• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pajak Penghasilan Terhadap Bentuk Usaha Tetap Sebagai Wajib Pajak Di Indonesia Ditinjau Dari Uu Pajak Penghasilan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Pajak Penghasilan Terhadap Bentuk Usaha Tetap Sebagai Wajib Pajak Di Indonesia Ditinjau Dari Uu Pajak Penghasilan Chapter III V"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

BENTUK USAHA TETAP DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

A. Sumber Hukum Bentuk Usaha Tetap

Ketentuan bentuk usaha tetap dalam suatu perjanjian sangat penting

artinya, selain mengatur hak negara tentang untuk mengenakan pajak atas laba

usaha (bussines profit) yang diterima oleh perusahaan yang berkedudukan di negara mitranya juga mengatur tentang pemajakan laba usaha, berdasarkan

ketentuan perjanjian perpajakan negara dapat mengenakan pajak atas laba usaha

yang diterima atau diperoleh perusahaan yang berkedudukan di negara mitranya

hanya apabila perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha melalui bentuk

usaha dari negara sumber tersebut.53

Pengertian bentuk usaha tetap berdasarkan Undang-Undang No.36 Tahun

2008 terdapat dalam pasal 2 ayat 5 yaitu menyebutkan bahwa bentuk usaha tetap

ialah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari

seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk

menjalankan kegiatan atau badan usaha di Indonesia jalankan usaha atau

melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan

management, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik,

bengkel, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan

53

Aspek Hukum Subjek Hukum Pajak Bentuk Usaha Tetap Menurut Hukum Positif,

(2)

penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi,

perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan, proyek konstruksi,

instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh

pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari enam puluh hari dalam

jangka waktu dua belas bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang

kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi

asuransi atau menanggung risiko di Indonesia, dan komputer, agen elektronik,

atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara

transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui internet.54

Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia, bentuk usaha yang

dipergunakan untuk subjek pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau atau

melakukan usaha di Indonesia, dapat dikatakan bentuk usaha tetap yang dapat

7. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja

pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan.

54

Pasal 2 Ayat 5, Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

55

(3)

8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.

9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.

10.Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang

lain, sepanjang dilakukan dalam jangka waktu 12 bulan dan lebih

dari 60 hari.

11.Orang atau agen yang kedudukannnya tidak bebas.

12.Agen atau pegawai dari asuransi yang tidak berkedudukan atau tidak

didirikan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau risiko

pertanggungjawaban di Indonesia.

Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa sumber hukum bentuk usaha

tetap diperoleh dari Undang-Undang No.36 Tahun 2008 yang merupakan

perubahan keempat dari Undang-Undang No.7 Tahun 1983 Tentang Perpajakan

yang memuat tentang defenisi badan usaha tetap dan poin-poin lain yang

berkenaan dengan bentuk usaha tetap (BUT).

B. Jenis-Jenis Bentuk Usaha Tetap

Pada sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai defenisi dan dasar

hukum yang dijadikan landasan terhadap penetapan bentu usaha tetap (BUT)

sesuai dengan pasal 2 ayat 5.

Badan Usaha Tetap dibagi menjadi 4 macam yaitu56 :

1. Tipe Fasilitas Fisik (lihat pasal 2 ayat 5 huruf a s/d h

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008), terdiri dari :

a) Tempat Kedudukan Manajemen

56

(4)

b) Kantor Perwakilan

c) Gedung Kantor

d) Pabrik

e) Bengkel

f) Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah

kerja pengeboran untuk ekplorasi/pertambangan

g) Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan

Keberdaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau

tidaknya fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor dsb di negara sumber.

2. Tipe Aktivitas (lihat pasal 2 ayat 5 huruf i dan j Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008), terdiri dari :

a) Proyek Konstruksi instalasi atau proyek perwakilan.

b) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau

orang lain yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60

hari (kecuali ditentukan lain dalam tax treaty dalam negara

yang bersangkutan) dalam jagka waktu 12 bulan.

Keberadaan BUT tipe aktivitas konstruksi maupun

pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya (pasal 2

ayat 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000).

Misalnya berdasarkan kontrak pemberian jasa PT. XYZ yang

berkedudukan di Amerika Serikat mengirimkan Mr. Wong penduduk

(5)

dengan demikian syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr.

Wong berada di Indonesia yaitu sejak bulan Januari 2000.

3. Tipe Keagenan (lihat pasal 2 ayat 5 huruf I Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008), terdiri dari Orang atau badan hukum yang bertindak sebagai

agen yang kedudukannya tidak bebas. Kedudukan BUT tipe keagenan

ditentukan oleh ada atau tidaknya dependent of agent di negara sumber. Maksudnya ialah bahwa orang atau badan hukum tersebut memiliki

hak yang terbatas dalam kedudukannya yang ditentukan oleh negara

tempat usaha didirikan.

4. Tipe Asuransi (lihat pasal 2 ayat 5 huruf I Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008), terdiri dari agen atau pegawai perusahaan asuransi yang

tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi

asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Keberadaan BUT tipe

asuransi ini difokuskan pada ada atau tidaknya pemungutan premi dan

penanggugan mereka di negara sumber57.

Agen atau perusahaan asuransi yang tidak berdiri dan punya kantor

atau tempat yang tetap di Indonesia, namun tetap melakukan proses

pemungutan premi di Indonesia.

C. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008 Tentang Perpajakan disebutkan yang menjadi objek pajak

bentuk usaha tetap (BUT) ialah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal

57

Mengenal Jenis Badan Usaha Tetap (BUT),

(6)

atau badan yang tidak berkedudukan di Indonesia yang menjalakankan

kegiatan usaha tetap dan dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha

tetapnya58 :

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan

dari harta yang dimiliki atau dikuasai;

Maksudnya ialah bentuk usaha tetap dikenakan pajak penghasilan

yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki

atau dikuasainya, dengan demikian semua penghasilannya dikenakan

pajak Indonesia.

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang

ataupemberian jasa di Indonesiayang sejenis dengan yang diajarkan

atau dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;

Maksudnya ialah berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat

yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan

pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk

usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut

termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat

dilakukan dalam bentuk usaha tetap.

Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau

kegaiatan bentuk usaha tetap misalnya, terjadi apabila sebuah bank

diluar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia

memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha

tetap perusahaannya di Indonesia. Penjualan barang yang sejenis

58

(7)

dengan dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar

negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual

produk yang sama dengan produk yang sama dengan produk yang

dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui

bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.

Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa

yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat

perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang

sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap

tersebut langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien

di Indonesia59.

3. Penghasilan sebagaimana disebut dalam pasal 26 yang diterima atau

diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara

bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan

penghasilan yang dimaksud;

Maksudnya diaanggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di

Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau

kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap

tersebut60.

D. Perhitungan Laba Bentuk Usaha Tetap (BUT)

59

Susunan dalam satu naskah Undang-Undang Perpajakan, Jakarta, Kementrian Keuangan Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak Penyuluhan Pelayanan dan Humas, 2011, hlm 191

60

(8)

Perusahaan multinasional gencar mempergunakan usaha

peluang usaha dengan melakukan kegiatan usaha di negara lain,

dengan mendirikan anak perusahaan maupun membuka cabang. Bagi

negara tempat berinvestasi hal ini merupakan peluang menmbah

peneriman negara dari pajak. Pendekatan yang ditempuh alah segi

yuridis fiskal, dengan memberi batasan atas laba perpajakan dan

memberi batasan atas laba usaha dari BUT yang akan dipungut

pajak.

Masalah yang menjadi topik pembahasan adalah penentuan

laba usaha dari BUT sebagaimana diatur dalam pasal 7 OECD

model, yang menutut literatur perpajakan internasional disebut “

Atribution Principle” pengertian laba usaha harus diberi pengertian

yang luas, karena laba usaha dari BUT tersebut juga meliputi

keuntungan dari pengalihan harta dan penghasilan pengguna harta.

Sejalan dengan pengertian laba usaha yang dimaksud harus

diberi arti luas, pembahasan juga akan menyinggung masalah

penggunaan aktiva yang boleh diusulkan suatu BUT, dalam

kaitannya dengan penyusutan.

Penentuan laba usaha dari BUT dalam OECD Model diatur

dalam Artikel 7 yang rumusannya seperti berikut ;

for the purposes of this convention, the term permanent

(9)

Defenisi tersebut memberi indikasi, bahwa laba usaha BUT

di suatu negara adalah yang diperoleh dari kegiatannya di negara

tersebut, rumusan itu hanya mengatur laba usaha tidak dapat dikenai

pajak di negara sumber kecuali kegiatannya dilakukan melalui suatu

BUT. Jadi profit merupakan kata kunci untuk membatasi hak

pemajakan negara di mana BUT berada.

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai

tolak ukur dalam perhitungan skala laba dalam BUT, yakni

Pendekatan “Relevant Business Activity” yaitu laba usaha yang

Attributable” kepada BUT adalah laba usaha dari kegiatan dimana

BUT tersebut berpartisipasi, hal ini berarti pendekatan melalui

metode ini tidak dapat dianggap sebagai laba usaha BUT tetapi

berasal dari yurisdiksi negara dimana BUT berada.

Beberapa negara menerapkan pembatasan laba usaha suatu

BUT dengan merujuk laba bersih dari semua cabang perusahaan atau

sebagai alternatif lain menggunakan laba bruto, tetapi pendekatan ini

tidak secara tegas menyebutkan bahwa laba usaha BUT hanya

terbatas kepada penghasilan dari kegiatan teritori dimana BUT

berada.

Pendekatan berikutnya yaitu “Functionaly Separate Entity”,

yang mendasari pendekatan ini yaitu tidak membatasi laba usaha

BUT dengan melihat secara keseluruhan atau kepada transaksi atau

kegiatan usaha tertentu di mana BUT berpartisipasi, pndekatan ini

(10)

pemajakan dari sumber negara hanya dibatasi kepada laba usaha

sebagai hasil kegiatan BUT itu. Jadi jika ada kegiatan yang

dilakukan kantor pusatnya yang tidak menimbulkan dampak pada

BUT dianggap sebagai laba usaha BUT tersebut61.

Berdasarkan pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan dikatakan “untuk

menentukan besarnya laba suatu BUT yaitu62:

1. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk

dibebankan adalah biaya yang dibebankan dan berkaitan

untuk kegiatan BUT yang besarnya ditetapkan oleh

Direktorat Jenderal Pajak;

2. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan

dibebankan sebagai biaya adalah ;

a) Royalti atau imbalan sehubungan dengan penggunaan

harta, paten, atau hak-hak lainnya;

b) Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa

lainnya;

c) Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha

perbankan.

