• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. BAHAN DAN METODE

3.3. Metodologi Penelitian

3.3.1. Perlakuan Konservasi Tanah dan Air

Teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan, yaitu:

Blok 1 (Blok 375) : Microcatchment yang diberi teknik peresapan air berupa teras gulud bersaluran yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal.

Blok 2 (Blok 414) : Tanpa perlakuan, yaitu microcatchment yang tidak diberi perlakuan teknik peresapan air, yakni dibiarkan alami sebagaimana adanya.

Blok 3 (Blok 415) : Microcatchment yang diberi teknik peresapan air berupa rorak yang dilengkapi dengan lubang resapan dan mulsa vertikal.

Guludan dibangun sejajar kontur diantara tanaman pada setiap beda tinggi (vertikal interval) 80 cm. Guludan yang dibuat mempunyai ukuran tinggi, lebar dan dalam saluran masing- masing kurang lebih 30 cm. Lubang resapan dibuat di bagian tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang 10 cm dan sedalam 50 cm. Sisa tanaman berupa pelepah sawit, dan daun semak belukar diberikan dengan cara memasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran yang dibuat (Gambar 1a).

Rorak (panjang 300 cm, lebar 50 cm, dan dalam 50 cm) dibangun di antara tanaman kelapa sawit sejajar kontur dengan pola zig- zag antar garis kontur. Jarak antar rorak dalam satu garis kontur sejauh 2 meter. Pada setiap rorak dibuat 2 (dua) lubang resapan berjarak 2 m antara lubang yang satu dengan yang lain, dan dengan diameter serta kedalaman sama seperti yang dibuat pada saluran guludan. Ke dalam rorak dan lubang resapan juga ditambahkan sisa-sisa tanaman dan semak belukar sebagai mulsa vertikal (Gambar 1b).

(a) (b)

Gambar 1. Guludan bersaluran (a) dan rorak (b) dilengkapi dengan lubang peresapan dan mulsa vertikal.

3.3.2. Instalasi dan Tata Letak Peralatan

Stasiun pengamatan yang dibangun ditujukan untuk mengamati dinamika air pada ketiga microcatchment. Untuk mengamati curah hujan dan dinamika air hujan, dipasang alat penakar hujan otomatis. Penakar hujan otomatis ini dibangun pada tempat terbuka dekat Blok 375 yang berada di halaman Kantor Afdeling III. Di samping alat penakar hujan otomatis yang berada di dekat Blok 375, pada Blok 414, dan Blok 415 dipasang pula alat penakar hujan tipe observatorium. Pemasangan tiga alat penakar hujan pada masing- masing blok ini ditujukan untuk mengamati curah hujan secara teliti dan sekaligus untuk mengantisipasi adanya kemungkinan variasi hujan pada ketiga blok tersebut. Untuk mengamati besarnya evaporasi potensial dipasang evaporimeter (Panci Kelas A) yang diletakkan berdekatan dengan alat penakar hujan otomatis. Penakar hujan otomatis dan Paci Kelas A yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

( a ) ( b)

Gambar 2. Alat penakar hujan otomatis (a) dan Panci Kelas A (b).

Untuk mengamati dinamika komponen siklus hidrologi atau siklus air maka pada setiap microcatchment dibangun 9 (tiga) stasiun pengamat untuk lolosan tajuk (throughfall) dalam bentuk bak besi (3a), talang (3b) dan kombinasi botol dengan corong (3c), sedangkan untuk aliran batang (stemflow) (3d) dibangun 3 (tiga) stasiun pengamat pada setiap microcatchment. Dengan demikian terdapat 36 (tiga puluh enam) set stasiun pengamat diseluruh lokasi penelitian. Ke - 36 stasiun pengamat pada setiap microcatchment masing- masing mewakili lereng bagian atas, tengah dan bawah. Alat ukur lolosan tajuk dan aliran batang yang digunakan pada setiap stasiun pengamat dapat dilihat pada Gambar 3.

(c) (d)

Gambar 3. Alat ukur lolosan tajuk; bak besi (a), talang (b), botol dengan corong (c) dan alat ukur aliran batang (d).

