BAB II
KEPATUHAN NOTARIS/PPAT BANDA ACEH TERHADAP KEWAJIBAN MEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21
TERHADAP KARYAWAN
A. Pajak Penghasilan dan PPh Pasal 21
Pemerintah menjalankan fungsinya dalam mengusahakan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat. Untuk menjalankan fungsinya tersebut pemerintah
memerlukan dana atau modal. Modal yang diperlukan itu salah satunya bersumber
dari pungutan berupa pajak dari rakyatnya.
Pajak adalah kewajiban rakyat sebagai warga negara yang baik, tetapi
tidak sedikit yang menyetujui bahwa pajak merupakan beban yang harus dipikul
rakyat suatu negara. Pada negara-negara yang menganut demokrasi, pajak yang
dibayar oleh penduduknya harus berdasarkan atas persetujuan rakyat melalui
Lembaga Perwakilan Rakyat. Dengan persetujuan dari rakyat melalui
perwakilannya maka disahkan suatu peraturan perundang-undangan perpajakan,
sebagai dasar hukum kewajiban perpajakan. Ketentuan tentang subjek pajak,
objek pajak, tarif pajak dan prosedur perpajakan merupakan ketentuan yang harus
mendapat persetujuan rakyat karena itu harus diatur dalam undang-undang. Pajak
tersebut kemudian akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah, fasilitas publik dan membiayai pembangunan guna usaha
mensejahterakan rakyat.
Pajak dapat dibedakan menurut sifat dan cirinya. Pembagian menurut sifat
akan menghasilkan jenis-jenis pajak sebagai berikut seperti pajak atas kekayaan
dan pendapatan, pajak atas lalu lintas hukum, kekayaan dan barang, pajak atas
dibedakan menjadi pajak subjektif52 dan pajak objektif53, pajak langsung dan
tidak langsung, pajak pusat dan pajak daerah.54 Salah satu pengenaan pajak yang
diterapkan di Indonesia adalah Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dibebankan atas penghasilan perorangan, perusahaan atau Badan
Hukum lainnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, pada tahun 1925 dibuat aturan
terpisah pemajakan perusahaan menjadi Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925.
Dalam tahun 1933 diperkenalkan Ordonansi Pajak Kupon (Bunga) yang
mengenakan pajak atas penghasilan bunga. Selanjutnya, dalam tahun 1935
dikeluarkan Ordonansi Pajak Upah untuk memungut pajak dari para karyawan
yang pada tahun 1944 diintegrasikan dengan Ordonansi Pajak Pendapatan.
Selanjutnya dengan pasang surutnya pelaksanaan kedua ordonansi tersebut, dalam
tahun 1983 keduanya menyatu dalam satu ketentuan, yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pembaruan sistem perpajakan di Indonesia ini diusahakan tersusun sistem
perpajakan yang sederhana, adanya kepastian hukum, dan bertujuan untuk
memberikan pemerataan perekonomian. Kesederhanaan diperlukan agar mudah
dimengerti dan dilaksanakan oleh wajib pajak ataupun fiskus. Sistem perpajakan
yang baru tidak memungut pajak atas masyarakat yang masih berpenghasilan
52
Pajak Subjektif merupakan pajak yang erat hubungannya dengan subjek yang dikenakan pajak, dan besarnya sangat dipengaruhi keadaan subjek pajak. Memberi perhatian pada keadaan pribadi wajib pajak. Seperti status kawin, tidak kawin, dan kawin dengan tanggungan. Hal tersebut menjadikannya sebagai beban yang harus dipikul (dragkracht) sebagai pengurang dari penghasilan. Contohnya, pajak penghasilan, Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op. Cit., hal 44
53
Pajak Objektif merupakan pajak yang erat hubungannya dengan objek pajak, sehingga besarnya jumlah pajak hanya tergantung kepada keadaan objek itu, dan sama sekali tidak menghiraukan serta tidak dipengaruhi oleh keadaan subjek pajak. Pajak objektif ini dalam literature disebut juga pajak yang bersifat kebendaan (Zakelijk). Contohnya, bea masuk, cukai, pajak pertambahan nilai, bea materai. Ibid., hal. 45
54
rendah, tetapi memungut pajak atas individu-individu berpenghasilan tinggi dan
perusahaan-perusahaan besar, dengan harapan akan mendapat sumbangan besar
bagi peningkatan perekonomian golongan menengah ke bawah, di sini proses
pemerataan perekonomian diharapkan terwujud. Bagi instansi pajak juga
menekankan pada peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, agar dapat
mendorong kepatuhan wajib pajak yang akhirnya akan memengaruhi peningkatan
penerimaan pajak.55
Pajak Penghasilan termasuk jenis pajak yang dipungut pada tingkat
nasional sehingga dapat dikategorikan dalam kelompok pajak pusat. Seiring
dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi dan kehidupan sosial serta
kecerdasan masyarakat dan perkembangan hukum Undang-Undang Pajak
Penghasilan telah mengalami empat kali perubahan yaitu, dengan
Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang Nomor 10 Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
Objek Pajak dalam perpajakan adalah apa yang dikenakan pajak.
Undang-Undang Perpajakan selalu dengan tegas dan jelas menyebutkan apa yang menjadi
objek setiap jenis pajak. Sesuai dengan namanya, Pajak Penghasilan merupakan
pajak yang dikenakan atas penghasilan. Untuk itu, Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan ini telah memberikan penegasan mengenai Objek
Pajak yaitu “penghasilan”. Pajak penghasilan orang pribadi merupakan pajak
personal dalam arti bahwa pengenaannya sedapat mungkin diupayakan untuk
diselaraskan dengan keadaan penanggung pajak . Objek pajak dari personal ini
55
dapat berupa penghasilan (inflow resources) atau pengeluaran (outflow resources).