Dalam kaitannya dengan pajak berganda, terdapat masalah yang

umum seperti perbedaan terhadap status Badan Usaha Tetap (BUT)

61Surahmat, Rahmanto and Friends, “

Penentuan Laba BUT”, www.triyani.blogspot.co.id , diakses pada 10 Mei 2017

62

(11)

tersebut dimana dalam sebuah negara terkadang Badan Usaha Tetap

(BUT) dianggap sebagai subjek pajak luar negeri, namun terkadang dapat

dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri. Hal ini dapat menimbulkan

ambiguitas bagi Badan Usaha Tetap (BUT) yang bersangkutan, Namun

dari kedua jenis wajib pajak tersebut terdapat perbedaan yang signifikan

yaitu dalam hal pemenuhan kewajibannya. WPLN yang menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui BUT dikenakan pajak

selayaknya usaha yang dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPDN.

Hal tersebut diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional

yang menghendaki perlakuan non diskriminasi dan kesetaraan perlakuan

(Pasal 24 OECD Model). Dengan demikian, BUT dikenakan pajak antara

lain berdasarkan basis neto, tarif umum, hak atas kompensasi kerugian,

kewajiban administratif lainnya 63. Walaupun terhadap WPLN yang

memperoleh penghasilan usaha melalui BUT di Indonesia administrasi

pengenaan pajak dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun

sebagai subjek pajak sui generis, BUT yang dimiliki WPLN orang pribadi

tidak diberikan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) oleh UU PPh. Hal

ini berbeda dengan perusahaan orang pribadi WPDN yang kepadanya

diberikan PTKP. namun dengan adanya pengaturan terbaru tentang BUT

terkait PPh diharapkan semakin menambah wawasan dan pengetahuan

masyarakat dalam penghitungan laba BUT. Penting diingat bahwa pajak

berganda sangat diperlukan walau ada permasalahan yang mungkin

muncul terkait subjek Badan Usah Tetap (BUT) tersebut. Pajak bergamda

63

(12)

dalam BUT ini juga berguna untuk penerimaan pajak bagi negara yang

bersangkutan. Tujuan ini juga tercermin pada dimungkinkannya

pertukaran informasi dan pencegahan penyelundupan pajak antar dua

negara yang terlibat.64

64

(13)

BAB IV

PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP BENTUK USAHA TETAP SEBAGAI WAJIB PAJAK PENGHASILAN

A. Peraturan PPh Terhadap BUT Sesuai Undang-Undang Pajak Di Indonesia

Pasal 2 Undang Nomor 7 Tahun 1983 Stdtd(Perubahan)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan

bahwa Indonesia mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan

yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh wajib pajak luar negeri65.

Pemajakan mengenai hal tersebut tertuang dalam pasal 2 (Pasal 2 ayat (1)”

yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum

terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berlaku, badan, dan

bentuk usaha tetap (BUT)”,dan pasal 5 (“tentang besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam dan Bentuk Usaha Tetap..dst”) UU PPh, serta

dalam pasal 26 (“atas penghasilan tersebut dibawah ini,dan dalam bentuk

apapun yang dibayarkan..dst”) UU PPh mengenai kewajiban pemotongan

wajib pajak dalam negeri atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib

pajak luar negeri apabila tidak memenuhi syarat BUT.

Pemajakan menurut UU PPh berlaku penuh apabila tidak ada perjanjian

penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah tempat wajib pajak luar negeri berdomisili.

Apabila terdapat P3B atau tax treaty, maka pemajakan terhadap wajib pajak

65

(14)

luar negeri berpedoman pada P3B yang bersangkutan karena P3B bersifat lex spesialis66.

Pemajakan wajib pajak luar negeri menurut P3B sama dengan pemajakan

menurut UU PPh, yaitu berdasarkan BUT yang dianggap wajib pajak dalam

negeri dan pemotongan PPh pasal 26. Namun, sesuai kriteria BUT, maka

penghasilan dan tarif PPh pasal 26 diatur tersendiri dalam ketentuan P3B

yang bersangkutan.

Pemajakan BUT menurut UU PPh berdasarkan tarif tertentu berdasarkan

jumlah penghasilan bruto dan tarif pasal 17 UU PPh atas dasar penghasilan

kena pajak atau penghasilan neto67.

1. Tarif Tertentu

a) Keputusan Menkeu Nomor 632/KMK.04/1994 Tanggal

29 Desember 1994; PPh yang terutang atas BUT berupa

cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan

internasional sebesar 2,64% dari peredaran bruto/kotor

bersifat final.

b) Keputusan Dirjen Pajak Nomor 667/PJ/200: PPh yang

terutang kantor perwakilan dagang asing (representative office) sebesar 0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia apabila tidak ada tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda P3B.

2. Tarif Umum Pasal 17 UU PPh

66

Ilyas, B.Wirawan dan Suhartono Rudi, Hukum Pajak Material 1 Seri Pajak Penghasilan, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011), hlm.197

67

(15)

Sesuai pasal 16 ayat 3 UU PPh, penghitungan PPh terutang

adalah tarif pasal 17 UU PPh dikalikan penghasilan kena pajak.

Jumlah penghasilan kena pajak diperoleh dari jumlah

penghasilan dikurangi biaya fiskal dan biaya tertentu khusus

bagi BUT yaitu biaya administrasi kantor pusat yang terkait

dengan penghasilan BUT sesuai pasal ayat 2 dan 3 UU PPh.

