• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan UMKM dari Perspektif Teori

Dalam dokumen UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA (Halaman 14-39)

BAB II PEMBAHASAN

2.3. Perkembangan UMKM dari Perspektif Teori

Dalam pembahasan system-sistem industry dan peran UMKM di dalam sistem-sistem tersebut serta pola perkembangan dari kelompok usaha itu di NSB, perhatian umumnya terfokus pada karya-karya yang terkenal, termasuk dari hoselized (1959), Staley dan Morse (1965), serta Anderson 1982. Pemikiran-pemikiran mereka diklasifikasikan sebagai teori-teori “klasik” mengenai perkembangan UMKM. Sedangkan, yang masuk dalam literature yang memuncul kan paradigm baru atau disebut juga teori-teori “modern” mengenai perkembangan UMKM adalah Berry dan Mazumdar (1991) serta Levy (1991). Teori-teori secara eksplisit membahas penting nya jaringan-jaringan subcontracting dan keuntungan-keuntungan ekonomi dari aglomerasi dan pengelompokan, atau umum disebut cluster, bagi perkembangan UMKM.

Literature mengenai UMKM di NSB pada umum nya membahas UMKM di industry manufaktur, dan perkembangan literature ini diawali oleh munculnya artikel dan Staley dan Morse tahun 1965. Studi mereka didasarkan pada pengalaman dari NM dan NSB, dan mereka mengidentifikasi 3 kategori kondisi bagi keberadaan UMKM, yakni lokasi, proses pengolahan, dan pasar atau tipe dari produk yang dihasilkan. Operasi-operasi pengolahan yang terpisah, kerajinan, atau pekerjaan tangan yang sangat membutuhkan presisi dan proses perakitan, pencampuran, dan penyelesaian akhir yang sederhana adalah kondisi-kondisi paling penting dari proses pengolahan bagi keberadaan UMKM. Sedangkan kondisi pasar yang cocok bagi perkembangan UMKM adalah dalam bentuk produk diferensiasi dengan skala ekonomi yang terendah dan melayani pasar-pasar kecil.

Dari kondisi-kondisi tersebut, staley dan Morse (1965) beragumen bahwa khusus nya kegiatan-keiatan pengolahan yang terpisah atau spesifik (misalnya UMKM memproduksi komponen-komponen tertentu untuk UB) dan produk diferensiasi dengan skla ekonomi yang rendah adalah factor-faktor yang menjelaskan paling penting yang menjelaskan keberadan UMKM di NSB.

a. Pangsa Tenaga Kerja

Walaupun hubunan antara besarnya unit usaha dan tingkat pembangunan ekonomi telah diungkapkan oleh sejumlah peneliti lewat analisis mereka terhadap tahap-tahap pembangunan, literartur teori yang ada mengenai bagaimana UMKM akan dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan riil perkapita (sebagai suatu indicator dari tingkat atau proses pembangunan ekonomi) hingga saat ini masih relative terbatas. Perhatian terhadap isu ini pertama kali diberikan oleh Hoselitz yang dijabarkan di dalam tulisannya (1959) mengenai industrialisasi di Jerman. Ia

menunjukkan bahwa pada tahap ‘awal’ pembangunan, sektor manufaktur di Negara itu di dominasi oleh pengrajin-pengrajin dan banyak dari mereka akhirnya berkembang menjadi usaha-usaha besar; sedangkan yang lainnya gugur atau kegiatannya mengalami stagnasi.

Namun demikian, Hoselitz (1959) tidak menganalisis secara eksplisit sifat alami dari keterkaitan antara tingkat industrialisasi dan perubahan structural di dalam sektor manufaktur. Dia lebih menekankan pada karakteristik dari biaya produksi yang rendah, yang ia simpulkan sebagai kunci kebehasilan dari UMKM. Rendahnya biaya produksi disebabkan teruutama oleh pemakaian angota-anggota keluarga sebagai pekerja-pekerja tidak dibayar.