Pajak personal dengan objek penghasilan disebut Pajak Penghasilan (income
tax).56
Berdasarkan ilmu Akuntansi, penghasilan (income) berarti suatu
penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan
ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Sedangkan menurut
undang-undang perpajakan, penghasilan adalah setiap tambahan yang diterima
atau diperoleh Wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan dan dalam bentuk apapun.57
Penghasilan menurut Akuntansi meliputi semua sumber ekonomi yang
diterima oleh perusahaan baik itu dari transaksi penjualan barang, penyerahan jasa
kepada pihak lain atau pengguna aktiva perusahaan oleh pihak lain. Penghasilan
diukur dengan kenaikan bruto dari aktiva atau berkurangnya hutang selain dari
transaksi penanaman modal. Sedangkan Undang-Undang pajak menganut prinsip
pemajakan atau penghasilan dalam pengertian luas yaitu pajak dikenakan atas
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari manapun asalnya yang dipergunakan untuk konsumsi maupun menambah
kekayaan.58
Salah satu indikator keadilan dalam pajak adalah pengenaan berdasar
kemampuan membayar (ability to pay). Salah satu petunjuk kemampuan
membayar adalah adanya penghasilan (income). Oleh karena itu, sudah
56
Ibid., hal. 45
57
Sunarto, Perpajakan 1, Amus, Yogyakarta, 2004, hal. 90
58
selayaknya kalau pajak personal dikenakan atas penghasilan. Karena dikenakan
atas penghasilan, defenisi istilah tersebut menjadi penting untuk memberikan
kepastian hukum. Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, subjek Pajak Penghasilan secara umum terdiri atas:
1. a. orang pribadi
b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah,Ibid,hal. 12
60
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional.
Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :61
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara dan sebagainya;
b. Penghasilan dari usaha dalam kegiatan;
c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tidak gerak
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang
tidak/dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya;
Beberapa negara maju, misalnya Amerika Serikat, Pajak Penghasilan
sangat didominasi oleh orang pribadi. Penerimaan pajak yang dikenakan atas
semua penghasilan selama bertahun-tahun dari seluruh sumber dengan keluarga
sebagai unit pemajakan dan tarif progresif, telah secara langsung berpengaruh
61
mendalam ke seluruh lapisan masyarakat dan rakyat. Hal ini berbeda dengan
perpajakan di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Penerima pajak pada
umumnya masih didominasi oleh Pajak Penghasilan badan. Suatu institusi formal
terdaftar, badan lebih mudah teridentifikasi, terpantau kehadirannya, terdeteksi
kegiatannya dan transparan objek pajaknya. Pemungutan pajak atas badan jauh
lebih optimal daripada orang pribadi. Kesulitan praktik pemantauan dan
pendektesian Penghasilan Kena Pajak orang pribadi terutama karena institusi
financial dan system perekonomian secara efektif belum berkembang sehingga
kehidupan sosial ekonominya masih bersifat “cash society”.
Realisasi pemasukan pajak dari Pajak Penghasilan ke Kas Negara selain
dilakukan dengan cara penyetoran sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan ke
Kas Negara, Bank Persepsi atau Kantor Pos, yang mana cara ini disebut dengan
Self Assesment System, dapat juga dilakukan dengan cara melakukan pemotongan
dan pemungutan.
Pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan oleh pihak
yang ditunjuk oleh pemerintah terhadap penerima penghasilan berdasarkan
ketentuan perpajakan. Sistem pengumpulan pajak dengan menggunakan pola
pemotongan dan pemungutan semacam ini dikenal dengan Withholding System,
yaitu sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk
oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pihak yang
menyetor dan melaporkan pajak yang dipungut atau dipotongnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perpajakan.62
Withholding tax merupakan cara pembayaran pajak yang dilakukan
melalui pemberi kerja, yakni Pemberi kerja memotong sejumlah nilai tertentu dari
gaji yang dibayarkan untuk disetorkan kepada pemerintah dalam bentuk pajak.
Salah satu Pajak Penghasilan yang pemungutannya menggunakan system
pemotongan oleh orang ketiga (dalam hal ini pemotong) adalah Pajak Penghasilan
Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21. Pajak Penghasilan berdasarkan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan pajak penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dan pembayaran lain dengan nama
apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh
Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri.
Subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar pajak penghasilan.
Apabila subjek pajak adalah menerima atau memperoleh penghasilan sebagai
objek pajak, maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak dan wajib untuk
membayar pajak penghasilan. Namun apabila tidak termasuk subjek pajak, maka
tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan meskipun menerima
atau memperoleh penghasilan yang menjadi objek pajak.63
Subjek pajak yang ditetapkan menjadi wajib pajak penghasilan Pasal 21,
adalah:64
1. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai
pegawai tetap atau pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berdasarkan
62
Atep Adya Barata & Jajat Djuhadiat, Pemotongan Pemungutan Pajak Penghasilan Dan Kredit Pajak Luar Negeri., Jakarta, Elex Media Computindo, 2004, hal. 1
63
Wirawan B. Ilyas dan Rudy Suhartono, Op. Cit., hal.11
64
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis,
untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu
dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu,
penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau
badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah.65 Pegawai terdiri
dari:
a. Pegawai tetap, adalah pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam juklah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus
ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan
tersebut.66
b. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, adalah pegawai yang hanya
menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja,
berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang
dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh
pemberi kerja.67
2. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau
memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk
orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua.68 Yang termasuk penerima pensiun adalah penerima uang
pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya.
