• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Deposito Syariah

2.1.5 Perkembangan atau Pertumbuhan Pembiayaan dan Dana Pihak Ketiga (DPK)

Perkembangan pembiayaan dan dana pihak ketiga pada perbankan dapat dilihat dengan pertumbuhannya. Pertumbuhan tersebut bisa dicari dengan menghitung selisih antara jumlah/nilai dari pambiayaan atau dana pihak ketiga tahun sekarang dengan jumlah/nilai dari pambiayaan atau dana pihak ketiga tahun sebelumnya dalam satuan persentase.

Banoon dan Malik (2007) menyebutkan bahwa perkembangan perbankan syariah dapat dilihat dari nilai pertumbuhan indikator-indikatornya. Beberapa indikator perbankan syariah, yaitu asset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit/pembiayaan. Perhitungan pertumbuhan indikator-indikator tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut :

Keterangan : g : growth ( % );

i : asset, DPK, dan kredit/pembiayaan

g i = (g it – g it-1)/ g it-1 x 100 %

2.1.6 Likuiditas

2.1.6.1 Pengertian Likuiditas

Pengertian likuiditas menurut Oliver G. Wood, Jr (dalam Dahlan Siamat, 2004:153) adalah β€œkemampuan bank untuk memenuhi semua penarikan dana oleh nasabah deposan, kewajiban jatuh tempo, dan memenuhi permintaan kredit tanpa ada penundaan”. Sedangkan menurut Van Greuning dari World Bank dalam Ali Norman (2005:17) menyatakan bahwa:

Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi atau komintmenya saat jatuh tempo pada waktu yang sama bank mentransformasi sisi liabilitias mereka untuk mendapatkan berbagai macam maturities pada sisi aset.

Dari beberapa pengertian likuiditas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa likuiditas merupakan gambaran mobilitas keuangan yang terjadi di perbankan dan sebagai gambaran kemampuan peran bank sebagai lembaga intermediasi keuangan.

2.1.6.2 Pentingnya Likuiditas

Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting, khususnya dunia perbankan. Hai ini dikarenakan bahwa bank setiap saat dihadapkan dengan kegiatan mobilitas dana yang masuk maupun dana yang keluar. Likuiditas bank membutuhkan pengelolaan secara efektif dan sefesien mungkin untuk kelancaran proses operasional keungan bank.

Ketika rasio likuiditas sebagai indikator kinerja likuiditas terlalu rendah maka bank akan meningkatkan resiko idle. Terjadinya idle ini akan menambah biaya operasional bank. Selain itu, ketika rasio likuiditas yang merupakan gambaran kinerja keuangan terlalu rendah maka akan menurunkan kesempatan

bagi bank untuk mendapatkan pendapatan bagi bank itu sendiri. Sebaliknya, ketika rasio likuiditas bank terlalu tinggi maka bank terancam resiko terjadinya rush, yaitu penarikan dana besar-besaran oleh para nasabah dan akan mengakibatkan kelangkaan likuiditas. Jika hal ini terjadi maka bank terancam terjadinya tanda-tanda kebangkrutan atau financial distress dan akibatnya bank teracam dilikuidasi atau bangkrut.

Masyhud Ali (227:2004) menyatakan bahwa:

Ketika bank kurang agresif dalam menghimpun pendanaan yang sebanding dengan besaran permodalannya, maka kapasitas bank dalam mecapai pertumbuhan aset serta kemampuannya mencapai besaran lending dan margin keuntungan yang sebanding, menjadi idle. Bank menjadi kurang berhasil mengejar besaran Loan to Deposit Ratio (LDR) yang mencerminkan peranannya sebagai lembaga penghimpun dana dan penyalur dana (intermediasi) dan tidak memiliki kemampuan yang sebanding dalam membentuk earning asset atau aktiva produktifnya secara efektif.