Selain itu pemajakan wajib pajak yang berusaha dan berada

di Indonesia tidak memenuhi kriteria BUT atau tidak berada di

Indonesia, namun menerima penghasilan yang bersumebr dari

Indonesia berpotensi dikenakan pajak melalui pemotongan PPh

pasal 26 sepanjang penghasilan tersebut termasuk objek pajak

sesuai pasal 26 UU PPh.

Pada umumnya kriteria BUT menurut P3B antar pemerintah

Indonesia dengan negara partner hampir sama dengan kriteria

BUT menurut pasal 2 ayat 5 UU PPh, yaitu BUT fisik agen,

BUT jasa aktivitas dan BUT asuransi. Penentuan BUT fisik

sama dengan penentuan menurut UU PPh, yaitu sepanjang ada

tempat atau bangunan atau cabang yang sudah memenuhi

kriteria BUT, sehingga Indonesia sebagai negara sumber berhak

penuh mengenakan pajak atas wajib pajak luar negeri tersebut

sebagai wajib pajak.

Penentuan BUT atas semua jasa yang dilakukan di Indonesia

atas negara partnermenggunakan tipe waktu, termasuk juga jasa

(16)

kegiatan di Indonesia belum melebihi tipe waktu P3B, maka

Indonesia sebagai negara sumber tidak berhakmengenakan pajak

atas wajib pajak luar negeri tersebut karena tidak memenuhi

syarat BUT dan juga tidak dapat mengenakan pasal 26 karena

hampir semua P3B menegaskan bahwa kegiatan usaha hanya

dapat dikenakan di negara sumber apbila hanya memenuhi

syarat BUT saja.

Pada umumnya, hampir semuaP3B juga mengatur adanya

fasilitas yang mirip dengan tempat tetap, namun bukan

merupakan BUT, yaitu;

1) Pemakaian fasilitas semata-mata untuk menyimpan,

memamerkan atau menyerahkan barang atau barang

dagangan milik perusahaan luar negeri.

2) Penimbunan barang persediaan atau barang dagangan

perusahaan luar negeri semata-mata untuk tujuan

menyimpan, memamerkan atau menyerahkan.

3) Penimbunan persediaan barang atau barang dagangan

perusahaan luar negeri untuk diproses perusahaan lain.

4) Pemeliharaan tempat tetap untuk usaha yang

semata-mata untuk membeli barang untuk mengumpulkan

informasi untuk perusahaan luar negeri

5) Pemeliharaan tempat tetap untuk persiapan bagi kegiatan

(17)

6) Pemeliharaan tempat tetap untuk melakukan kegiatan

gabungan diatas dengan syarat kegiatan tersebut tetap

merupakan persiapan atau sekedar kegiatan pelengkap.

7) Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama

dengan UU PPh, demikian pula pajak setelah laba yang

diperoleh BUT, namun perbedaannya adalah tarif yang

lebih rendah dari 20%.

Pada umumnya, usaha asuransi dianggap mempunyai BUT

menurut P3B apabila ada tempat tetap (fixed place of business) atau menerima premi dai wilayah negara melalui seseorang atau

agen yang tidak mempunyai status bebas (dependent agent). PPh yang terutang atas kantor perwakilan dagang asing sebesar

0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia berlaku apabila

tidak ada P3B. apabila ada tax treaty dan hak pemajakan diberikan kepada Indonesia sebagai negara sumber.

B. Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) BUT

Pengitungan pajak penghasilan (PPh) terhadap bentuk usaha tetap (BUT)

diatur dalam ketentuan Bab VI pasal 16 dan Bab VI perhitungan pajak pada

akhir tahun yang ditulis dalam pasal 28 ayat 1 sampai ayat 2 yaitu ;

Pasal 16 ayat 3 :

“penghitungan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri yang

(18)

penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 dengan memerhatikan ketentuan pasal 4 ayat 1 dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dengan pasal 5 ayat 1 dan 3, pasal 6 ayat 1 dan 2, serta pasal 9

ayat 1 huruf c,d,e, dan g”

Maksudnya ialah penghitungan penghasilan kena pajak terhadap wajib

pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan di Indonesia melalui BUT

yaitu dengan cara mengurangi penghasilannya termasuk brutto, biaya yang

langsung berkaitan dengan BUT, penyusutan, iuran, kerugian, piutang,

sumbangan. Namun tidak boleh dikurangkan dengan pembagian laba, biaya

yang dibebankan, premi asurans,imbalan, pajak penghasilan, dan sanksi

administrasi.

Pasal 28 “

1. Bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT),

pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun

pajak yang bersangkutan berupa ;

a) Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa,

dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21;

b) Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di

bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain

sebagaimana dimaksud dalam pasal 22;

c) Pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden,

bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan

(19)

d) Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari

luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana

dimaksudkan dalam pasal 24;

e) Pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri

sebagaimana dimaksud dalam pasal 25;

f) Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 26;

2. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta

sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang

berlaku tidak boleh di kreditkan dengan pajak yang terutang

sebagaimana yang dimaksud ayat 1.

Dalam pasal 26 ayat 1 juga telah dijelaskan bahwa atas penghasilan yang

disebutkan berikut dengan nama dan dalam bentuk usaha apapun, yang

dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo

pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,

penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), atau perwakilan

perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak selain bentuk usaha tetap

(BUT) dipotong sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib

membayarkan68 ;

a) Dividen;

b) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan

dengan jaminan pengembalian hutang;

68

(20)

c) Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta;

d) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e) Hadiah dan penghargaan;

f) Pensiun dan pembayaran biaya berkala lainnya;

g) Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan atau

h) Keuntungan karena pembebasan utang.