Mengikuti penelitian Hoselitz, Parker (1979) dan Anderson (1982) juga mengembangkan tipologi fase pertumbuhan yang berbasis pada pengalaman dari NM untuk menjelaskan perubahan struktur skala usaha di sektor industry menurut wilayah dan waktu di NSB. Menurut pendekatan ini, di dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan atau bisa juga disebut evolusi dari komposisi dari kegiatan manufaktur-manufaktur, jika diklarisifikasikan menurut skala, berlangsung melalui tiga fase. Dalam fase pertama, yakni tahap “awal” pembangunan industri (ekonomi masih dicirikan sebagai ekonomi agraris), UMI, disebut juga industry-industri rumah tangga atau kegiatan-kegiatan pengrajin (tipe paling tradisional dari perusahaan-perusahaan di industri manufaktur) paling dominan, baik dalam jumlah unit usaha maupun dalam jumlah pekerja, dilihat dari persentasenya dari jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur. Ini adalah suatu fase dari industrialisasi, di mana terdapat sejumlah besar UMI (kebanyakan di pedesaan) berdampingan dengan sejumlah kecil UB

(kebanyakan adalah perusahaan asing atau badan usaha milik Negara yang berlokasi di perkotaan atau kota-kota besar). Dalam tahap ini, UMI lebih terkonsentrasi di industry-industri seperti pakaian jadi, pandai besi, alas kaki, kerajinan, bahan-bahan bangunan sederhana, serta makanan dan minuman. Di NSB, kegiatan-kegitan produksi di subsector-subsektor tersebut relative mudah dilakukan. Khususnya industry-industri pakaian jadi, makanan dan minuman, serta kerjainan, kebutuhan modal awal sangat sedikit dan produsen/pengusaha tidak perlu memiliki pendidikan formal yang tinggi dan tidak perlu ada tempat khusus untuk kegiatan produksi. Mungkin untuk alasan ini, kegiatan produksi UMI di kelompok-kelompok industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh perempuan dan anak-anak sebagai suatu kegiatan paro waktu, dan dilakukan di dalam rumah pemilik usaha/pengusaha. Pendapatan dari kegiatan-kegiatan UMI tersebut sangat penting, baik sebagai sumber pendapatan utama atau satu-satunya maupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kebanyakan UMI adalah usaha sendiri tanpa pekerja (di dalam literatur umum disebut self-employment atau unit usaha satu orang di mana pemilik melakukan semua pekerjaan).

Dalam tahap ini, juga terdapat banyak kegiatan UMI yang erat kaitannya dengan produksi di sektor pertanian, baik dalam bentuk keterkaitan produksi ke depan, yakni UMI menyuplai berbagai input ke pertanian, maupun dalam bentuk keterkaitan produksi ke belakang, yakni UMI mengolah output dari pertanian, misalnya industri-industri makanan dan minuman. Selain itu, keterkaitan dalam kegiatan produksi antara UMI dan pertanian juga secara tidak langung lewat keterkaitan konsumsi, yakni UMI menyediakan kebutuhan-kebutuhan makanan dan nonmakanan bagi penduduk pedesaan yang pada umumnya adalah rumah tangga-rumah tangga petani.

Dalam fase kedua, di wilayah-wilayah yang lebih berkembang dengan pendapatan per kapita lebih tinggi, UK dan UM (sebut UKM) mulai muncul dan tumbuh pesat, dan secara perlahan menggeser UMI di sejumlah subsektor manufaktur. Ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan ekspansi UKM pada fase kedua ini. Steel (1979), misalnya, menekankan salah satunya adalah pentingnya pasar (dia sebut cash market, yang artinya pasar dimana penjualan dan pembelian dilakukan dengan uang) yang berkembang: Increased urbanization and expanding cash markets give rise to a shift from traditional household activities to complete specialization of the entrepreneur in small scale production and increased use of apprentice and hired labor.

Dalam fase ketiga, pada tahap “terakhir” pembangunan, pabrik-pabrik besar (UB) menjadi dominan, menggantikan UKM (dan juga UMI yang masih ada) di sejumlah industri. Menurut Anderson (1982) fase ini sebagian adalah suatu produk dari fase kedua, sejak pertumbuhan output dan kesempatan kerja di UB dapat dibagi ke: (a) perkembangan skala usaha dari yang sebelumnya UKM menjadi UB, dan (b) perluasan skala produksi dari UB. Namun demikian, ekspansi UB dalam fase ini bisa juga disebabkan sebagian oleh munculnya UB baru (yang perkembangannya sejak awal tidak melalui struktur skala), yang tidak diperhitungkan secara eksplisit dalam analisisnya Anderson.

