diri
individu. Sikap penerimaan yang diberikan oleh anggota lain akan membentuk
perasaan positif pada diri individu sehingga mampu mengembangkan potensi
yang ada dalam dirinya, sebaliknya penolakan oleh anggota lain akan membentuk
perasaan negatif pada individu.
Konsep diri terdiri dari beberapa dimensi yang saling berhubungan satu
sama lainnya. Menurut Fitts (dalam Burns, 1993) Selain identitas diri,
dimensi-dimensi konsep diri meliputi : diri pribadi, diri fisik, diri keluarga, diri sosial,
tingkah laku dan kepuasan. Dimensi-dimensi tersebut berhubungan antara satu
dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi.
Diri pribadi adalah bagaimana seseorang menggambarkan identitas
dirinya, menilai kemampuan dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Dalam
penggambaran identitas diri ini, Anggota Mapasadha mengemban nama sebagai
seorang pecinta alam. Sebagai seorang pecinta alam, apakah mereka orang-orang
berkegiatan di alam bebas seperti pendakian gunung, penelusuran gua maupun
panjat tebing, karena asumsi masyarakat yang berkembang saat ini adalah
kebanyakan Mapala itu adalah orang-orang yang suka naik gunung
(www.astacala.org). Namun, dalam diri pribadi anggota Mapasadha itu sendiri,
sebagian orang ada yang benar-benar peduli dengan lingkungan dan melakukan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan.
Kegiatan-kegiatan seperti pengadaan workshop tentang pengolahan sampah, penanaman
bibit pohon, pemutaran film yang berhubungan dengan pemanasan global dan
lingkungan hidup untuk civitas kampus, merupakan bukti nyata bahwa di
Mapasadha itu sendiri, ada orang-orang yang peduli dengan lingkungan hidup
yang sekarang ini semakin merosot.
Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di alam bebas
seperti pendakian gunung, menghabiskan waktu yang cukup lama di gunung, bisa
berkisar antara tiga hari sampai satu minggu, maka diri fisik pun akan terkena
imbas dengan kegiatan tersebut.
Diri fisik dapat diartikan bagaimana individu melihat dirinya dari segi
fisik, memandang kesehatan, penampilan, daya tahan tubuh, citra tubuhnya.
Gambaran umum mengenai penampilan Mapala adalah orang-orang yang
berpakaian lusuh, dekil, berambut gondrong, dan anti kemapanan, namun tidak
semua pecinta alam berpenampilan demikian (www.astacala.org). Pada
perkembangannya, hingga tahun dua ribu, di Mapasadha masih banyak
perkembangan zaman dan adanya regenerasi yang terus menuerus berganti
penampilan seperti itu sudah mulai ditinggalkan.
Diri keluarga dapat diartikan bagaimana individu mempersepsikan
dirinya dengan mengacu pada orang-orang yang dekat atau akrab dengannya.
Artinya bagaimana perasaan dan penilaian seseorang sebagai anggota keluarga
serta harga dirinya sebagai anggota keluarga. Bagi para anggotanya, Mapasadha
adalah sebuah keluarga besar. Di dalam keluarga ini terdapat para alumni-alumni,
Anggota penuh, anggota muda dan para simpatisan.
Sebagai satu keluarga besar, dinamika kehidupan di Mapasadha hampir
sama dengan interaksi kehidupan sehari-hari pada umumnya, di dalamnya
terdapat interaksi-interaksi berupa keakraban, solidaritas, pemenuhan kebutuhan,
perbedaan pendapat, perselisihan, problem solving dan ditekankan pula
bagaimana bisa bertahan atau survive di pondok. Survive di sini dimaksudkan
sebagai eksistensi anggota mapasadha itu sendiri, bagaimana anggota itu bertahan
di pondok, tidak sekedar bertahan namun ikut berproses dalam kegiatan
organisasi dan menyumbangkan ide-ide bagi perkembangan dan kelangsungan
Mapasadha. Pondok adalah nama lain dari sekretariat Mapasadha, pondok inilah
rumah bagi para anggota Mapasadha. Pondok ini terletak di gedung UC
(university center) Sanata Dharma lantai II. Di pondok inilah tempat di mana
terjadinya interaksi tersebut, mulai dari rapat anggota, perencanaan dan
pengadaan kegiatan, evaluasi setelah kegiatan, pendaftaran dan penerimaaan
Kunjungan/silaturahmi dan kegiatan-kegiatan bersama yang diadakan
angkatan-angkatan tua atau alumni Mapasadha terhadap anggota-angota muda di pondok
adalah salah satu bukti dari adanya keakraban dan solidaritas antar anggota
Mapasadha.
Dari diri keluarga, beranjak ke diri sosial. Diri sosial dapat diartikan
bagaimana individu mempersepsikan dan memposisikan dirinya di dalam
hubungan sosialnya. Selain berhubungan dengan lingkungan internal Mapasadha
sendiri, para anggota juga berhubungan dengan lingkungan ekternal. Lingkungan
eksternal ini adalah mereka-mereka yang ada di luar anggota Mapasadha itu
sendiri seperti mahasiswa, UKM lainnya, pihak kampus dan masyarakat sekitar.
Kampus, sebagai tempat Mapasadha itu berorganisasi dan berkegiatan
memiliki pandangan dan evaluasi tersendiri terhadap Mapasadha, begitu juga
dengan masyarakat sekitar. Evaluasi yang diberikan orang lain memiliki peranan
penting dalam pembentukan konsep diri. Clooney (dalam Burns, 1993)
menguraikan sebuah teori looking glass self yang intinya individu
mempersepsikan dirinya sesuai dengan apa yang dipersepsikan orang lain
terhadap dirinya.