Kemudian penghitungan pajak penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud

dalam pasal 26 ayat 1 s/d 4 bersifat final69, kecuali;

1) Pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal

5 ayat 1 huruf dan c

2) Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang

pribadi atau badan luar negeri yang ebrubag status menjadi wajib

pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT).

C. Pengeluaran Yang Tidak Boleh Dibebankan Dalam Menghitung Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat 3 UU PPh menyebutkan bahwa jenis penghasilan yang

bukan objek PPh (negative list), sehingga kemampuan ekonomis apapun namanya dan bentuknya yang tidak termasuk pasal 4 ayat 3

69

(21)

merupakan penghasilan yang dikenakan PPh berdasarkan penafsiran

terbalik atau contratio70.

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 200971;

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan

keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang

diakui di Indonsia, dikecualikan sebagai objek PPh sepnjang

tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau

penguasaan diantara pihak yang bersangkutan.

2. Zakat adalah zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau

lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

pemerintah dan penerima zakat yang berhak.

3. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wjib bagi pemeluk agama

yang diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang

diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan

oleh pemerintah dan penerima sumbangan yang berhak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/200872 menegaskan

bahwa harta hibah, bantuan atau sumbangan yang diterima oleh keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan

pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, dan koperasi atau orang pribadi

yang menjalankan usaha mikro dan kecil, dikecualikan dalam pengeluaran

(22)

a) Warisan

b) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan

sebagaimana dimaksud dalam hal diatas;

c) Penggatian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa

yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau

kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.

d) Pembayaran dari pihak asuransi kepada orang pribadi sehubungan

dengan asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan

asuransi bea siswa.

e) Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari

perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi,

badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan

usaha yang didirikan di Indonesia.

f) Iuran yang diterima dari dana pensiunan yang telah disahkan

menteri keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun

pegawai.

g) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiunan di

bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan menteri

keuangan.

h) Penghasilan yang diterima oleh perusahaan modal ventura yang

merupakan bagian usaha yang didirikan di Indonesia.

i) Beasiswa yang memenuhi penyertaan tertentu yang ketentuannya

(23)

j) Sisa lebih yang diterima oleh lembaga nirlaba yang bergerak

dalam bidang pendidikan yang telah terdaftar pada instansi yang

membidanginya.

k) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh lembaga

penyelenggaraan jaminan sosial kepada wajib pajak tertentu.

Berdasarkan penafsiran terbalik (contratio) penghasilan yang dikecualikan

atau tidak dihitung (dikenakan) dalam PPh ditetapkan berdasarkan

pertimbangan tertentu, antara lain73 ;

1) Untuk mendukung upaya pemerintah dibidang tertentu, antara lain

pendidikan, pelatihan, dan pengembangan.

2) Untuk menghindarkan pengenaan pajak atas penghasilan yang telah

dikenakan pajak.

3) Teknis administrasi perpajakan, yaitu dikenakan pajak pada tingkat

penerima atau pemberi penghasilan, dikenakan pajak lebih awal, dan

bukan pada saat penerimaan penghasilan.

D. Peraturan Pajak Penghasilan Terhadap Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanamkan Kembali Ke Indonesia

Analisis yang menyangkut interaksi antara undang-undang domestik

dengan P3B yang diterapkan di Indonesia disajikan berdasarkan urutan

masalahnya yaitu defenisi bentuk usaha tetap, laba usaha dan bentuk usaha

tetap dan pajak yang berkaitan dengan BUT tersebut, kemudian tiga jenis

penghasilan dan modal yaitu deviden, bunga, dan royalti, premi asuransi,

imbalan sehubungan jasa/hubungan kerja dari pensiun.

73

(24)

Sebagian besar treaty yang ada mengatur bahwa badan usaha tetap diaanggap ada apabila jasa itu diberikan dalam jangka waktu yang diatur

dalam treaty yang bersangkutan. Apabila jangka waktu yang dipergunakan lebih pendek daripada yang diatur dalam treaty maka imbalan yang diterima tidak dikenakan PPh.

Sebagaimana diuraikan diatas Undang-Undang PPh di Indonesia

menganut “force of attraction rule” untuk menentukan laba usaha dalam

suatu BUT, yang disesuaikan dengan peraturan terbaru yaitu UU PPh

Nomor 36 Tahun 2008 Tetapi BUT dan perusahaan yang berdomisili di

negara P3B maka “force of attraction rule” belum tentu dapat diterapkan,

tergantung ketentuan yang ada di dalam P3B yang bersangkutan74.

Perubahan yang terjadi tersebut didasari atas ketidak sesuaian atas tarif

pajak yang diberlakukan dalam negeri terhadap wajib pajak yang

mengakibatkan berkurangnya atau menurunya jumlah pemasukan dalam

negara di Indonesia, perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang PPh

memang tidak sebanyak perubahan dalam Undang-Undang dan Tata cara

Perpajakan, akan tetapi hanya mencakup beberapa poin tertentu, khususnya

dalam bidang bentuk usaha tetap (BUT)75.