Dalam fase terakhir ini, pemakaian skala ekonomi dalam produksi, manajemen, pemasaran dan distribusi (tergantung pada tipe produk dan fleksibilitas dalam produksi); keunggulan tekhnologi; efisiensi manajemen; koordinasi produktif; akses ke jasa-jasa infrastruktur pendukung serta keuangan eksternal yang lebih baik; dan pendanaan konkesi dengan insentif investasi, struktur tarif, dan subsidi pemerintah, semuanya adalah penyebab-penyebab atau merupakan insentif utama bagi

perusahaan-perusahaan untuk berkembang menjadi lebih besar. Dalam kenyataannya, faktor-faktor ini sering kali lebih tersedia atau menguntungkan UB atau usaha modern daripada UMKM, khususnya UMI, dan hal ini dapat menjelaskan kenapa kinerja UB lebih baik daripada UMKM dalam fase industrialisasi yang lebih maju.

Dapat dikatakan bahwa bukti empiris mengenai pola perubahan struktur usaha yang sistematis di sektor industri, walaupun masih terbatas, lebih banyak daripada literatur teorinya. Penelitian-penelitian dari Snodgrass dan Biggs (1996) and Tambunan (1994) mungkin dapat memberikan suatu gambaran umum mengenai pentingnya UMI dan UK secara relatif menurut negara dengan tingkat pembangunan ekonomi (diukur dengan tingkat pendapatan) yang berbeda.

Ada banyak kemungkinan pola dari perubahan atau perkembangan dari perusahaan-perusahaan, baik secara individu maupun kelompok skala, yang bisa terjadi yang semuanya konsisten dengan data tersebut. Pola-pola tersebut bisa: (i) banyak UK berkembang menjadi UM dan sejumlah UMI menjadi UK; (ii) banyak perusahaan baru skala kecil atau langsung menjadi skala menengah atau besar; (iii) banyak UMI dan mungkin juga UK tutup karena kalah bersaing.

Mungkin penelitian dari Beck dkk. (2003) dapat dikatakan sebagai studi empiris lintas negara pertama mengenai relasi antara pertumbuhan UMKM dan pertumbuhan ekonomi dengan memakai data pangsa UMKM di dalam total kesempatan kerja di industri manufaktur dari suatu jumlah besar negara di Afrika, Eropa, Asia dan Amerika. Untuk analisis mereka, dikembangkan dua jenis pengukur skala usaha. Ukuran pertama (SME250) adalah pangsa UMKM di dalam total tenaga kerja di industri

manufaktur dengan 250 pekerja sebagai batas maksimum untuk definisi UMKM. Variabel ini memberikan suatu ukuran yang konsisten dari distribusi perusahaan menurut skala antarnegara. Ukuran kedua (SMEOFF) adalah pangsa UMKM dengan memakai definisi UMKM resmi dari masing-masing negara yang diteliti, yang definisinya bervariasi antara 100 hingga 500 tenaga kerja.

b. Pangsa Output

Komposisi output dari UMKM di industri manufaktur juga bergeser dalam proses pembangunan. Saat pendapatan per kapita meningkat, kegiatan-kegiatan UMKM bergeser dari industri-industri “ringan” dengan pengolahan sederhana ke industri-industri “berat” yang memperoduksi barang-barang antara dan kemudian barang-barang modal dengan proses yang lebih ruwet. Dengan kata lain, semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin rendah pangsa UMKM di industri-industri ringan dan semakin tinggi pangsa dari kelompok usaha ini di industri-industri berat, terutama di industri-industri mesin dan alat-alat transportasi, yang di ukur dengan suatu persentase dari total kesempatan kerja di UMKM (Biggs dan Oppenheim, 1986). Namun, tidak hanya antarsubsektor manufaktur, tetapi di dalam sebuah kelompok industri suatu pergeseran industri di dalam UMKM juga terjadi dari membuat barang-barang “tradisional” (yakni jenis kegiatan yang dilakukan umumnya oleh wanita dan anak-anak) ke produksi barang-barang yang lebih canggih atau modern. Dalam kata lain, dengan berjalannya pembangunan (atau meningkatnya pendapatan per kapita), pangsa UMKM yang membuat barang-barang tradisional sebagai suatu persentase dari jumlah kesempatan kerja atau perusahaan di industri-industri terkait berkurang (Liedholm dan Parker, 1989).