Pengamatan aliran permukaan dilakukan dengan pembangunan weir yang dilengkapi dengan Automatic Water Level Recorder (AWLR). Karena panjang saluran pengaliran air pada Blok 375 dan Blok 415 cukup panjang hingga bagian hulu saluran pengaliran tersebut berada diluar blok, maka pada kedua blok tersebut masing- masing dibangun dua weir, bagian inlet dan outlet. Weir pada Blok 414 cukup satu buah, sehingga secara keseluruhan jumlah weir yang dibangun sebanyak 5 buah. Weir berikut AWLR yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

( a ) ( b )

Gambar 4. Automatic Water Level Recorder (AWLR) (a) dan Weir (b)

3.3.3. Teknik Pengamatan dan Pengukuran di Lapang

Pengukuran curah hujan dilakukan dengan sebuah penakar curah hujan tipe observatorium yang di letakkan pada tempat terbuka yaitu Blok 375. Untuk keperluan kalibrasi, air hujan yang tertampung dalam penakar hujan juga diukur secara manual setiap hari dengan mengukur air yang tertampung pada penakar hujan dengan menggunakan gelas ukur (dalam satuan milimeter). Hasil yang didapat merupakan curah hujan yang turun pada pertanaman kelapa sawit. Dua buah penakar hujan manual tipe observatorium dipasang pada blok lainnya lainnya yaitu pada Blok 414 dan Blok 415 untuk mengakomodasikan variabilitas hujan yang jatuh pada wilayah penelitian. Untuk analisis dibahas dalam periode mingguan agar keragaman curah hujan yang terjadi bisa interpretasi dengan lebih baik.

3.3.3.2. Intersepsi

Intersepsi di lapang tidak bisa diukur secara langsung. Pendugaan besarnya intersepsi dihitung berdasarkan selisih antara curah hujan yang sampai di puncak tajuk dengan curah hujan yang sampai ke permukaan tanah baik yang melalui tajuk (throughfall) maupun yang melalui aliran batang (stemflow), atau dengan persamaan sebagai berikut:

I = P – ( TF + Sf ) dimana :

I : intersepsi hujan (mm/hari) P : curah hujan (mm/hari) TF : lolosan tajuk (mm/hari) SF : aliran batang (mm/hari)

Stemflow diukur dengan menampung air hujan yang mengalir pada batang pohon kelapa sawit yang dialirkan dengan selang kemudian ditampung ke dalam drum. Pengukuran jumlah stemflow secara manual, dimana volume air (liter) yang tertampung dalam drum dikalikan dengan jumlah pohon dalam suatu blok, lalu diubah satuannya dalam ml, kemudian hasil tersebut dikalikan dengan luas lahan dalam blok sehingga didapat nilai stemflow dalam mm.

Throughfall dari kelapa sawit diukur dengan memasang bak penampung dengan luas tangkapan 1 m2 yang diletakkan pada beberapa tempat refresentatif. Pengukuran jumlah throughfall secara manual, dimana volume air (liter) yang tertampung dalam bak penampung dibagi dengan luas penampang sehingga didapat nilai throughfall dalam mm.

Dengan demikian setelah data curah hujan, aliran batang dan curahan tajuk diperoleh, maka besarnya nilai intersepsi hujan dapat dihitung. Hubungan antara intersepsi dengan curah hujan didekati dengan persamaan regresi linier2 yaitu sebagai berikut :

Blok 1 : INTCP = 0.2010* CH + 0.4264, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm Blok 2 : INTCP = 0.2120* CH – 0.0268, dengan INCTP maks pada CH = 29 mm Blok 3 : INTCP = 0.2063* CH – 0.3844, dengan INCTP maks pada CH = 27 mm Pada curah hujan yang tinggi, intersepsi ditentukan nilai maksimumnya, sedangkan curah hujan yang lebih kecil atau sama dengan 3.0 mm seluruhnya diintersepsi oleh tajuk tanaman kelapa sawit.

3.3.3.3. Evapotranspirasi

2 Purba, F. P. 2007. Intersepsi Hujan pada Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus di UU Rejosari PTPN VII Lampung. Draft Skripsi. Fakultas Pertanian. Insttut Pertanian Bogor.