Perubahan yang diatur tentang BUT yaitu mengenai perluasan BUT

sehingga meliputi gudang dan juga komputer, agen elektronik, atau

peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan, oleh

penyelenggara transaksi elektronik untuk menyelenggarakan atau

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

74

Belajar Pajak Online, www.pajakonline.com, (diakses pada 06 Juli 2017) 75

(25)

Istilah bentuk usaha tetap, yang dalam bahasa Inggris disebut permanent establishment, dikenal di kalangan dunia perpajakan Indonesia baru setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,

yaitu pada tanggal 1 Januari 1984. Sebelumnya istilah yang dipergunakan bukan

bentuk usaha tetap, tetapi pendirian tetap.

Penggantian istilah pendirian tetap dengan bentuk usaha tetap didasari

alasan bahwa istilah pendirian tetap lebih berkonotasi kepada pendapat atau

pemikiran, bukan kepada bentuk usaha76. Ditanamkan kembali dalam konteks ini

berarti sebuah perusahaan yang menjadi wajib pajak luarnegeri sesuai peraturan

perundang-undangan mendirikan kembali perusahaan nya di Indonesia dan

dianggap menjadi wajib pajak dalam negeri.

Ketentuan mengenai peraturan penanaman kembali pph terhadap BUT ini,

diatur lebih jelas dalam peraturan menteri keuangan nomor 14/PMK.03/2011

tanggal 24 januari 2011, dimana jelas diatur dalam pasal 1 ayat 3 dijelaskan

bahwa pengecualian pengenaan pph pasal 26 diberikan apabila seluruh

penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pph but yang ditanamkan kembali di

indonesia dalam bentuk :

1. Penyertaan modal terhadap perusahaan yg didirikan atau

berkedudukan di Indonesia dalam hal sebagai pendiri atau peserta

pendiri

2. Penyertaan modal padaperusahaan yang sudah didirikan dan

berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham

76

(26)

3. Pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh but untuk menjalankan

usaha atau bentuk kegiatan usaha tetap di Indonesia.

4. Investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh but untuk menjalankan

kegiatan usaha di Indonesia.

Dalam hal pengecualian kena pajak sesuai pasal 1(3) dijelaskan terkait syarat

terkait ketentuan tersebut dalam pasal 2 yaitu :

a. Penanaman kembali harus dilakukan paling lama akhir tahun pajak

berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan bagi but

yag bersangkutan

b. BUT menyampaikan permohonan secara tertulis mengenai bentuk

penanaman modalnya, dan realisasinya saat mulai beroperasi di

kantor yang didirikan atau tempat kedudukannya sesuai yang

terdaftar pada kantor pelayanan pajak wilayah setempat.

Untuk penanaman kembali BUT di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal

dalam pasal 1(3) butir a hingga d, maka persyaratannya ialah :

1) perusahaan yang didirikan di Indonesia dan secara aktif telah melakukan

kegiatan selama setahun sejak perushaan didirikan.

2) BUT tidak boleh melakukan pengalihan penyertaan modal selama 2 tahun

sejak perusahaan beroperasi teemasuk dalam hal pengalihan aktiva yang

bersangkutan selama 3 tahun.

Perlakuan yang diterpkan tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan pemerintah

terkait PMK nomor 257/03.2008 yang belum menerapkan mengenai pengecualian

terhadap but yang ditanamkan kembali ke Indonesia,agar diharapkan adanya

(27)

negeri dan diharap dapat meningkatkan iklim investasi dan minat investor guna

peningkatan ekonomi nasional.

E. Perlakuan Perpajakan Terhadap Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai Wajib Pajak Penghasilan (PPh)

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk usaha tetap dikategorikan

sebagai subjek pajak luar negeri yang sudah barang tentu juga wajib

sebagai wajib pajak luar negeri. Perbedaan penting antara wajib pajak

luar negeri dan wajib pajak dalam negeri terletak dalam pemenuhan

kewajiban antara lain sebagai berikut ;

1. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan

yang diterima atau yang diperoleh dari Indonesia dan dari luar

Indonesia/ penghasilan global (world wide home), sedangkan wajib pajak luar negeri dikenakan pajak hanya terbatas yang

berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (principle).

2. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajakatas penghasilan kena

pajak, yang diperoleh dari pengurangan penghasilan brutto

dengan pengurangan yang diperkenankan (net basis of taxation), dengan menggunakan tarif umum (progresif) yaitu tarif pasal 17 UU PPh, sedangkan wajib pajak luar negeri pada dasarnya

dikenakan pajak atas penghasilan bruto dengan menggunakan

(28)

20% atau sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak

Berganda77.

3. Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT), sedangkan wajib pajak luar

negeri tidak diwajibkan karena kewajiban pembayaran pajaknya

dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final oleh si

pemberi hasil.

4. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak dengan assesment

(ketetapan), sedangkan wajib pajak luar negeri kecuali yang

menjalankan BUT yang juga dikenakan pajak dengan metode

pemotongan pajak (witholding system) oleh pihak ketiga78. WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di

Indonesia melalui BUT dikenakan pajak selayaknya usaha yang

dijalankan atau kegiatan yang dilakukan WPDN. Hal tersebut

diterapkan selaras dengan prinsip pemajakan internasional yang

menghendaki perlakuan non diskriminasi, BUT dikenakan pajak

antara lain berdasarkan basis neto, tarif umum, hak atau kompensasi

kerugian, dan kewajiban administrasi lainnya79.