Hasil penilaian orang lain terhadap individu memiliki pengaruh baik
secara positif maupun negatif bagi terbentuknya konsep diri, misalnya penilaian
positif yang diberikan oleh mahasiswa lain, pihak kampus dan masyarakat pada
kegiatan-kegiatan Mapasadha seperti pengadaan workshop bagaimana
korban yang hilang baik di gunung maupun daerah pantai akan memperkuat
konsep diri anggota Mapasadha dan perlu meningkatkan kegiatan-kegiatan yang
berguna bagi masyarakat. Sedangkan penilaian negatif yang diberikan oleh
mahasiswa lain, pihak kampus, masyarakat bahwa anggota Mapasadha adalah
orang-orang yang sibuk naik gunung, berpakaian lusuh, gondrong, suka
mabuk-mabukan dan kuliah lama (walaupun tidak semua anggota demikian) dapat
mengurangi dan menurunkan konsep diri anggota-anggotanya. Konsep diri yang
positif akan mampu mencerna dan mengolah pandangan dan evaluasi dari
masyarakat baik itu penilaian positif maupun negatif sehingga lebih mampu
meningkatkan konsep diri yang dimilikinya sehingga lebih mampu berorganisasi
dengan baik dan berkarya bagi kelestarian lingkungan hidup dan kepedulian
sosial terhadap masyarakat.
Dari pembawaan diri sebagai diri sosial, diri keluarga, diri pribadi, diri
fisik, dan dari identitas diri masing-masing anggotanya, dapat dilihat tingkah
lakunya. Tingkah laku dapat diartikan bagaimana individu mempersepsikan
tingkah lakunya (Burns, 1993). Konsep diri memiliki peran pada pembentukan
perilaku. Konsep diri mengorganisasikan persepsi di dalam suatu sistem kerja
otak kemudian diaplikasikan dalam bentuk perilaku, artinya perilaku individu
dipengaruhi oleh persepsi dari konsep diri yang dimilikinya. Clooney (dalam
Burns, 1993) dengan teori looking glass self menyatakan konsep diri
mempengaruhi perilaku yang merupakan hasil dari penilaian atau evaluasi
pengalaman pada masa lalu yang akan mempengaruhi pengalaman baru sesuai
dengan pola yang telah terbentuk, sehingga memunculkan tingkah laku sebagai
bentuk dari konsep diri yang dimiliki.
Sebagai seorang pecinta alam, dari pengalaman yang diperoleh sebagai
seorang mapala dan adanya pembelajaran mengenai degradasi lingkungan yang
semakin parah belakangan ini, tingkah laku yang terbentuk bagi beberapa anggota
seperti adanya kepedulian yang lebih terhadap lingkungan hidup, tingkah laku ini
dimulai dari hal-hal kecil yang dimulai dari diri sendiri dengan menanamkan
sikap 3R (Reduce, Reuse, Recycle). 3R adalah mengurangi, menggunakan
kembali dan daur ulang kembali, contoh nyatanya adalah ketika para anggota
berkegiatan di alam bebas seperti pendakian gunung dan penelusuran gua,
sampah-sampah seperti sampah plastik, puntung rokok, kaleng bekas, botol, batu
baterai dan sampah-sampah yang tidak bisa diuraikan oleh alam tidak ditinggal
begitu saja atau dibuang sembarangan melainkan dibawa kembali pulang dan di
buang di tempat sampah (walaupun tidak semua anggota bersikap demikian),
karena gunung bukanlah tempat sampah. Dalam beberapa kasus tertentu, tingkah
laku seperti ini menjadi kebiasaan bagi sebagian anggota dan diterapkan dalam
kehidupan di kota, seperti ketika merokok atau makan permen, puntung dan
bungkus permen tidak dibuang disembarang tempat melainkan sampah tersebut
dikantongi terlebih dahulu sebelum menemukan tempat sampah lalu dibuang.
Dari tingkah laku di atas dan dimensi-dimensi lainnya seperti diri sosial,
kepuasan masing-masing anggota. Menurut Fitts (dalam Burns, 1993) Kepuasan
dapat diartikan bagaimana individu merasakan tentang diri yang dipersepsikan.
Bagaimana perasaan anggota-anggota tersebut dengan adanya identitas diri
sebagai seorang pecinta alam, bagaimana diri pribadi sebagai seorang pecinta
alam, diri fisik, diri keluarga dan diri sosial serta tingkah laku sebagai seorang
pecinta alam.
Dapat disimpulkan bahwa konsep diri memiliki peranan penting dalam
pembentukan perilaku pada anggota Mapasadha. Konsep diri selalu
mengorganisasikan persepsi di dalam suatu sistem kerja otak kemudian
diaplikasikan dalam bentuk perilaku, artinya perilaku anggota Mapasadha
dipengaruhi oleh persepsi dari konsep diri yang dimilikinya. Persepsi
mempengaruhi konsep diri yang berperan penting terhadap terbentuknya perilaku
individu dalam membentuk suatu pengertian terhadap sesuatu yang dihadapi.
Dengan menggunakan logika, anggota Mapasadha mempertahankan integritasnya
sebagai seorang pecinta alam, sehingga perilaku yang muncul adalah hasil dari
konsep diri yang dimilikinya.
Beranjak dari hal tersebut di atas, pemaparan tentang kehidupan
berorganisasi khususnya Mapasadha, kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik di
alam bebas, kegiatan organisasi maupun kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi
kelestarian lingkungan hidup, dan segala bentuk permasalahan di dalamnya,
peneliti ingin mengetahui bagaimana konsep diri yang dimiliki oleh anggota
32
BAB III
METODE PENELITIAN