Berdasarkan pengertian likuiditas, yaitu kemampuan bank untuk memenuhi semua penarikan dana oleh nasabah deposan, kewajiban jatuh tempo, dan memenuhi permintaan pembiayaan tanpa ada penundaan, maka dapat dikatakan bahwa likuiditas juga merupakan gambaran bagaimana pengelolaan pasiva dan aktiva pada bank tersebut dikelola dengan baik. Artinya, bagaimana bank memanfaatkan pasiva dan aktiva bank dengan efektif dan efesien untuk memenuhi kewajiban kepada nasabah dari setiap simpanan mereka dan untuk memenuhi permintaan nasabah untuk melakukan pembiayaan. Kedua hal tersebut merupakan suatu hal yang penting untuk menjaga kepercayaan dari nasabah dan kegiatan operasional utama pada perbankan.

Hal ini yang mungkin menjadi alasan penilaian likuiditas perbankan menjadi salah satu alat ukur untuk mengetahui kesehatan bank dan sangat penting untuk menjaga customer relationship dengan nasabah dalam membangun kepercayaan antara nasabah dan bank. Selain itu, pentingnya likuiditas adalah untuk mengetahui serta menilai sampai seberapa jauh bank memiliki kondisi yang sehat dalam menjalankan operasi atau kegiatan usahanya.

Dengan demikian, likuiditas bank membutuhkan pengelolaan secara efektif dan sefesien mungkin untuk kelancaran proses operasional keungan bank dan diharapkan rasio likuiditas berada pada level keadaan yang paling optimal dalam pencapaian tujuan perusahaan bank itu sendiri.

2.1.6.3 Likuiditas Bank Syariah

Masalah likuiditas merupakan masalah yang penting dalam hal operasional perbankan sehari-hari. Kelebihan likuiditas akan mengakibatkan bank mengorbankan profitabilitasnya. Sementara kekurangan likuiditas akan mengakibatkan kerugian bagi bank karena tidak dapat memenuhi kewajiban yang harus segera dipenuhinya sehingga akan menyulitkan bank itu sendiri.

Menurut Dewatripont (199:110) (dalam Ali Norman, 2005:19) mengemukakan bahwa:

Bank akan menghadapi masalah bank runs phenemenon ketika tidak mampu memenuhi permintaan penarikan dana dari depositornya, pada jangka pendek dan tidak menggunakan fungsi informasi asetnya yang berakibat inefesiensi atau akan mengahadapi bank runs ketika menginvestasikan dalam aset jangka panjang yang likuid. Dampak yang lebih jauh adalah bank akan kehilangan kerpecayaan dari masyarakat dan pemerintah dalam hal ini adalah Bank Sentral.

Menurut Ali Norman (2005:20) mengemukakan bahwa:

Mempertahankan likuiditas yang tinggi akan memperlancar customer relationship tetapi profitabilitas/imbal hasil akan menurun karena banyaknya dana yang menganggur. Di lain pihak, likuiditas yang rendah menggambarkan kurang baiknya posisi likuiditas suatu bank.

Salah satu ukuran untuk menghitung likuiditas bank adalah dengan menggunakan loan to deposit ratio (LDR). LDR merupakan gambaran tentang seberapa besar dana yang berhasil dihimpun oleh bank disalurkan sebagai perkreditan atau pembiayaan. Ketentuan Bank Indonesia tentang LDR, berdasarkan ketetapan Bank Indonesia No.6/23/DPNP, 31 Mei 2004 menyatakan bahwa suatu perbankan dikatakan keadaan likuiditasnya baik atau sehat adalah berada pada rasio 85% - 110%. Pemeliharaan kesehatan bank antara lain dengan tetap menjaga likuiditasnya sehingga bank dapat memenuhi kewajiban kepada semua pihak yang menarik atau mencairkan uangnya.