Biggs dan Oppenheim (1986) juga menunjukkan bukti yang mengindikasikan bahwa pergeseran sektoral atau perpindahan dari sebelumnya membuat produk-produk sederhana ke produksi barang-barang yang lebih canggih di dalam suatu kelompok industri berlangsung berbarengan dengan perubahan skala usaha, yakni dari UMI menjadi UK, dari UK ke UM, dan dari UM tumbuh menjadi UB.

Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, UKM, terutama UMI, di NSB diperlakukan sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi informal dengan tingkat produktivitas dan pendapatan sangat rendah, tidak terorganisasi secara baik dan sangat buruk pengelolaanya, yang membuat perusahaan-perusahaan tersebut tidak mendapatkan kesempatan lebih baik, bahkan berkurang, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat per kapita. Namun, seperti dijumpai di banyak negara di Afrika, ternyata banyak juga UMI yang aktif terlibat dalam sejumlah industri, termasuk yang berbasis sumber daya alam dan agro, yang mempunyai suatu prospek pasar yang baik, seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita. Artinya, tidak selalu UMI hanya terdapat di industri-industri yang membuat barang-barang “inferior”, seperti dugaan umum. Bukti ini bisa memberi kesan bahwa dengan pembangunan ekonomi, tidak semua UMI akan hilang. Sebaliknya, di banyak NSB terbukti UMI tetap beroperasi. Sebagian dari mereka tetap mikro dan sebagian lain berkembang menjadi pabrik-pabrik yang lebih besar. Satu faktor penting yang bisa menjelaskan kenapa di banyak NSB yang pembangunannya sudah lebih maju, banyak UMI yang bisa selamat dan bahkan tumbuh menjadi usaha-usaha yang lebih besar walaupun mendapatkan persaingan ketat dari UK, UMB, dan barang-barang impor, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering tidak pro

dengan mereka, adalah keahlian atau spesialisasi khusus yang dimiliki pengusaha-pengusaha di UMI secara tradisional (turun-temurun).

c. Perbedaan Pola Pembangunan UMKM Menurut Wilayah Perdesaan dan Perkotaan

Di dalam suatu negara, perbedaan-perbedaan dalam pola transisi di dalam kelompok UKM (yaitu perkembangan dari UMI menjadi UK dan dari UK menjadi UM) atau dari UM menjadi UB juga terjadi menurut lokasi, yakni antara perdesaan dan perkotaan. Penyebab utamanya berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya/kebiasaan masyarakat, dan dalam karakteristik UMKM antara perdesaan dan perkotaan. Dalam perbedaan karakteristik, sejumlah studi menunjukkan bahwa UMI, terutama pengrajin-pengrajin tradisional, seperti pandai besi, pembuat anyaman, pengukir, dan pengrajin lainnya, relatif lebih penting di pedesaan dan mereka lebih banyak dari kategori unit usaha satu orang (tanpa pekerja). Sedangkan UKM, khususnya UM, cenderung mendominasi perkotaan. Pekerja untuk periode jangka pendek, dan sekaligus sebagai tempat pelatihan/magang dan pekerja yang digaji adalah komponen-komponen yang relatif lebih penting dari total kesempatan kerja di UKM perkotaan; sedangkan UMI di perdesaan lebih bergantung pada anggoa-anggota keluarga dari pemilik usaha/pengusaha sebagai pekerja. Selain itu, di daerah perdesaan, pangsa terbesar dari kesempatan kerja di industri manufaktur, terutama di kelompok UMI, dibandingkan dengan UKM berbasis perkotaan, sangat musiman: kegiatan-kegiatan nonpertanian paro waktu mencapai puncaknya pada saat tidak ada kegiatan di sektor pertanian (di luar musim tanam dan panen).

Perbedaan karakteristik juga kelihatan dalam kewirausahaan. Untuk ini, Liedholm (1973) berargumen bahwa di perdesaan

pengusaha-pengusaha mikro dan kecil memiliki perbedaan-perbedaan dalam latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang substansial dibandingkaan rekan mereka di perkotaan. Pemilik perusahaan-perusahaan di perdesaan (yang didominasi oleh UMI dan UK) pada umumnya berpendidikan formal lebih rendah daripada rekan mereka di perkotaan, dan mereka di perdesaan kebanyakan adalah petani atau dari keluarga petani.

Perbedaan dalam orientasi pasar juga kelihatan nyata. Beberapa studi menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di perdesaan tidak terlalu berorientasi pasar, baik untuk output maupun input, dibandingkan rekan mereka di perkotaan, dalam arti tidak agresif mencari atau berusaha memperluas pasar. Selanjutnya, hasil observasi dari Chuta dan Liedholm (1985) di Sierra Leone (Afrika) mengungkapkan adanya suatu keterkaitan erat antara laju pertumbuhan UMKM dan jumlah pekerjanya dengan luas lokasi: laju pertumbuhan UMKM di perkotaan lebih pesat dibandingkan perdesaan. Alasan utanmanya menurut Anderson (1982) adalah pertumbuhan pasar yang lebih pesat di perkotaan daripada di perdesaan. Yang terakhir ini pada gilirannya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita (yang menentukan jumlah pembeli aktual dan potensi) di perkotaan lebih pesat, dan, lebih penting lagi, segmen-segmen penduduk perkotaan yang berpenghasilan menengah dan tinggi lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Kondisi seperti ini menciptakan lebih banyak kesempatan bagi UMKM perkotaan untuk memperluas usaha dan melakukan diservasifikasi pasar; dan khususnya UMKM perkotaan yang melayani pasar bagi segmen berpenghasilan tinggi bisa tumbuh pesat.

Lagi pula, permintaan antara dari UB (termasuk PMA) lebih banyak terkonsentrasi di perkotaan atau di sekitar kota-kota besar. Jadi, ini bisa memberi lebih banyak peluang untuk tumbuh terus dan lebih pesat lagi

bagi UMKM yang berlokasi di perkotaan yan melayani segmen pasar ini (misalnya, lewat subcontracting). Sedangkan di perdesaan atau desa-desa yang lokasinya jauh atau secara geografi terisolasi dari ekonomi perkotaan, perusahaan-perusahaan lokal kebanyakan memproduksi barang-barang tradisional dengan elastisitas pendapatan yang rendah atau bahkan negatif, untuk pasar-pasar lokal yang kecil, dan terutama untuk segmen penduduk berpenghasilan rendah (Mazumdar, 1976).

Sedangkan menurut Byerlee (1973) adanya perbedaan dalam pola perubahan atau pembangunan antara UMKM perdesaan dan UMKM perkotaan, disebabkan oleh pola penawaran dan permintaan dari perusahaan-perusahaan di perdesaan yang sangat berbeda dengan di perkotaan, walaupun dalam skala yang sama. Permintaan output dan sisi penawaran dari UMKM perdesaan sangat erat kaitannya dengan volume produksi dan tingkat pendapatan di perdesaan yang sangat fluktuatif sesuai musim aktifitas pertanian.

Dengan perbedaan-perbedaan karakteristik dan lingkungan yang telah di bahas di atas, UMKM perkotaan bisa menghadapi berbagai masalah, tetapi juga peluang-peluang yang berbeda dengan yang dihadapi oleh UMKM perdesaan. Maka bisa diperkirakan bahwa proses pembangunan ekonomi dalam bentuk peningkatan pendapatan per kapita atau perubahan permintaan di pasar akan memberi dampak yang berbeda terhadap UMKM di perkotaan dengan di perdesaan.

d. Pola Keseluruhan

Baik Hoselitz (1959) maupun Anderson (1982) memprediksi bahwa keunggulan komparatif dari UMKM akan berkurang terus dan UB akan semakin mendominasi ekonomi dengan semakin majunya pembangunan. Namun demikian, pengalaman-pengalaman dari banyak

negara di eropa yan menunjukkan munculnya kembali UMKM sebagai unit-unit bisnis yang kompetitif; semakin pentingnya UMKM di Jepang dan negara-negara industri baru di Asia Timur dimana kelompok usaha tersebut sangat terintegrasi dengan UB lewat jaringan-jaringan subcontracting; dan berkembangnya literatur mengenai berakhir era produksi massal dan tesis mengenai FS, memberi kesan bahwa teori-teori “klasik” tersebut tidak berlaku lagi, tidak hanya di NM, tetapi juga di banyak NSB yang sudah lebih maju, seperti Taiwan dan Korea Selatan.

