• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Sosialis di Timur Tengah

SEJARAH SINGKAT TENTANG PERKEMBANGAN SOSIALIS

C. Perkembangan Sosialis di Timur Tengah

Sejak dekade 1920-an sampai dekade 1950-an masing-masing negara di timur tengah hanyut kedalam pergolakan politik ganda masing-masing negara berusaha melepaskan diri (merdeka) dari penguasa kolonial Prancis atau Inggris, sedang dalam negeri mereka sendiri tengah berlangsung perebutan kekuasaan antara generasi konservatif lama dan beberapa kekuatan sosial yang sedang berkembang. Perjuangan ini menghasilkan kemerdekaan politik pada tahun 1940-an dan menyatukan antara krisis domestik dan krisis internasional mengalahkan kepemimpinan politik dan identitas idiologi pada dekade 1950-an.

Pada dekade 1920-an dan 1930an para pemikir sosialisme Arab berusaha menampilkan eksistensi kebangsaan Arab, dalam teoritis dan filosofis. Mereka mendefinisikan kebangsaan ini pada aspek bahasa, sejarah dan budaya yang mampu mengatasi perpecahan masyarakat Arab

48

42

kedalam berbagai suku, daerah, agama, dan negara. (Sati al-Husri / حلا ئت ) seorang pendidik

asal Iraq, menyerukan kebutuhan akan kesatuan dan keharusan mengorbankan kepentingan

agama (Primodial) menuju pada kebangsaan sebagai satu keutuhan.49

Pada awal 1940-an oleh geraka militan (Ihya al-Arabi/ي علا ء يحإا,)yang dipimpin oleh

dua orang guru Damaskus, Michel Aflaq dan Salahuddin Baithar, serta filusuf Zaki al-Arsuzi

dari Antiokia mendirikan (Partai Ba‟th/ثع لا ح) Sosialis Arab (Hizb al-Ba‟ats al-Arabi

al-Isytirak/ ّي ا تشإا ّي علا لا ح). Partai ini mencanangkan revitalisasi, reunifikasi, dan

liberalisasi “satu bangsa Arab yang mengemban misi Abadi” suatu ungkapan yang diilhami oleh Fichte sebagai tema perjuangannya, dan mencanangkan revolusioner untuk membalikan perjalan sejarah. Idiologi nasional Ba‟th berkembang ke arah yang berlawanan dengan Nasionalisme Eropa, Juga menggunakan Fasisme Jerman dan Italia sebagai sumber. Ideologi bertumpu pada

konsep bangsa arab yang didefinisikan bukan oleh ras, melainkan oleh realitas kultural.50

Berbeda dengan Fasisme Ba‟th dan Jerman ataupun Italia, adapun Ideologi Fasisme Jerman ataupun Italia sebagai berikut;

• Irrasionalisme

Fasisme menolak semua prinsip-prinsip ilmiah yang berasal dari ilmu pengetahuan tentang politik dan negara, Fasisme juga menolak penerapan penalaran dalam menyelesaikan persoalan-persoalan negara, fasisme lebih menekankan faktor emosional, mitos, dogma (doktrin-doktrin), tentang unsur tanah air (bangsa) ataupun ras.

• Darwinisme Sosial

Darwinisme sosial yang ditunjukan pada teori yang memandang bahwa kehidupan adalah sebagai perjuangan untuk hidup lebih lama dalam setiap spesis dan antar spesis, ciri ini

49

Lapidus, Ira, M, Sejarah Sosial Umat Islam Jilid 3, Jakarta 2000 : PT. RajaGrafindo Persada, hal 147-149

50

43

lebih menonjol pada pandangan Hitler, Hitler sangat terpengaruh oleh ajaran Nietsche tentang kehendak untuk berkuasa. Dalam ajaran ini ditekankan bahwa untuk dapat terus bertahan hidup manusia atau kelompok harus mempunyai kekuatan dan mempertahankan kekuatannya tersebut.

• Elitisme Kekuasaan

Berhubungan dengan prinsip diatas, eksistensi negara dapat dipertahankan dan penaklukan negara tersebut dapat terus berlangsung bila negara tersebut dikuasai oleh golongan tertentu saja dan juga penolakan terhadap ada oposisi, yaitu kepentingan partai

adalah diatas kepentingan bangsa.51

Sedangkan Fasisme Ba‟ths, ada tiga unsur juga yang mendasari gagasan identitas, kebersamaan bangsa Arab dari teluk Persia hingga Samudra Atlantik. Yang pertama adalah sejarah, berdasarkan sejarah Bangsa Arab pernah menguasai 2/3 daratan Eropa, dan menurut sejarah juga, bahwa Adam (nenek moyangnya manusia) pertama kali diturunkan di Arab. Yang kedua yaitu bahasa Arab, bahasa Arab adalah bahasa alamiah umat manusia, karena bahasa Arab adalah bahasa Qur‟an. Yang ketiga adalah agama Islam, yaitu Islam bukan sebagai agama, karena Ba‟ats menghormati kebebasan beragama, melainkan sebagai budaya dan pengalaman

spiritual khas bangsa Arab melalui bahasa dan wahyu al-Qur‟an.52

Pada tahun 1949, Akrom Al-hawrani, seorang agitator sosialis dan penggerak sejumlah pemberontakan di Homs, dan seorang konspirator dengan sejumlah kenalan ditubuh militer, mereka anti kolonialis dalam orientasi internasional dan anti sosialis dalam program domestik,

Akrom mengajarkan doktrin kesatuan Arab, keadilan sosial, demokrasi, dan kebebasan.53