65
Pasal 1 angka 9, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
66
Pasal 1 angka 10, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
67
Pasal 1 angka 11, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
68
3. Bukan Pegawai, yang termasuk bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan,
antara lain meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan
seniman lainnya;
c. Olahragawan;
d. Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. Pengarang, peneliti dan penerjemah;
f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik computer dan system
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan social serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g. Agen iklan;
h. Pengawas dan pengelola proyek;
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
j. Petugas penjaja barang dagangan;
k. Petugas dinas luar asuransi;
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
4. Peserta Kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan
tertentu, termasuk mengikuti rapat, siding, seminar, lokakarya (workshop),
pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau
memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan
tersebut.69 Peserta kegiatan yang menerima penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
69
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b. Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu;
d. Peserta pendidikan, pelatihan dan magang;
e. Peserta kegiatan lainnya
B. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak penghasilan Pasal 21 menganut sistem pemungutan pajak
withholding system dengan menggunakan orang ketiga sebagai pemotong.
Ketentuan PPh Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan yang berlaku saat ini
mengatur bahwa pemberi penghasilan wajib memotong, menyetorkan, dan
melaporkan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, karena pemberi penghasilan melakukan
pemotongan pajak terhadap penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi
dalam negeri maka istilah yang sering muncul dikenal dengan “Pemotong pajak”.
Pemotong pajak adalah Wajib pajak pribadi atau Wajib Pajak badan,
termasuk bentuk usaha tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
pajak atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan orang
pribadi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21:
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan
pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas;
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai dan
bukan pegawai.70
Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau
pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara
lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa
dan kegiatan.71
70
Pasal 2 ayat (1) huruf a, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
71
Dana pensiun adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
juga termasuk badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari
tua atau jaminan hari tua.72
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
Negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk badan usaha tetap.73
Penyelenggara kegiatan adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak
badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan pembayaran
imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan
dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.74 Yang termasuk penyelenggara kegiatan
adalah badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk
72
Pasal 2 ayat (1) huruf c, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
73
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
74
apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan.75
Hubungan kerja antara pegawai dengan pemotong sebagai pemberi kerja,
pada dasarnya, adalah hubungan transaksional yang membawa konsekuensi
terhadap pemberi kerja, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Membayar imbalan yang disepakati dengan pegawai atau buruh.
2. Menanggung iuran-iuran yang ditetapkan Pemerintah sebagai akibat adanya
hubungan kerja.
3. Mematuhi ketentuan pemerintah tentang jam kerja.
4. Memotong dari penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai atau buruh,
pajak penghasilan yang terutang dan menyetorkannya ke kas Negara.
Kewajiban Pemotong Pajak adalah :76
1. Kewajiban mendaftarkan diri
a. Setiap pemotong pajak, termasuk organisasi internasional yang tidak
dikecualikan sebagai pemotong wajib mendaftarkan diri ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi
Perpajakan setempat.
b. Pemotong Pajak mengambil sendiri fomulir-fomulir yang diperlukan dalam
rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya kepada Kantor Pelayanan
Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi Perpajakan
setempat.
2. Kewajiban menghitung, memotong, dan menyetorkan :
75
Pasal 2 ayat (1) huruf e, Peraturan Menteri Keuangan No. 252/PMK.03 /2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
76
a. Pemotong pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal
21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
b. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) ke Bank BUMN atau BUMD atau bank lain yang ditunjuk oleh
Direktorat Jenderal Anggaran, atau PT Posindo, selambat-lambatnya tanggal
10 bulan takwim berikutnya.
c. Pemotong pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut sekalipun nihil
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak dan Pengamatan Potensi
Perpajakan setempat, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan takwim
berikutnya.
d. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21
maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang
terutang dalam bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
e. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik
diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada
orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun,
penerima jaminan hari tua, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun.
f. Pemotong wajib pajak menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan
kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiunan bulanan, dengan
menggunakan fomulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir. Namun apabila pegawai
tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti
(satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau
pensiun.
Hak-hak Pemotong Pajak PPh Pasal 21 adalah:77
- Mengkompensasikan kelebihan penyetoran apabila dalam suatu bulan
terjadi kelebihan penyetoran pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
terutang, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan Pajak
Penghasilan 21 yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun
2008 menyebutkan bahwa pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, dilakukan oleh beberapa pihak dimana salah satunya adalah
pemberi kerja. Salah satu yang termasuk dalam kategori pemberi kerja adalah
Notaris/PPAT.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau yang oleh berkepentingan untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain.78 Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
77
Ibid.,
78
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas rumah susun.
Sebagai pemotong, Notaris/PPAT harus menghitung, memperhitungkan,
menyetor dan melaporkan sendiri pajak penghasilan para pegawainya ke Kantor
Pos atau Bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah masa pajak berakhir.79
Notaris/PPAT mempunyai beberapa pegawai baik yang tetap maupun
tidak tetap untuk membantu kelancaran pekerjaan dari Notaris/PPAT tersebut.
Untuk itu para pegawai tersebut berhak untuk memperoleh penghasilan atas hasil
kerja mereka setiap bulannya. Atas penghasilan tersebut, para pegawai tersebut
menjadi wajib pajak atas pajak penghasilan yang mereka dapatkan, yang mana
pemungutan atas PPh Pasal 21 tersebut akan dilakukan oleh pemotong.
Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja akan bertindak sebagai pemotong atas pajak
penghasilan para pegawainya. Ia wajib menghitung pajak para pegawainya,
apabila penghasilan para pegawainya tersebut memenuhi PTKP sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka
Notaris/PPAT tersebut harus melakukan pemotongan dan kemudian selanjutnya
ditindak lanjuti dengan penyetoran dan pelaporan. Itulah tugas Notaris/PPAT
sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan para pegawainya.
Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja berdasarkan Undang-Undang Pajak
Penghasilan yaitu Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 telah ditunjuk dan
diwajibkan untuk memotong PPh Pasal 21 dari gaji yang dibayarkannya pada
pegawai tetap notaris tersebut. Untuk itu terlebih dahulu, para Notaris/PPAT harus
79
mengetahui dan memahami Undang-Undang tersebut diatas dengan baik. Namun
demikian berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pengetahuan
Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh mengenai kewajiban sebagai pemotong pajak
penghasilan terhadap pegawainya dapat dilihat pada tabel II.1 di bawah ini :
Tabel II.1
Notaris/PPAT di Banda Aceh yang Mengetahui sebagai Pemotong
No Keterangan Jumlah %
1 Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 21
10 47,61
2 Notaris/PPAT yang tidak mengetahui
kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 21
11 52,39
Total 21 100
Sumber: Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 21 (dua puluh satu)
orang Notaris/PPAT di Banda Aceh yaitu hanya 10 (sepuluh) orang atau 47,61 %
(empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang
mengetahui kewajibannya sebagai pemotong sedangkan sisanya sebanyak 11
(sebelas) orang atau 52,39 % ( lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen)
Notaris/PPAT tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong atas gaji
pegawai tetapnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar Notaris/PPAT di
kota tersebut tidak mengetahui mengenai kewajiban dan hak-hak sebagai
pemotong. Karena mereka tidak mengetahui, maka mereka tidak melakukan
kewajiban sebagai pemotong pajak. Padahal sebagai pemotong pajak sekaligus
sebagai wajib pajak seharusnya Notaris/PPAT itu mengetahui kewajibannya
tersebut. Hal ini berkaitan dengan Teori kewajiban Pajak Mutlak atau sering
disebut juga sebagai teori Bhakti. Teori tersebut didasarkan pada organtheorydari
Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa Negara merupakan suatu kesatuan
tersebut individu tidak mungkin dapat hidup. Lembaga tersebut, oleh karena
memberi hidup kepada warganya, dapat membebani setiap anggota
masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban membayar
pajak.80
Terdapat beberapa faktor penyebab para Notaris/PPAT tersebut tidak
mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai pemotong. Sebanyak 7 (tujuh)
orang atau 63,63 % (enam puluh tiga koma enam puluh tiga persen)
Notaris/PPAT tidak mengetahui kewajibannya sebagai pemotong karena tidak
pernah mendapatkan sosialisasi dari Kantor Pelayanan Pajak setempat. Hal ini
menyebabkan mereka sama sekali tidak mengetahui akan kewajiban perpajakan
sebagai pemotong. Sedangkan 4 (empat) orang atau 36,37 % (tiga puluh enam
koma tiga puluh tujuh persen) lainnya karena kurang memahami Undang-Undang
Pajak Penghasilan terutama yang menyangkut ketentuan tentang Pasal 21 .
Mereka beranggapan ketentuan ini sangat rumit untuk dipahami. Faktor-faktor
tersebut diatas mengakibatkan mereka tidak melakukan kewajiban perpajakannya
tersebut bukan karena faktor kesengajaan, akan tetapi karena faktor kurang
memahami dengan baik tentang Undang-Undang Pajak Penghasilan, khususnya
tentang kewajiban sebagai pemotong. Hal ini tentunya tidak terlepas dari belum
maksimalnya sosialisasi tentang PPh Pasal 21 dari Kantor Pelayanan Pajak
setempat kepada pemberi kerja, khususnya Notaris/PPAT selama ini dan
kurangngya kesadaran dan kemauan dari para Notaris/PPAT itu sendiri untuk
lebih mencari tahu tentang kewajiban perpajakannya secara lebih mendalam.
80
C. Penghitungan dan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
Penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap¸ menggunakan
pengurangan yang berupa biaya jabatan dan pensiun. Penghasilan pegawai tetap
atau pensiunan yang dipotong pajak setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Besarnya biaya jabatan atau biaya pensiun yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pegawai tetap atau pensiunan.81 Menurut
Pasal 1 ayat (1), 250/PMK.03/2008 besarnya biaya jabatan adalah sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam
juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
Sedangkan besarnya biaya pensiun sebesar dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp.
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan.82
Sebelum menghitung berapa besarnya Pajak Penghasilan yang harus
dihitung atas Penghasilan Kena Pajak, khusus untuk wajib pajak prang pribadi
sebagai wajib pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak (personal exemption).83Ketentuan mengenai Penghasilan Tidak
Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan
paling sedikit sebesar:
81
Didik Budi Waluyo,Op. Cit., hal. 10
82
Pasal 1 ayat (2), Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.03/2008 Tentang Besarnya Biaya Jabatan Atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan
83
a. Rp. 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
Wajib Pajak yang Kawin;
c. Rp. 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penghasilan Tidak Kena Pajak perbulan adalah Penghasilan Tidak Kena
Pajak per tahun dibagi 12 (dua belas), sebesar:
a. Rp. 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk
Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;
c. Rp. 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
Tarif pajak merupakan angka atau persentase yang digunakan untuk
menghitung jumlah pajak yang terhutang. Tujuan pembentukan tarif pajak untuk
1. Bagaimana bebannya dapat dibagi secara adil, kadang-kadang dicari tarif
sesuai dengan daya pikul kemudian timbul tarif progressive.
2. Bagaimana progresif itu dibentuk, kadang-kadang diciptakan tarif dasar
kepentingan, kalau sampai pada teori kepentingan maka batas antara retribusi
dan pajak menjadi kabur.
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak berdasarkan
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah :
Tabel II.2
Tarif Pajak Penghasilan
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%
Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai Rp. 250.000.000,00 15%
Di atas Rp. 250.000.000,00 sampai Rp. 500.000.000,00 25%
Di atas Rp. 500.000.000,00 30%
Sumber: Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Apabila seorang pegawai tetap memperoleh gaji secara bulanan, maka
dalam menghitung PPh Pasal 21 adalah:84
a. Ditentukan penghasilan bruto secara bulanan yang terdiri dari gaji tetap
ditambah dengan tunjangan lainnya.
b. Setelah diperoleh penghasilan bruto, maka untuk menghitung penghasilan neto,
penghasilan neto tersebut dikurangkan dengan potongan-potongan yang
diperkenankan.
c. Setelah diperoleh penghasilan neto sebulan, maka untuk memperoleh
penghasilan neto setahun penghasilan neto sebulan dikalikan dengan jumlah
bulan satu tahun takwim atau jumlah bulan dalam bagian tahun pajak.
d. Setelah diperoleh penghasilan neto setahun maka dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak sehingga diperoleh Penghasilan Kena Pajak
(PKP).
84
e. Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17 menghasilkan
pajak terutang satu tahun.
f. Pajak Penghasilan Pasal 21 sebulan diperoleh dengan membagi pajak terutang
satu tahun dengan jumlah bulan dalam satu tahun.
Salah satu contoh penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja di kantor Notaris X dengan
memperoleh gaji sebulan Rp. 2.500.000,00. Ahmad sudah menikah tetapi belum
mempunyai anak. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah sebagai
berikut :
- Tambahan WP Kawin Rp. 1.320.000,00 Rp. 17.160.000,00
Setelah dilakukan penghitungan, tahap selanjutnya adalah melakukan
pemotongan. Pemotongan PPh Pasal 21, dilakukan terhadap subjek Pajak orang
pribadi dalam negeri yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa dan kegiatan lainnya. Pemotongan pajak atas penghasilan adalah
penghasilan yang dibayarkan kepada (diterima oleh) penerima penghasilan selaku
Subjek Pajak orang pribadi atau badan.85
Ada dua kriteria utama untuk menentukan berlakunya pemotongan PPh
Pasal 21, yaitu :
1. Wajib pajak yang terkena pemotongan adalah wajib pajak orang pribadi dalam
negeri
2. Penghasilan yang dipotong berasal dari pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan lainnya.
Penghasilan yang dipotong adalah sebagai berikut :86
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap berupa penghasilan
yang bersifat teratur dan penghasilan yang bersifat tidak teratur. Penghasilan
yang diterima atau diperoleh pegawai tetap yang bersifat teratur berupa gaji
atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang
diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi
kerja, termasuk uang lembur. Sedangkan penghasilan yang diterima atau
diperoleh pegawai tetap yang bersifat tidak teratur hanya diterima sekali dalam
satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya
(THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan
nama apapun.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
85
Ibid., hal. 4
86
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh
pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian. Upah mingguan adalah
upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau
dibayarkan secara mingguan. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang
diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan
jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan. Upah borongan adalah upah atau
imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan
berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
5. Imbalan kepada bukan pegawai antara lain berupa honorarium, komisi, fee dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan dan
imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam
bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh:87
a. Bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;
87
c. Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit)
Bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan adalah penghasilan
pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak
adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak
dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008. Batas penghasilan bruto yang dimaksud
sampai dengan jumlah Rp. 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari
tidak dikenakan pajak penghasilan.
Apabila penghasilan bruto jumlahnya melebihi Rp. 1.320.000,00 (satu juta
tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan atau dalam hal penghasilan dibayar
secara bulanan. Ketentuan ini tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium
atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar
asuransi.
Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan
Penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya dapat dilihat pada Tabel II.3
dibawah ini :
Tabel II.3
Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh
No Keterangan Jumlah %
1 Notaris/PPAT yang melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya
10 47,61
2 Notaris/PPAT yang tidak melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya
11 52,39
Total 21 100
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa ada 10 (sepuluh) orang atau
47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) Notaris/PPAT yang
melakukan penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetapnya. Sedangkan 11
(sebelas) orang atau 52,39 % (lima puluh dua koma tiga puluh sembilan persen)
lainnya tidak melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetapnya.
Kesebelas Notaris/PPAT yang tidak melakukan penghitungan tersebut karena
memang tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong.
Dikaitkan dengan Tabel II.1 di atas, dari 10 (sepuluh) orang Notaris/PPAT
di Banda Aceh yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong, semuanya
ternyata melakukan penghitungan pajak penghasilan pasal 21 atas gaji pegawai
tetapnya. Jadi kesepuluh Notaris/PPAT tersebut telah melaksanakan kewajiban
menghitung PPh Pasal 21 atas pegawai tetapnya dalam rangka memenuhi
kewajiban sebagai pemotong pajak walaupun belum penuh.
Berikutnya adalah gambaran Notaris/PPAT di Banda Aceh yang
melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji pegawainya yang
dapat dilihat pada Tabel II.4 dibawah ini :
Tabel II.4
Pemotongan PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh
No Keterangan Jumlah %
1 Notaris/PPAT yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya
2 9,52
2 Notaris/PPAT yang tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawainya
19 90,48
Total 21 100
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui jumlah Notaris/PPAT di Banda
tetapnya hanya 2 (dua) orang atau 9,52 % (sembilan koma lima puluh dua persen)
sedangkan 19 (sembilan belas) orang atau 90, 48 % (sembilan puluh koma empat
puluh delapan persen) lainnya tidak melakukan pemotongan atas PPh Pasal 21.
