• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Penyakit dan Karakteristik Pertumbuhan Tanaman Sejak gejala muncul pada 6 – 7 HSI, gejala terus berkembang pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Perkembangan Penyakit dan Karakteristik Pertumbuhan Tanaman Sejak gejala muncul pada 6 – 7 HSI, gejala terus berkembang pada

daun-daun yang muncul selanjutnya. Mulai 10 HSI, tanaman yang menunjukkan gejala mosaik kuat dan disertai malformasi daun tidak dapat melakukan pemulihan (recovery), sehingga pertumbuhan tanaman terganggu dan menjadi kerdil. Tanaman yang menunjukkan gejala mosaik lemah dan mosaik hijau dapat melakukan pemulihan sehingga tanaman tetap tumbuh dan berkembang. Pada semua perlakuan RPPT maupun kontrol sakit, pemulihan dapat dilakukan oleh tanaman yang bergejala mosaik lemah dan mosaik hijau. Ada perbedaan respon tanaman sakit terhadap infeksi virus karena perlakuan RPPT. Hal ini terlihat pada parameter pertumbuhan tanaman seperti biomas tanaman kering dan basah, serta jumlah buah (Tabel 4,5).

Tabel 4. Rata-rata panjang batang utama, biomas basah dan kering tanaman mentimun pada uji induksi resistensi mentimun terhadap ZYMV menggunakan RPPT

Perlakuan Panjang batang utama (cm) Biomas basah (g)* Biomas kering (g)* K1 194,0 588,9a 84,6a K2 209,2 478,6ab 60,0ab BTP1P 197,6 478,3ab 67,3ab BTP3G 192,3 268,2b 41,4b BTP3M 193,2 371,6ab 48,3b

BTP3O 181,0 415,8ab 53,7ab

BF2F 216,5 416,1ab 54,1ab

Ket: *: Perbedaan huruf pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%

Tidak ada perbedaan rata-rata panjang batang maupun jumlah bunga karena perlakuan RPPT. Tanaman yang diberi perlakuan RPPT dan perlakuan kontrol dapat tumbuh dan berkembang sama, kecuali pada parameter jumlah bunga jantan yang mana jumlah bunga pada K1 berbeda dengan perlakuan yang lain. (Tabel 5).

Tabel 5. Rata-rata jumlah bunga jantan, bunga betina dan buah mentimun pada uji induksi resistensi mentimun terhadap ZYMV menggunakan RPPT Perlakuan Jumlah bunga

jantan*

Jumlah bunga betina Jumlah buah

K1 51,1a 8,8 3,0a K2 33,1b 6,4 1,8abc BTP1P 36,1b 8,6 2,6ab BTP3G 26,4b 4,1 1,7bc BTP3M 27,0b 7,9 1,8abc BTP3O 31,2b 7,6 2,2abc BF2F 26,2b 7,4 1,2c

Ket: *: Perbedaan huruf pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 5%

Berkaitan dengan perkembangan penyakit dan kemampuan tanaman sakit melakukan pemulihan, konsentrasi virus yang terukur melalui uji ELISA (Gambar 3) dapat digunakan sebagai pembanding. Secara umum terjadi penurunan konsentrasi virus pada pengukuran ke-2, kecuali pada perlakuan BTP3G dan BTP3O.

Gambar 3. Nilai absorban ELISA (NAE) yang terukur dalam uji induksi resistensi mentimun terhadap ZYMV menggunakan RPPT. P I: pengukuran ke-1 pada 11 HSI, P II: pengukuran ke-2 pada 20 HSI.

Pembahasan

BF dan BTP dapat diisolasi dari pertanaman mentimun di beberapa lokasi dengan jumlah dan jenis bakteri yang berbeda. Parke (1991) dan Legocki (1996) menyatakan bahwa kondisi tanah dan status nutrisi tanaman dapat mempengaruhi keberadaan bakteri rizosfer. Jika pertumbuhan tanaman baik maka tanaman dapat mensekresikan eksudat dan lisat yang menjadi sumber nutrisi bagi bakteri rizosfer (Lynch & Whipp 1991; Nelson 2004).

Kelompok BF tidak diperoleh dari lingkungan pertanaman mentimun di Ciherang yang kondisi tanahnya cenderung basah dan tergenang. Pada kondisi ini populasi BF yang aerobik cenderung rendah sehingga dengan pengenceran

0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 K 2 BT P1 P BT P3 G BT P3 M BT P3 O BF 2F Pe rlakuan N A E P I P II

suspensi perakaran 10-7 – 10-9, BF belum dapat diisolasi. Dalam kondisi sering tergenang, BTP mampu bertahan dalam bentuk endospora. Perlakuan pemanasan pada saat isolasi dapat menyeleksi endospora BTP (Kim et al. 1997). Kemungkinan lain yang mempengaruhi rendahnya populasi BF adalah fase pertumbuhan tanaman mentimun. Pada saat isolasi, tanaman sedang dalam fase generatif (dalam keadaan berbunga dan berbuah). Seperti yang dilaporkan oleh Mew et al. (1994), bahwa kepadatan populasi kelompok Pseudomonas lebih rendah dibandingkan kelompok Bacillus di fase pertumbuhan generatif pada tanaman padi.

Seleksi BF dan BTP sebagai RPPT berdasarkan pada kemampuan bakteri tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman yang diukur pada awal pertumbuhan dengan parameter panjang akar dan jumlah akar lateral (Chambel et al. 1994). Mekanisme peningkatan pertumbuhan ini dapat dapat melalui beberapa cara. Germida dan Freitas (1994) menyatakan bahwa mekanisme utama peningkatan pertumbuhan adalah mekanisme penyerapan nutrisi oleh tanaman. Keberadaan RPPT menyebabkan tanaman mampu menyerap nutrisi makro maupun mikro lebih baik. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa mekanisme peningkatan pertumbuhan berkaitan dengan kemampuan RPPT dalam memproduksi hormon pertumbuhan, siderophore yang dapat mengikat ion Fe dan membuatnya tersedia bagi perakaran tanaman, serta kemampuan melarutkan mineral P (Cattelan et al. 1999; Nelson 2004). Produksi hormon auksin dan 1-aminocyclopropane-1-carboxylate (ACC) deaminase (penghambat pembentukan etilen) oleh RPPT dapat merangsang pertumbuhan sistem perakaran (Loveless 1991; Srinivasan et al. 1997). Suatu siderofor misalnya pseudobactin 358 (PSB358) yang di produksi oleh P. putida WCS 358 dapat mengikat ion Fe menjadi Ferric Pseudobactin (FePSB358) yang berguna untuk stimulasi sintesis klorofil tanaman (Duiff et al. 1994). Kemampuan melarutkan fosfat juga menjadi keunggulan beberapa isolat RPPT. Senyawa fosfat yang dibutuhkan tanaman tidak selalu dalam bentuk tersedia dalam lingkungan pertumbuhan tanaman. Isolat RPPT yang mampu melarutkan fosfat dapat membantu penyediaan fosfat bagi tanaman (Sutariati 2006). Dengan karakter-karakter ini, RPPT dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akhirnya dapat memacu pelepasan eksudat tanaman untuk memenuhi kebutuhan RPPT (Kluepfel 1993).

Keberhasilan induksi resistensi oleh RPPT dapat ditentukan dari masa inkubasi, gejala, kejadian dan keparahan penyakit (Raupach et al. 1996). Pengujian isolat RPPT untuk menginduksi nresistensi mentimun terhadap ZYMV menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan gejala infeksi ZYMV pada tanaman uji karena perlakuan beberapa isolat RPPT. Gejala penyakit juga muncul dalam waktu yang relatif sama (6-7 HSI). Perbedaan gejala berupa mosaik lemah, sedang, dan kuat beserta variasinya terdapat di semua perlakuan yang diinfeksi ZYMV. Variasi gejala ini umum terjadi pada tanaman mentimun maupun Cucurbitaceae lain yang terinfeksi ZYMV (Zitter 1998; CABI 1999).

Berdasarkan nilai kejadian dan keparahan penyakit pada semua perlakuan isolat RPPT, tanaman mentimun uji belum bisa dikategorikan terinduksi resistensinya. Untuk semua perlakuan RPPT, kejadian penyakit mencapai 73,33% - 100%, sedangkan keparahan penyakit mencapai 55,55% - 73,33%. Menurut Dolores & Valdez (1988 diacu dalam Gunaeni et al. 1999), jika keparahan penyakit lebih dari 50%, tanaman dikategorikan sangat rentan terhadap infeksi virus.