Sebagai suatu rangkuman, teori-teori “klasik” mengenai evolusi UMKM percaya bahwa dalam perjalanan pembangunan, porsi “ekonomi” dari UMKM dalam pembentukkan atau pertumbuhan PDB, kesempatan kerja, output sektoral, dan total perusahaan akan terus menurun. Sebaliknya, pangsa UB yang lebih modern tumbuh dengan laju yang semakin pesat dan akhirnya kelompok usaha ini mendominasi ekonomi. Hipotesis “Klasik” Mengenai Hubungan antara Pembangunan Ekonomi dan Pentingnya UMKM di Dalam Ekonomi

Pangsa “ekonomi” dari UMKM

Garis Pendapatan-UMKM

Pendapatan per kapita

2.3.1.2. Teori-teori “Modern

Pada dekade 80-an, muncul texis flexible specialization (FS) dan sejak saat itu sudah banyak makalah-makalah seminar, penelitian-penelitian, artikel-artikel di jurnal-jurnal, dan buku-buku yang di tulis mengenai isu baru ini. Munculnya tesis ini adalah hasil dari suatu perdebatan panjang mengenai bagaimana menginterpretasikan pola produksi global yang baru akibat tekanan-tekanan globalisasi dan restrukturisasi industri. Perubahan pola produksi tersebut juga membawa perubahan terhadap cara mengorganisasikan produksi dan tenaga kerja. Beberapa peneliti berargumen bahwa produksi global sedang mengalami suatu transformasi dari produk massal (fordist) ke produksi dalam volume kecil. FS dikenal sebagai salah satu pola baru tersebut yang menggantikan pola produksi fordist (Piore dan Sabel, 1984). Konsep FS berasosiasi erat dengan buku yang terkenal dari Piore dan Sabel (1984) mengenai “the second industrial divide”. Di dalam buku ini mereka mendiskusikan munculnya kembali lokasi-lokasi pengrajin di sejumlah negara di Eropa Barat, yakni Italia, austria, dan Jerman. Dalam mempelajari perkembangan dari lokasi-lokasi pengrajin tersebut, Piore dan Sabel (1984) menegaskan bahwa UMKM di lokasi-lokasi itu telah menjadi bentuk yang dominan dari organisasi industri. UMKM tersebut dikenal sebagai perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan pekerja-pekerja dengan keterampilan tinggi dan multi, menggunakan mesin-mesin yang “fleksibel” yang mengandung tekhnologi-tekhnologi paling akhir dan membuat dalam volume kecil sejumlah produk-produk khusus yang berbeda untuk pasar global. Sedangkan, Holt (1996) memberi penilaiannya mengenai kualitas dari UMKM yang membuat kelompok usaha ini menjadi sangat penting di dalam ekonomi: small firms are supposedly leaner, less bureaucratic, more entrepreneurial and more innovative than large firms and, as a result, it is supposed that they grow further and faster than established firms. Small firms are thought to be especially important as wealth creators and job creators, and they are also considered to be more commited to their

local communities than large firms, both in the sense of sourcing and recruiting locally and in the sense of being less geographically footloose than large companies.

Literatur mengenai tesis FS mengatakan secara explisit bahwa tekhnologi-technologi baru (seperti komputer dan alat-alat monitor dan mesin kontrol pabrik) membuat skala ekonomi menjadi lebih efisien, dan ini semua mempromosikan kelayakan relatif dari UMKM di dalam era globalisasi. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan suatu industri untuk memenuhi perubahan-perubahan pasar yang cepat (khususnya pasar global) dengan tepat waktu, murah, dan efisien telah menciptakan suatu peran baru bagi UMKM di NM. Jadi, peran baru UMKM ini di dalam ekonomi bisa digunakan sebagai suatu argumen untuk menentang proposisi dari Anderson, diantara beberapa lainnya, yang telah dibahas sebelumnya, yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang ekonomi akan dikuasai oleh UB (dalam output maupun kesempatan kerja).

Ada empat bentuk organisasi yang umum dari FS yang diidentifikasi di dalam bukunya Piore dan Sabel (1984) tersebut.

1. Fleksibel dan spesialisasi: perusahaan-perusahaan di dalam komunitas dapat

Dalam dokumen UMKM DAN PERKEMBANGAN UMKM DI INDONESIA (Halaman 14-39)

Dokumen terkait