Evaporasi aktual diukur dengan evaporimeter Panci Kelas A yang diletakkan pada lokasi representatif yaitu Blok 375. Penguapan air dari panci diukur setiap hari sekitar pukul 08.00. Evaporasi potensial dihitung dari data evaporasi Panci Kelas A yaitu :

EPt = kp.Ep dimana :

EPt : evaporasi potensial (mm) Kp : koefisien panci (0.8)

Ep : evaporasi panci kelas A (mm)

Pendekatan nilai evapotranspirasi belum mempertimbangkan nilai perkolasi. Hal ini disebabkan karena lokasi instalasi alat lisimeter yang belum tepat sehingga belum ada keteraturan nilai perkolasi. Oleh sebab itu evapotranspirasi potensial didapat dengan mengalikan evaporasi potensial dengan koefisien tanaman. Dalam hal ini koefisien tanaman kelapa sawit memiliki nilai faktor tanaman (Kc) sebesar 1.2. Sehingga rumus untuk pendugaan evapotranspirasi potensial adalah :

ETp = kc.Ep dimana :

ETP : evapotranspirasi potensial (mm) Kc : nilai faktor tanaman (1.2)

3.3.3.4. Aliran Permukaan.

Weir dan AWLR (automatic water level recorder) untuk mengukur tinggi muka air secara otomatis ditempatkan pada titik pembuangan microcatchment.

Weir dibuat agar aliran air yang keluar dari microcatchment melalui penampang yang beraturan dan mempunyai kecepatan yang relatif homogen sehingga penampang basah dapat ditetapkan dan kecepatan alirannya dapat diukur dengan menggunakan current meter. Dimensi weir yang dibangun disesuaikan dengan jumlah air yang keluar dari microcatchment. Kecepatan aliran air diukur pada berbagai tinggi muka air sehingga debit aliran air yang keluar dari

microcatchment pada berbagai ketinggian dapat diketahui. Berdasarkan korelasi tinggi muka air dan debit aliran yang terukur pada titik outlet dibuat kurva lengkung debit aliran (discharge rating curve). Rating curve tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung debit aliran yang dihasilkan dari berbagai kejadian hujan yang jatuh pada areal microcatchment.

Pengamatan terhadap aliran permukaan dilakukan dengan menganalisis hasil pencatatan AWLR. Untuk mendapatkan volume aliran permukaan pada setiap AWLR terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran debit pada berbagai ketinggian air. Berdasarkan hasil pengukuran debit tersebut selanjutnya dibuat kurva lengkung (rating curve) debit aliran saluran yang bersangkutan. Kurva lengkung dan ketinggian air hasil pencatatan AWLR tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan volume aliran.

3.3.3.5. Neraca Air

Secara empiris persamaan neraca air di sekitar perakaran kelapa sawit dapat dirumuskan sebagai berikut (Tim Faperta IPB – PPKS Medan, 2006) :

∆S = P - INTP - ETP - RO

dimana :

∆S : cadangan air tanah (mm) P : curah hujan (mm)

INTP : intersepsi (mm)

ETP : evapotranspirasi potensial (mm) RO : aliran permukaan (mm)

Nilai debit atau total runoff merupakan gabungan dari aliran permukaan (overlandflow), dan aliran bawah permukaan (interflow) + aliran air bawah tanah (baseflow). Nilai aliran bawah permukaan (interflow) + aliran air bawah tanah (baseflow) digabung menjadi satu karena pada daerah penelitian memiliki solum yang dangkal, dimana terdapat lapisan padas sehingga nilai aliran bawah permukaan (interflow) yang terukur merupakan gabungan dengan nilai aliran air bawah tanah (baseflow). Kehilangan air melalui perkolasi belum dimasukkan ke dalam perhitungan karena belum ada keteraturan pola dari data perkolasi, sehingga cadangan air tanah ya ng terukur merupakan kadar air yang berada di zona jenuh (hasil perkolasi) maupun zona tidak jenuh.

3.3.4. Analisa Data

Untuk mengetahui pengaruh teknik peresapan air terhadap cadangan air dalam tanah akan dilakukan analisis dengan menggunakan perbandingan kuantitatif logis. Data yang diperoleh juga akan dikorelasikan satu dengan yang lain dalam bentuk grafik sehingga mudah dipahami. Teknik peresapan air yang mampu menekan aliran permukaan, meningkatkan cadangan air dalam tanah (storage) dan menunda kekeringan adalah teknik peresapan air yang terbaik.

Dokumen terkait