Secara umum bisa dikatakan bahwa isolat-isolat RPPT yang diuji belum menginduksi resistensi tanaman mentimun terhadap infeksi ZYMV, tetapi ada satu isolat yaitu BTP1P yang mampu berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan (growth-promoting) dan menyebabkan tanaman mentimun mampu berbuah lebih banyak dengan rata-rata 2,6 buah tiap tanaman dibandingkan kontrol sakit yang hanya berbuah 1,8 tiap tanaman.

Belum adanya induksi resistensi pada tanaman mentimun oleh isolat RPPT yang diuji diduga karena teknik aplikasi RPPT dengan cara penyiraman suspensi bakteri pada benih belum tepat. Dengan cara ini, bakteri yang diaplikasikan mungkin tidak semuanya mampu mengkolonisasi benih mentimun karena dapat terbawa air pada saat penyiraman. Teknik aplikasi ini dapat menjadi faktor penentu keberhasilan induksi resistensi (Cadena-Cepeda et al. 2006). Hal ini penting karena teknik aplikasi bakteri mempengaruhi keberhasilan bakteri untuk

mengkolonisasi perakaran tanaman. Isolat RPPT harus mampu mengkolonisasi perakaran dan memproduksi suatu pemicu atau sinyal untuk menginduksi resistensi dan kemudian ditranslokasikan secara sistemik sebelum ada infeksi patogen (challenge) (Kloepper et al. 1992).

Kemungkinan lain penyebab belum adanya induksi resistensi pada tanaman mentimun adalah karena isolat RPPT yang diuji bukan merupakan agens penginduksi. van Loon et al. (1997) menyatakan bahwa kemampuan induksi resistensi oleh suatu strain RPPT ditentukan oleh suatu faktor determinan berupa asam salisilat, siderofor, atau lipopolisakarida. Sebagai contoh, suatu lipopolisakarida menjadi determinan P. fluorescens WCS417 untuk menginduksi resistensi pada tanaman anyelir, lobak, dan Arabidopsis. Jika isolat-isolat RPPT yang diuji tidak mempunyai faktor determinan untuk memicu induksi resistensi maka isolat tersebut tidak dapat menginduksi resistensi pada tanaman mentimun.

Selain faktor teknik aplikasi dan karakter penginduksi yang harus dimiliki oleh rizobakteri, temperatur udara di ruang pemeliharaan tanaman juga menjadi penyebab gagalnya proses induksi resistensi. Pada saat pengujian induksi resistensi, temperatur udara di ruang pemeliharaan tanaman tidak stabil karena ruang tersebut tidak dilengkapi dengan alat pengendali temperatur. Selama masa percobaan, rata-rata temperatur udara pada siang hari adalah 33 oC – 35 oC, bahkan pernah mencapai 40 oC. Gagalnya sistem pertahanan karena pengaruh temperatur ini pernah dilaporkan oleh Weststeijn (1981 diacu dalam van Loon 2000). Ketika tembakau tahan (mengandung gen N ) diinfeksi Tobaccco Mosaic Virus (TMV) dan temperatur mencapai 30 oC, virus tidak dapat dihalangi penyebarannya sehingga gejala mosaik sistemik mulai berkembang. Naiknya temperatur pada suatu waktu setelah inokulasi virus menyebabkan rusaknya cincin penghalang di sekitar lesio, yang mana cincin penghalang ini berfungsi untuk menghambat pergerakan virus.

Berkaitan dengan perkembangan penyakit, konsentrasi virus yang terukur melalui uji ELISA (Gambar 3) dapat digunakan sebagai pembanding. Hasil pengukuran konsentrasi virus ini memperjelas bahwa perlakuan isolat RPPT belum dapat menginduksi resistensi tanaman mentimun terhadap ZYMV. Pada

pengukuran ke-1 (11 HSI), semua perlakuan yang terinfeksi virus (kontrol sakit maupun isolat RPPT) mempunyai nilai absorban yang hampir sama antara 2,160 – 2,175. Ini berarti bahwa tanaman tidak mampu menghambat replikasi virus sehingga konsentrasi virus pada tanaman yang diberi perlakuan RPPT sama tingginya dengan konsentrasi virus pada tanaman kontrol sakit. Pada pengukuran ke-2 (20 HSI), hanya perlakuan BTP1P yang menyebabkan konsentrasi virus dalam tanaman mentimun lebih rendah dibandingkan kontrol sakit.