Menurut Masyhud Ali (2004:344), mengemukakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan gambaran perbandingan antara besarnya jumlah pinjaman yang diberikan dengan jumlah dana masyarakat yang dihimpun. Oleh karena itu, likuiditas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

LDR = πΏπ‘œπ‘Žπ‘› yang disalurkan

Total Dana Pihak Ketiga x 100%

Ali Norman (2005:21) mengemukakan bahwa:

Seperti halnya perbankan konvensional, BI menggunakan FDR sebagai salah satu alat ukur tingkat kesehatan bank syariah. FDR dipakai untuk melihat kemampuan bank syariah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dari dana yang telah dihimpunanya. Dalam dunia perbankan syariah tidak dikenal kredit (loan) dalam penyaluran dana yang dihimpunnya. Oleh karena itu, aktivitas penyaluran dana yang dilakukan

bank syariah lebih mengarah kepada pembiayaan (financing). Hutang merupakan sesuatu yang harus dihindari dalam perbankan syariah. Rumus perhitungan likuiditas dikonversi karena masih dalam terminolgi yang sama yaitu fungsi intermediasi perbankan, terutama aspek penyaluran dana yang telah dihimpunnya untuk mendapat gain profit. Rumus LDR kedalam dunia syariah menjadi Financing Deposit to Ratio (FDR). Sehingga FDR dapat dirumuskan dengan:

FDR =π‘ƒπ‘’π‘šπ‘π‘–π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘Žπ‘› yang Disalurkan

Total Dana Pihak Ketiga x 100%

2.1.6.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Likuiditas

Menurut Arifin (2003:145), likuiditas bank syariah dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu volatilitas (volatility) dari simpanan (deposit) nasabah, ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas, akses kepada pasar antar bank dan sumber dana lainnya, ternasuk fasilitas lender of the last resort (LLR) dari Bank Sentral serta faktor komitmen bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi.

Adapun faktor-faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Dana Simpanan (deposit nasabah)

Dana simpanan nasabah adalah dana yang dihimpun bank dalam melakukan fungsi intermediasinya. Dana simpanan nasabah yang dihimpun bank syariah adalah:

a. Tabungan wadiah b. Giro wadiah

c. Tabungan mudharabah d. Deposito mudharabah

2. Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas

Aset bank terdiri dari aset yang bersifat likuid atau mudah/dirubah menjadi uang dan aset yang bersifat tidak likuid (aset yang tidak mudah dicairkan). Aset yang bersifat likuid biasanya merupakan cadangan di samping primary reserve yang ditetapkan bank sentral. Aset-aset yang siap dikonversi menjadi kas terdiri dari:

a. Kas

b. Giro pada Bank Indonesia c. Giro pada bank lain

d. Surat berharga dan lain-lain

3. Akses kepada pasar antar bank dan sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of the resort dari bank sentral.

Dalam aktivitasnya, bank sering membutuhkan dana untuk memenuhi kewajibannya, yaitu mengembalikan dana yang diminta nasabah maupun ketika membutuhkan dana untuk keperluan investasi dan pembiayaan. Kebutuhan akan dana yang cepat didapatkan ini diperoleh melalui akses pasar antar bank maupun fasilitas Bank Indonesia sebagagi lender of the last resort.

4. Komitmen bank dalam pembiayaan atau melakukan investasi

Komitmen bank kepada nasabah atau pihak lain dalam memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi menimbulkan konsekuensi kewajiban bagi bank untuk merealisasikannya. Kewajiban komitmen ini oleh bank dicatat dalam rekening administratif. Ketidakmampuan bank untuk

merealisasikan komitmen tersebut tidak saja berdampak pada reputasi dan bonafiditas bank, tetapi juga berpotensi untuk menghadapi ganti rugi.

Teori lain yang mempunyai pendapat sejenis sebagaimana yang dikutip oleh Siamat adalah commercial loan theory. Teori ini lahir pada abad ke-18. Teori ini mengatakan bahwa kredit (pembiayaan) yang dilakukan bank, terutama pembiayaan jangka pendek (dalam kondisi normal) pada saat pembayaran cicilan oleh nasabah bank dapat menambah likuiditas bank yang bersangkutan. Berarti pembiayaan yang diberikan dapat mempengaruhi jumlah lukiditas.

2.1.7 Pengaruh Pembiayaan dan Dana Pihak Ketiga (DPK) Terhadap

Dokumen terkait