Jumlah Notaris/PPAT yang tidak melakukan pemotongan sebanyak 19
(sembilan belas) atau 90,48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan
persen) terdiri dari 8 (delapan) orang yang mengetahui kewajiban sebagai
pemotong dan telah melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan
pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan pemotongan dan 11 (sebelas) orang
lainnya karena tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong.
Notaris/PPAT yang telah melakukan pemotongan atas gaji pegawai
tetapnya, harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 terhadap gaji
pegawai tetapnya. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (8) 252/PMK.03/2008 yang
menyatakan bahwa pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap secara
berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.88 Dalam hal
pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh
Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan
berhenti bekerja.89
Apabila dikaitkan dengan tabel II.4, bahwa dari 2 (dua) orang
Notaris/PPAT yang melakukan pemotongan, keduanya memberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 21 pada pegawai tetapnya seperti ketentuan yang telah
ditetapkan.
88
Didik Budi Waluyo,Op. Cit, hal. 41
89
Berdasarkan Tabel II.4 yang telah disebutkan di atas, diketahui bahwa ada
beberapa Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan penghitungan tetapi
tidak melakukan pemotongan, yaitu sebanyak 8 (delapan) orang. Faktor-faktor
yang menyebabkan kedelapan Notaris/PPAT tersebut tidak melakukan
pemotongan adalah sebagai berikut :90
1. Hasil penghitungan PPh Pasal 21 nihil. Hal ini terdapat pada 7 (tujuh) orang
atau 87,5 % (delapan puluh tujuh koma lima persen) Notaris/PPAT yang
melakukan penghitungan atas gaji pegawai tetapnya dan setelah dilakukan
penghitungan, ternyata pajak penghasilannya nihil. Faktor ini dikarenakan
Penghasilan pegawai tetapnya belum memenuhi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP). Sebagian pegawai tetap Notaris/PPAT yang ada di Banda Aceh
memiliki penghasilan yang tidak memenuhi PTKP yaitu masih dibawah Rp.
1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) /bulan atau kurang dari
Rp. 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
/tahun. Penghasilan dibawah PTKP ini karena kurangnya jumlah pemasukan
yang diperoleh dari pembuatan berbagai macam akta di kantor Notaris/PPAT
tersebut sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membayar gaji para
pegawai tetap diatas jumlah PTKP.
2. Keberatan dari Pegawai Notaris/PPAT. Terdapat 1 (satu) orang Notaris/PPAT
di Banda Aceh atau 12,5 % (dua belas koma lima persen) yang tidak
melakukan pemotongan karena alasan keberatan dari pegawai tetapnya sendiri
untuk dilakukan pemotongan atas penghasilan mereka setiap bulannya. Para
pegawai ini beranggapan bahwa pemotongan ini akan mempengaruhi jumlah
90
gaji yang mereka terima setiap bulannya. Faktor ini disebabkan karena adanya
ketidak pahaman dari pegawai tetap Notaris/PPAT itu sendiri mengenai PPh
Pasal 21 dan Notaris/PPAT itu sendiri tentang kewajiban PPh Pasal 21.
Kedua faktor diatas menjelaskan mengapa tidak semua dari 10 (sepuluh)
orang atau 47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen)
Notaris/PPAT yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong dan telah
melakukan penghitungan, tetapi tidak melanjutkan untuk melakukan pemotongan
PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetapnya.
D. Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
Tahapan setelah Notaris/PPAT melakukan penghitungan dan pemotongan
adalah ia harus melakukan penyetoran. Penyetoran PPh Pasal 21 dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).91 Surat Setoran Pajak adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara. Pembayaran Surat setoran pajak
dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
1. SSP Standar adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor
Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran.
2. SSP Khusus adalah bukti pembayaran dan penyetoran pajak terutang ke Kantor
Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan
menggunakan mesin transaksi dan/atau alat lainnya, yang isinya sesuai dengan
yang ditetapkan dalam keputusan Dirjen Pajak dan mempunyai fungsi yang
sama dengan SPP Standar dalam administrasi perpajakan.
91
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong untuk setiap Masa Pajak wajib
disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.92
Penyetoran PPh Pasal 21 ini dilakukan mulai dari tanggal 1 sampai tanggal 10
setiap bulannya. Apabila pemotong tidak melakukan penyetoran pada jangka
waktu tersebut maka akan diberi waktu paling lama 10 (sepuluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
Penyetoran PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya, dalam hal
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,.93
Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang melakukan
Penyetoran atas PPh Pasal 21 dapat di lihat pada Tabel II.5 di bawah ini:
Tabel II.5
Penyetoran PPh Pasal 21 oleh Notaris/PPAT Banda Aceh
No Keterangan Jumlah %
1 Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran PPh Pasal 21 terhadap pegawainya tepat waktu
1 4,76
2 Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran PPh Pasal 21 terhadap pegawainya tetapi terlambat
1 4,76
3 Notaris/PPAT yang tidak melakukan penyetoran PPh Pasal 21 terhadap pegawainya
19 90,48
Total 21 100
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa hanya 2 (dua) orang atau 9,52
% (sembilan koma lima puluh dua persen) dari 21 (dua puluh satu) orang
Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran. Keduanya melakukan kewajiban
penyetoran hanya saja ada yang melakukan dengan tepat waktu dan ada yang
tidak. Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran PPh Pasal 21 secara tepat waktu
92
Didik Budi Waluyo,Op. Cit., hal. 16
93
hanya 1 (satu) orang atau 4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen) atau
50 % (lima puluh persen) dari 2 (dua) orang Notaris/PPAT yang melakukan
penyetoran. Dan Notaris/PPAT yang melakukan penyetoran tidak tepat waktu,
yaitu terlambat beberapa hari setelah tanggal yang ditentukan, juga 1 (satu) orang
atau 4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen). Seharusnya menurut
ketentuan Undang-Undang, pemotong yang melakukan penyetoran tidak tepat
waktu dapat dikenakan sanksi yaitu sanksi administrasi.
Sebanyak 19 (sembilan belas) orang atau 90,48 % (sembilan puluh koma
empat puluh delapan persen) Notaris/PPAT lainnya yang tidak melakukan
pemotongan, terdiri dari 8 (delapan) orang atau yang mengetahui kewajiban
sebagai pemotong dan melakukan penghitungan PPh Pasal 21 terhadap
penghasilan pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan pemotongan, karena
penghasilan pegawai di bawah PTKP dan adanya keberatan dari pegawai tetapnya
sendiri serta tidak melakukan penyetoran dan 11 (sebelas) orang lainnya karena
tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong PPh Pasal 21.
Apabila pembayaran atau penyetoran Pajak Penghasilan dilakukan setelah
tanggal jatuh tempo maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.94
Selanjutnya untuk tahap akhir, Notaris/PPAT harus menyampaikan
pelaporan atas penghitungan, pemotongan dan penyetoran yang telah ia lakukan
terhadap PPh Pasal 21 atas para pegawainya. Pemotong wajib melaporkan
94
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 ini untuk setiap masa pajak yang
dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) Pasal 21
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong PPh Pasal 21 terdaftar. Jangka
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa ini dilakukan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir.95
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah dokumen yang memuat data-data
dalam menetapkan secara tepat jumlah pajak yang terutang berupa surat atau
fomulir atau sarana yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek
pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.96 Dalam memahami Surat Pemberitahuan, ada
beberapa pengertian, yaitu :
1. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa
pajak, tahun pajak atau bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, kecuali Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
4. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
Pengertian SPT dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang tentang Ketentuan
Umum Perpajakan dijelaskan bahwa, “Surat Pemberitahuan adalah surat yang
95
Pasal 24 ayat 2 PER-31/PJ/2009
96
oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran
pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan peundang-undangan
perpajakan.”
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT, baik dalam bentuk formulir kertas
atau elektronik dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf latin, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.97
Pada dasarnya SPT adalah surat yang yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk menyampaikan laporan perhitungan dan pembayaran pajaknya ke
Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak
terdaftar menurut peraturan peundang-undangan perpajakan yang berlaku yang
telah diatur di dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) dan Keputusan Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal
Pajak.
Fungsi SPT dapat dikategorikan ke dalam tiga hal yaitu bagi wajib pajak
penghasilan, bagi pengusaha kena pajak, dan bagi pemotong atau pemungut pajak,
sebagai berikut :98
1. Bagi wajib pajak penghasilan. Fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
97
Ibid., hal. 101
98
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak.
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak
c. Harta dan kewajiban.
d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 Masa Pajak
sesuai dengan ketentuan UU perpajakan.
2. Bagi Pengusaha Kena Pajak. Fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk
melporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPnBM)
yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Bagi pemotong dan pemungut pajak. Fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkannya.
SPT pada dasarnya ada 2 (dua) macam yaitu SPT Masa dan SPT Tahunan.
Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
memberitahukan pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu
saat. Surat Pemberitahuan Masa terdiri dari 2 (dua) macam yaitu SPT Masa Pajak
dilampirkan pada SPT Masa PPh berupa Surat Setoran Pajak (SSP), daftar Bukti
Pemotongan, dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan Bukti Pemotongan PPh
Pasal 26. Lampiran yang harus disertakan pada SPT Masa PPN adalah SSP Bukti
Pembayaran / pelunasan dan Faktur Pajak Masukan.99
Dalam pengisian SPT Pajak Penghasilan, ada hal-hal yang harus
diperhatikan yaitu :100
1. Benar. Benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, meliputi seluruh objek pajak yang dimiliki,
benar dalam perhitungan maupun pengisian kolom pada setiap lampiran
formulir surat pemberitahuan, dalam penerapan tarif pajak maupun
pengkreditan pajak yang telah dibayar melalui pihak lain.
2. Jelas. Dalam arti tidak menimbulkan penafsiran lain bagi fiskus. Jelas dalam
melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang
harus dilaporkan dalam SPT.
3. Lengkap. Seluruh lampiran yang telah ditentukan maupun yang diperlukan
harus dilampirkan yang memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan
objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.
SPT Masa PPh Pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang
ditetapkan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp.
100.000,00.- (seratus ribu rupiah).101
99
Sunarto,Op. Cit., hal. 52-53
100
Billy Ivan Tansuria,Op.Cit., hal. 101
101
Tata cara penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 ini dapat dilakukan oleh
pemotong PPh Pasal 21 dengan cara penyampaian secara langsung ataupun secara
elektronik. Penyampaian secara langsung dilakukan dengan menyampaikan SPT
dalam bentuk fisik langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau dikirim melalui pos.
Sedangkan penyampaian SPT melalui elektronik adalah suatu cara penyampaian
SPT yang dilakukan dengan sistem on-linemelalui media internet, hal ini melalui
beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi yang ditunjuk oleh Direktur jenderal
Pajak.102
Berikut adalah tabel tentang batas akhir penyampaian SPT Masa :
Tabel II.6
Batas Akhir Penyampaian SPT Masa
Jenis SPT Masa Batas Waktu Penyampaian
SPT Terakhir
PPh Pasal 21 Tanggal 20 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir PPh Pasal 22-Bendaharawan 14 (Empat belas) hari setelah akhir
masa pajak
PPh Pasal 23/26 Tanggal 20 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
PPh Pasal 25 Tanggal 20 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
PPN/PPn.BM PKP Tanggal 20 bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir PPN/PPn.BM Bendaharawan 14 (Empat belas) hari setelah akhir
masa pajak PPN/PPn.BM Yang dipungut Bea
Cukai
Tujuh hari setelah pembayaran
102
Gambaran tentang Notaris/PPAT di Banda Aceh yang memberikan
Pelaporan atas Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat di lihat pada Tabel II.7 di bawah
ini:
Tabel II.7
Notaris/PPAT Banda Aceh yang menyampaikan pelaporan PPh Pasal 21
No Keterangan Jumlah %
1 Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan Pasal 21 terhadap pegawainya tepat waktu
1 4,76
2 Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan Pasal 21 tetapi tidak tepat waktu
1 4,76
3 Notaris/PPAT yang tidak pernah menyampaikan pelaporan Pasal 21
19 90,48
Total 21 100
Sumber : Hasil wawancara dengan para Notaris/PPAT Banda Aceh pada tanggal 21 Juli 2011
Berdasarkan tabel di atas, Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan
PPh Pasal 21 secara tepat waktu hanya 1 (satu) orang dari 21 (dua puluh satu)
responden atau 4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen). Sedangkan
Notaris/PPAT yang menyampaikan pelaporan tidak tepat waktu, yaitu terlambat
beberapa hari dari waktu yang telah ditentukan, juga 1 (satu) orang dari 21 (dua
puluh satu) responden atau 4,76 % (empat koma tujuh puluh enam persen).
Sebanyak 19 (sembilan belas) orang dari 21 (dua puluh satu) responden
atau 90,48 % (sembilan puluh koma empat puluh delapan persen) Notaris/PPAT
lainnya yang tidak menyampaikan pelaporan, terdiri dari 8 (delapan) orang yang
mengetahui kewajiban sebagai pemotong dan melakukan penghitungan PPh Pasal
21 terhadap penghasilan pegawai tetapnya, tetapi tidak melakukan kewajiban
perpajakannya hingga tuntas yaitu memotong, menyetor hingga melaporkan dan
11 (sebelas) orang lainnya karena tidak mengetahui kewajiban sebagai pemotong
Tata cara penyampaian SPT Masa dengan menggunakan jasa pos dan
dengan surat elektronik dapat diterima yang mana hal ini telah diatur dalam pasal
6 ayat (2) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal ini mengatakan bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan
melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.103
Diperlukan cara lain bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada wajib pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi,
misalnya penyampaian secara elektronik. Pasal 6 ayat (3) menambahkan bahwa
tanda bukti dan tanggal penerimaan surat untuk penyampaian surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatas dianggap sebagai tanda bukti dan
tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.104
Kedua Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh menyampaikan pelaporan
menggunakan sarana SPT Masa Pasal 21. Hanya saja yang menyampaikan SPT
Masa secara tepat waktu pada setiap bulan sampai tanggal 20 bulan berikutnya
hanya 1 (satu) orang. Sedangkan 1 (satu) orang lainnya tidak menyampaikan SPT
Masa secara tepat waktu. Dan keduanya menyampaikan langsung SPT Masa ke
Kantor Pelayanan Pajak setempat.
103
Casavera,Seri Perpajakan Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ; Perubahan dan Peraturan Terkini,
Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009, hal. 67 .
104
E. Kepatuhan Notaris/PPAT Banda Aceh Terhadap Memungut Pajak
Penghasilan
Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu system yang telah
disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan
menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak.
Salah satu jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia adalah Pajak
Penghasilan. Dalam Pajak Penghasilan ini , ditemui Pajak Penghasilan pasal 21
berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008. Sistem Pemungutan atas
pajak jenis ini adalah dengan melibatkan orang ketiga sebagai pemungut pajak
dengan menggunakan sistem pemotongan. Pemberi kerja merupakan satu diantara
beberapa orang atau badan yang termasuk dalam katagori sebagai pemotong,
sedangkan penerima penghasilan atau gaji masuk dalam katagori orang yang
penghasilannya kena pajak dan dipotong oleh pemotong tersebut.
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti
tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal perpajakan di Indonesia,
dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan,
tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak
yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.105
Terdapat 2 (dua) macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan
material, yakni ;
105
1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
perpajakan.
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif
atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai
isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan.
Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dari tanggal 1 sampai tanggal 10 setiap
bulannya. Apabila pemotong telah melakukan Surat Pemberitahuan Masa tersebut
sebelum atau pada tanggal 10 setiap bulannya pemotong telah memilih ketentuan
formal namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material. Pemotong yang
memenuhi kepatuhan material adalah pemotong yang mengisi dengan jujur,
lengkap dan benar Surat Pemberitahuan Masa tersebut sesuai dengan ketentuan
dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir.
Notaris /PPAT sebagai salah satu dari pemberi kerja berdasarkan
Undang-Undang Pajak Penghasilan ditunjuk dan diwajibkan untuk memotong PPh Pasal
21 dari gaji yang dibayarkannya pada pegawai tetapnya tersebut. Dari hasil
penelitian yang didapat diketahui bahwa tidak semua dari jumlah keseluruhan
responden yaitu 21 (dua puluh satu) Notaris/PPAT di Banda Aceh yang
mengetahui kewajibannya sebagai pemotong atas gaji dari pegawai tetapnya
tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa jumlah Notaris/PPAT
yang mengetahui kewajibannya sebagai pemotong hanya 10 (sepuluh) orang atau
47,61 % (empat puluh tujuh koma enam puluh satu persen) . Sedangkan 11