Walaupun terhadap WPLN yang memperoleh penghasilan

usaha melalui BUT di Indonesia, administrasi pengenaan pajak

dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun sebagai subjek

pajak sui generis, BUT yang dimiliki WPLN orang pribadi tidak bisa

77

Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, (Yogyakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007), hlm.63

78

Gunandi, Pajak Internasional, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI), Hlm. 62 79

(29)

diberikan PTKP oleh UU PPh. Hal ini berbeda dengan perusahaan

orang pribadi WPDN yang kepadanya diberikan PTKP. Komentar

P3B model OECD atas pasal 24, menyebutkan bahwa demi

kesetaraan perlakuan (equal treatment), antar orang pribadi WPLN dengan WPDN adalah terserah pada negara pemungut pajak apabila

berkehendak untuk juga memberikan PTKP kepada orang pribadi

WPLN. Namun juga disadari bahwa karena BUT hanya merupakan

sebagian saja dari seluruh usaha dan kegiatan WPLN orang pribadi

yang jauh lebih besar dari penerapan pajak terbatas (territorial principle) menyebabkan tidak mudahnya negara tempat BUT untuk mengetahui kemampuan membayar (ability to pay) sepenuhnya dari

WPLN orang pribadi dimaksud. Oleh karena itu, seandainya PTKP

dan keringanan lain yang dikaitkan dengan keadaan pribadi subjek

pajak tidak tersedia di negara sumber, hal demikian dapat disadari dn

bukan merupakan halangan atas ketentuan non diskriminasi80.

Namun demikian khusus untuk BUT, walaupun BUT

mempunyai status sebagai WPLN, pemenuhan kewajiban

perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban

perpajakan bagi wajib pajak dalam negeri yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

80

(30)

Dengan demikian, BUT antara lain berkewajiban

mendaftarakan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP) dan menyampaiakan SPT Tahunan sebagai sara untuk

menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta

pengenaan pajak dilaksakan atas penghasilan kena pajak dengan

menggunakan tarif umum seperti berlaku untuk WPDN pada

umumnya81.

Sebenarnya dengan diwajibkannya BUT menyampaikan SPT

PPh yang tentunya harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa

neraca dan daftar rugi laba akan terjadi keganjilan karena pada

hakikatnya BUT tidak memiliki aktiva maupun pasiva. Pihak yang

memiliki aktiva dan pasiva tersebut adalah kantor pusatnya. Sebagai

contoh, apabila BUT memilii gedung kantor, pada hakikatnya yang

memiliki kantor pusat adalah BUT tersebut. Apabila BUT tidak

mempunyai utang (pasiva) pada hakikatnya yang berutang itu adalah

kantor pusat BUT yang bersangkutan.

Kantor perwakilan perusahaan luar negeri , pada hakikatnya

tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha di Indonesia.

Keberafdaan kantor perwakilan tersebut hanyalah mewakili

perusahaan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya tidak mencari

laba. Misalnya kegiatan yang beupa pengumpulan data, melakukan

feasibility study, kegiatan promosi dan sebangainya untuk kepentingan perusahaan luar negeri yang bersangkutan.

81

(31)

Namun sekarang orang mempertanyakan apakah BUT

dikenakan pajak per basis global atau teritorial ? pertanyaan tersebut

muncul dengan adanya beberapa petunjuk seperti ;

a) Eliminasi perusahaan penghasilan dari luar Indonesia pada

penjelasan pasal 5 ayat 1 huruf a UU PPh;

b) Penegasan sumber penghasilan BUT hanya “terbatas” pada

tempat BUT menjalankan usaha serta melakukan kegiatan

usaha atau kegiatan sesuai pasal 24 ayat 3 huruf e UU PPh;

c) Pembatasan pemberian kredit pajak luar negeri hanya kepada

WPDN, pasal 24 ayat 1 UU PPh.

Berdasarkan beberapa petunjuk tersebut, nampak bahwa BUT

dikenakan pajak per basis teritorial, sebatas penghasilan yang

diperoleh dari sumber di Indonesia tempat BUT melakukan kegiatan

usahanya. Perlakuan demikian selain memperlonggar iklim usaha

dan investasi asing juga akan menyebabkan administrasi pengenaan

pajak82.

Untuk keperluan pemajakan, walaupun secara legal mereka

merupakan satu kesatuan entitas, BUT dan kantor pusat secara

administratif dianggap mempunyai kewajiban perpajakan tersendiri.

Hal demikian tampaknya telah diterima secara internasional.

Misalnya, dalam paragraph 11 komentar pasal 7 ayat 2 OECD 2003

dinyatakan bahwa laba yang dialokasikan kepada BUT adalah laba

yang seluruhnya diperoleh BUT apabila ia seandainya seolah-olah

82

(32)

tidak berhubungan dengan kantor pusat, telah bermitra usaha tetap

dengan suatu perusahaan yang mandiri berdasarkan persyaratan dan

dan harga yang berlaku di pasar bebas83.

