• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkuliahan 4 ( Budaya Hukum Sebagai Unsur Dalam

Dalam dokumen BUKU AJAR HUKUM DAN KEBUDAYAAN (Halaman 47-58)

Budaya Hukum Sebagai Unsur Dalam Sistem Hukum A. Pengertian Budaya Hukum

B. Type Budaya Hukum

C. Kesadaran Hukum Sebagai Bagian Dari Budaya Hukum D. Syarat-Syarat Efektifnya Hukum

A. Pengertian Budaya Hukum

Dewasa ini kajian tenatng hukum telah berkembang dengan pesat. Berbagai perspektif tentang hukum yang digunakan oleh para pengkaji hukum menambah suburnya perkembangan hukum itu sendiri. Salah satu perspektif yang mulai dikembangkan dewasa ini adalah hukum dalam perspektif budaya. Dalam perspektif ini hukum tidak saja dilihat sebagai bagian dari kebudayaan, tetapi hukum itu sendiri mengandung suatu komponen budaya yang disebut budaya hukum (legal culture).

Apabila suatu masyarakat kita perhatikan akan nampak walaupun sifat-sifat individu berbeda-beda, namun para para warga secara keseluruhan akan memberikan reaksi yang sama terhadap gejala-gejala tertentu. Dengan adanya reaksi yang sama itu maka mereka memiliki sikap yang umum sama. Hal-hal yang merupakan milik bersama itu dalam antropologi budaya dinamakan kebudayaan (T.O. Ihromi, 1986:13)

Budaya hukum bukanlah merupakan budaya pribadi, melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai suatu kesatuan sikap dan prilaku. Oleh karenanya dalam membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang mengandung budaya hukum itu. Misalnya bagaimana tentang

44 sikap prilaku dan tanggapan masyarakat tertentu terhadap sikap prilaku dan pandangan masyarakat lain. Tanggapan yang sama itu dapat bersifat menerima atau menolak budaya hukum lain, begitu pula halnya terhadap norma-norma hukum sendiri yang dikehendaki berlaku.

Sebelum diperkenalkan budaya hukum, sarjana hukum mengadakan wacana mengenai hukum dengan terfokus hanya pada pengertian hukum sebagai aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas. Mereka seolah-olah tidak menyadari bahwa kenyataan social mempunyai pengaruh besar terhadap “beroperasinya” hukum dalam kehidupan sehari-hari. Mereka beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku-perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut.

Untuk dapat melakukan kajian yang holistic tentang hukum dan kenyataan social, diperlukan suatu pendekatan empiris yang memungkinkan untuk dapat dilakukan pengamatan terhadap beroperasinya hukum. Untuk itu hukum harus dipandang sebagai suatu system yang terdiri dari tiga komponen. Menurut Friedman (1975) (ahli sosiologi hukum yang pertama kali mengemukakan konsep budaya hukum), komponen tersebut adalah: legal structure/komponen struktural (institusi atau penegak hukum), seperti Polisi, Hakim, Jaksa, pengacara, dan sebagainya; legal substantive/komponen substantif (aturan-aturan, dan norma-norma); dan legal culture/budaya hukum, meliputi ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan, nilai-nilai, harapan, dan pandangan tentang hukum. (Sulistyowati Irianto, dalam Masinambow (Ed), 2000: 70; Hanitijo Soemitro, 1984: 10)

45 Pendapat friedman kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa sarjana seperti Daniel S. Lev, dan khusus untuk Indonesia konsep tersebut dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bersamaam dengan usaha pengembangan studi hukum dan masyarakat.

Budaya hukum ini oleh Friedman disebut dengan “bensinnya motor keadilan” yang selanjutnya dirumuskan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh positif dan negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan dan ketidak senangan berperkara adalah bagian dari budaya hukum.

Dengan demikian mengacu dari pendapat Friedman apa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah: keseluruhan sikap masyarakat dan system nilai yang ada pada masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum

itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Atau keseluruhan factor-faktor

yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima di dalam kerangka budaya masyarakat (Ronny Hanitijo Soemitro, 1984:10). Atau menurut Hilman Hadikusuma (1986:52) adalah: tanggapan yang bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia

merupakan sikap dan prilaku manusia terhadap masalah hukum yang terbawa ke dalam masyarakat. Oleh karena system hukum itu merupakan hubungan yang berkaitan di antara manusia, masyarakat, kekuasaan, dan aturan-aturan, maka titik perhatian dalam hal ini adalah prilaku manusia yang terlibat dalam peristiwa hukum. Kaitan antara prilaku hukum manusia dengan budaya hukumnya terletak

46 pada tanggapan terhadap hukum yang ideologis dan hukum yang praktis. Antara keduanya bertemu dalam peristiwa hukum yang terjadi.

Kalau kita melihat bekerjanya hukum harus melihat dari ketiga komponen tersebut di atas, dalam arti ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Bilamana kita melihat bekerjanya hukum semata-mata dari segi strukturalnya saja, maka kita akan terpaku pada kerangka bekerjanya system hukum sebagaimana digambarkan oleh peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Begitu juga kalau kita hanya melihat dari segi substantifnya saja maka yang nampak adalah hukum sebagai seperangkat norma yang logis dan bersifat otonom. Dari itu hukum kebanyakan dilihat sebagai suatu yang bersifat dogmatis sehingga realita masyarakat menjadi terlupakan.

Dengan dimasukkannya komponen budaya, kita akan melihat hukum tersebut secara lebih realitis, yaitu melihat hukum sebagaimana adanya dalam kehidupan masyarakat. Atau dalam istilah yang lebih khusus melihat hukum sebagai suatu yang “terpasang dalam masyarakat”. Melalui pendekatan yang demikian itu dapat diketahui apakah hukum itu digunakan atau tidak dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian budaya hukum akan berfungsi sebagai “jiwa” yang akan menghidupkan seluruh mekanisme hukum, akan tetapi juga dapat “mematikan” seluruh mekanisme pelaksanaan hukum yang ditetapkan unutk berlaku dalam masyarakat. Selain itu melalui budaya hukum kita akan dapat melakukan monitoring terhadap tingkat pelaksanaan atau penegakkan hukum dalam masyarakat, apakah hukum itu efektif atau tidak.

47 Dengan melihat komponen-komponen dalam system hukum yang saling mempengaruhi, maka akan dapat dikaji bagaimana beroperasinya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat, oleh karenanya kita tidak mungkin mengkaji hukum secara terisolasi tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan social yang ada dalam masyarakat. Secara khusus budaya hukum adalah bagian dari kekuatan-kekuatan social tersebut, yang dapat memberi masukan, menjadi penggerak, dan selanjutnya memberi out put kepada system hukum.

B. Type Budaya Hukum

Untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan luas tentang budaya hukum, kiranya perlu dikemukakan pendapat Daniel S. Lev yang mencoba untuk mempergunakan konsep budaya hukum sebagaimana dikemukakan oleh Friedman untuk menganalisa perubahan system hukum di Indonesia semenjak revolusi. Dalam tulisannya ia membagi budaya hukum atas “nilai-nilai hukum prosedural” dan “nilai-nilai hukum substantif”

Satjipto Rahardjo telah membuat analisa bagaimana sebenarnya budaya hukum yang berlaku dalm masyarakat Indonesia pada umumnya. Landasan pendapatnya bertolak dari anggapan bahwa dalam hal berlakunya hukum hal-hal yang tidak dapat diabaikan disamping mereka-mereka yang menjalankan hukum positif, juga peranan orang-orang atau anggota masyarakat yang menjadi sasaran berlakunya hukum positif tersebut. Apakah hukum itu dijalankan atau tidak dalam

48 masyarakat, banyak ditentukan oleh sikap, nilai serta pandangan yang dihayati oleh anggota masyarakat.

Berdasarkan anggapannya, Satjipto mengemukakan pembedaan budaya hukum yang berlaku dalam masyarakat tradisional, masyarakat modern, dan pada masyarakat yang sedang mengalami perkembangan. Dalam masyarakat tradisional berlaku “budaya hukum absolut”; dalam masyarakat modern berlaku” budaya hukum terbuka”; dan dalam masyarakat yang sedang mengalami perkembangan berlaku “budaya hukum personal”.

Tiga bentuk budaya hukum yang disebutkan Satjipto, secara umum dapat kita sebut sebagai bentuk-bentuk dari “budaya hukum local”, dan “budaya hukum umum”

Hilman Hadikusuma (1986: 54-59) mengemukakan tiga type budaya hukum sebagai berikut:

1. Budaya Parokial/Picik (parochial culture). Cara berfikir masyarakat masih terbatas. Kaidah hukum peninggalan leluhur pantang dirubah atau dilanggar, sebab penyimpangan terhadap kaidah tersebut akan mendapat kutukan gaib. Dalam masyarakat dengan type budaya hukum seperti ini belum banyak diadakan pembagian kerja, pemimpinnya bersifat multi fungsi atau serba guna. Masyarakat lebih mengutamakan dan membagakan budaya hukumnya sendiri, serta mengganggap hukumnya lebih baik dari hukum orang lain. In put dari warga masyarakat yang berkaitan dengan hukum dan keadilan sangat kecil, apalagi terhadap system hukum tidak ada sama sekali, mereka percayakan saja kepada pemimpin.

49 2. Budaya Subjek (takluk). Cara berfikir sudah ada perhatian dan mungkin juga sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Orientasi pandangan terhadap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, Cuma cara pengungkapannya secara pasif.

3. Budaya Partisipan (berperan Serta). Cara berfikir dan berperilaku masyarakat ada yang berbudaya takluk, namun sudah banyak masyarakat merasa berhak dan berkewajiban berperan serta, karena sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta. Orang-orang sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Mereka merasa terlibat dalam masukan dan keluaran hukum, serta ikut menilai peristiwa hukum dan peradilan, serta terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum, maupun keluarga dan dirinya sendiri.

C. Kesadaran Hukum Bagian Dari Budaya Hukum

Suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah yang mempengaruhi “jalannya” peraturan hukum itu dalam masyarakat? Berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat, efektif atau tidaknya peraturan itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat, adalah sederetan pertanyaan yang berkaitan dengan kaidah hukum itu sendiri.

Karena kaidah hukum itu dibentuk berdasarkan kemauan hukum masyarakat, berdasarkan kemauan bersama (kolektif), maka dalam

50 pembentukannya harus berdasarkan “asas” yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai tempat menyendikan norma hukum itu.

Azas yang hidup dimaksudkan disini adalah kenyataan yang mempengaruhi penerapan hukum dalam masyarakat, serta dengan dasar ini pula hukum itu dibentuk agar sesuai dengan kemauan hukum masyarakat. Pembentukan kaidah hukum yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan “menyendikan hukum berdasarkan atas kesadaran hukum”

Dalam Tap MPR. No II/MPR/1983 tentang GBHN, ada disebutkan bahwa: “Dalam pembangunan dan pembinaan hukum ini akan dilanjutkan usah-usaha untuk meningkatkan dan menyempurnakan hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum, antara lain dengan mengadakan kodifikasi serta univikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat”.

Disana dikatakan bahwa ”Azas kesadaran hukum itu adalah bahwa tiap-tiap waraga Negara Indonesia harus selalu sadar dan taat kepada hukum dan mewajibkan negara untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum”.

GBHN tidak memperinci lebih lanjut tentang pengertian kesadaran hukum, hanya saja pada bagian lain ada disinggung tentang “azas kesadaran hukum” yang menurut Chairuddin (1991) pengertian yang diberikan tidak membantu dalam menjelaskan masalah tersebut. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa pengertian tersebut di atas adalah pengertian dalam arti operasional, bukan dalam arti “azas” yang melandasi dari norma hukum yang kita maksudkan semula.

51 Menurut Scholten sebagaimana yang dikutip oleh Abdurahman (dalam Chairuddin, 1991:106), bahwa “kesadaran hukum masyarakat dalam masa transisi memberikan batasan bahwa pengertian kesadaran hukum itu meliputi, pengetahuan tentang hukum, penghayatan terhadap hukum, dan ketaatan terhadap hukum.

Jika demikian batasan yang diberikan, maka permasalahannya adalah bagaimana menyusun norma hukum, yang didasarkan asas kesadaran hukum. Untuk dapat menghayati dan mentaati norma hukum, orang harus terlebih dahulu mengetahuinya. Hukum yang disusun tanpa memperhatikan aspek ini justru akan menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Orang yang mengetahui tentang sesuatu justru akan lebih mudah untuk memahami yang menimbulkan keinginan untuk menghayati dan mematuhinya, ketimbang orang yang tidak mengetahui sama sekali.

Jika dalam suatu masyarakat masing-masing individu telah “mengetahui” yang sampai mentaatinya, maka terciptalah dalam masyarakat itu perasaan kolektif untuk menghormati hukum.

Tepat sekali yang dikemukakan oleh Betrand Russel (dalam Seorjono Soekanto & Mustafa Abdullah, 1982:211-212) “ hukum hampir-hampir tidak ada gunanya apabila tidak didukung oleh perasaan daripada masyarakat”

Berkaitan dengan kesadaran hukum kiranya penting untuk dikemukakan pendapat Von Savigny dan Eugen Ehrlich. Savigny (dalam Hanitijo Soemitro, 1984:17) berpendapat bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (Volgeist). Semua hukum berasal dari adat-istiadat dan

52 kepercayaan dan bahkan tidak berasal daro pembentuk undang-undang.. Menurutnya betapa pentingnya untuk meneliti hubungan antara hukum dengan struktur beserta system nilai-nilainya.

Eugen Ehrlich (dalam Hanitijo Soemitro, 1984 : 19) menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. selanjutnya dikemukakan bahwa pusat perkembangan hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislative, keputusan-keputusan badan yudikatif, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib di dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang diterima oleh masyarakat, dan bukan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.

D. Syarat-syarat yang menentukan efektifnya hukum

• Berlakunya hukum sebagai kaedah (gelding/bhs Belanda atau geltung/bhs Jerman), hendaknya memenuhi syarat, agar dapat berlaku efektif.

• Syarat itu adalah

(1) Syarat yuridis: memiliki landasan hukum yang lebih tinggi. (2) Syarat sosiologis: sesuai dengan keadaan masyarakat. (3) Syarat filosofis: bermakna bagi masyarakat.

• Menurut Soekanto & Musta Adullah (1982), bila hanya memenuhi salah satu syarat, kemungkinannya adalah

a. Bila kaedah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan kaedah merupakan kaedah mati.

b. Bila hanya berlaku secara sosiologis, maka kaedah hukum menjadi aturan pemaksa.

53 c. Bila hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum hanya

merupakan hukum yang dicita-citakan.

Agar kaedah hukum dapat berfungsi seperti yang diharapkan, menurut Soerjono Soekanto (2005), tergantung dari 4 faktor, yaitu:

a. Faktor hukum itu sendiri, yaitu undang-undang atau peraturan. b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang

membentuk dan penegak hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan atau penegakan hukum;

d. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan

rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Bahan Bacaan :

1. Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung, Jakarta. 2. Apeldoorn, L.J van, 1981. Pengantar Ilmu Hukum. Yakarta, Pradnya

Paramita.

3. Artadi, I Ketut, 2006. Hukum dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar, Pustaka bali Post.

4. ____________, 2004. Nilai Makna dan Martabat Kebudayaan. Denpasar, Sinay.

5. Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta, Pustaka Jaya.

6. Hilman Hadikusumah, 1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung, Alumni.

7. Satjipto Raharjo, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Alumni, Bandung. 8. Soerjono Soekanto, 1991. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan

Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.

9. _______________, 2005. Faktor-faktor yang Mempenaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, RajaGrafindo Persada.

54

Dalam dokumen BUKU AJAR HUKUM DAN KEBUDAYAAN (Halaman 47-58)

Dokumen terkait