51

Syahrin, Erry, Fasisme Teroris Negara, Pondok Edukasi, Solo, 2003. Hal 21-23

52

Robert Springbord. Baathism in Practice: Agriculture, Politics, and Political Cultur in Syria and Iraq. Midle Eastren Studies 1981, hal 192-209

53

44

Pada tahun 1952 Free Officer yang dipimpin oleh, Muhammad Naquib, Jamal Abdul Nasser, dan Anwar Sadad, menggulingkan raja dan mengakhiri rezim parlementer, dengan demikian perkembangan bangsa Mesir menuju kearah nasional dan sekuler, secara ideologis pemerintahan Free Officer dari liberalisme kepada sosialisme, dari kolaborasi kepada anti kolonialisme, dan dari Nasionalisme kepada Pan Arabisme untuk menggariskan tujuan

pembangunan bangsa Mesir.54

D. Perkembangan Sosialis di Syria

Partai Ba‟ts Sosialis Arab (Hizb al-Ba‟ats al-Arabi al-Isytirak/ ّي ا تشإا ّي علا لا ح) didirikan pada awal 1940-an oleh geraka militan Ihya al-Arabi, yang dipimpin oleh dua orang guru Damaskus, Michel Aflaq dan Salahuddin Baithar, serta filusuf Zaki al-Arsuzi dari Antiokia.

Pada kongres pertamanya di Damaskus pada April 1947, (partai Ba‟th/ ثع لا ح)

memberlakukan Dusthur (konstitusi) sebagai teks fundamental.55 Ba'ath juga dieja Ba'ts atau

Baath dan berarti "kelahiran kembali," "kebangkitan," "restorasi," atau "renaisans" (reddyah).

Mottonya - "Persatuan, Kebebasan, Sosialisme" (Wahda, Hurriya, ishtirakiya) - mengacu pada

persatuan Arab, dan kebebasan dari non-Arab kontrol dan gangguan. Ideologi ba'thisime ini

terutama berbeda dalam asal-usul dan praktek dari klasik Marxisme.56

Semenjak berlangsung pergolakan pada tahun 1950-an, nasib Syria di tentukan oleh (partai Ba‟th/ثع لا ح) dan rezim militer. Sepanjang 1950-an, melalui pemilihan umum dan

54

Sejarah Sosial Umat Islam, hal 121-122

55

Ensiklopedi Dunia Islam Modern, hal 274.

56 Michael Aflag, The Ideology of the Arab Sosialist Renaisant Party (Paris: orient, 1964) vol.30.hal 12-103

45

kudeta, (partai Ba‟th/ثع لا ح) memperluas kekuasaanya terhadap Syria, pada tahun yang sama

partai Ba‟th memperkasai persekutuan dengan Mesir.57

Pada oktober 1963 di Damaskus, partai Ba‟th mengenadopsi laporan yang di ilhami

Yasin al-Hafiz, (Ba‟da al-Munthaqolat an-Nahariyah/ ير ّلا ت لا ع) yaitu merekomendasikan

penerapan segera sosialisme dalam bentuk pembaharuan pertanian, nasionalisme, dan perencanaan ekonomi.

Bermula dari gerakan bawah tanah, (partai Ba‟th/ثع لا ح) mengembangkan hirarkis dan

metode fungsional yang diilhami oleh sentralisasi demokratis, yang resmi pada kongres ke-8 nasional pada April 1965, anggota partai dikelompokan dalam beberapa katagori, mulai dari sel

(khalwah/ خ) dan seksi lokal (firqah/ ف), hingga divisi (syu‟bah/ ش), cabang departemen

(far‟/ ف) serta akhirnya sampai ke partisipan dalam sebuah kongres yang memilih anggota

komando dan sekretaris jendral. (partai Ba‟th/ثع لا ح) mengembangkan stuktur dan hierarki

ganda secara khas, strukur nasional (qoumi/ ) bersama pengikutnya dariseluluh negeri Arab

membentuk kelompok, sedangkan struktur regional (qutri/ ط ( terdapat disetiap negara Arab

yang tempat partai ini aktif, khususnya Syria dan Irak.

Perpecahan ini mengkristal pada Februari 1966 dengan kemenangan pada sayap kiri Neo Ba‟th, shalah Jadid di Damaskus. Sejak juli 1968, saat kembali berkuasa di Baghdad, secara resmi partai ini terbagi dan mempunyai dua komando nasional yang bersaing. Satu di dibawah pengaruh Syria dan yang lainnya dibawah pengaruh Irak.

Pada tahun 1970, dua negara tempat partai ini berkuasa, berkembang kearah kapitalisme negara dan infitah atau terbukanya peluang bagi para wirausahawan swasta nasional dan mitra Barat. Sementara itu, muncul konflik berkenaan dengan konsep persatuan Arab. Syria menginginkan partai ini berkembang secara bertahap dengan pengelompokan awal di wilayah

57

46

Arab Meditrania (Syria Raya), sekitar Damaskus. Akan tetapi, Baghdad ingin menjadikan Irak sebagai negara federatif Arab, mengikuti contoh Prusia, konflik persaingan ini ambisi antara dua pemimpin, Hafeez al-Assad dari Syria dan Saddam Husain dari Irak. Konflik ini menjelaskan

penyatuan kembali sejak Oktober 1978 hingga Juli 1979 mengalami kegagalan.58

58

Ensiklopedi Dunia Islam Modern, hal 274-275.

47 BAB IV

Dokumen terkait