83

(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pokok-pokok pengaturan PPh sesuai dengan yang tertera dalam

Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 yaitu Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan terakhir

yaitu Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dan

didasari pada UUD 1945 sebagai dasar dan landasan dalam

pemungutan pajak, sebagai upaya mengamankan penerimaan negara

yang semakin meningkat dan mewujudkan sistem perpajakan yang

netral serta memberi kepastian hukum bagi seluruh rakyat

Indonesia, disamping itu pula terdapat beberapa hal pokok dalam

UU PPh yaitu penurunan tarif pajak penghasilan guna

menyeimbangkan tarif pajak dengan negara lain, pembebasan

kewajiban pembayaran fiskal luar negeri, penghasilan tidak kena

pajak (PTKP), penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang

lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP,dan perluasan

biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, serta

pengecualian dari objek PPh, pengaturan ini sangatlah baik bila

dilihat dari segi ekonomi karena dapat meningkatkan iklim

(34)

2. Bentuk Usaha Tetap (BUT) suatu usaha yang didirikan di negara

Indonesia dengan tujuan komersil dan memperoleh keuntungan,

dengan jangka waktu kurang dari 12 bulan, namun secara ekonomi

tetap dianggap sebagai salah satu sumber pemasukan negara dari

penarikan setoran pajaknya. BUT tidak dapat menikmati tax treaty

Indonesia dengan negara Treaty Partner lainnya karena ia bukan penduduk Indonesia, laba bersihnya juga berupa branch profit tax. dilihat dari Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan wajib

pajak Luar Negeri (WPLN). Dengan berlakunya UU PPh dan

keterkaitannya dengan pajak berganda akan menimbulkan

keuntungan dari segi penerimaan terhadap negara, Pajak berganda

dalam BUT ini juga bertujuan pada dimungkinkannya pertukaran

informasi dan pencegahan penyelundupan pajak antar dua negara

yang terlibatdengan berlakunya ketentuan-ketentuan dalam

perjanjian perpajakan dalam UU PPh terhadap BUT dan perusahaan

yang merupakan penduduk di negara mitra tersebut, selain didasari

kepada ketentuan-ketentuan dalam UU PPh juga didasari pada

ketentuan pada perjanjian perpajakan yang berlaku di Indonesia.

3. Perlakuan perpajakan terhadap Badan Usaha Tetap sebagai Wajib

Pajak Penghasilan (PPh) yaitu wajib pajak luar negeri yang

menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia dapat dilakukan

dengan cara :

a. Menjalankan kegiatan atau usaha di indonesia dan

(35)

Menurut UU PPh bisa didasarkan pada tarif umum pasal 17

dan 23 UU PPh;

b. Menjalankan kegiatan usaha di Indonesia dan belum

memenuhi syarat sebagai BUT , pemajakan terhadap WPLN

ini terutang PPh pasal 26, menurut UU PPh dan kewajiban

perpajaknnya menjadi tanggung jawab subjek pajak dalam

negeri yang membayarkan penghasilannya kepada sumber

pajak luar negeri tersebut.

Apabila tidak ada perjanjian perpajakan penghindaran pajak

berganda (P3B) antara pemerintah dengan pemerintah WPLN

negara tersebut, maka WPLN berlaku penuh pada UU No.17 Tahun

2000 jo. UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh, apabila terdapat P3B

dengan pemerintah dari WPLN, maka ketentuan yang berlaku atau

ketentuan yang tercantum dalam P3B. kriteria BUT, objek pajak

BUT, dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B tersebut dan

mengesampingkan sebagaimana tercantum dalam UU PPh.

B. Saran

Dari kesimpulan yang telah diperoleh tersebut, penulis mencoba

memberikan beberapa saran sebagai masukan sebagai berikut ;

1. Pemerintah hendaknya menambah aturan lebih rinci lagi terkait azas

(36)

dimana di setiap negara azas ini berbeda penerapannya, dan Indonesia

juga harus lebih menekankan bahwa pengenaan pajak ini diterapkan

bagi seluruh wajib pajak yang ada di dalam maupun luar negeri tanpa

tebang pilih. Pemerintah harus mampu melihat bagaimana pajak

penghasilan sebagai salah satu sektor penarikan atau pungutan pajak

sebagai sumber pemasukan negara yang besar, sehingga secar umum

Indonesia harus mampu meninjau bagaimana cara penentuan serta tata

cara yang tepat dalam proses pemungutan PPh di indonesia agar tepat

sasaran dan manfaat bagi negara indonesia melalui tinjauan baik dari

segi sosial maupun yuridis.

2. Pemerintah juga sebaiknya mempermudah syarat dan proses

pengurusan dalam hal pemungutan maupun pendaftaran wajib pajak

melihat bagaimana bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia sebagai

wajib pajak luar negeri (WPLN) sebagi subjek pajak dengan meninjau

lagi proses dan tata cara yang seharusnya tidak menyulitkan namun

tetap memberikan manfaat bagi Indonesia maupun WPLN selaku

penjalan usaha di Indonesia maupun negara asing, sehingga

memberikan kemajuan bagi iklim investasi dan peningkatan nilai

perpajakan di indonesia. agar semua wajib pajak lebih gampang dan

dengan sadar membayar kewajibannya melalui peraturan yang ringan

namuntetap tegas dan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara.

3. Pemerintah harusnya lebih meningkatkan kualitas sumber daya

manusia di bidang perpajakan, perdagangan dan perekonomian harus

(37)

agar mampu bersaing dengan usaha asing, terutama dalam

pemahaman dan pengetahuan yang mendalam lagi mengenai tax treaty apabila ingin mengembangkan usaha dan menjalin kerja sama dalam perdagangan barang dan jasa dengan pihak luar negeri,

terutama dalam perdagangan internasional yang semakin berkembang

Referensi

Dokumen terkait

sebagai Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak menjalankan usaha atau. melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di

Bagi wajib pajak luar negeri, seperti yang dikatakan oleh Siti resmi (2011: 133) yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.. dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan

(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penulisan skripsi ini adalah

Bentuk Usaha Tetap ( Permanent Establishment ) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di

(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung

(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak