• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai Wajib Pajak Penghasilan (PPh)

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk usaha tetap dikategorikan sebagai subjek pajak luar negeri yang sudah barang tentu juga wajib sebagai wajib pajak luar negeri. Perbedaan penting antara wajib pajak luar negeri dan wajib pajak dalam negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban antara lain sebagai berikut ;

1. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau yang diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia/ penghasilan global (world wide home), sedangkan wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya terbatas yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (principle).

2. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajakatas penghasilan kena pajak, yang diperoleh dari pengurangan penghasilan brutto dengan pengurangan yang diperkenankan (net basis of taxation), dengan menggunakan tarif umum (progresif) yaitu tarif pasal 17 UU PPh, sedangkan wajib pajak luar negeri pada dasarnya dikenakan pajak atas penghasilan bruto dengan menggunakan tarif sepadan (flate rate) yaitu tarif pasal 26 UU PPh sebesar

20% atau sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda77.

3. Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), sedangkan wajib pajak luar negeri tidak diwajibkan karena kewajiban pembayaran pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final oleh si pemberi hasil.

4. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak dengan assesment

(ketetapan), sedangkan wajib pajak luar negeri kecuali yang menjalankan BUT yang juga dikenakan pajak dengan metode pemotongan pajak (witholding system) oleh pihak ketiga78. WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT dikenakan pajak selayaknya usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPDN. Hal tersebut diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional yang menghendaki perlakuan non diskriminasi, BUT dikenakan pajak antara lain berdasarkan basis neto, tarif umum, hak atau kompensasi kerugian, dan kewajiban administrasi lainnya79.

Walaupun terhadap WPLN yang memperoleh penghasilan usaha melalui BUT di Indonesia, administrasi pengenaan pajak dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun sebagai subjek pajak sui generis, BUT yang dimiliki WPLN orang pribadi tidak bisa

77

Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, (Yogyakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007), hlm.63

78

Gunandi, Pajak Internasional, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI), Hlm. 62 79

diberikan PTKP oleh UU PPh. Hal ini berbeda dengan perusahaan orang pribadi WPDN yang kepadanya diberikan PTKP. Komentar P3B model OECD atas pasal 24, menyebutkan bahwa demi kesetaraan perlakuan (equal treatment), antar orang pribadi WPLN dengan WPDN adalah terserah pada negara pemungut pajak apabila berkehendak untuk juga memberikan PTKP kepada orang pribadi WPLN. Namun juga disadari bahwa karena BUT hanya merupakan sebagian saja dari seluruh usaha dan kegiatan WPLN orang pribadi yang jauh lebih besar dari penerapan pajak terbatas (territorial principle) menyebabkan tidak mudahnya negara tempat BUT untuk mengetahui kemampuan membayar (ability to pay) sepenuhnya dari WPLN orang pribadi dimaksud. Oleh karena itu, seandainya PTKP dan keringanan lain yang dikaitkan dengan keadaan pribadi subjek pajak tidak tersedia di negara sumber, hal demikian dapat disadari dn bukan merupakan halangan atas ketentuan non diskriminasi80.

Namun demikian khusus untuk BUT, walaupun BUT mempunyai status sebagai WPLN, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

80

Dengan demikian, BUT antara lain berkewajiban mendaftarakan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan menyampaiakan SPT Tahunan sebagai sara untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajak dilaksakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti berlaku untuk WPDN pada umumnya81.

Sebenarnya dengan diwajibkannya BUT menyampaikan SPT PPh yang tentunya harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan daftar rugi laba akan terjadi keganjilan karena pada hakikatnya BUT tidak memiliki aktiva maupun pasiva. Pihak yang memiliki aktiva dan pasiva tersebut adalah kantor pusatnya. Sebagai contoh, apabila BUT memilii gedung kantor, pada hakikatnya yang memiliki kantor pusat adalah BUT tersebut. Apabila BUT tidak mempunyai utang (pasiva) pada hakikatnya yang berutang itu adalah kantor pusat BUT yang bersangkutan.

Kantor perwakilan perusahaan luar negeri , pada hakikatnya tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Keberafdaan kantor perwakilan tersebut hanyalah mewakili perusahaan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya tidak mencari laba. Misalnya kegiatan yang beupa pengumpulan data, melakukan

feasibility study, kegiatan promosi dan sebangainya untuk kepentingan perusahaan luar negeri yang bersangkutan.

81

Jaja Zakaria, Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap (Jakarta, Penerbit Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.13

Namun sekarang orang mempertanyakan apakah BUT dikenakan pajak per basis global atau teritorial ? pertanyaan tersebut muncul dengan adanya beberapa petunjuk seperti ;

a) Eliminasi perusahaan penghasilan dari luar Indonesia pada penjelasan pasal 5 ayat 1 huruf a UU PPh;

b) Penegasan sumber penghasilan BUT hanya “terbatas” pada tempat BUT menjalankan usaha serta melakukan kegiatan usaha atau kegiatan sesuai pasal 24 ayat 3 huruf e UU PPh; c) Pembatasan pemberian kredit pajak luar negeri hanya kepada

WPDN, pasal 24 ayat 1 UU PPh.

Berdasarkan beberapa petunjuk tersebut, nampak bahwa BUT dikenakan pajak per basis teritorial, sebatas penghasilan yang diperoleh dari sumber di Indonesia tempat BUT melakukan kegiatan usahanya. Perlakuan demikian selain memperlonggar iklim usaha dan investasi asing juga akan menyebabkan administrasi pengenaan pajak82.

Untuk keperluan pemajakan, walaupun secara legal mereka merupakan satu kesatuan entitas, BUT dan kantor pusat secara administratif dianggap mempunyai kewajiban perpajakan tersendiri. Hal demikian tampaknya telah diterima secara internasional. Misalnya, dalam paragraph 11 komentar pasal 7 ayat 2 OECD 2003 dinyatakan bahwa laba yang dialokasikan kepada BUT adalah laba yang seluruhnya diperoleh BUT apabila ia seandainya seolah-olah

82

tidak berhubungan dengan kantor pusat, telah bermitra usaha tetap dengan suatu perusahaan yang mandiri berdasarkan persyaratan dan dan harga yang berlaku di pasar bebas83.

83

BAB V

Dokumen terkait