Penurunan konsentrasi virus pada pengukuran NAE ke-2 dibandingkan kontrol mengindikasikan adanya penghambatan multiplikasi virus pada mentimun yang diberi perlakuan BTP1P. Dengan konsentrasi virus yang lebih rendah, tanaman mampu melakukan pemulihan sehingga dapat tumbuh dan berbuah lebih baik dibandingkan kontrol sakit. Kemampuan mentimun untuk tetap berbuah dengan rata-rata 2,6 buah tiap tanaman dibandingkan kontrol sakit yang hanya berbuah 1,8 tiap tanaman ini dapat dikatakan sebagai tanaman toleran. Fraser et al. (1986 diacu dalam Fraser 2000) melaporkan bahwa pada tanaman tomat heterozigot (Tm-1/+) yang diinfeksi oleh Tomato Mosaic Virus (ToMV), konsentrasi virus hanya 30% dibandingkan pada tanaman tomat rentan yang mencapai konsentrasi virus maksimal (100%). Pada tingkat konsentrasi virus ini (30%), produksi gejalanya lebih ringan dibandingkan tanaman rentan dan dinyatakan sebagai tanaman toleran. Dalam kasus ini, gen TM-1 pada tomat mungkin mempunyai pengaruh langsung terhadap ekspresi gejala seperti pengaruh penghambatan terhadap multiplikasi virus.

Toleransi terhadap infeksi ZYMV ini diduga karena 1) karakter-karakter pemacu pertumbuhan yang dimiliki oleh BTP1P seperti produksi fitohormon, produksi siderofor atau pelarutan mineral pertumbuhan seperti yang telah dinyatakan oleh Nelson (2004); 2) ada penghambatan multiplikasi dan penyebaran virus dalam tanaman. Adanya kalose atau fargmen dinding sel lain yang dapat menghalangi plasmodesmata sehingga menghambat pergerakan virus misalnya pergerakan Tobaccco Mosaic Virus (TMV) dari sel ke sel di daun tembakau (Shimomura 1979 diacu dalam van Loon 2000). Kalose atau fragmen dinding sel lain ini dapat diinduksi oleh suatu rizobakteri sebagai bentuk respon resistensi

akibat infeksi patogen (van Loon et al. 1998; Tuzun & Bent 1999). Sebagai contoh, penebalan dinding sel karena adanya kalose dan material fenolik dapat diinduksi oleh B. pumilus SE34 pada tanaman kacang polong dan P. fluorescens WCS417 pada tanaman tomat.

Konsentrasi virus pada tanaman yang diberi isolat BTP3M dan BF2F pada pengukuran ke-2 turun seperti pada kontrol sakit. Hal ini umum terjadi pada pola perkembangan virus, yang mana perkembangan gejala dan konsentrasi virus cenderung menurun sesuai dengan pertambahan umur tanaman (Sutarya & Duriat 1995). Produksi buah pada tanaman yang diberi isolat BTP3M sama dengan jumlah buah tanaman kontrol sakit. Ada dugaan bahwa isolat BTP3M belum memberikan pengaruh terhadap proses induksi resistensi. Pada perlakuan BTP3G dan BF2F, produksi buah mentimun per tanaman justru lebih rendah dibandingkan kontrol sakit. BTP3G dan BTP3M menyebabkan penurunan biomas kering tanaman mentimun dibandingkan kontrol sakit. Dugaan mengenai penyebab turunnya potensi pertumbuhan dan produksi adalah stres hormon asam absisi dan pelepasan hasil metabolisme sebagai respon terhadap infeksi patogen (van Loon 2000).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : BTP dan BF yang dapat diisolasi dari berbagai lokasi berbeda jumlah dan jenisnya. Di antara BTP dan BF yang diisolasi terdapat beberapa isolat yang berpotensi sebagai RPPT. Terdapat satu isolat BTP yaitu BTP1P yang berperan agens pemacu pertumbuhan pada tanaman mentimun dan menyebabkan tanaman lebih toleran dengan infeksi ZYMV, tetapi belum dapat menginduksi resistensi sistemik terhadap ZYMV.

Dokumen terkait